Kelas sejarah terlihat sangat membosankan, apalagi jika berjalan di pagi hari. Membuat siapapun yang tidak tertarik memilih untuk tidur. Sang guru terlihat tidak keberatan, asalkan tidak mengganggu siswa lainnya, beliau akan tetap melanjutkan kelasnya.
“Sebelum mengakhiri kelas, tolong untuk tugasnya jangan lupa dikerjakan dan tolong dikumpulkan lusa”
Gerutuan protes seisi kelas terdengar saat bel pergantian kelas berdering. Sang guru sejarah terlihat acuh memilih berjalan menuju pintu kelas, “Berhenti mengeluh, itu sudah tugas kalian sebagai siswa” ujar guru matematika yang masuk ke dalam kelas. Membuat seluruh kelas kembali hening, “Sekarang buka buku kalian, kita adakan kuis” keluhan para siswa hanya bisa diucapkan dalam hati. Guru matematika mereka terlalu baik hati dalam memberikan hukuman jika menyangkut urusan kelas matematika.
“Tanggal berapa ini? Ah, sembilan. Siswa nomor sembilan maju ke depan untuk mengerjakan soal”
Seisi kelas nampak hening.
“Kalian tidak dengar?” tanya sang guru mulai kesal
Seluruh kelas menoleh pada satu meja yang berada dari baris kedua dari belakang, nampak sangat pulas sekali dalam tidurnya. Teman samping mejanya berusaha membangunkannya, hingga guru matematika melangkahkan kakinya menuju meja siswa itu. Membawa buku matematika yang tidak tipis tentunya, dan dalam sekali ayun. Buku itu sudah mengenai kepala belakang siswa itu cukup keras, seisi kelas hanya bisa meringis dan bersimpati, suaranya cukup nyaring.
“Laut!”
Siswa yang bernama Laut itu, mengusap belakang kepalanya. Rasanya dia bisa melihat ribuan kunang-kunang sekarang, “Apakah kau sudah sadar sekarang?” dia menoleh. Menatap gurunya dan detik berikutnya tersentak saat mengetahui bahwa kelas telah berganti, Laut melirik teman kelas samping mejanya cukup tajam.
Kenapa tidak membangunkan sebelum gurunya datang sih!
Sang guru berdehem mengembalikan atensi Laut,
“Sepertinya menghukummu jauh lebih baik daripada melihatmu hanya berdiri di depan papan tulis tanpa bisa mengerjakan satu soal pun”
Dan berakhirlah Laut berdiri dengan satu kaki, kedua tangan menyilang menarik kedua telinganya. Jangan lupa dia berada di luar kelas sambil menatap bosan pada koridor kosong, namun bibirnya tidak berhenti bergerak. Menggerutu perihal hukuman yang didapatkannya terasa tidak adil.
“Angin! Senja! Jangan kabur!”
Teriakan yang cukup nyaring di koridor yang kosong itu membuat Laut berhenti menggerutu, menoleh ke arah datangnya suara dan melihat dua orang siswa tengah berlari menaiki tangga. “Anak bermasalah” gumam Laut lalu kembali dengan aktivitasnya sendiri, menggerutu perihal hukuman sang guru padanya. Selama lebih dari satu jam Laut berada dalam posisi itu, dia benar-benar mulai bosan dan lelah.
Dan ketika bel pergantian kelas berdering membuatnya menghela napas lega. Bahkan ia sempat beradu pandang dengan sang guru yang menatapnya tajam saat sang guru keluar dari kelasnya. Yah, setidaknya kelas selanjutnya dia tidak akan berhadapan dengan guru seperti guru matematikanya.
“Pahami baik-baik kertas partitur yang saya bagikan, saya beri waktu jam pertama untuk belajar setelahnya kalian akan maju satu-persatu untuk saya nilai”
Dengan hati yang menahan kesal yang teramat Laut hanya bisa meremas kertas partitur itu. Sungguh dia hanya ingin kelas musik itu berakhir seperti biasanya, bukan malah seperti ini. Tanpa minat maupun antusias, Laut bergabung dengan beberapa teman kelasnya. Setidaknya dia harus mengerti isi dari kertas partitur itu, atau mungkin berpura-pura untuk mengerti.
“Siswa berikutnya, Laut”
Guru musik memanggilnya saat-saat kelas akan berakhir, padahal menu makan siang kali ini adalah menu baru. Laut masih enggan beranjak dari kursinya, dia menatap jam yang terpajang di ruang musik, tinggal dua menit lagi. “Laut” sang empu tidak bergeming, membuat seluruh teman kelasnya menghela napas pasrah.
“Laut, kalau kau tidak segera maju nilaimu akan saya—”
Dan ucapan sang guru berhenti kala terdengar bunyi bel, dan dalam sepersekian detik siswa yang hendak di marahi itu sudah bangkit dan melesat begitu saja keluar dari ruang musik. Teman-temannya hanya bisa menggelengkan kepala, sementara sang guru musik hanya bisa menahan kesal dan memilih menutup kelasnya siang itu. Laut terus berlari secepat mungkin, bahkan melewati beberapa anak tangga sekaligus untuk segera sampai di kantin sekolah.
Suasana kantin sekolah masih begitu lenggang, hanya ada beberapa siswa disana dan antrian masih belum terlalu ramai. Dengan cepat Laut segera mengambil nampan dan peralatan makan kemudian mulai mengantri, “Bibi!” sapa Laut riang tidak lupa sambil menyodorkan nampannya.
“Makanlah yang banyak” ucap petugas kantin itu ramah
“Tentu!”
Laut yang telah duduk di salah satu meja menjilat bibir dan menelan ludahnya, kedua matanya berbinar menatap nampannya yang kini telah penuh dengan berbagai macam makanan. Aromanya begitu menggoda sekali membuat perutnya semakin berbunyi, tanpa membuang waktu dia segera mengambil sendok. Menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya, menikmati kunyahan di dalam mulutnya perlahan. Kedua matanya terpejam, bibirnya mengulum senyum, hatinya terus memuji rasa makan siangnya yang selalu bisa membuatnya bahagia.
“Sepertinya aku akan tanyakan resepnya nanti” gumamnya
Laut dan rasa cintanya pada makanan.
ns 15.158.61.44da2