Seorang guru membuka pintu ruang kelas yang terlihat tenang, pandanganya mengedar lebih dahulu. Hingga menemukan bangku kosong nomor dua dari depan di dekat jendela. Sambil berjalan menuju meja guru, ia menghela napas berat, “Tolong jangan katakan, itu bukan bangku–”. Anggukan dari ketua kelas membuat wajah sang guru semakin masam.
Anak itu benar-benar!
Seseorang berjalan melewati koridor yang sepi, tatapannya lurus langkah kakinya menuju salah satu ruang yang sudah menjadi tujuannya. Dibukanya pintu ruang itu, nampak seseorang yang sibuk dengan kanvas dan alat lukisnya, duduk didekat jendela dengan tirai yang berkelepak terkena angin. “Apa yang harus aku lakukan kali ini?” tanyanya sambil melipat kedua tangan kedepan.
Yang diajak bicara terlihat acuh, sibuk dengan gambarnya. Dia berjalan mendekat, “Jingga” panggilnya yang tentu saja tidak mendapat respon. “Kau beruntung aku yang menemukanmu” gerakan pensil itu terhenti. Jingga berbalik menatap orang yang terus berbicara padanya, “Apa aku harus berterima kasih kali ini?” ucapnya datar.
Terdengar helaan napas panjang, “Aku sedang tidak ingin berdebat, ayo. Wali kelasmu mencarimu”. Jingga berdiri dari tempat duduknya, memilih mengalah, keduanya lalu berjalan keluar dari ruangan. Berjalan beriringan melewati koridor dan menuruni tangga, menuju ruang guru, lengkap dengan wali kelas yang tengah menunggu mereka.
“Ini yang— aku sudah tidak ingat berapa banyak kau membolos”
Jingga menatap malas wali kelasnya, sudah terlampau bosan mendengarkan ocehan yang sama setiap kali dia ketahuan. Cukup lama dia mendengarkan wali kelasnya berbicara tentang seberapa pentingnya menghadiri kelas dan bersikap baik di sekolah. Tidak lupa nasihat untuk tidak menambah poin minus miliknya yang sudah menggunung.
“Sebagai hukuman, setiap pulang sekolah kau membantu anggota kesiswaan, kerjakan selama satu— tidak dua minggu”
Sial! Hukumannya kenapa menyebalkan sekali
Jingga ingin melayangkan protes, namun orang yang menjemputnya dan sedari tadi diam mendengarkan sudah menyela, “Kami akan sangat terbantu sekali”. Sial yang berlipat ganda. Wali kelasnya hanya mengangguk lalu mengijinkan keduanya untuk kembali ke kelas, “Sialan” umpat Jingga. Hal itu membuat orang disampingnya yang tidak lain dari kesiswaan terkekeh, “Hukumanmu tidak buruk sebenarnya” ujarnya dan Jingga hanya memutar kedua bola matanya malas.
Jingga sebenarnya bisa saja lari dari hukumannya, tapi sialnya di kelasnya sendiri ada lima orang anggota kesiswaan. Hal yang sama sekali tidak menguntungkan, apalagi Jingga harus mengenakan ban milik kesiswaan. Hal itu tentu saja membuatnya mendapat julukan pesuruh kesiswaan. Jingga sungguh membenci hal itu.
“Ini tugasmu hari ini”
Sekretaris kesiswaan memberikannya setumpuk laporan yang harus dirapikan dan ditata ulang. Dengan enggan Jingga mengambil satu laporan lalu mulai tenggelam dalam tugasnya, sementara anggota kesiswaan yang berada di ruang kesiswaan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hingga beberapa orang masuk ke dalam ruangan dengan wajah masam
“Sial, anak bermasalah itu kenapa tidak pernah jera sih”
Semua yang sedang bekerja menghentikan pekerjaan mereka sebentar, menatap orang-orang yang masuk tadi. Jelas sekali siapa yang tengah dibicarakan. Hampir semua yang ada di ruangan itu menyetujui ucapan itu, mereka terlalu lelah menghadapi segala masalah dan kejahilan yang dibuat. “Membuat repot saja, kenapa sekolah mempertahankan mereka sih? Toh anak-anak seperti mereka tidak akan memiliki masa depan”. Orang yang berujar segera disikut oleh temannya.
Semua yang ada disana jelas sekali merasakan suasana ruangan yang berbeda. Jingga yang sejak tadi diam menyimak menatap heran orang-orang yang ada disana, ucapan tadi memang tidak ada yang salah. “Sudah kerjakan saja tugas kalian, kenapa malah berbicara macam-macam sih” tiba-tiba saja wakil ketua berujar membuat suasana kembali seperti sebelumnya.
“Ada apa dengan mereka sebenarnya” pikir Jingga heran
Jingga meregangkan badannya lalu melihat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, dia sudah menghabiskan waktu yang sebanyak itu di ruang kesiswaan. “Kau bisa pulang lebih dahulu” sebuah suara membuatnya menoleh, hal itu membuat Jingga menoleh pada beberapa orang yang masih tinggal di ruangan. “Pulanglah” ucap sang sekretaris diikuti anggukan setuju dari wakil ketua. Tentu saja itu tidak disia-sia kan oleh Jingga, dia segera membereskan meja dan tasnya menatap sebentar orang-orang yang ada di ruangan lalu beranjak pergi.129Please respect copyright.PENANAflzDztzcbQ
Pagi itu Jingga diminta untuk membantu inspeksi pagi bersama anggota kesiswaan. Dan ya dia berhasil membawa satu anak yang ketahuan tidak memakai dasi dan seragam yang berantakan. “Kalian bawa ke tepi lapangan saja, guru kedisiplinan sudah menunggu disana, aku harus ke tempat lain” semua yang ikut inspeksi hanya mengangguk patuh sementara Jingga menatapnya aneh.
Dan tentu saja pagi itu, semua murid yang melakukan pelanggaran mendapat omelan panjang dari guru kedisiplinan. Salah satunya, “Seragam tidak rapi, dasi tidak dikenakan. Dan lagi apa ini?!” sebuah puntung rokok berada di jari sang guru. Tongkat kayu itu sudah teracung ke depan wajah salah seorang siswa dan kali ini ujungnya menusuk bahunya beberapa kali.
“Selalu membuat masalah, berkelahi, nilai paling rendah, lalu sekarang merokok. Kau mau hidup seperti apa?”
Jingga jelas terkesan dengan tanggapan siswa itu yang terlihat tidak peduli, sepertinya dia sudah kebal sekali. Tidak lama ada dua orang yang ikut bergabung, “Tidak heran sih” orang disamping Jingga berujar pelan saat tahu siapa yang dibawa. “Berdiri disamping Senja” siswa itu hanya diam menurut, namun wajahnya sudah sangat tertebak tengah menggerutu bahkan mengumpat di dalam hati.
Guru kedisiplinan yang telah selesai berbicara akhirnya membagi hukuman untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran itu. “Kau bisa ke kelasmu, sisanya biar anak-anak lainnya yang mengurus” Jingga hanya mengangguk saja, toh tugasnya memang hanya sebagai pesuruh kesiswaan. Apapun yang diminta oleh ketua kesiswaan harus dipatuhi olehnya.
Meski mendapat hukuman dari wali kelasnya, hal itu tidak membuat Jingga jera. Dia tetap kabur di setiap kelas, dan kali ini dia memilih untuk kabur di perpustakaan sekolah. Memilih meja yang berada di sudut ruangan, tempat yang jarang sekali siswa lain menempati karena minimnya cahaya yang masuk. Jingga lalu membuka tasnya, mengeluarkan buku gambarnya. Dan tidak lama dia tenggelam dalam aktivitasnya.
“Lihat siapa ini” sebuah suara mengusiknya
“Tukang tidur dari kelas sebelah”
“Bukannya dia yang bercita ingin jadi tukang masak?”
Jingga berusaha mengabaikan suara-suara itu.
“Kalau begitu jadi pesuruh di rumahku saja, sekalian membereskan rumah” terdengar suara tawa meremehkan
“Sial mereka, berisik” gerutu Jingga
“Oh, tentu” suara lain menimpali
“Aku bisa menjadi tukang masak di rumahmu. Jadi ibu tirimu juga tidak masalah kok”
“Sialan!”
Jingga sudah tidak tahan, dia berdiri untuk berteriak pada orang-orang yang berisik itu. Tapi dirinya dikejutkan dengan orang yang tengah berkelahi, atau lebih tepatnya memukul salah satu dari empat orang itu. “Aduh, maaf tanganku tergelincir” orang yang memukul itu berdiri, mau dilihat dari manapun dia memang sengaja memukul, apalagi pukulan itu cukup keras. Terlihat dari sudut bibir orang yang dipukul tadi memar dan berdarah.
“Laut!”
Dan Jingga menjadi saksi bisu orang yang memukul tadi dimarahi oleh petugas perpustakaan karena membuat keributan. Dan tentunya hal itu membuat anggota kesiswaan dipanggil untuk mengurus masalah tersebut. Sudah dapat ditebak siapa yang datang, orang yang sama yang menemukan Jingga tempo hari. Sang ketua kesiswaan itu sendiri.
“Kau jangan lupa ke ruang guru kedisiplinan nanti”
Tanpa sengaja sepasang mata itu menoleh menatap Jingga.
“Kau juga”
Sial dua kali lipat.
ns 15.158.61.54da2