Aku terkesiap, pandanganku yang pertama buram perlahan-lahan semakin jelas. Aku dapat melihat seorang laki-laki yang berdiri dengan tatapannya hangat memandangku. Lelaki berkacamata itu memakai setelan putih dengan kerah kemeja yang berantakan. Aku melihat sekeliling dan mendapati diriku di dalam ruangan mirip ruang rawat inap. Sejak kapan aku sakit?.
Pria di hadapanku ini bersenyum dan bertanya, “Apa badanmu terasa sakit?.”
Aku tidak langsung menjawab, aku kemudian memandang sekelilingku kembali seraya mengingat apa yang sudah terjadi. “Aku dimana? Mengapa aku ada di sini?”
“Di ruanganku. Sepertinya kamu kelelahan dan imun di tubuhmu cukup lemah, makanya kamu pingsan”.
“Oh ya? Aku pingsan cuma sebentar kan?”
“Iya, tepatnya dua hari” senyuman pria itu membuatku risih.
“Makanlah dulu, setidaknya ini bisa mengisi tenagamu.”
“Iya,” aku mengatakannya sambil melihat meja di sebelah tempat tidurku yang penuh dengan nampan berisi makanan. Aku mengunyah cepat makanan itu, rasanya lapar sekali. Setelah makan, aku bergerak karena ini ke kamar mandi. Saat aku menurunkan kakiku, aku merasa berat seakan-akan ada yang menahan kakiku. Yang benar saja, kakiku diborgol dengan kait yang berikatan pada jeruji besi tempat tidurku. Sekarang aku dianggap apa? Aku merasa bukan manusia lagi.
Kemudian seorang suster masuk ke ruangan dan melihatku sedang kesulitan menyeret kakiku. Suster itu mengaduh lalu membuka borgol pada kakiku. Dia menuntunku dnegan sabar menuju kamar mandi. Tatapan yang dia berikan adalah bentuk rasa kasihan. Apa sekarang orang-orang akan menganggapku seperti kucing liar buta yang butuh kasih sayang?. Tetapi aku tidak membenci sifat suster itu. Maksudku, sepertinya dia sudah berusaha untuk menunjukkan sisi terbaiknya di hadapanku. Aku kembali membaringkan tubuh dan menatap langit-langit ruangan serba putih ini. Semakin lama bayangan langit-langit ruangan bergelombang dengan sendirinya. Setitik saja air jatuh, semua bayangan itu langsung menghilang.
Aku bertemu bunda. Gaun putih seperti biasa. Duduk di sampingku, mengelus kepalaku. Menatapku penuh kasih sayang. “Ra, kamu itu permata bunda, berharga sekali. Kamu tidak salah, yang salah itu bunda. Bunda hanya ingin kamu bahagia.” Aku menangis, “Tidak bunda, bunda ga salah.” Benar, semuanya sudah hancur. Diriku, keluargaku, aku bahkan tidak dapat membayangkan masa depan yang aku impikan.
Aku lebih suka mendengarkan daripada berbicara, karena akan sangat menyakitkan ketika berbicara tetapi tidak didengar.
221Please respect copyright.PENANA2QcPJkeKrg
Aku membuka mataku gusar, aku bermimpi bunda untuk kesekian kalinya. Kemudian lelaki berkacamata masuk dengan map-map yang ada di tangannya. “Sudah bangun? Gara nanti ada pengunjung yang bakal nemuin Gara sekitar jam dua.” Aku merasa aneh dan bertanya lagi “Siapa dok?” dia tersenyum ke arah map-map yang sedang dia rapikan dan berkata lagi “Nanti juga bakal tau”.
Pukul 13.47, perasaanku semakin gelisah. Apa polisi akan menangkapku lagi?. Aku jadi ingin berdoa kepada Tuhan agar berbaik hati membiarkan aku hidup lebih lama, tetapi aku ragu apakah aku akan didengar atau tidak. Inilah alasanku mengapa memiliki circle pergaulan yang tipis. Aku cenderung pendiam. Walau aku sebenarnya tidak ingin juga seperti itu. Aku lebih sering mendengarkan seseorang daripada berbicara kepadanya. Karena ketika aku berbicara sering sekali tidak didengar. Itu membuat hatiku sakit. Aku lebih memilih tidak bercerita apapun agar aku tetap baik-baik saja. Setiap aku berbicara, aku selalu memprediksi apa respon dari lawan bicaraku.
Tok.. tok..
Ganggang perak pada pintu itu tampak bergerak. Seseorang akan masuk, pikirku. Seketika aku reflek berdiri mencoba melihat sekitar, kira-kira dimana aku seharusnya bersembunyi. Namun aku yang lambat ini akhirnya tidak bisa bergerak. Mengenaskan. Lalu tatapan kami bertemu, aku ketika melihat Zeno berdiri sekitar lima puluh metr dariku merasa terguncang. Dia?. Mengapa dia datang ke sini. Aku tidak ingin lagi berurusan dengannya. Ketika dia melangkahkan kakinya masuk, aku seakan bertekuk lutut.
“Apa yang kau lakukan di bawah sana adikku?,” aku melihatnya dari tempat aku terduduk, matanya semyumannya seperti ingin menelanku hidup-hidup. Senyuman itu, adalah senyuman yang paling tidak inginku lihat. “Berdirilah,” dia berkata lagi, terlihat santai namun bagai perintah yang aku hanya sanggup mengatakan iya.
Aku kemudian berdiri, melangkah mundur sedikit demi sedikit. Zeno masih menatapku lurus, matanya seakan menantiku untuk berkata tentang sesuatu.”Ra, selama tinggal dengan Pak Gema dan Buk Orlin, apa kau merasa bahagia adikku?”
Aku terkejut dan menatapnya lamat-lamat. Aku tidak pernah ditanyai pertanyaan yang begitu asing. Apa aku bahagia? Aku tidak tahu arti kata bahagia yang sebenarnya, lalu bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan tidak pernah melayangkan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Aku hanya bisa terdiam dan berharap Zeno menjelaskan lagi apa yang dia maksud.
“Orlin ibumu. Bagaimana sikapnya padamu?”
“Ibunda adalah ibu terbaik”
“Apa dia pernah menyakitimu?”
“Tidak”
“Lalu mengapa kau membunuhnya?”
“Ha?!” aku masih tidak mengerti. Apa Zeno ingin aku menjadi seorang pembunuh?.
Tiba-tiba dokter berkacamata itu menginterupsi percakapan kami.
“Apa Gara sering bermimpi buruk?”
“Iya, sebelum bunda pergi aku kadang-kadang bermimpi buruk. Setelah bunda pergi, aku semakin sering mimpi buruk.”
“Menurut analisis tim kami, Gara menderita psikosis. Kami memutuskan untuk melakukan psikoterapi buat Gara” dokter itu menjelaskan tetapi aku tidak merasa menderita apapun. Aku hanya mengangguk sebaga tanda bahwa aku ingin mengakhiri pembicaraan canggung ini.
Zeno kemudian membuka mulutnya kembali, “Untuk urusan kepolisian, Gara mau masalahnya cepat selesaikan?”
Tanganku gemetar, aku sudah berada di dangerous zone. Aku merasakan hal yang seharusnya tidak aku rasakan. “Bang, bukan Gara yang bunuh Reihan. Gara bukan anak yang nakal, Gara janji bakal patuhin abang. Jangan masukkan Gara ke penjara.” Akhirnya terjadi juga, hal yang sudah aku bayangkan dari dulu. Membungkukkan badan di depan musuh bebuyutan sambil meminta belas kasihan darinya. Aku tidak mau meninggal sia-sia dengan alasan yang memalukan.
“Dek, serahkan semuanya pada Tuhan, semua ada jalan keluarnya. Kalau Gara mau abang bantu, Ara mau kan kabulin permintaan abang yang satu ini?,” dia berkata dengan nada yang begitu halus, terasa nyaman ketika gelombang suara itu masuk ke telingaku. Tangannya yang hangat mengelus kepalaku serta memainkan anak rambutku kemudian menyelipkannya pada telingaku. Aku terkesima, apa abang bisa selembut ini atau hanya sandiwara karena kami tidak hanya berdua di sini. Apakah ini taktik dia selanjutnya untuk membodohiku?, aku tidak ingin berpikir sejauh itu. Sekarang yang aku pikirkan adalah aku akan melakukan apapun untuk keselamatan hidupku yang hanya memiliki satu nyawa ini.
“Permintaan apa bang?”
“Ara maukan dihipnotis sebentar untuk melihat kejujuran Ara tentang kasus Reihan?”
“Bukannya abang yang melaporkan Ara ke polisi? Sebenarnya apa yang abang rencanakan?” mulutku yang ceplas-ceplos ini secara tidak sadar mengungkapkan isi pikiranku.
“Ada sesuatu yang perlu abang konfirmasi, ini untuk kebaikan Ara. Abang janji”
Aku kemudian mengangguk. Aku pikir ya sudahlah. Aku ingin mengakhiri semua masalah yang sudah berlarut-larut ini.
“Baiklah nona muda, bagaimana kalau kita lakukan psikoterapi sekarang. Silahkan isi dulu ya formulir pendaftarannya.” Dokter itu mengambil kertas pada salah satu map yang dia bawa tadi. Lalu memberikan formulirnya dan pena bertinta hitam padaku. Dia berbasa-basi kemudian tertawa ketika dia menyampaikan senda guraunya. Abangku hanya duduk dipojokan sambil melihat ke arah kami. Saat smartphone-nya berbunyi, Zeno keluar dari ruangan setelah mengatakan bahwa dia ada urusan yang harus diselesaikan dan akan mengunjungiku lagi dalam waktu yang dekat.
“Gara, apa gara punya kisah dongeng favorit?” ucapan dokter itu menyadarkan lamunanku.
“Ada, dongeng yang selalu ara minta bunda untuk menceritakannya berulang-ulang”
“Oh iya? Dongeng apa itu?”
“Seorang puteri berambut panjang dengan gaun berwarna putih berkilau, terkurung di dalam menara menunggu pangerannya datang”
“Wah, pasti akhirnya sang puteri akan bertemu pangeran dan bahagia selamanya, ya kan?” dokter itu terlihat antusias.
“Tidak juga, itu cerita yang mengenaskan daripada yang bisa dibayangkan” kataku sambil meredupkan alur mataku kebawah.
ns 15.158.2.213da2