
Aku bergegas pergi, meninggalkan Glend sendirian di teras minimarket. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi oleh percakapan tadi. Kok bisa Glend suami Nela yang terlihat begitu sopan bisa sampai seperti itu.
***
431Please respect copyright.PENANANA7jSdx6W4
POV Farid.
Aku merasa telah berada di jalur yang tepat untuk semakin dekat dengan Sarah. Hanya selangkah lagi, aku yakin bisa menjadikan teman kantorku ini sebagai wanita idaman lain dalam hidupku. Sarah, wanita cantik berusia 23 tahun, adalah pegawai baru yang bergabung di kantor kami sekitar lima bulan lalu. Awalnya, aku hanya menganggapnya sebagai rekan kerja biasa, tapi semakin hari, perhatianku padanya semakin sulit terbendung. Senyumnya yang menawan, caranya berbicara yang lembut, dan aura youthful-nya membuatku terpikat tanpa kusadari.
Namun, di sisi lain, ada Arini, istriku yang telah setia mendampingiku selama lima tahun pernikahan kami. Arini, yang kini berusia 31 tahun, adalah wanita cantik, bijaksana, dan penuh kasih sayang. Usianya memang delapan tahun lebih tua dari Sarah, dan meskipun kecantikannya tak pernah pudar, perbedaan itu kadang membuatku merasa ada sesuatu yang kurang. Aku sendiri berusia 35 tahun, berada di tengah-tengah antara keduanya. Arini telah memberikanku segalanya—cinta, pengertian, dan kesetiaan. Tapi, setelah lima tahun menikah, kami belum juga dikaruniai anak. Hal itu semakin menambah beban dalam hubungan kami, dan tanpa sadar, aku mulai mencari pelarian.
Aku tahu, pikiran untuk berselingkuh adalah hal yang salah. Tapi, rasa jenuh dan keinginan untuk merasakan sesuatu yang baru seolah menguasai diriku. Sarah, dengan energinya yang segar dan keceriaannya, seakan menjadi oase di tengah gurun monoton yang sedang kujalani. Aku mulai membayangkan bagaimana hidupku bisa lebih berwarna bersamanya. Tapi, di sudut hati kecilku, aku juga merasa bersalah. Arini telah memberikanku segalanya—cinta, pengertian, dan kesetiaan. Namun, apakah itu cukup untuk membuatku bertahan?
Aku terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ada Sarah yang membuatku merasa hidup kembali, dan di sisi lain, ada Arini yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Aku tahu, apapun pilihanku nanti, akan ada konsekuensi yang harus kuhadapi. Tapi, bisakah aku mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar kebahagiaan sesaat? Atau, akankah aku mampu menahan diri dan memperbaiki hubunganku dengan Arini sebelum semuanya terlambat?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal yang pasti, aku sedang berada di persimpangan jalan, dan setiap langkah yang kuambil akan menentukan masa depanku—dan mungkin, masa depan orang-orang yang kucintai.
***
Hari ini, aku sedang menemui klien kantor di sebuah kafe yang cukup terkenal di pusat kota. Suasana santai, aroma kopi yang menggugah, dan obrolan serius tentang proyek baru membuatku fokus sepenuhnya pada pertemuan ini. Namun, tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku mengangkatnya dan melihat pesan dari rekan kantor,
Rudi: "Bro, hati-hati. Arini baru saja datang ke kantor dan langsung menemui Sarah. Kayaknya ada masalah serius nih."
Aku langsung kaget. Jantungku berdebar kencang, dan tangan gemetar memegang ponsel. Apa yang terjadi? Kenapa Arini datang ke kantor? Dan kenapa dia menemui Sarah? Apa dia mengetahui bahwa aku dekat dengan Sarah akhir-akhir ini? Dia tahu dari mana? Pikiranku langsung melayang ke percakapan-percakapan WhatsApp-ku dengan Sarah selama ini. Memang, kami sering bertukar pesan, dan Sarah terkesan manja dalam pesan-pesannya. Tapi, aku yakin tidak ada satu pun pesan yang menjurus ke perselingkuhan. Semua hanya obrolan ringan, candaan, dan sedikit perhatian sebagai rekan kerja.
Aku mencoba menenangkan diri sambil berpura-pura tetap fokus pada klien. Tapi, dalam hati, aku sudah tidak karuan. Apa yang Arini tahu? Apa Sarah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku hingga pertemuan selesai.
Sesampainya di kantor, suasana terasa tegang. Beberapa rekan melirikku dengan tatapan aneh, seolah mereka tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Aku langsung mencari Sarah, tapi ternyata dia sudah pulang lebih awal. Rudi menghampiriku dengan wajah serius.
"Bro, tadi Arini datang dan menemui Sarah. Dia langsung menuju meja Sarah dan mengajaknya bicara di pantry. Kami semua dengar suara mereka yang cukup keras. Kayaknya Arini marah besar," kata Rudi, mencoba menjelaskan situasi.
Aku menghela napas panjang. "Apa yang mereka bicarakan?" tanyaku, mencoba menahan emosi.
"Entahlah, bro. Tapi kayaknya Arini tahu tentang chat-chat kamu dan Sarah. Sarah sempat terlihat panik dan menangis sebelum dia pulang," jawab Rudi.
Aku merasa darahku mendidih. Bagaimana bisa Arini tahu tentang chat kami? Aku kemudian melihat lagi chat-chat aku dengan Sarah. Mungkin dari sudut pandang Arini chat itu membuat dia kesal dan curiga. Aku menyesal tidak menghapus pesan-pesan itu. Tapi aku kesal juga dengan istriku yang diam-diam membuka ponsel aku. Kalau saja dia tidak iseng melakukannya semua akan baik-baik saja.
****
Aku tiba di rumah saat matahari sudah terbenam. Tiba di rumah aku membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Dengan emosi aku melangkah masuk ke dalam rumah dan melihat Arini duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah pucat.
"Kamu ke kantor tadi?" Ucap aku menahan amarah. "Kamu nemuin Sarah?"
"Iya. Dan aku rasa aku punya hak untuk—" Sahut Arini berusaha tenang meski terdengar ada getaran dalam suaranya.
"HAK APA?" Aku membentak istriku dan memotong kata-katanya. "Hak untuk mempermalukan aku di depan semua orang kantor? Untuk membuat aku jadi bahan gossip di kantor? Kamu tahu tidak sekarang semua orang ngomongin aku?"
"Jadi kamu lebih peduli sama gossip kantor dibanding perasaan istrimu?" Istriku menjawab dengan suara bergetar. "Aku lihat chat kalian, Mas. Aku lihat bagaimana dia bermanja-manja ama kamu, minta ini itu, pakai emoticon hati segala. Dan kamu... kamu selalu ada buat dia!"
"Ya Allah..." Aku mengusap wajahku dengan kasar. "Itu cuma chat biasa! Dia junior, wajar kalau minta bantuan. Kamu yang terlalu sensitif, terlalu cemburuan!"
Mata Arini terlihat mulai basah. "Jadi aku yang salah? Aku yang berlebihan? Coba kamu pikir, Mas, kalau ada laki-laki yang chat ke aku seperti itu, kamu bakal diam aja?"
"Ini beda! Ini konteks kerja!" Sahut aku dengan keras.
"Konteks kerja tidak perlu pakai emoticon hati! Tidak perlu manja-manjaan! Dan yang paling penting, kamu harusnya sadar dan menolak saat dia mulai kelewatan!"
"Cukup!" Farid menggebrak meja. "Kamu sudah bikin malu aku. Sarah sampai nangis di kantor. Sekarang semua orang mikir aku ada affair sama dia. Kamu puas?"
Aku benar-benar kesal. Arini membuyarkan semuanya. Padahal kalau saja dia tidak membaca chat aku dan tidak datang ke kantor semua akan baik-baik saja.
Arini istriku bangkit dan berjalan ke kamar. Dia keluar lagi dengan membawa tas.
"Mau kemana kamu?" Aku berdiri di ambang pintu.
"Ke rumah Nela. Aku butuh waktu sendiri," jawab Arini sambil mengusap air mata. "Kalau memang aku yang salah, yang berlebihan... mungkin kita sama-sama butuh waktu untuk berpikir."
"Arini..." nada suaraku melunak.
"Jangan hubungi aku dulu," potong Arini sebelum aku melanjutkan kata-kata.
Arini melangkah melewati aku. "Kalau memang Sarah lebih penting dari perasaan istrimu, mungkin kamu perlu evaluasi lagi pernikahan kita."
431Please respect copyright.PENANAxcgdk8cdxn