Badanku masih begitu lelah setelah hampir 12 jam menempuh perjalanan darat untuk sampai ke kota ini. Satu minggu lalu aku mendapat email dari kantor pusat agar membereskan masalah di kantor cabang, konon telah terjadi beberapa pelanggaran SOP berat oleh manager di kantor cabang tersebut. Sebagai seorang auditor senior tugasku membenahi praktek-praktek kotor seperti ini dan berpotensi merugikan keuangan perusahaan.
Letak kantor cabang kali ini berada di luar pulau, setelah menempuh perjalanan udara lebih dari dua jam, aku masih harus melanjutkan perjalanan darat hampir 12 jam. Selama perjalanan aku terus mengutuki bajingan manajer yang melakukan kebodohan fatal dan harus membawaku melakukan perjalanan sejauh ini.
Kantor sebenarnnya sudah menyediakan tempat tinggal untukku selama melakukan audit di kota ini, tapi aku lebih memilih untuk mencari tempat kos yang nyaman dan berada di pusat kota. Pengalamanku sebelumnya saat ditugaskan di kota terpencil seperti ini, fasilitas akomodasi yang diberikan oleh perusahaan tempatku bekerja jauh dari kata layak. Maka daripada aku bekerja dengan standar kenyamanan rendah, aku putuskan untuk tinggal di rumah kos. Toh, pengeluaran sewa juga ditanggung oleh perusahaan, tekadku adalah segera menyelesaikan tugas dan langsung kembali ke ibukota.
Seorang teman memberiku informasi sebuah rumah kos yang berada tak jauh dari terminal. Dari foto-foto yang dikirimkan, aku bisa memastikan jika rumah kos itu cukup nyaman untuk aku tinggali selama berada di kota ini. Sesampainya di terminal, aku bergegas memesan ojek online dan langsung menuju sebuah alamat tempat dimana rumah kos itu berada. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di rumah kos tersebut.
Sebuah bangunan berlantai dua dengan cat dominan warna putih gading nampak menjulang tinggi dibanding bangunan di sekitarnya. Pagar besi setinggi nyaris dua meter mengelilingi bangunan tersebut, meninggalkan kesan aman bagi orang yang melihatnya dari luar. Setelah membayar ojek, aku langsung memencet bel pagar, tak lama muncul seorang pria kurus dengan rambut penuh uban membukakan pintu pagar.
Saat pintu pagar terbuka aku bisa melihat di bagian depat bangunan utama terdapat taman bunga berukuran sedang dengan hiasan kolam buatan di bagian tengahnya. Di samping bangunan utama terdapat sebuah bangunan rumah berukuran lebih kecil, bersebelahan langsung dengan halaman parkir yang sudah terisi beberapa sepeda motor.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?” Tanya pria itu sembari tersenyum ramah menyambutku.
“Permisi Pak, apa masih ada kamar kosong? Saya mau ngekos.” Ujarku.
“Oh, masih…masih…Mari silahkan masuk dulu.” Ujarnya seraya mempersilahkan aku masuk ke dalam.
Pria tua yang kutaksir usianya sudah setengah abad lebih itu berjalan menuju bangunan rumah kecil yang berada di samping bangunan utama, pandanganku masih mengitari sekeliling, kesan nyaman, tenang, dan bersih seketika memenuhi isi kepalaku.
“Silahkan duduk di sini sebentar Pak, biar saya panggilkan Umi Alya dulu.” Ucap pria tua itu mempersilahkanku duduk di kursi berbahan rotan yang ada di teras rumah kecil.
“Umi Alya?” Tanyaku spontan.
“Beliau yang punya kos ini, saya hanya bertugas untuk mengurusi kebersihan saja Pak.” Kata pria tua itu, entah kenapa sedari tadi senyumnya tak pernah pudar dari wajahnya yang keriput.
“Oh…Baik Pak, terima kasih sebelumnya.” Kataku.
“Sama-sama Pak, saya permisi sebentar.”
Pria tua itu melangkah pergi masuk ke dalam rumah. Selama menunggu, pandangan mataku tak bosan-bosan memandang taman yang ada di depanku, kumpulan bunga berwarna-warni membuat rasa lelahku sedari tadi terobati. Tak lama kemudian pria tua tadi kembali muncul dari dalam rumah, kali ini dia tak sendiri namun bersama seorang wanita cantik yang usianya tak berbeda jauh denganku.
Wajahnya yang putih bersih tertutup hijab hitam, tubuhnya yang mungkin hanya setinggi 155 sentimeter dibalut kaftan panjang bermotif cerah. Aku sampai tak sadar melongo beberapa saat saat memandangi kecantikan wanita tersebut. Wajahnya putih mulus dengan bentuk mata, alis, hidung, dan bibir yang indah. Dari kain kaftan tipis yang dia kenakan, aku dapat melihat jelas postur tubuhnya. Pinggangnya padat melingkar, pinggulnya melebar indah, ukuran lingkarnya cukup proporsional bagiku. Payudaranya amat montok dan membusung indah, Jenis payudara yang enak diciumi, disedot-sedot, dan diremas-remas. Dari samping bisa kulihat payudaranya begitu menonjol meskipun tertutup kain kaftan.
“Selamat sore Pak, kenalkan saya Alya.” Suaranya lembut, mungkin ini adalah suara terindah yang pernah aku dengarkan sepanjang hidup. Pikiran kotorku bahkan mulai memproses segala kemungkinan jorok tentang bagaimana saat Umi Alya mendesah serta mengerang ketika sedang disetubuhi.
“Sa-Saya Bram, Bramantyo.” Aku tergagap seraya menyalaminya.
“Kata Pak Kusno, Pak Bram mau kos di sini?”
“I-Iya Bu. Apa masih ada kamar kosong?” Aku berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diriku sendiri.
“Masih ada kok Pak. Tapi sebelumnya saya boleh melihat KTP Pak Bram terlebih dahulu? Untuk memastikan saja, maklum Pak ini kota kecil, saya nggak mau terjadi masalah aja di kemudian hari.” Kata-katanya lugas, mengalir begitu saja dari bibirnya yang mungil dan tipis, menandakan jika barisan kata itu sudah cukup terlatih terlontar setiap ada calon penghuni kos baru.
“Boleh Bu.” Aku segera merogoh kantong belakang celanaku untuk mengambil dompet. Saat aku mencari KTP, Pak Kusno pamit pergi meninggalkan kami berdua.
Aku menyerahkan KTP ku pada Umi Alya, sejenak dia mengamati ID card itu dengan seksama, seolah memastikan kebenaran identitasku tentunya. Umi Alya, entah kenapa aku merasa kurang sreg dengan panggilan ini pada dirinya. Apalagi mengingat usiaku tak berbeda jauh dengannya. Tak lama wanita cantik itu menyerahkan kembali KTPku seraya menebar senyumnya yang begitu manis.
“OK Pak Bram, mari saya antar sekarang ke kamar. Ada 4 kamar kosong di lantai atas, kalau di lantai bawah udah full terisi semua.” Ujarnya seraya bangkit dari kursi, aku bisa melihat pantatnya yang semok tercetak jelas di dalam kain kaftan.
“Baik Bu!” Jawabku buru-buru ikut bangkit dari kursi.
Kami berdua melangkah menuju bangunan utama, sepanjang perjalanan Umi Alya menjelaskan padaku beberapa peraturan yang diterapkan di rumah kos ini. Beberapa peraturan yang sudah lazim berlaku di sebuah rumah kos seperti dilarang membawa binatang peliharaan, larangan untuk membuat keributan, pesta miras atau narkoba dan beberapa peraturan lain. Aku mendengarkan dengan seksama sambil mengamati keadaan sekitar. Menurut Umi Alya, kebanyakan penghuni di rumah kos ini adalah pekerja kantoran yang asalnya dari luar kota. Beberapa diantara mereka bahkan tinggal satu kamar dengan istri atau suami mereka.
“Jadi di sini termasuk kos bebas ya Bu?” Pancingku. Umi Alya tiba-tiba berhenti saat menapaki anak tangga seraya menolehkan pandangan ke arahku.
“Bebas yang seperti apa maksud Pak Bram?” Tanyanya dengan raut menyelidik, di sini aku bisa melihat sebuah ketegasan serta kedewasaan sekaligus.
“Ehmm, mak-maksud saya i-itu…a-anu Bu…” Bibirku mendadak kelu, bahkan bingung harus menjawab apa. Umi Alya tersenyum, bahkan terdengar tawanya renyah.
“Hahahaha! Santai Pak Bram, nggak usah gugup kayak gitu. Saya tau maksudnya kok, pokoknya selama nggak ganggu penghuni lain, nggak jadi masalah buat saya kok.” Ucapnya sembari mengedipkan matanya, seolah tau isi pikiranku beberapa saat yang lalu. Gila! Rupanya wanita cantik satu ini benar-benar tipe open minded dan tidak kaku.
“Ba-Baik Bu..”
“Ngomong-ngomong, di sini juga ada yang kerja jadi LC kok Pak Bram. Beberapa kali dia juga sering menginap dengan laki-laki yang berbeda. Nggak masalah buat saya asal nggak bikin ribut aja. Kita sama-sama udah tau lah ya, hehehehehe…” Selorohnya santai.
Setelah mengecek satu persatu kamar yang kosong, akhirnya aku memilih untuk menempati kamar nomor 12 yang berdekatan dengan tangga. Selain ukurannya lebih luas dibanding dengan kamar lain, lokasinya yang strategis membuatku menambatkan pilihan pada kamar ini. Di dalam kamar sudah tersedia ranjang, meja kerja sekaligus lemari pakaian berukuran besar serta sebuah kamar mandi yang telah memiliki shower air panas. Cukup nyaman pikirku.
“Untuk pembayarannya bagaimana Bu?” Tanyaku sesaat setelah meletakkan tasku di dalam lemari.
“Bisa cash atau transfer Pak.” Jawabnya lugas dan tenang. Aku merogoh kantong celanaku kembali, membuka dompet dan mengeluarkan 10 lembar uang seratus ribuan lalu menyerahkannya pada Umi Alya.
“Silahkan dihitung dulu Bu, ini pembayaran saya untuk satu bulan ke depan.” Kataku.
“Baik, terima kasih Pak Bram. Oh ya, kalau Pak Bram butuh apa-apa, bisa hubungi Pak Kusno ya.”
“Iya Bu, terima kasih.”
“Ya sudah kalau begitu selamat beristirahat. Saya tinggal dulu.”
Wanita cantik itu berbalik badan dan meninggalkan kamarku. Aku sempat melongokkan kepala melewati pintu kamar hanya untuk melihat lenggokan pinggang serta bokong Umi Alya yang sedari tadi membuat celanaku sempit karena penisku mengeras membayangkan hal-hal kotor pada tubuh Ibu kosku itu. Setelah mandipun aku tak bisa memejamkan mata barang sejenak, bayangan kecantikan serta kemolekan tubuh Umi Alya benar-benar membuat konsentrasiku buyar. Alhasil hari pertama di kamar kos baru aku habiskan dengan beronani sembari membayangkan Umi Alya.
29298Please respect copyright.PENANACOh4tRCanS
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA29298Please respect copyright.PENANADM40Gpa07P