Malam baru saja turun, menggantikan sore yang panjang dengan udara yang sedikit lebih dingin. Di luar, suara kendaraan terdengar samar-samar di kejauhan, sementara lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Namun, di dalam rumah yang cukup besar itu, suasana tampak lebih berat dari biasanya.
Naila baru saja masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu, matanya menatap kosong ke ruang tamu yang tampak sunyi. Tangannya menggenggam tas tangan dengan erat, sedikit gemetar. Nafasnya terasa berat, namun dia berusaha untuk menenangkan diri, berusaha menutup rapat-rapat segala perasaan yang mulai meluap di dalam dadanya.
Pintu rumah yang baru saja ia tutup terdengar berderit perlahan, mengakhiri langkahnya yang terhenti di ambang pintu. Naila menghela nafas panjang, menarik kembali penampilannya yang sempurna, rambutnya yang tertutup rapat, wajah yang selalu tampak penuh dengan senyum, semua itu terasa begitu rapuh saat ini. Dia tahu, hari ini, dia kembali membuat pilihan yang salah. Namun di antara penyesalan yang mencekam, ada perasaan yang tak bisa ia hapuskan.
Dia berjalan pelan, sepatu hak tinggi yang memantulkan suara nyaris tak terdengar di lantai. Masing-masing langkahnya terasa semakin berat, semakin menekan, seperti ada sesuatu yang tak bisa dilepaskan. Setiap inci rumahnya terasa asing, meskipun ini adalah tempat yang sama yang ia tinggali selama bertahun-tahun bersama Hanan. Pintu ruang tamu yang tertutup rapat, lampu yang menyala dengan hangat, semuanya seolah menatapnya dengan pertanyaan yang tak terucapkan.
Naila berhenti di depan cermin besar yang terletak di salah satu sudut ruang tamu. Ia menatap pantulan dirinya sendiri, melihat betapa tak terjangkaunya wajah yang biasa ia lihat penuh percaya diri. Kini, ada sesuatu yang lain, sebuah kerisauan yang dalam, sebuah kegelisahan yang sulit dijelaskan. Matanya menatap lekat, seolah bertanya pada dirinya sendiri,
"Apa yang sudah aku lakukan?"
Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, mengetuk kaca dengan lembut. Naila menutup matanya sejenak, seakan ingin menepis bayang-bayang yang baru saja ia tinggalkan di luar sana, di kamar hotel tempat pertemuannya dengan Arga, lelaki yang selama ini menjadi rahasia kecil dalam hidupnya. Lelaki yang seharusnya tidak pernah ada di dunia ini, namun entah bagaimana bisa hadir dan mengambil sebagian besar pikirannya.
Arga bukan orang yang pertama kali ia temui. Dia tahu itu. Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali, seolah untuk sesaat, dia bisa lepas dari beban yang selama ini menghimpit. Suami yang tak pernah cukup mengerti, kehidupan yang monoton, dan rutinitas yang membosankan. Semua itu memudar setiap kali ia bersama Arga. Dia merasa dilihat, dihargai, diinginkan.
Tapi sekarang, di hadapan cermin itu, semua perasaan itu terasa hampa. Naila menelan ludah, seolah ingin menghilangkan rasa pahit yang masih tersisa di tenggorokannya. Ia meraih segelas air di meja sampingnya dan meminumnya, namun rasa cemas tetap mengisi rongga dadanya. Tak lama, wanita cantik itu berjalan mendekati kamarnya, membuka pintu dan masuk.
Kamar itu sunyi, hanya ada suara detak jam dinding yang lembut dan hembusan angin malam yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Di luar, langit tampak gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang memantul di permukaan tanah. Udara malam terasa sejuk karena rembesan air hujan, namun di dalam kamar itu, Naila merasa panas yang begitu berat. Begitu banyak perasaan yang bergejolak dalam dirinya, seperti badai yang datang dengan tiba-tiba.
73Please respect copyright.PENANAPe6JPhKM2V
Naila berdiri di depan cermin besar yang terletak di sudut kamarnya, menatap dirinya sendiri dengan tatapan kosong. Wajah cantiknya yang biasanya tampak penuh dengan kedamaian kini terasa jauh lebih rapuh. Ia memandang diri sendiri, mengenakan hijab yang rapi dan gaun panjang yang selalu dia kenakan saat keluar dari rumah. Namun, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang sangat dalam. Ada perasaan bersalah yang mulai menggerogoti, meresap ke dalam jiwa, dan tidak bisa ia hindari.
Dengan langkah pelan, Naila mendekati lemari kecil tempat ia menyimpan perlengkapan mandi. Ia membuka pintu lemari, mengambil handuk lembut, dan pergi menuju kamar mandi yang ada di pojok ruangan. Cahaya lampu kamar mandi yang temaram menerangi wajahnya yang pucat. Perlahan, Naila melepaskan hijab yang selama ini ia kenakan dengan penuh kehati-hatian, seakan-akan takut ada bagian dirinya yang terbuka begitu saja.
Tubuhnya tampak lelah, seolah seluruh beban hidupnya tertumpu di pundak. Saat ia membuka keran air, suara gemericik air yang jatuh ke dalam bak mandi seolah menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan malam itu. Naila merendam wajahnya dalam air, mencoba membersihkan kotoran yang ada di luar, meskipun ia tahu, yang lebih penting adalah membersihkan hati dan pikirannya.
Sesaat, ia menutup matanya. Air dingin membasahi wajahnya, seakan ingin menenangkan jiwa yang sedang terluka. Dalam hening itu, kenangan akan Arga datang menyusup. Arga, pria muda yang telah menghancurkan ketenangannya, yang telah menariknya ke dalam dunia yang gelap, penuh dengan kebohongan dan penyesalan. Hubungan yang salah, yang ia tahu sejak awal tidak akan membawa kebahagiaan, namun entah mengapa, ia terus mengikutinya. Bahkan tadi dia juga menyetujui permintaan Arga untuk memuaskan fantasi sex pria itu. Naila bersedia disetubuhi oleh pria lain lagi.
Naila menarik napas panjang, menatap wajahnya yang basah di cermin kamar mandi. Di matanya, ada kekosongan yang dalam. Betapa mudahnya ia terjebak dalam permainan yang tak pernah ia inginkan, betapa rapuhnya hatinya yang selama ini tampak begitu teguh. Ia sadar, kebersihan fisik bukanlah yang ia butuhkan saat ini. Yang ia butuhkan adalah pembersihan jiwa, sebuah pengampunan yang tulus, baik dari Tuhan maupun dari dirinya sendiri.
Setelah selesai membersihkan diri, Naila keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian bersih yang lebih longgar, lebih nyaman. Ia kemudian berjalan perlahan menuju tempat sholat di sudut kamar, sebuah sajadah yang sudah lama ia bentangkan setiap kali ingin menghadap Tuhan. Suasana kamar semakin tenang. Naila duduk sejenak di atas sajadah, mengatur napasnya, mencoba meredakan getaran di dalam dada.
Dengan perlahan, ia mengangkat kedua tangan, memulai sholatnya. Setiap gerakan terasa berat, namun ia tahu, ini adalah langkah pertama menuju kedamaian. Naila menunaikan sholat dengan khusyuk, menundukkan kepala, memohon ampunan. Rasa sesal yang mendalam membuatnya ingin tenggelam dalam setiap doa yang ia panjatkan. Dalam keheningan itu, ia berusaha menenangkan pikirannya, membiarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya mengalir seperti air yang menenangkan jiwa.
Sholat itu terasa panjang. Setiap gerakan, setiap bacaan, terasa semakin berarti. Seolah-olah ia tengah berbicara langsung dengan Tuhan, dengan hati yang penuh penyesalan, dengan jiwa yang merasa hancur. Setelah selesai, ia duduk bersimpuh, menundukkan kepala, dan mulai berdoa.
"Ya Allah, ampuni aku. Aku tahu aku telah salah. Aku telah mengkhianati cinta yang telah Engkau berikan, aku telah mengkhianati kepercayaan orang yang mencintaiku. Aku telah terjebak dalam kebohongan dan dosa yang tidak seharusnya aku lakukan. Ampuni aku, Ya Allah. Aku tidak tahu bagaimana cara menebus kesalahanku, tapi aku tahu hanya pada-Mu aku bisa mencari pengampunan."
Air mata mulai menetes di pipinya, mengalir perlahan, namun kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan karena rasa penyesalan yang begitu dalam. Ia merasa hina, merasa kotor, dan merasa tak pantas. Namun di saat yang sama, ada harapan yang mulai muncul dalam hatinya harapan bahwa Tuhan masih memberi kesempatan baginya untuk kembali.
"Ya Allah, aku tahu aku tak pantas untuk meminta belas kasih-Mu, tapi aku memohon dengan hati yang penuh penyesalan. Hapuskan dosa-dosaku, ampuni semua kesalahan yang telah aku perbuat. Aku ingin kembali, Ya Allah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Berikan aku kekuatan untuk melawan godaan dan kebohongan, untuk kembali kepada jalan yang Engkau ridhoi."
Setelah beberapa lama, Naila mengangkat tangannya, memanjatkan doa terakhir sebelum menutup sesi sholatnya. Kali ini, hatinya terasa sedikit lebih ringan, meskipun ia tahu perjalanan untuk benar-benar melepaskan diri dari bayang-bayang kesalahannya masih panjang. Tapi setidaknya, ia merasa ada secercah harapan.
Usai doa, ia berdiri perlahan, menatap ke arah sajadah yang kini terasa seperti tempat perlindungan terakhirnya. Ia tahu, perasaan bersalah itu tak akan hilang dengan cepat, namun ia juga tahu, hanya dengan mendekatkan diri kepada Tuhanlah ia bisa menemukan kedamaian yang sejati.
73Please respect copyright.PENANAtXigwV1CIN
***
73Please respect copyright.PENANAoHf6qTMciP
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa berbeda, ada kegelisahan yang menggelayuti udara, meskipun tidak ada kata yang diucapkan. Naila baru saja selesai sholat, tubuhnya masih terasa ringan setelah berdoa dengan sepenuh hati, berharap bisa menemukan ketenangan yang sering ia cari di dalam doa. Namun, seperti yang sering terjadi, malam ini ada sesuatu yang tidak biasa.
Hanya suara detak jam dinding yang memenuhi ruang tamu, begitu juga suara langkah kaki Hanan, suaminya, yang terdengar dari arah pintu depan. Naila yang sedang duduk di atas sajadah, merapikan jilbabnya, mendengar derap langkah itu, langkah yang tidak biasa, terdengar lebih berat, lebih terseok-seok. Pintu depan terbuka dengan suara berderit yang biasanya tidak begitu keras. Naila bergegas keluar dari kamar, matanya yang biasa cerah kini sedikit cemas.
Begitu Hanan masuk ke dalam rumah, Naila langsung merasakan ada yang salah. Suaminya itu terlihat berbeda, pandangannya sayu, wajahnya memerah, dan gerak-geriknya tampak goyah, seakan-akan tubuhnya sedang berjuang untuk berdiri tegak. Naila segera menghampiri, hatinya berdebar, ada kekhawatiran yang tiba-tiba menyergapnya.
"Kamu kenapa? Kamu kenapa, sayang?"
Hanan hanya tersenyum tipis, namun senyum itu tampak dipaksakan. Nafasnya terengah-engah, dan di matanya ada kilatan yang aneh, sesuatu yang biasanya tidak pernah terlihat. Naila mendekat, mengulurkan tangan untuk menopang suaminya, namun Hanan dengan cepat menghindar, berjalan dengan langkah yang terhuyung-huyung.
"Aku baik-baik saja, sayang... cuma... sedikit capek."
"Aku cuma... minum sedikit."
Naila menatap Hanan, hatinya semakin berat. Ia tidak bodoh. Ia tahu, suaminya tidak pernah pulang dalam keadaan seperti ini. Hanan, yang selalu terlihat tenang dan terkendali, yang selalu pulang ke rumah dengan wajah yang penuh kedamaian, ini adalah pertama kalinya ia melihat Hanan dalam keadaan mabuk.
"Minum sedikit? Sayang, kamu kenapa? Ini bukan kamu... kamu nggak pernah seperti ini." Naila berusaha menekan suaranya serendah mungkin meskipun dadanya berkecamuk bukan main.
Hanan terdiam sejenak, tatapannya kosong, lalu dia menggelengkan kepala, seolah ingin menghindari kenyataan yang sedang dihadapi. Naila semakin cemas, matanya berkilat penuh kekhawatiran.
"Aku... cuma... aku cuma butuh sedikit pelarian. Kamu nggak ngerti, kan? Semuanya jadi berat sekarang... Kadang aku cuma butuh... sesuatu untuk membuatnya hilang."
Naila terdiam, mendengarkan kata-kata suaminya yang terdengar penuh kepahitan. Hatinya terasa dipukul keras. Perasaan bersalah karena telah mengkhianati Hanan kembali berkecamuk, tapi di sisi lain ada alasan pembenar dari semua kesalahannya itu. Arga tentu jadi sosok yang lebih baik dibanding Hanan yang pemabuk.
"Ada apa sebenarnya sayang? Kamu bisa cerita ke aku.”
Namun, Hanan hanya terdiam, tidak menjawab. Wajahnya mulai terlihat semakin lelah, dan matanya mulai terpejam sejenak. Naila merasa hatinya semakin teriris, ada perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan kecewa, bingung, dan khawatir yang datang begitu cepat. Ini bukan Hanan yang ia kenal. Suaminya yang biasanya penuh cinta dan perhatian, yang selalu melindunginya, kini terlihat begitu rapuh.
"Hanan, tolong... jangan seperti ini. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Kita harus bicara, kita harus selesaikan bersama." Suara Naila bergetar.
Hanan membuka matanya perlahan, namun pandangannya kosong. Dia terhuyung, hampir terjatuh ke sofa, dan Naila dengan sigap menahannya. Dia merasa berat hati, tak tahu harus mulai dari mana. Tiba-tiba, semua perasaan yang telah ia pendam selama ini muncul begitu saja perasaan yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Sejak beberapa bulan terakhir, Hanan memang tampak semakin jauh. Tidak ada lagi perhatian yang sama, tidak ada lagi percakapan hangat yang mereka biasa lakukan setiap malam.
Hanan menatap Naila untuk beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya. Wajahnya tampak dipenuhi kebingungan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya, namun ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.
"Aku... aku tidak tahu lagi, Naila... Aku sudah terlalu capek... terlalu banyak yang harus dipikirkan... aku nggak tahu harus bagaimana lagi."
Di luar hujan semakin deras, Naila akhirnya berdiri. Sejenak dia menatap miris Hanan yang telah kehilangan kesadaran. Apakah ini jawaban dari doanya tadi? Perasaan bersalah karena mengkhianati Hanan kini dijawab dengan perubahan perangai drastis dari sang suami. Naila melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan Hanan seorang diri di sofa ruang tamu.
73Please respect copyright.PENANAT5NSKI06na
BERSAMBUNG
Cerita "SETUBUHI RAGA ISTRIKU" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan di KLIK INI
ns 15.158.61.20da2