Pagi ini seperti biasa alam raya menggeliat dari tidurnya, diawali dengan matahari yang sorot matanya yang tajam mampu bersinar sehingga cahayanya sampai di pelataran rumah. Suara klakson sebagai instrument perwakilan kendaraan sahut-menyahut dengan suara peluit penjaga sekolah. Pastinya itu terjadi di persimpangan jalan menuju sekolah ZZ dan DD, karena disitulah seringkali timbulnya kemacetan.
Maklum saja, banyak orangtua siswa yang rumahnya agak jauh memakai motor atau mobil untuk mengantarkan anaknya. Sekalian pergi ngantor. Jam sekolah dan jam ngantor dari jaman dahulu tidak jauh berbeda. Antara jam 7-8 pagi. Mungkinkah bisa dibedakan, untuk mengurai kepadatan. Ah, itu urusan para stakeholder negeri ini yang punya kewenangan menyusun kebijakan.
Di perparah lagi di persimpangan itu banyak warga yang sedang berbelanja, karena banyaknya pedagang yang tumplek untuk berjualan. Seperti pedagang daging ayam, sayuran, dan aneka makanan untuk sarapan.
Sudah menjadi hukum ekonomi setiap ada kebutuhan (permintaan) pastinya ada orang yang menawarkan barang (penawaran). Maka terciptalah pasar! Di posisi seperti ini yang hebat adalah para pedagang. Mereka tidak usah sekolah tinggi, mereka hanya butuh sedikit kepintaran untuk membaca peluang. Peluang usaha yang menghasilkan laba.
Dalam sekala besar, negara maju seperti Amerika, Jepang, Uni Eropa, mayoritas warganya berfikiran seperti pedagang, yang pandai membaca peluang usaha.
Ayah jam segini aktivitasnya menyapu halaman, setelah tadi menyiapkan sarapan nasi goreng. ZZ dan DD sudah tampak memakai seragam lengkap. Seragam merah-putih, beserta dasi dan topi. Mereka berdua sudah sarapan. Tumbler ke duanya diisi air mineral isi ulang. ZZ tidak memasukan tumblernya ke dalam tas sekolah karena karet penutupnya sedikit rusak. Jadi ada kebocoran sedikit. Kalau dimasukkan khawatir airnya menetes dan membasahi buku pelajaran dan buku catatannya. Sementara itu Dd memasukkan tumblernya ka dalam tas. Mereka siap-siap berangkat ke sekolah.
“Yah, Zz, pamit dulu.”
“Dd juga. Assalamuallaikum.”
“Waaalaikumsalam.” Ke-duanya pergi setelah mengucapkan salam dan mencium tangan Ayah.
Berkat sistem zonasi ZZ dan DD tidak harus sekolah jauh-jauh, itu cukup membantu dan memangkas biaya. Sistem kasta untuk sekolah memang harus dihapuskan. Tidak ada lagi sekolah favorit, sekolah unggulan, ataupun sekolah kampungan. Karena pada dasarnya sekolah adalah area merdeka umat manusia, tempat manusia menjadi ikhsan kamil yang siap menghadapi tantangan zaman.
Apalagi dukungan APBN untuk pendidikan diamanahkan sebesar 20%. Anak bangsa di negeri ini berhak mendapatkan pendidikan. Tidak boleh tidak!
Mak O berjalan menghampiri ayah yang sedang menyapu. Jalannya agak cepat seperti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan. Mak O tidak sadar dibelakangnya ada Pak RT yang sedang bersepeda. Pak RT iseng memacu sepedanya dengan sedikit cepat ia ngin menyenggol Mak O. Suara rem sepeda berdecit! Mak O menoleh ke belakang.
“Ret,Ret,Ret”
“Eh, Aaaden, Mak kaget jadinya!”
“Ha,ha,ha…..”Pak RT tertawa lalu berkata. “Makannya kalau jalan jangan rusuh-rusuh, Mak. Emak mau kemana, sih? Aku bonceng, mau? Atau digendong saja kayak lagunnya Mbah Surip (tak gendong kemana-mana).”
“Ih, Aaaaden, ada-ada saja. Mak, mau ke rumaaaah A, mau minta tooolong pasangin tabuuung gas.” Mak O, logat bicaranya seperti itu, karena dulunya seorang sinden.
“Oh gitu, ya sudah. Lanjutkan perjalanannya Mak. Sampaikan salam buat A. Oke.” Pak RT pergi dari hadapan Mak O dengan memacu pedal sepedanya.
Sebagai orang tua tunggal, ayah selain bertugas mencari uang untuk-anak-anaknya, ia menjalankan peran ibu rumah tangga: mencuci baju, ngepel,cuci piring, mengantarkan dagangan ke warung Mak O. Sejauh ini ayah mampu menjalankan ke-2 peran ini dengan baik.
Ayah bukan tipe lelaki pemalas dan gampang menyerah, baginya hidup harus terus berjalan. Apapun yang terjadi harus diterima dengan hati lilo, terimo dan legowo. Seperti kepergian Ibunya ZZ dan DD saat meninggalkan ayah. Ibu bekerja sebagai TKI di Arab Saudi. Setelah pergi tidak ada kabar sama sekali dari ibu. Ayah menanyakan kepada SS yang memberikan info kerja TKI itu. SS memberikan alamat PJTKI nya, ketika ayah menelusuri dan menanyakan informasi lebih jauh ke alamat PJTKI yang memberangkatkan ibu, kontrak kerja ibu sudah habis ( 2 tahun-an), biasannya kalau mlewati batas kontrak dan masih di Arab. Ibu akan menjadi pekerja illegal. Pihak PJTKI sudah menghubungi ke tempat bekerja ibu sebelumnya(dan memang benar adanya) ibu sudah kabur dari tuannya. Biasanya untuk menghindari aparat imigrasi di sana) Nama ibu telah dirubah dan domisilinya tidak diketahui. Massa Allah. Kok bisa, aneh!
Hari ini jadwalnya ayah akan langsung ke TKP (akronim dari: Tempat Kejadian Perkara, istilah Kepolisian yang kini sudah familiar dipakai oleh khalayak umum untuk menunjukkan sebuah lokasi) untuk memulai pengeboran dan laouding alat-alat beserta tim pengebor. Tapi kedatangan Mak O, yang sudah dianggap ibu sendiri, untuk meminta bantuan, memasang tabung gas tidak bisa ia tolak.
“Mak, punya karet lagi.”
“Sumuuuhun, ini aaada.” Mak O menyodorkan satu karet gas berwarna merah kepada ayah.
Ayah mengutak-atik karet tabung gas milik Mak O, karet berdiameter kecil berwarna merah itu di masukkan ke lubang tabung gas. Sepertinya karetnya kurang pas. Kendor. Jadi ketika kabel gas (regulator) dimasukkan ada suara zesss,zessss, aroma gas menyengat tercium. Ayah mengganti karet yang kendor dengan karet merah yang lebih kenyal dan ini cocok. Ketika kabel regulatornya di masukkan ke lubang tabung gas, klop banget, lalu kompornya dinyalakan, terlihatlah api biru menyala. Mak O kegirangan!
“Hatur nuuuhun.A.”
Bagi Mak O, warung di rumahnya itu surga dunia, tempat mengusir rasa jenuh tempat berbaur segala etnis. Tiap hari pasti ada saja orang yang betah duduk sambil ngaso di warungnya:Tukang ojeg yang mampir sekedar ngopi dan nunggu pesanan online, pedagang cuanki keliling, tukang kerupuk, tukang tahu, ibu-ibu, pemuda-pemudi, anak-anak, si abang debt collector, si abang warung padang saiyo sakato (dinding warung padangnya ada stiker besar bertuliskan ‘kalau puas beritahu yang lain, kalau kecewa beritahu kami’) tidak terkecuali juga ZZ, DD, Ayah, Om R, dan Pak RT sering nongkrong dan ngopi di warungnya, Mak.
“A, dagangaaaanmu ganti aaatuh.”
“Mau, Mak, emang laku berapa biji,”
“Hitung saaaja, A”
Ayah mengambil dagangan serba 2000 yang menempel di paku. Setelah dihitung, tersisa 5 buah. Setiap rentengnya ada 40 buah. “Mak, laku 35 biji X @ Rp 1.500,00 jadi semuanya Rp 52.500. Saya sekalian belanja telor seperempat dan beras 1 kg, ya. Mak. Buat makan siang anak-anak”
“Maaangga, A.”
Mak O mematikan kompornya dan mengangkat gorengan kemudian meniriskannya, agar minyaknya turun lagi ke wajan di bawahnya. Mak mengambil beras dan telor yang di pesan ayah. “Iiiini, telor dan beraaaasnya. Ooo ya, kemaaarin kamu suuuuruh si Zzzz beli keeecap dan penyeeeedap. Ini kecapnya ketinggaaaalan.” Mak O memasukan kecap ke dalam bungkusan telor dan memasukan uang sebesar 50.000.
“Mak kok uangnya 50.000 harusnya 30.000, kan saya belanja ini-itu.”
“Buat jajaaaan si Dddd dan si Zzzz, ayo teriiiimalah!”
“Makasih, Mak. Klo begitu.”
“Mak yang hatur nuuuhuuun, A”
Mak O memang sudah sepuh, kepada ayah bercerita tentang masa mudanya dulu. Mak berkisah, ketika muda dulu ia aktif di Giri Mukti, ia sebagai juru sinden. Mak O, ketika itu tampil malang melintang ke semua pelosok Jawa Barat bahkan ke luar negeri (Malaysia, Australia, Brunei, Thailand, Jepang dan Belanda) sebagai perwakilan budaya Nusantara. Untuk menjaga peformanya dan suaranya yang merdu ia mengunakan susuk dan rajin melakukan gurah.
Sudah bukan rahasia lagi Ki Dalang sering menggunakan hal-hal yang berbau klenik sebelum pentas dilakukan, makannya sampai sekarang masih terdengar dan banyak orang percaya, jangan pulang di pertengahan pertunjukkan wayang golek, kalau pulang, siap-siap saja makhluk halus (buta/ raksasa) akan mencegat orang yang pulang duluan itu.
Ki Dalang menjadikan Mak O istri ke-4 nya. Karena ‘witing tresno jalaran soko kulino‘ setahun sebelum meninggal, Ki Dalang berpesan kepada anggota grupnya dan istri-istrinya untuk meninggalkan hal-hal yang berbau klenik: sesuguhan, susuk, dan jampi-jampi.
Sejak perubahan pandangan Ki Dalang itu. Setiap tampil yang biasannya mengambil lakon dari kitab Ramayana, kitab Sutasoma dan Bratayudha yang ajarannya Hindu dan Budha, Ki Dalang mengantinya dengan kisah yang lebih islami seperti: Isra-Miraz, Tauhid, dan sirah Nabawiyyah.
Sayangnya Mak tidak dikaruniai keturunan, bakat sindennya tidak ada yang meneruskan. Jadi seiring wafatnya ki Dalang, profesi sebagai sindennya sirna juga.
Suatu waktu ayah penasaran ingin mendengarkan suara Mak menyinden, dimintanya Mak untuk membawakan satu bait pupuh. Mak menyindenkan Pupuh Asmarandana.
Eling-eling mangka eling
Rumingkang di bumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Nafsu nu matak kaduhung
Badan anu katempuhan
2681Please respect copyright.PENANACIs607qK0r
2681Please respect copyright.PENANAzL0zCOSGbT
2681Please respect copyright.PENANAPVjMZaHBDJ
2681Please respect copyright.PENANARLa9TOF91O
2681Please respect copyright.PENANAEYfsaSUzdH
ns 15.158.61.55da2