Lorong hotel bintang lima itu tampak lengang, hanya diterangi oleh lampu-lampu dinding yang memancarkan cahaya kuning lembut. Aroma karpet yang bersih bercampur dengan wangi kayu dari perabotan di sepanjang koridor. Dalam suasana senyap itu, suara langkah kaki seorang wanita terdengar pelan namun tegas.
Alih-alih mendatangi kampus sebagaimana seperti yang dia bilang pada Hanan jika hari ini ada jadwal kelas pagi, Naila justru mengikuti insting kebinalannya, menemui Arga, pria yang usianya jauh lebih muda darinya. Pria yang dulu adalah salah satu mahasiswanya. Pria muda yang selama enam bulan terakhir mengisi relung hati Naila dengan bunga-bunga cinta, berbagi tempat bersama Hanan.
Naila mengenakan hijab berwarna krem yang terbuat dari bahan satin, berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Wajahnya oval sempurna, dihiasi senyum tipis yang memancarkan ketenangan. Sorot matanya tajam, namun menyimpan misteri, seolah ada banyak hal yang dia simpan di dalam hatinya.
Gaun panjangnya yang berwarna pastel mengikuti gerakan tubuhnya dengan anggun, berayun pelan setiap kali ia melangkah. Sebuah tas kecil tergantung di pundaknya, tampak serasi dengan gaya berbusananya yang sederhana namun elegan. Sepatu flat berwarna nude yang dikenakannya nyaris tak bersuara, menambah kesan halus pada setiap langkahnya.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah kartu akses kamar. Jemarinya yang lentik tampak tenang, namun ada sedikit gerakan gelisah yang tidak bisa ia sembunyikan, menggenggam kartu itu lebih erat dari yang seharusnya. Sesekali, ia melirik nomor kamar di dinding, memastikan bahwa ia berjalan ke arah yang benar.
Ketika akhirnya ia tiba di depan sebuah pintu dengan nomor 1024, ia berhenti sejenak. Pandangannya jatuh pada nomor itu, lalu berpindah ke kartu akses di tangannya. Dalam keheningan koridor, napasnya terdengar teratur, namun ada tanda-tanda bahwa ia sedang menenangkan dirinya.
Perlahan, ia mengangkat tangannya, memasukkan kartu akses ke slot pintu. Lampu hijau di atas gagang pintu menyala, disertai bunyi klik yang lembut. Sebelum membuka pintu, ia menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian atau menenangkan pikirannya dari pergolakan yang tak terlihat.
Dengan gerakan yang hati-hati, ia mendorong pintu dan melangkah masuk, meninggalkan lorong yang kini kembali sunyi seperti sebelumnya. Apa yang menunggunya di dalam kamar itu, hanya dia yang tahu.
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengung samar dari pendingin ruangan yang terpasang di sudut atas. Tirai jendela hotel setengah tertutup, membiarkan bias cahaya dari luar menyelinap masuk, memberikan penerangan lembut di tengah redupnya ruangan. Bau khas pengharum ruangan, campuran vanila dan kayu manis, tercium di udara.
Naila berdiri di dekat pintu, masih menggenggam tas kecilnya. Hijabnya yang rapi mulai tampak sedikit kusut setelah perjalanan panjang, tetapi wajahnya tetap memancarkan kecantikan alami. Matanya memindai ruangan dengan waspada, sesekali melirik ke arah pria muda yang duduk di sofa di tengah ruangan. Arga.
Arga tampak santai, meski ada ketegangan yang samar terlihat dari posisi duduknya. Kemejanya tergulung hingga siku, dasinya terlepas dan tergeletak di meja kecil di sampingnya. Ia mengangkat pandangannya dari ponselnya, bertemu mata dengan Naila yang baru saja masuk.
"Akhirnya kamu datang juga." Katanya singkat, suaranya rendah, hampir berbisik.
Naila mengangguk pelan, meletakkan tasnya di meja kecil dekat pintu. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha menutupinya dengan merapikan ujung hijabnya. Langkahnya perlahan saat ia berjalan lebih dekat ke arah pria itu. Ada jarak emosional yang terasa nyata di antara mereka, meskipun hanya beberapa meter yang memisahkan.
Meskipun ini bukan kali pertama mereka bertemu di sebuah kamar hotel tapi tetap saja berhadapan dengan Arga membuat jantung Naila berdegup kencang. Candu asmara berperang dengan rasa bersalah pada Hanan.
"Aku hampir tidak datang, suamiku sedang ada di rumah." Ujar Naila, suaranya bergetar halus.
Arga tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyimpan rasa kemenangan daripada bersalah telah membuat seorang istri mengkhianati suaminya sendiri. Arga bangkit dari sofa, berjalan mendekati Naila.
"Tapi kamu di sini sekarang." Balasnya pelan, seperti mencoba menenangkan suasana.
"Itu yang penting." Naila menunduk, memalingkan pandangannya sejenak.
"Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar." Gumam Naila, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk pria di depannya.
Tangannya meremas sudut hijabnya dengan gelisah. Arga berhenti di hadapannya, menjaga jarak yang sopan, meskipun ketegangan di antara mereka terasa semakin tebal.
"Aku nggak akan maksa kamu." Katanya lembut.
"Kalau kamu mau pergi, pintunya selalu terbuka." Ucapan Arga membuat Naila mendongak, menatapnya dengan mata yang penuh kebimbangan.
"Kamu selalu tahu cara membuat aku merasa bertanggung jawab atas pilihan ini." Ujar Naila, sedikit getir. Arga menghela napas panjang.
"Aku cuma ingin kamu tahu, aku di sini bukan untuk menyakiti kamu."
Naila diam beberapa saat, matanya kembali berkelana ke sekeliling ruangan. Sofa, meja kecil dengan cangkir teh yang belum disentuh, tempat tidur dengan sprei putih yang tampak terlalu rapi, semuanya terasa seperti saksi bisu dari keputusan besar yang sedang bergulat di hatinya.
“Kenapa? Apa ada yang salah?” Arga meraih dagu Naila, tatapan matanya yang tajam namun teduh selalu bisa membuat lumer hati wanita di hadapannya. Naila menggeleng pelan, dia sadar jika pertemuannya dengan Arga akan selalu berakhir dengan ujian syahwat.
Suasana kamar hotel dilingkupi kehangatan dan kesunyian yang mendalam. Lampu kuning redup memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan samar di dinding yang berhias lukisan klasik. Hujan gerimis di luar membuat jendela sedikit berkabut, menghadirkan suasana intim yang sempurna. Arga dan Naila masih berdiri berhadapan. Sang pejantan muda menatap dalam ke mata wanita di hadapannya. Senyuman tipis menghiasi bibir mereka, tetapi lebih dari itu, ada bahasa tak terucapkan yang mengalir di antara mereka.
“Aku tak tahu bagaimana aku bisa begitu beruntung memilikimu.” Bisik Arga dengan suara rendah, hampir seperti rahasia yang hanya untuk mereka berdua. Naila tersenyum, seperti biasa Arga selalu bisa membuat degup jantungnya berirama kencang hanya dengan kata-kata.
“Kamu membuat segalanya terasa sempurna.”
Tanpa berkata-kata lagi, Arga mengangkat tangan untuk menyentuh wajah Naila dengan lembut, ibu jarinya mengusap pipi istri Hanan itu. Ia mendekat, langkahnya perlahan, seperti tidak ingin menghancurkan momen magis yang mereka ciptakan bersama. Naila memejamkan mata, jantungnya berdebar-debar ketika dia merasakan napas Arga mendekat.
Kemudian, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang penuh kehangatan dan kelembutan. Ciuman itu bukan sekadar pertemuan dua insan, tetapi sebuah pengakuan atas perasaan yang begitu dalam, cinta yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Detik-detik terasa melambat, dan dunia di luar kamar seolah lenyap. Yang tersisa hanyalah mereka, tenggelam dalam keintiman yang tabu dan terlarang.
Arga menarik tubuh Naila lebih dekat, lengannya melingkar di pinggangnya, sementara wanita itu membalas pelukan dengan penuh rasa. Di luar hujan ternyata sedang turun, suara tetesan air menjadi latar sempurna untuk momen itu. Ketika mereka akhirnya berpisah, Naila membuka matanya perlahan, wajahnya memerah, tapi matanya bersinar dengan kebahagiaan.
“Aku mencintaimu.” Ucapnya pelan. Arga tersenyum, kemudian mengecup keningnya.
“Dan aku mencintaimu lebih dari yang pernah bisa kubayangkan.”
Perlahan keduanya mendekati sisi ranjang, matanya sayu. Kepala keduanya mendekat dan sepersekian detik kemudian mereka kembali berciuman. Tangan kekar Arga membelai kepala Naila kemudian merayapi pipinya yang merona kemerahan karena menahan nafsu birahi. Arga mengarahkan kepala istri Hanan itu ke arah penisnya yang sudah keras sempurna.
Arga tahu Naila menginginkan untuk mengulum batang kemaluannya sesegera mungkin karena saat berciuman jemarinya sudah begitu aktif menggerayangi area vital itu. Tak mau menunggu lama, duda itu membuka resleting celana, melepaskan celananya di hadapan Naila.
"Wow!" Pekik Naila tertahan setelah melihat penis milik Arga mengacung sempurna.
Perlahan Naila mendekat, dia bersimpuh dibawah tubuh Arga, jari-jarinya mengurut batang penis lalu tanpa perasaan malu lagi mulutnya terbuka dan memulai mengulum serta menjilati batang kejantanan milik Arga.
"Uugghh...Anget banget sayang! Eeemmcchh!" Desis Arga saat Naila mencaplok ujung penisnya dan menghisapnya secara perlahan.
Naila memainkan lidahnya, menjilati pelan kepala penis yang berwarna coklat itu sambil sesekali ujung lidahnya bermain di lubang yang ada di ujung kepala penis hingga membuat Arga mendesis-desis seperti orang kepedasan. Sambil mulut dan tangannya terus bekerja memanjakan penis, mata Naila senantiasa menatap mata Arga.
Sesekali dia melempar senyum manis memberi tanda pada Arga jika mulutnya sedang dipenuhi oleh penis, seolah Naila ingin memberitahu kalau dia begitu menikmati kulumannya pada penis besar milik selingkuhannya itu.
"Mmmmppphhh...Emmppp…" Mulutnya bergumam tertahan layaknya seorang anak kecil yang sedang menikmati sebuah es krim lezat.
Sementara itu, kedua tangan Arga mulai berusaha meremas bongkahan padat payudara Naila yang masih tertutup gaun panjang. Birahi Arga menagih untuk segera menelanjangi tubuh wanita yang bukan muhrimnya itu. Naila bangkit berdiri, tanpa paksaan sedikitpun dia mulai melepas seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya hingga telanjang bulat dan hanya menyisakan hijab yang masih menutupi kepalanya. Arga berkali-kali menelan lidahnya sendiri kala menyaksikan tubuh indah Naila terhampar di hadapannya.
"Emutin lagi Sayang.." Perintah Arga beberapa saat kemudian.
Arga berpindah posisi ke atas ranjang, dengan duduk menempel pada dinding kamar dan kedua paha terbuka lebar, penisnya mengacung sempurna, menantang Naila untuk segera melakukan tugas dengan mulutnya. Naila merayap mendekati tubuh Arga, kembali dibenamkan ujung penis ke dalam mulutnya.
Hisapan lembut disertai jilatan-jilatan nakal lidah pada sekujur batang kemaluan semakin membuat birahi Arga terbakar. Arga benamkan kepala Naila semakin ke bawah, nyaris seluruh batang penisnya terdorong ke dalam mulut istri Hanan itu, Naila tidak protes sama sekali justru hal itu membuatnya semakin bersemangat.
Tidak puas hanya bermain-main dengan bagian batang penis saja, mulutnya lalu bergeser ke bawah menyusuri pangkal penis yang di tumbuhi bulu-bulu tipis. Mulutnya bergerak semakin ke bawah sampai pada buah kemaluan Arga yang menggantung begitu penuh.
"Oouuch...Yaahh bener di situ..Aaachh!!" Desah Arga semakin blingsatan.
Bibirnya kini tidak hanya mencium saja buah zakar Arga, tetapi juga sesekali menyedot kantungnya ke dalam mulutnya hingga membuat pria muda itu merasa ngilu dan tanpa sadar semakin membuka pahanya lebar-lebar agar Naila semakin leluasa memainkan organ vital miliknya. Bahkan tak ada sedikitpun rasa jijik dalam diri Naila ketika tanpa sengaja lidahnya yang menari-nari di selangkangan menyerempet mengenai lubang anus. Naila benar-benar bisa menggunakan mulut dan lidahnya untuk memuaskan Arga.
"Oooohhh....Gila! Enak banget Sayang!" Racau Arga.
Tubuhnya bergetar-getar dalam kenikmatan sambil sesekali kepalanya menengadah memejamkan mata menahan nikmat. Naila kembali melirik selingkuhannya itu dengan tatapan binal seolah memberi tanda jika Arga tidak boleh bermain-main dengannya untuk urusan sex.
Beberapa saat kemudian Arga bangkit dari posisi yang menyender di tembok. Seketika pria itu sudah terduduk dan menjangkau bagian pantat Naila. Batang penisnya terdorong masuk cukup dalam hingga membuat Naila hampir tersedak karena menyentuh rongga kerongkongannya.
“Eeehchhmm!! Uhhgg! Uhhggg!!”
"Eh, sorry Sayang!" Kata Arga saat menyadari Naila terbatuk-batuk.
Tapi dengan sekuat tenaga Naila tak mau melepas kulumannya pada batang penis Arga , air matanya bahkan sedikit menetes karena menahan diri untuk tidak tersedak oleh batang penis yang besar itu.
"Mmmmpp.. Emmmphhhh...," Gumam Naila tertahan.
Arga lalu meraih paha dalam Naila dengan tangan dan membungkukkan badan menuju ke arah selangkangan wanita sintal itu. Posisi merekapun seketika menjadi berubah miring, saling berhadapan-hadapan di atas kasur namun dengan letak kepala yang berada di selangkangan masing-masing. Tanpa mengeluarkan kata-kata, Arga mengalungkan tangan pada bagian pantat Naila, pria itu membentangkan kedua bongkahan daging semok Naila dengan lebar, lalu lidahnya mulai bekerja menjilat dan melumat gundukan kemaluan ibu kandung Yoga itu.
"Ooouuchhhhmpppp....Fuck!! Sayang!!" Naila mulai mendesah, wanita cantik itu semakin gelagapan karena merasa kegelian di selangkangan sementara mulutnya tersumpal batang penis.
Naila ikut menyedot batang penis Arga disaat yang bersamaan pria itu juga menyedot dan menjilat vaginanya. Mereka saling menjilat memberi kenikmatan pada kemaluan masing-masing dengan posisi saling mengangkang di wajah masing-masing.
"Ooohhh! Sayang..Anjing ngilu banget sumpah! " Ucap Naila melepas kuluman di penis Arga saat merasakan lidah pria itu yang hangat menerobos masuk ke dalam liang vaginanya.
Sebagai balasan rangsangan, digunakan kedua tangannya untuk mengurut penis dengan kasar. Dengan penuh bernafsu, Naila kembali mengulum penis Arga hingga masuk sedalam mungkin ke dalam mulutnya.
"Ooohhh!! Sayang! Enak banget!" Kata Arga.
Naila sepertinya sangat menyukai batang penis pria itu apalagi saat mulai mengkilat oleh ludahnya sendiri dan begitu licin saat tangannya mengocok maju mundur batang yang sudah begitu menegang dengan amat keras. Naila lagi-lagi menggelinjang liar, saat dengan tiba-tiba jemari Arga mengais-ngais lubang anusnya .
"Emmcchh! Jangnn sayang...Eeemh!!" Protesnya saat ujung jari Arga mencoba menusuk masuk ke dalam lubang anusnya.
Namun belum sempat pikirannya bereaksi terlalu jauh, Naila dibuat melenguh panjang saat merasakan ujung jari Arga yang cukup besar telah tertancap sedikit dalam pada jepitan otot-otot anusnya. Naila tak dapat lagi mencegah tangan nakal Arga untuk mengeksplore anusnya, percayalah wanita cantik ini sudah sangat terangsang.
Apalagi saat lidah Arga masih saja bekerja menjilat dengan rakus seluruh wilayah vaginanya sambil sesekali dia masukkan lidah dalam-dalam ke lubang vaginanya. Yang dapat dilakukan oleh Naila saat itu hanyalah menjerit tertahan sambil terus menyumpal mulutnya dengan batang penis.
"Mmmmpphhh.....Mmmmpppphhh..."
Tubuhnya bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergap. Arga dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil yang berada tepat di atas bibir lubang vagina sambil jari-jari terus menusuk keluar masuk lubang anus Naila. Sedikit demi sedikit, jepitan kuat lubang pantat wanita itu mulai dapat menerima jari Arga masuk untuk lebih dalam lagi. Sesekali Arga membasahi ujung jarinya menggunakan lendir vagina dan kembali menusukkannya ke dalam lubang anus.
Disaat yang bersamaan pula, tubuh Naila mengejang dan kelejotan seperti cacing kepanasan. Lidah Arga mengusap panjang pada bibir vagina, sapuan itupun semakin berulang naik turun menjelajah, sehingga otot-otot pinggul Naila berkedut-kedut dan seakan membersitkan cairan dari dalam vaginanya. Suara dari hisapan mulut Naila pada penis bergema sangat indah bersahutan dengan bunyi kecipak vaginanya yang tengah Arga jilati. Sebentar lagi Naila pasti akan mendapatkan orgasmenya yang pertama.
Naila tersentak, dipegang begitu erat penis Arga dan dikulum sedalam mungkin seolah itu adalah satu-satunya pegangan terakhirnya untuk dapat selamat dari hantaman ombak orgasme besar yang akan melanda tubuhnya. Dibenamkan wajahnya di pangkal penis, lalu beberapa detik kemudian Naila berteriak kencang.
"Oooughh! Aku keluaarrrhh..Anjiinngg!!!"
Teriaknya parau meledak dalam rintihan yang keras dan begitu panjang. Namun seperti tidak terganggu dengan hal tersebut, lidah Arga masih saja bekerja mengorek-ngorek dinding kewanitaan Umi Latifdah saat cairan di dalam sana mengucur cukup deras. Nafas Naila tersenggal hebat, perlahan tubuhnya seperti melemas secara otomatis. Setelah akhirnya puncak kenikmatan itu mereda, Naila mengatur nafas dan memejamkan mata merasai sisa-sisa kenikmatannya. Penis Arga sesekali masih dikulumnya disertai kecupan-kecupan lembut dari bibirnya.
"Enak ya?" Goda Arga sambil tersenyum, pria itu menarik batang penisnya dari dalam mulut Naila kemudian duduk bersila di samping tubuh istri Hanan itu.
"Brengsek banget kamu sayang! Bisa banget bikin Aku lemes cuma pake lidah sama jari doang!" Balas Naila sambil menunjukkan raut wajah sebal dan manja. Arga hanya tersenyum menanggapi protes wanita itu, kemudian perlahan dia kecup kening Naila yang basah dengan peluh.
"Masih kuatkan??"
3831Please respect copyright.PENANAeo8XHBVnN6
BERSAMBUNG
Cerita "SETUBUHI RAGA ISTRIKU" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.48da2