Sementara itu di tempat lain, suasana kafe kecil di sudut kota terasa nyaman dan santai. Meja-meja kayu dengan kursi-kursi warna-warni terhampar di luar, di bawah payung-payung besar yang memberikan perlindungan dari sinar matahari yang hangat. Di dalam kafe, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, menciptakan suasana yang tenang dan mengundang.
Di sudut dekat jendela, Hanan terlihat duduk sendiri, menatap ke luar dengan secangkir kopi hitam di tangannya. Matanya tampak jauh menerawang, tatapannya kosong, seolah-olah baru saja terhempas oleh badai yang tak terduga. Pria berkacamata itu kembali mengingat momen pagi tadi saat tanpa sengaja menguak pengkhianatan Naila yang tak pernah dia bayangkan.
Jantungnya berdebar keras, seperti dipukul bertubi-tubi, sementara pikirannya berputar cepat, mencari penjelasan yang tidak bisa ditemukan. Hanan berdiri dari kursi, mencoba mengatur napasnya yang kini terasa sesak. Matanya tak bisa menahan air mata yang mulai menggenang, tapi ada sesuatu yang lebih kuat menguasai dirinya, amarah yang membakar, kemarahan yang lebih tajam dari sakit hati yang tiba-tiba menghantam.
Setiap kata yang tertulis dalam pesan-pesan itu, setiap praduga akan perselingkuhan istrinya seolah mengiris hatinya lebih dalam. Dia merasa seperti dikhianati di depan matanya sendiri, oleh orang yang selama ini dia anggap sebagai teman hidupnya, yang dia percayai sepenuhnya.
“Bagaimana bisa?” Suara itu keluar dari mulutnya, serak dan tercekat.
Dia hampir tidak mengenali suaranya sendiri. Rasanya seperti ada api yang membara di dalam dirinya, memaksa setiap rasa tenang dan damai untuk lenyap begitu saja. Di luar jendela, hujan mulai turun deras, tapi dalam hatinya, badai lebih besar sedang berlangsung. Hanan kembali duduk, mencoba menguasai dirinya sendiri. Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar. Seorang pria lain masuk, mengenakan jaket denim dan celana panjang kasual. Wajahnya yang cerah terlihat sangat familiar.
“Bro!”
Hanan yang duduk di meja itu terkejut, lalu tersenyum lebar saat melihat sahabat lamanya, Genta. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan pertemuan kali ini terasa istimewa. Genta berjalan cepat ke arah meja, wajahnya dipenuhi senyum lebar.
“Ah, akhirnya kita bisa ngopi bareng lagi!” Katanya sambil duduk di seberang meja, meletakkan tas ranselnya di samping kursi.
Mereka saling berjabat tangan dengan penuh kehangatan, seolah jarak waktu yang lama tidak pernah ada. Hanya ada tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu saja. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang sudah lama tidak dibahas, kenangan lama, apa yang terjadi dalam hidup mereka masing-masing, dan tentu saja, kisah-kisah lucu yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Pagi tadi di tengah kekalutan yang melanda, setelah Naila pergi dari rumah menuju kampus, Hanan menghubungi Genta untuk mengajak bertemu. Hanan butuh teman bertukar pikiran perihal masalah rumah tangganya bersama sang istri. Menurut pria berkacamata itu, Genta lah sosok yang tepat untuk diajak bicara.
“Gimana kabar Naila?” Tanya Genta, sambil menatap Hanan dengan penuh perhatian. Pria yang duduk di depan hanya tersenyum kecut, Genta tau jika ada yang salah dengan sahabatnya itu.
“Bro, ada yang ingin aku ceritakan.”
Hanan akhirnya membuka pembicaraan setelah seorang pelayan membawakan secangkir cappucino untuk Genta, suara seraknya hampir tak terdengar. Ia menatap ke meja, memutar gelas kopi di tangannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Sahabatnya mencondongkan tubuh ke depan, memperhatikan dengan seksama.
“Ada apa Bro? Sepertinya kamu ada masalah berat?” Hanan menarik napas panjang, lalu akhirnya mengangkat kepala, matanya yang biasanya penuh cahaya kini terlihat suram.
“Aku baru tahu sesuatu yang nggak aku duga sama sekali.” Kening Genta mengernyit, rasa penasaran dan khawatir mulai muncul di wajahnya.
“Apa itu? Bro, kamu bisa cerita.” Dengan suara bergetar, Hanan menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semuanya.
“Naila... sepertinya dia selingkuh.” Kata-kata Hanan terlepas begitu saja, seolah-olah dirinya sendiri tidak bisa sepenuhnya mempercayainya. Genta terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan itu.
“Apa? Maksud kamu, dia selingkuh? Dengan siapa?” Hanan menggigit bibir bawahnya, merasakan perasaan pahit yang menyelubungi dirinya.
“Aku nggak tahu dengan siapa, tapi aku nemuin pesan-pesan itu. Chatt mencurigakan yang nggak bisa aku sangkal lagi.” Hanan menunduk, menatap kopi yang sudah hampir habis itu dengan mata yang kosong. Genta mendekat, memperhatikan pria itu dengan penuh empati.
“Bro, aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi kita harus tahu kebenarannya dulu. Apa kamu udah coba ngomong langsung sama Naila?”
Hanan menggeleng lemah, perang batin tengah mencengkram rongga dadanya. Genta kembali diam sejenak, mencoba mencerna semuanya. Lalu dia menghela napas, mencoba memberikan dukungan yang bisa menguatkan temannya.
“Bro, aku tahu ini berat banget buat kamu. Tapi kamu nggak sendirian. Aku ada di sini, kalau kamu butuh apa-apa, ngomong aja.” Hanan mengangguk perlahan, tetapi perasaan marah dan kecewa masih mengguncang hatinya.
“Aku nggak tahu harus gimana. Rasanya kayak aku udah hidup dalam kebohongan selama ini, aku nggak bisa percaya lagi sama dia. Aku nggak tahu kalau ini bisa diperbaiki atau enggak.” Ujar Hanan dengan nada putus asa. Sahabatnya meletakkan tangan di bahunya, memberi sedikit ketenangan.
“Aku paham banget perasaan kamu, bro. Cinta itu bikin kita buta kadang-kadang. Tapi kamu harus berpikir juga, apa kamu mau lanjutkan, atau udah cukup sampai sini? Semua keputusan ada di tanganmu, dan aku yakin kamu bisa nentuin yang terbaik buat dirimu.” Hanan terdiam, matanya yang penuh luka menatap jauh ke depan, mencoba memikirkan jalan keluar.
“Aku nggak tahu, aku benar-benar nggak tahu, tapi aku nggak bisa terima begitu saja. Aku butuh waktu untuk mikir.” Genta mengangguk, memberikan ruang bagi temannya untuk memproses perasaannya.
“Ambil waktu, bro. Jangan terburu-buru. Aku di sini, kapan pun kamu butuh aku.”
“Aku cuma nggak tau gimana caranya bisa hidup tenang lagi setelah ini semua terjadi. Aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Aku butuh jawaban. Aku butuh ketenangan, entah dari mana. Aku udah kehilangan segalanya, bro. Istriku, kepercayaanku, semuanya berantakan karena pengkhianatan itu.” Suara Hanan kembali bergetar.
“Sepertinya aku tau kamu butuh apa saat ini.” Wajah Genta mendadak jadi sumringah, seolah sudah menemukan solusi atas permasalahan rumah tangga Hanan.
“Apa?”
“Hari ini kamu ada waktu sampai malam?” Tanya Genta.
“Ya, aku free.” Jawab Hanan.
“Oke, lebih baik kamu ikut aku sekarang. Aku akan mengajakmu pergi ke tempat yang akan bikin happy!” Tukas Genta antusia.
“Kita mau kemana?” Tanya Hanan penasaran.
“Udah, percaya aja sama aku. Ayok kita cabut sekarang!”
Genta langsung berdiri dari kursi lalu meraih tas ranselnya sebelum kemudian melangkah menuju pintu kafe. Hanan seperti tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Genta. Pria berkacamata itu kemudian mengambil uang dari dompetnya, mengambil dua lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya di atas meja sebagai pembayaran minuman yang dipesannya.
“Ayo bro! Lama amat!” Genta melambaikan tangannya pada Hanan di depan pintu kafe.
2665Please respect copyright.PENANApoD4oznZ7l
***
2665Please respect copyright.PENANAmgUwtbLnSE
Mobil melaju perlahan, melintasi jalan-jalan yang tak terlalu ramai. Sesekali, Hanan memandang keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, meskipun hatinya cemas, dia merasa sedikit lebih ringan dengan kehadiran Genta di sampingnya.
Selang beberapa lama, mobil yang dikendarai oleh Genta memasuki area parkir sebuah hotel mewah di tengah kota. Mobil melaju tenang menuju bagian basement sebelum kemudian berhenti di bagian pojok.
“Kita mau ngapain ke sini?” Tanya Hanan.
“Turun aja dulu bro, ntar juga tau sendiri. Yuk!” Genta langsung melepas seltbeld lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Sekali lagi, Hanan mengikutinya.
Genta berjalan di depan, pria itu melangkah menuju sebuah pintu yang berada di bagian sisi kiri basement. Di sana terlihat dua orang pria berperawakan tinggi besar dengan potongan rambut cepak dan pakaian safari rapi. Salah satu dari mereka langsung menyalami Genta seolah sudah mengenal sangat akrab.
“Tumben mampir siang-siang gini bos?” Sapa petugas yang berjaga di depan pintu itu.
“Iya lagi gabut di kantor, ini temen Gue butuh refreshing juga.” Hanan hanya berusaha memaksakan senyum dan mengangguk ramah pada petugas sangar itu.
“Oke, have fun ya bos.”
Petugas penjaga membuka pintu, Genta dan Hanan langsung masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa langkah, suasana berbeda seketika di rasakan oleh Hanan. Bagian dalam ruangan bersinar dengan gemerlap cahaya warna-warni yang menyelimuti ruangan besar. Suara bass yang menggema dari sistem suara kelas atas memukul dinding-dinding ruang, seolah menembus ke dalam tubuh setiap pengunjung yang hadir.
Lampu neon berputar dengan ritme musik, menciptakan pola cahaya yang bergerak cepat di atas lantai dansa, yang dipenuhi oleh orang-orang yang bergerak mengikuti irama, sebagian terbenam dalam kegembiraan, sebagian tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Di tengah-tengah keramaian, bar panjang yang terbuat dari marmer hitam mengkilap menawarkan berbagai macam minuman berkelas, dengan bartender yang terampil mencampur koktail dengan gerakan cepat dan penuh gaya. Botol-botol berkilauan dengan cahaya lampu, sementara para pengunjung memesan minuman mereka dengan wajah penuh harapan akan sebuah hari yang tak terlupakan.
Di sisi ruangan, sofa-sofa kulit hitam yang mewah terletak di bawah lampu-lampu gantung kristal besar yang memantulkan cahaya kemerahan. Beberapa kelompok orang duduk bersantai, berbicara dengan suara rendah namun penuh tawa, sementara secangkir minuman beralkohol berkilauan di tangan mereka. Suara gelas yang saling bersentuhan terdengar nyaring, menjadi bagian dari melodi klub yang hidup.
Lantai dansa yang luas dipenuhi dengan orang-orang yang bergerak mengikuti ketukan musik elektronik yang memompa adrenalin. Tarian mereka seolah-olah menghilangkan semua kekhawatiran dan batasan, meninggalkan hanya kebebasan dalam setiap gerakan. Pakaian yang mencolok dan penuh warna bersinar di bawah lampu yang terus bergerak, seakan memperlihatkan seberapa hidupnya atmosfer hari ini.
Di atas panggung, DJ tampak seperti seorang komandan yang menguasai seluruh arena. Dengan headphone besar di telinganya, ia mengendalikan aliran musik yang tidak pernah berhenti, mengatur tempo dan nada, memastikan setiap pengunjung terus tenggelam dalam gelombang suara. Sesekali, dia mengangkat tangannya, mengundang sorakan dari kerumunan yang semakin terlarut dalam alunan musik.
Penuh dengan energi, klub ini memancarkan aura kemewahan yang tak terbantahkan. Semua orang di dalamnya seolah bisa melupakan dunia luar, terhanyut dalam pengalaman yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini. Di sudut-sudut gelap, ada mereka yang berbincang serius, sementara di meja-meja VIP, sekelompok orang menikmati privasi mereka, memesan botol champagne dengan kemewahan yang terlihat jelas. Layanan kelas atas dan suasana mewah mengisi setiap sudut klub, menciptakan dunia yang berbeda, di mana hanya keceriaan, pertemuan, dan kebebasan yang berbicara.
“Aku tau kamu punya banyak pertanyaan sekarang. Nanti aku akan jelasin, sekarang kita masuk ke sana dulu.”
Genta menunjuk sebuah pintu dengan tulisan VVIP di bagian atasnya. Pria bertubuh sedikit tambun itu melangkah tenang menembus kerumunan orang di bagian tengah. Hanan yang masih bingung mengekor di belakangnya.
2665Please respect copyright.PENANAyvx8my8gW3
BERSAMBUNG
Cerita "SETUBUHI RAGA ISTRIKU" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2