#42180Please respect copyright.PENANAXY3opTxeSB
Anak Pak Kades
2180Please respect copyright.PENANAYjp8fsNK69
Pagi ini terasa segar. Kuhirup udara pagi sepuasnya. Hari ini aku berniat ke balai desa untuk menemui Pak Kades. Kata nenek, namanya Pak Tono. Aku mau izin ke beliau untuk meneliti lahan jatinya juga.
Jadi yang jadi sampel penelitian di desa ini, bukan hanya pohon jati milik nenek. Tapi juga punya beberapa warga lainnya di sini. Termasuk punya Pak Kades.
Aku pakai motor matik punya nenek. Nenek meskipun sudah tua, dia masih mampu mengendarai motor.
“Udah sarapan Dan?” tanya nenek sebelum aku berangkat.
“Sudah nek,” jawabku. Tadi pagi ada Mbak Fina, saudara yang tinggal di rumah nenek yang bantu memasak.
“Selama kamu di sini, Mbak Fina kusuruh masak setiap hari. Karena kalau nenek biasanya masak seadanya, nenek udah tidak makan macem-macem,” ucap nenek, sambil menyapu halaman depan.
“Iya nek, terimakasih banyak. Jadi ngerepoti. Sebenarnya, kalau aku makan apa saja sih nek,” kataku. Lalu kupanasi motor nenek.
“Ini demi cucu nenek, nenek minta Mbak Fina masak yang enak-enak,” katanya.
“Aduh nenek, jadi gak enak aku,” ucapku, kemudian pamit berangkat. “Aku berangkat dulu ya nek.”
“Iya hati-hati.” Nenek lanjut menyapu halaman.
Tak jauh, sekitar 5 menit aku sudah sampai di balai desa. Di meja pelayananan, kutanya keberadaan Pak Kades. Namun kata salahsatu pegawai yang ada, Pak Kades masih belum datang. Kemudian aku diminta untuk ke rumahnya saja.
“Rumahnya di mana pak?” tanyaku. Lalu pegawai itu memberi ancer-ancer di mana rumahnya.
“Nanti di dekat masjid itu, tanya aja sama orang-orang mas rumah Pak Kades. Tapi dari situ kelihatan kok, rumah yang paling besar, itu rumah Pak Kades,” jawab pria berkumis itu.
“Iya pak, terimakasih banyak.” Aku pun berangkat ke rumah Pak Kades, sesuai petunjuk bapak itu.
Rumah Pak Kades tidak jauh sih dari sini. Hanya beberapa menit saja aku sudah sampai di masjid yang jadi ancer-ancer lokasi rumah Pak Kades.
Yah, di dekat masjid itu ada rumah yang sangat besar. Aku sudah yakin ini di rumah Pak Kades. Tapi aku masih bertanya pada orang-orang di sekitar sana, untuk memastikan lagi.
“Buk, rumah Pak Kades di mana ya?” tanyaku pada ibu-ibu tua yang sedang menjemur gabah. Ia hanya mengenakan rok dan atasnya hanya pakai BH saja. Memang ya, di sini itu sudah biasa begini kayaknya. Ibu itu bisa saja meski hanya pakai BH saja saat kutemui. Tidak malu.
“Itu dek, rumah yang besar itu,” jawabnya sambil menunjuk rumah Pak Kades.
“Terimakasih buk,” ucapku, langsung ku tancap gas ke sana.
Sebelum masuk ke rumah Pak Kades ada pagar dan gerbang yang tinggi. Namun sudah terbuka, pas untuk motor masuk. Halaman rumah Pak Kades juga begitu luas.
Kuparkir motorku di depan rumahnya.
“Cari siapa mas?” tanya seorang bapak tua yang sedang membersihkan rumput di halaman rumah Pak Kades.
“Cari Pak Kades pak, ada?” tanyaku.
“Ada. Silahkan pinarak dulu. Duduk dulu,” ucapnya.
Aku pun duduk di sebuah kursi yang ada di teras. Tak berselang lama, keluar sosok pria yang mengenakan sarung dan kaos oblong warna putih. Mukanya seperti galak. Kumis dan jenggotnya cukup panjang.
“Iya dek, ada apa?” tanya pria itu.
“Pak Kades ya? Pak Tono?” tanyaku memastikan.
“Iya betul, siapa ya? ada keperluan apa?” tanyanya.
Saya pun memperkenalkan diri dan maksud tujuanku datang ke sini.
“Saya Dani pak, cucunya Mbok Wati. Anaknya Bu Ria. Saya beberapa hari akan menginap di rumah nenek. Karena melakukan penelitian pohon jati di desa ini. Termasuk mau izin untuk meneliti pohon jati di lahan Pak Kades,” kataku.
“Oh, cucunya Mbok Wati. Saya kira dari koperasi mau nawarin saya hutang. Lihat penampilannya rapi amat. Haha.” Pak Kades tertawa. Ternyata beliau humoris, tidak sesuai dengan tampannya yang sangar.
“Haha…. jadi gimana Pak Kades, apakah diizinkan?” tanyaku.
“Kalau gitu aja, silahkan. Kuliah di mana?” tanyanya. Kemudian membakar rokok. Lalu menawariku juga.
“Ini rokok, kopinya bentar lagi,” ucapnya.
“Saya kuliah di Jogja pak, ambil jurusan kehutanan,” jawabku.
“Oh ya.. pintar kamu berarti ya.”
“Biasa aja pak,” jawabku.
Tak berselang lama, keluar sosok perempuan membawa dua cangkir kopi. Mataku cukup lama memandangi wajahnya. Karena cantik dan manis. Alisnya tebal, bibirnya tipis, dan hidungnya lumayan mancung. Badannya kurus langsing. Dia pakai kerudung.
Kemudian kulihat tangannya yang putih mulus menaruh minuman di hadapanku.
“Oh ya, ini anak saya. Namanya Anita. Panggil saja Nita. Biar nanti dia yang ngantar kamu ke lahan pohon jati saya. Ada banyak lahan saya, mau kamu teliti semua boleh. Bebas,” ucapnya.
“Iya pak, makasih.” Aku bingung, kenapa dia menyuruh anaknya untuk menemaniku.
“Maaf saya tidak bisa menemani, karena harus ke balai desa,” katanya.
“Tolong ya Nit,” katanya.
“Iya pak,” jawab Nita dengan lembut. Lalu ia kembali masuk ke dalam.
Nita ini kulihat dari wajahnya, usianya lebih tua dari aku. Mungkin selisih 2-3 tahun lah. Mungkin bisa lebih dari itu.
Singkat cerita… Nita mengantarku ke lahan pohon jati milik bapaknya. Aku memboncengnya. Hatiku sedikit dag dig dug, membonceng cewek cantik. Tapi masih cantik cewekku lah.
“Ini mau lihat yang mana dulu?” tanyanya di tengah perjalanan.
“Yang dekat-dekat dulu ajak mbak,” jawabku.
“Jangan panggil mbak, panggil nama aja. Kayak aku tua aja. Hehe.” Nita protes kupanggil mbak.
“Emang usianya berapa mbak?”
“Masih muda, 24 tahun, jangan panggil mbak. Kamu berapa?” tanya balik Nita. Prediksiku soal umurnya tidak meleset jauh.
“Baru 21 tahun mbak,” jawabku.
“Tuh kan, anggap kita masih seumuran. Jangan panggil mbak,” ia protes lagi.
“Iya, iya maaf… Nita….” kataku.
“Gitu dong… hahahaha….” Nita tertawa. Kita tiba-tiba seperti langsung akrab.
“Namamu siapa?” tanya.
“Panggil aja Dani. Ke mana kita ini?” tanyaku.
“Oh Dani. Kita ke lahan yang di dekat sungai ini saja,” ucapnya.
Sesuai petunjuknya, akhirnya kami menuju ke sebuah lahan pohon jati. Aku kemudian langsung melakukan pengukuran dan sebagainya. Kira-kira pohon di sini, usianya sudah lebih 15 tahun.
Pantes saja, Pak Kades kaya raya, dia punya banyak lahan pohon jati.
Nita terus mendampingiku. Dia selalu menjawab apapun yang kutanyakan, utamanya terkait pohon jati yang ditanam.
Beberapa saat kemudian, mataku fokus ke arah sungai. Di sana ada beberapa wanita yang sedang mandi, ada juga yang sedang cuci baju. Ada wanita yang masih muda dan ada yang sudah tua.
Terlihat payudaranya yang menggantung, bebas kulihat. Sementara bawahnya ada yang tertutup jarik. Ada juga yang terendam di sungai.
“He, hayo lihat apaan?” Nita menepuk pundakku, seketika aku kaget.
“Eh… anu….” Aku jadi salah tingkah.
“Malah lihat orang mandi,” katanya. Aku pun malu.
“Hehe… biasa ya, orang-orang mandi di sungai?” tanyaku.
“Iya, orang-orang sini masih suka mandi di sungai, cuci baju juga,” jawabnya.
“Kamu juga mandi di sungai?” tanyaku.
“Enggak lah, kenapa? kamu mau lihat, aku mandi di sungai? Haha.” Nita orangnya suka bercanda seperti bapaknya kayaknya.
“Jangan. Kalau kamu jangan mandi di sungai. Tapi kalau kamu mau mandi di sungai, tolong kasih tahu aku. Haha,” aku ikut bercanda.
“Dasar, enak aja….” Nita menepuk pundak ku lagi.
Hari ini, cukup di lahan ini saja aku melakukan penelitiannya. Dilanjut di tempat lainnya besok.
“Besok aku bisanya agak siang ya,” ucap Nita.
“Iya Nit, aku ngikut kamu jam berapa bisanya,” jawabku.
Kami pun segera pulang. Kuantar Nita ke rumahnya dulu. ***
ns 15.158.61.6da2