#71887Please respect copyright.PENANA4R5W9JZuut
Tumbang
1887Please respect copyright.PENANA0gov3P9eDA
Suasana di dalamkereta hening. Semua orang tertidur. Mataku melihat ke arah luar jendela. Melihat kegelapan perjalanan. Ya, malam ini hening, tapi tidak lebih hening dalam hatiku. Aku tak mengerti, kenapa ini terjadi, kenapa Linda tiba-tiba memutus hubungan kami. Apa salahku yang sebenarnya?
Beberapa jam perjalanan kereta, akhirnya aku sampai di stasiun saat dini hari. Kemudian lanjut perjalanan ke rumah nenek naik motor.
Perjalanan ketika masuk desa nenek, begitu sepi dan minim penerangan. Ditambah jalanan yang kurang bagus. Namun aku tak peduli, terus ku-gas motor hingga sampai rumah nenek.
Tok.. tok… tok… kuketuk pintu rumah nenek. Kucek jam di tangan, sudah hampir pukul 3 dini hari.
Tak berselang lama, nenek membuka pintu.
“Aduh Dan, kamu kok berani pulang jam segini?” tanya nenek, sambil terlihat mengantuk. Lagi-lagi nenek telanjang dada, pakai BH saja.
“Maaf nek, bikin nenek terbangun jam segini,” kataku. Tubuhku sudah capek dan mengantuk.
“Bukan masalah itu, di sini kalau malam itu rawan kejahatan, lain kali mending pagi sekalian ajak ke sini, jangan malam,” katanya.
“Untung aja nek, aku selamat sampai sini, tidak ada apa-apa,” ucapku.
Segera ku masukkan motor nenek. Setelah dari kamar mandi, aku segera tidur.
Keesokan harinya…
1887Please respect copyright.PENANA9IbcW9oxiu
Aku bangun kesiangan, karena memang semalam aku capek sekali. Ini pun tubuhku rasanya pegal-pegal. Segera aku mandi, lalu menyantap makanan yang sudah tersedia di meja makan.
Tidak kulihat nenek di mana. Kemudian aku ingat tujuanku di sini, yakni melakukan penelitian. Aku harus segera menyelesaikannya dan segera pergi dari desa ini.
Kukirim pesan ke Nita, apakah dia bisa menemaniku lagi. Nita menjawab bisa. Aku pun segera menjemput ke rumahnya.
Sampai di rumahnya, Nita sudah menunggu di depan rumah. Entah, kali ini aku melihat Nita lebih cantik dari sebelumnya. Ia pakai rok hitam dan kemeja warna biru muda, warna kerudungnya sama dengan warna kemejanya.
“Kok bentar ke Jogjanya?” tanya Nita, kemudian naik ke atas motor.
“Iya, sudah selesai urusannya,” jawabku, lemas.
“Kok kayaknya kurang bersemangat hari ini?” tanya Nita lagi.
“Tubuhku masih capek, tapi harus segera kuselesaikan penelitian ini.”
“Kalau capek istirahat dulu saja, ngapain buru-buru menyelesaikan penelitiannya, tidak kerasan tinggal di sini, tidak enak ya di desa?” tanya Nita.
“Suka kok tinggal di sini, apalagi kenal sama kamu,” ucapku, sambil tersenyum.
“Eh, bisa aja,” katanya.
“Mau ke mana kita?” tanyaku.
“Kita ke lahan yang dekat-dekat sini aja kalau gitu,” kata Nita.
Kami pun pergi ke lahan Pak Kades yang lainnya. Kali ini lokasinya mudah dijangkau. Dekat. Pohon jati kal ini umurnya sekitar 10 tahun. Kondisinya juga sangat bagus.
Aku bertanya pada Nita, kenapa jati di sini bisa bagus-bagus. Ia pun menjawab panjang lebar dari penanaman hingga perawatannya. Nita seperti tahu banyak. Hal ini bikin informasi yang kudapat banyak sekali.
Selesai dari sini, entah aku masih ingin bersama Nita.
“Kita langsung pulang?” tanyaku.
“Terserah kamu mau ke mana lagi,” jawabnya.
“Kita cari makan yuk ke kota, mau?” tanyaku.
“Boleh saja.” Nita menerima ajakanku.
“Gak pakai helem, boleh?” tanyaku ketika naik ke motor.
“Gak apa-apa kalau gak ada polisi. Haha,” jawabnya. Nita lalu ikut naik ke motor.
“Oke lah, kalau ada polisi kita balik kanan. Haha,” kataku.
Langsung saja, kutancap gas. Kami pergi ke kota. Sekitar setengah setengah jam, kami sudah berada di pusat kota kabupaten ini.
Nita memberi referensi mana kafe yang enak untuk tempat makan dan nongkrong.
Kami pun pesan makanan dan minuman sambil mengobrol banyak hal. Entah, kenapa aku dan Nita dengan cepat nyambung saat mengobrol. Aku dengan cepat nyaman dengan dia.
“Bagaimana, pacarnya masih marah?” Nita tiba-tiba tanya soal itu, sambil menikmati makanan yang kami pesan.
Aku terdiam beberapa detik. Tak langsung menjawabnya.
“Kami sudah putus kemarin,” jawabku singkat, lalu meminum es cokelat yang kupesan.
Nita ganti yang diam. Dia seperti tidak enak tanya soal itu.
“Sudah ya, jangan bahas itu. Hehe,” kataku. Nita lalu tersenyum manis.
Kami pun lanjut makan.
“Tapi aku sudah dapat penggantinya,” kataku, untuk memecah keheningan yang terjadi beberapa saat.
“Ha? cepat amat?” tanya Nita, penasaran.
“Iya, ini penggantinya, orangnya di depanku.” Aku tersenyum ke Nita.
“Hmmmm… bisa aja,” dia malu dengan ucapaku.
“Eh, aku jadi ingat saat hujan-hujan itu loh,” kataku.
“Husss… udah jangan diingat-ingat, itu tidak sengaja,” katanya.
“Iya, tidak sengaja ya. Tiba-tiba aja terjadi. Hehe. Tapi aku mau lagi,” ucapku.
Memang benar, kejadian di gubuk saat hujan itu, serasa tiba-tiba aja terjadi. Suasana di bawah guyuran hujan, membuat kami saling membutuhkan kehangatan.
“Ihh… maunya,” kata Nita.
Selesai makan, kami pun kembali pulang. Nita memaksa yang membayar semua pesanan kami. Padahal aku sudah mengeluarkan uang untuk memayar.
“Biar aku saja yang membayar,” ucapnya, memaksa.
1887Please respect copyright.PENANA5TtmJoXK7N
Malam harinya…
1887Please respect copyright.PENANA0gJ3GlA5wM
Aku mengobrol dengan nenek di ruang tamu. Nenek pakai jarik dan atasnya pakai BH saja. Memang sudah kebiasaan nenek ini. Tidak malu ke aku. Mataku jadi berkali-kali melirik ke arah belahan dadanya.
“Nenek gak dingin, gak pakai baju?” tanyaku.
“Gerah malam ini. Gak boleh nenek pakai BH aja?” jawabnya.
“Gak apa-apa sih nek, kalau gak malu ke aku. Hehe.”
“Ngapain malu sama cucu sendiri, sudah tua juga,” katanya.
Tubuhku makin lama terasa pegal-pegal juga panas dan dingin.
“Nek, badanku pegal dan mau sakit kayaknya,” aku mengeluh ke nenek......
Baca selengkapnya di...
https://novelkita.online/series/menginap-di-rumah-nenek/1887Please respect copyright.PENANAYtT4JyU6Un
https://karyakarsa.com/Bacaya/menginap-di-rumah-nenek1887Please respect copyright.PENANArZtUWNrqxX