Baik fasad maupun interiornya tampak futuristik. Dasboard yang terbuat dari titanium dengan akhiran material karbon yang premium. Bahkan kursi sofa mobil itu membuat leher Cron nyaman terngiang – ngiang. Mobil hitam sedan itu dengan kuat mengatakan ‘Aku si nomor satu dan keluaran terbaru!’
Mobil itu berjalan tenang melewati dua perempatan.
“Bagaimana kalau kamu kembali, huh?” pria dengan jas biru laut bludru yang berkilauan melirik. “Aliansi Protea selalu terbuka untukmu!”
Pria yang dipanggil Helix itu lalu tertawa keras.
“Kenapa aku harus kembali pada rumah yang tidak menerimaku pulang?” Cron bersandar pada lengan kirinya sambil menghadap jendela samping.
“Benar! Apalagi orang yang mencelupkan dirinya pada lumpur tentu harus bersih sebelum pulang, kan? Masalahnya bocah itu tidak mau dimandikan! Ngahahahahahaha!”
Cron diam saja dan menerima celaan. Pria kemudian itu memutar tajam setir mobilnya.
“Katakan, apa kau sekarang menjadi munafik, Cron? Kamu tahu, kan? Protea memaaafkan pengkhianat tapi tidak dengan tukang munafik?” nada pria itu terdengar lirih, namun…
Itu terdengar seperti lentingan kasar yang melukai telinga Cron.
Lengan Cron mulai menampakkan otot – ototnya. Ia mengenggam pedangnya dengan cengkraman elang.
“Apa maksudmu, Helix?” Cron melirik tajam. Sklera dan pupil Cron yang sama – sama putih tampak terlihat kilatan biru. “Kamu ingin melawanku sekarang?”
Aura kuat Cron seolah seperti angin tornado yang dimasukkan ke dalam mobil. Helix segera mengerti situasinya Ia mengambil ponsel di dasboard dan menunjukkan sesuatu pada Cron.
Tampak foto Cron dengan beberapa keterangan singkat.
“Cron Belloc – Protea Secret Ace V - Active”
Cron mulai tenang. Aura besarnya kini sekejap menghilang. Cron melonggarkan genggaman pada pedangnya.
“Orang – orang sering berimprovisasi. Mereka memang tercipta menjijikan di tempat umum. Tapi secara resmi, hanya pihak atasan yang berani memberi perintah. Termasuk pemecatanmu.” Helix mengembalikan ponselnya pada dasbord mobil.
“Jadi pada akhirnya… mereka memusuhiku berkali – kali?”
“Nah… Kamu punya jawaban yang benar, namun di waktu yang salah,”
Mobil itu mulai melambankan kecepatannya setelah masuk ke jalan umum yang lebarnya berkurang.
“Helix, kamu yang merencanakan peperangan kemarin?” tanya Cron menyudutkan.
“Pada aliansi kecilmu itu? Nggak, itu nggak mungkin terjadi. Keuntungan apa yang kudapatkan? Uang? Jangan bercanda! Hahaha!”
“Misalnya saja… kepuasan dalam menghancurkan yang lebih kecil?”
Mobil itu kini berhenti. Sekitar 500 meter pada arah jalan kiri, terdapat plang besar berwarna biru dengan tulisan ‘CrescentMart) dan tulisan kecil (by Moonshed Comodity)
“Jadi kamu tahu tentang penyerangan itu?”
“Katakan padaku, Cron, apakah kamu pernah menginjak semut? Dan bagaimana rasanya?” Helix memandang jijik Cron. Pandangan yang benar – benar merendahkan.
#Hah… (sighed)
“Setidaknya kamu bisa membocorkan soal itu?”
“Nah, nah, Protea memang punya banyak orang arogan. Aliansi yang megah itu bahkan tidak bisa menumpaskan para aliansi kecil, bukanlah karena hal yang khusus. Karena mereka arogan dan punya egois mereka masing – masing. Termasuk orang – orang yang kamu bicarakan itu. Hm… mereka mengacau di Glimmerport Towncircle hanya karena keuntungan kecil? Barbar sekali!” jelasnya tegas.
“Soal ‘membocorkan’ yang kamu maksud,” Helix memain – mainkan jarinya pada kata – kata ‘membocorkan’ dengan senyuman yang menghanyutkan. “Aku tahu… dengan jelas dan niat mereka… Tapi…”
“Kamu tahu informasi termasuk komoditas, bukan?”
“Berapa?”
“Kamu pelanggan khusus! Tidak ada cas uang! Sebagai gantinya, kamu melakukan sesuatu untukku! Ahahahahaha!”
Cron merasakan fustasi yang mutlak. Cron sudah tidak tahan lagi yang ia lesat keluar dari mobil mewah itu.
“Aku tahu… kamu pasti akan mempertimbangkannya, Cron! Tunggulah malam ini! Hahahaha!” sahut pria itu sebelum menjejak pedal gas mobilnya.
(Pria licin….) pikir Cron dengan cemas.
Cron segera melangkah pergi dan melupakan kecemasannya.
Meski hanya sesaat.
***
Empat orang pramuniaga.
Dua orang kasir.
Karyawan yang ramah dan sangat menerima kunjungan Cron. Toko swalayan itu tidak begitu besar, namun seseorang yang cerdas dan jenius bisa memanfaatkan lahan dan tempat ini seefisen mungkin.
“Silahkan lewat sini, Mr. Cron!”
Satu orang pegawai pramuniaga yang kebetulan berada di luar menyilahkan Cron masuk. Wanita muda itu, berambut pendek, berkacama – mata, dan sangat beretika. Mengetahui Cron yang buta sejak tiga bulan berbelanja di tempat ini, wanita itu kerap sekali menggandeng Cron membantunya melewati gundukkan tangga di dekat pintu masuk.
“Ng-nggak usah, Nona Doril!” kata Cron tersanjung, namun ia gelisah menoleh ke segala arah. “Mrs. Elvenshield akan memarahi anda nantinya,”
“Saya sudah kebal dimarahin beliau,” Nona Doril bersikeras dan tetap membantu Cron selayaknya orang buta pada umumnya. “Tidak hanya anda kok, beberapa orang tidak beruntung juga saya bantu,”
Cron menginjakkan kaki di toko swalayan itu.
Saat tiga orang karyawan lainnya ingin mengajak ngobrol Cron, seseorang yang paling tidak diinginkan datang. Orang itu tampaknya bertanggung jawab sebagai manajer dan tidak asing di mata Cron.
(Duh, ada Dina, ya tuhan…) pikir Cron, memasang wajah letih.
“Nona Doril, sudah sampai di situ saja, biarkan pria itu berjalan sendiri,” kata wanita bermuka sama geramnya dengan kemarin malam, khusus pada Cron.
Wanita muda itu hendak berkata balik, tapi Cron melepas ringan tangan Doril.
“Terima kasih, Nona Doril, aku sudah merasa baikkan.” Cron membungkuk, namun nyaris tepat menghadapnya. Doril sekali lagi ingin memprotes, tapi melihat ekspresi wajah Cron yang menyuruhnya agar menuruti perintah atasan, Doril mengurungkan niatnya.
Cron berbalik, “Apa aku diperbolehkan belanja di sini? “
Namun Dina tak menggubris Cron dan melanjutkan ke pekerjaannya.
Ketiga karyawan termasuk Nona Doril mulai sedikit membicarakan tentang Dina, tapi Cron…
“Tolong jangan membencinya karena ini…”
“T-tapi, sir? Melihatnya menghardik anda di bebetapa hari yang lalu membuat saya naik darah!” sahut pria berambut cepak, yang hendak membongkar empat kerdus.
“Saya yang bermasalah, Mr. Mace.” Cron memegang ringan pundak pria itu. “Nona Doril dan Nona Brita saya juga nggak ingin kalian kehilangan pekerjaan hanya karena saya,” Cron tersenyum, yang justru membuat dua wanita muda penjaga kasir itu sedih.
Lalu Cron, mulai mengambil troli belanjaan. Meninggalkan pramuniaga dan pegawai kasir itu dengan kesan melankolis.
Ada sekitar dua blok berisi sabun, deterjen, sampo dan kebutuhan sejenisnya. Dua blok berisi bumbu makanan dan makanan instan, tiga blok berisi snack, satu blok berisi kebutuhan semprotan anti serangga dan semacamnya, dua blok berisi obat – obatan luar dan umum siap minum, dan yang terakhir satu blok berisi bahan pokok seperti telur, beras, minyak, sereal dan sejenis.
Selain blok – blok itu terdapat blok tambahan yang terbuka yang berisi makanan beku, ikan segar, buah dan sayuran seadanya, serta susu dan yogurt.
Cron menuju blok yang berisi bahan pokok, letaknya blok paling kiri setelah pintu masuk. Cron melihat sekitar dengan senyuman lega karena toko itu sangat ramai. Ia bahkan sampai malu sendiri. Tampaknya, Cron sedikit tenang meski Dina mencacinya, ada saja orang yang melindunginya.
Lantas, Cron berhenti tepat di depan blok berisi kebutuhan bahan pokok. Ia memeriksa catatannya lagi.
“Ba-ik mari lakukan ini…. Minyak, tepung terigu, dan-“
“Seperti biasa kamu selalu menaruh perhatian bahkan di tempat ini?”
Dina tiba – tiba di belakang Cron.
“Di-na…?”
“Bisakah kamu menyingkir? Aku nggak mau bersentuhan dengan pengkhianat sepertimu!?” Dina masih memasang muka yang sama bencinya seperti kemarin.
“O-oh… maaf….” Cron tersenyum kecut, menggaruk kepalanya, dan dengan legawa memberi jalan. Meskipun, jalannya masih lebar dan tanpa Cron memberi pun ia bisa lewat di celah sisanya.
Dina rupanya melakukan pengecekan pada blok kebutuhan. Ia berhenti dan mencatat sesuatu pada rak yang berisi berkarung – karung beras.
Cron sedikit khawatir, namun ia tidak mau terlalu lama memandangi Dina. Mulut Dina selalu lebih cepat daripada niat baik Cron.
Meski barang belanjaan Cron hanya tertulis tiga item, di bawahnya lagi tertulis beberapa merek.
#Hah… (sighed)
(Solana… apa kamu membenci pamanmu ini?)
Cron lekas mengambil beberapa merek minyak goreng dengan kuantitas tertentu sesuai instruksi catatan. Untungnya itu berada di rak paling depan, sehingga ia tidak perlu khawatir menganggu Dina.
(Oke, fuuuh! Beres. Sekarang…)
Ia menuju rak yang berisi tepung terigu. Sekali lagi roman muka Cron tampak amat lega. Itu hanya terletak satu rak sebelah minyak goreng. Sedangkan rak beras yang berada di ujung.
Kini Cron telah menyelesaikan dua poin, sementara troli yang Cron bawa separuhnya telah penuh. Lalu ia segera mengcek barang yang ketiga ia hendak beli.
(B-beras…? Ya ampun… ogah banget!)
Cron perlahan mendorong trolinya agar wanita itu tidak merasa terganggu. Cron merasa cukup mendengarkan ocehan busuk Dina. Di sisi lain Cron tidak bisa membencinya karena alasan tertentu.
Hingga saat troli Cron berhenti di dekat Dina yang sedang bekerja, wanita itu belum menoleh.
(Baguslah… ia bekerja dengan tekun!) pikir Cron sambil melirik dina. Dina tampak berkeringat dan nafasnya sedikit ngos – ngosan. Mukanya sedikit memerah. Ia lega wajah merahnya itu hanya karena Dina frustasi pada Cron. Tapi Cron, akan selalu khawatir bila itu karena hal lain.
“Kamu lihat ke arah mana? Mesum!” kata Dina yang tiba - tiba melirik tajam pada Cron.
Namun Cron tidak menggubris yang justru membuat Dina semakin sebal. Cron mulai ditermani suara gumaman Dina yang tidak ramah di telinganya. Cron mulai cepat – cepat mengambil beras sesuai catatan yang diberi Solana.
Troli Cron kini telah penuh, ia menyebut berulang kali rasa syukur. Juga rasa syukur karena Dina sedikit mengurangi olokannya dan fokus bekerja.
Sesaat Cron memundurkan trolinya…
#Gedebruk, gdbruk, gdbruk!
Dina pingsan, dengan dua beras masing - masing menimpa kaki dan tangannya.
ns 15.158.2.208da2