Tak terasa aku sudah berada di kota kecil ini hampir satu minggu lamanya. Kantor cabang yang akan aku audit berada cukup jauh dari tempat kosku, aku harus menempuh perjalanan nyaris 3 jam untuk ke sana. Alhasil selama seminggu penuh ini, aku selalu berangkat pagi buta dan pulang saat matahari nyaris tenggelam. Karena kecerobohan satu orang bodoh, aku harus mengalami fase menjengkelkan seperti ini.
Maka minggu pagi ini saat hari libur aku puas-puaskan menikmati empuknya ranjang kamar kos, aku tekadkan hati untuk bangun lebih siang dibanding hari biasanya, sebuah kemewahan hakiki yang sulit aku dapatkan sejak aku menginjakkan kaki di kota kecil ini. Suara dering ponsel membangunkanku saat jam menunjukkan pukul 11 siang. Sebuah panggilan masuk dari kepala kantor cabang yang mengabarkan jika seluruh pembukuan uang kas selama tiga bulan terakhir sudah beres dikerjakan. Dengan sedikit malas aku mengucapkan terima kasih, karena itu artinya kurang beberapa hal lagi tugasku di kota ini segera selesai dan aku bisa kembali ke ibukota.
Setelah mencuci muka dan gosok gigi aku memutuskan untuk keluar kamar, melihat asrinya taman di halaman depan sembari menghisap rokok mungkin bisa membuat pikiranku lebih fresh lagi. Entah ini rejeki atau kebetulan semata, karena saat aku membuka pintu kamar dan melangkah menuju pagar pembatas mataku langsung memandang pemandangan indah. Umi Alya terlihat sedang asyik membersihkan taman, dia memotong rumput, memangkas tanaman liar serta merapihkan pot-pot bunga.
Pagi ini dia mengenakan celana leging ketat berwarna hitam, bagian atas tubuhnya tertutup jersey lengan panjang berwarna senada dan tentu saja sepotong hijab yang menutupi kepalanya. Aku paling suka menatap tubuhnya bila dia membelakangiku seperti ini. Sungguh merupakan keindahan tiada tara, inilah yang aku butuhkan untuk membuat stressku mereda. Apalagi bila dia sedang menunggingkan pinggulnya yang padat, hal itu membuatku membayangkan bagaimana rasanya jika kami bersetubuh dengan posisi doggystyle.
Dari informasi yang aku dapatkan dari Pak Kusno beberapa hari lalu saat kami ngobrol sampai tengah malam, Umi Alya baru tinggal di rumah kos ini sekitar 6 bulan yang lalu. Rumah kos yang aku tempati ini merupakan milik salah seorang anggota DPR Pusat, pria tua kaya raya, orang asli kota kecil ini, dan terkenal memiliki banyak istri. Umi Alya salah satunya.
Setelah resmi menjadi istri yang kesekian, Umi Alya diberi mandat untuk mengelola rumah kos ini oleh sang suami. Pria tua kaya raya itu pulang untuk berkunjung setiap satu bulan sekali, itupun tak pernah lama mengingat kesibukannya sebagai seorang anggota DPR. Apalagi istrinya bukan hanya Umi Alya seorang, tentu pria beruntung itu harus pintar-pintar membagi waktunya agar bisa dicap sebagai lelaki adil.
“Lagi libur Pak Bram?” Tiba-tiba suara Umi Alya mengagetkanku, lamunanku seketika buyar, entah apakah ibu kosku itu bisa melihat kepanikan di wajahku saat ini atau tidak.
“I-Iya Bu….Libur..” Sahutku sekenanya.
“Okey selamat beristirahat kalau gitu ya!” Aku mengangguk ramah seraya memperhatikan langkah kakinya menjauh dari pandangan mataku.
Entah kenapa kejadian hari ini menjadi pemantik tekadku yang lain. Ya, aku bertekad untuk bisa merasakan kenikmatan bersetubuh dengan Umi Alya sebelum aku pergi dari sini. Aku harus meniduri wanita cantik itu!
***
Suara gemercik hujan yang turun dari langit malam ini mengiringi langkah kakiku menuju rumah kecil di samping bangunan utama yang ditempati oleh Umi Alya. Tanganku menggenggam bungkusan plastik berisi martabak manis yang aku beli di pasar beberapa saat lalu. Setelah memastikan penampilanku cukup oke, segera aku ketuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam rumah, suara yang sudah begitu akrab di telingaku.
Terdengar suara langkah di dalam rumah menuju pintu. Kemudian pintu terbuka. Aku terpana. Di hadapanku berdiri Umi Alya dengan hanya mengenakan baju kimono yang terbuat dari bahan handuk sebatas lutut. Paha dan betisnya yang tidak tertutup secara sempurna itu tampak begitu mulus. Padat dan putih. Kulitnya kelihatan licin, dihiasi oleh rambut-rambut halus yang pendek. Pinggulnya yang besar melebar dengan aduhainya. Pinggangnya kelihatan ramping. Sementara kimono yang menutupi dada atasnya belum sempat dia ikat secara sempurna, menyebabkan belahan dada yang montok itu menyembul di belahan baju.
Payudara yang membusung itu dibalut oleh kulit yang putih mulus. Lehernya jenjang. Beberapa helai rambut terjuntai di leher putih tersebut. Sementara bau harum sabun mandi tercium dari tubuhnya. Sepertinya dia baru selesai mandi, tentu saja pemandangan indah nan langka ini membuat jiwa kelaki-lakianku memberontak hebat. Penisku tanpa sadar bahkan perlahan mengeras.
“Selamat malam Bu…” Sapaku ramah saat pintu terbuka. Seperti biasa Umi Alya mengumbar senyum termanis.
“Selamat malam juga Pak Bram, tumben malam-malam ke sini? Ada apa?” Tanyanya.
“Maaf sebelumnya Bu, saya cuma mau memberikan ini, kebetulan tadi waktu ke pasar saya beli terlalu banyak, sebagian saya bagi ke tetangga kos.” Ujarku seraya menyerahkan bungkusan plastik pada Umi Alya.
“Wah apa ini Pak Bram? Repot-repot banget.”
“Nggak repot kok Bu, cuma martabak manis aja.”
“Terima kasih banyak loh, kebetulan saya suka banget sama martabak manis. Ayo masuk dulu Pak Bram, saya buatin minum.”
Wuhuuu! Tanpa perlu banyak basa-basi aku menerima undangannya, tidak mungkin aku sia-siakan kesempatan emas ini. Aku berjalan mengikutinya menuju ruang tamu. Kuperhatikan gerak tubuhnya dari belakang. Pinggulnya yang besar meliuk indah ke kiri dan ke kanan mengimbangi langkah-langkah kakinya. Edan! Ingin rasanya kudekap tubuh itu dari belakang erat-erat. Pikiran jorokku kembali membayangkan bagaimana rasanya jika batang penisku bisa bersentuhan langsung dengan bongkahan padat bokongnya, apalagi sembari meremasi gundukan kenyal payudaranya yang berukuran besar itu.
Aku duduk di sofa ruang tamu, sementara Umi Alya berjalan tenang menuju sebuah ruangan yang aku duga adalah kamar tidurnya. Langkah-langkah betis indahnya tidak pernah lepas dari tatapan liar mataku. Beberapa menit kemudian Umi Alya keluar dengan pakaian yang berbeda. Sekarang dia mengenakan baju kimono tidur putih yang berbahan satin. Diterpa sorot lampu ruang tamu, kain tersebut mempertontonkan tonjolan buah dadanya sehingga tampak membusung dengan gagah. Umi Alya tidak mengenakan bra di balik kimono tidurnya, sehingga kedua puting payudaranya tampak jelas sekali tercetak di bahan kimono itu. Tanpa sadar aku sampai menelan liurku berkali-kali, wanita yang sehari-hari aku lihat mengenakan hijab dan pakaian tertutup nyatanya bisa seterbuka ini.
“Ingin minum apa? Kopi, teh, atau bir?” Tanya Umi Alya.
“Teh saja Bu.” Jawabku buru-buru.
Selama ini aku memang menghindari minum bir. Bukan aku antialkohol atau menganggap bahwa bir itu haram, namun hanya alasan takut ketagihan minuman alkohol saja. Umi Alya kemudian membawa baki berisi poci teh hijau dan sebuah cangkir untukku. Untuk dia sendiri, diambilnya satu cangkir besar dan tiga botol bir dari kulkas.
“Ayo silahkan diminum Pak.”
“Terima kasih Bu…”
Tanpa canggung, Umi Alya menuangkan bir ke dalam gelasnya sebelum kemudian dia menenggaknya nyaris hampir habis. Jujur, aku sama sekali tak menduga jika ibu kosku ini begitu doyang menikmati minuman beralkohol, tapi masa bodoh, setidaknya malam ini aku bisa begitu leluasa memandangi kemolekan tubuhnya tiada henti.
“Kok sepi Bu?” Tanyaku.
“Wait, sebelumnya maaf banget nih Pak Bram. Lebih baik mulai sekarang kalau manggil saya cukup dengan Alya saja. Setiap kali dipanggil dengan sebutan Bu kok rasanya saya tua banget ya? Padahal kan usia kita nggak beda jauh kan? Hehehehe..” Ujarnya sambil terkekeh ringan.
“Ah iya Bu, eh, maaf kalo gitu Alya…” Sahutku sedikit canggung.
“Nggak apa-apa kok.”
“Kalo gitu, Alya juga boleh manggil saya dengan Bram aja.”
“Jangan, lebih baik saya manggilnya Mas Bram aja. Usia Mas kan satu tahun lebih tua dari saya.”
“Oh ya?”
“Iya, saya kan udah lihat KTP Mas Bram tempo hari. Gimana sih?”
“Ah..Iya…Heheheheh…” Sahutku.
“Jadi ya kayak gini keadaannya Mas, saya tinggal sendiri di sini. Suami paling datang sebulan sekali itupun nggak pernah lama paling sehari atau dua hari. Paling kalo udah bosen banget saya pulang ke rumah orang tua di seberang pulau.” Jelasnya, aku menyimak tiap ucapan Umi Alya seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Mas Bram asli Jakarta?”
“Bukan, saya asli dari Surabaya. Hanya saja saya udah punya rumah di Jakarta jadi ya domisili di KTP sesuai dengan tempat tinggal saya saat ini.” Kataku sebelum kembali meminum the hangat dari cangkir.
“Oh Surabaya, sama-sama kota besar ya Mas? Beda dengan di sini.” Katanya seraya menenggak habis bir di dalam gelasnya.
“Ya begitulah, tapi tinggal di kota kecil kayak gini sepertinya lebih tenang. Nggak bikin pusing, heheheheh.” Ujarku menimpalinya.
“Memangnya Mas Bram betah tinggal di sini? Saya sih kalo punya kesempatan pindah ke kota yang lebih besar, saya lebih memilih pindah aja Mas.”
Umi Alya beranjak dari duduknya, wanita cantik itu kembali berjalan menuju lemari es untuk mengambil sebotol bir lagi. Pada posisi membelakangiku, aku menatap liar ke tubuhnya. Mataku berusaha menelanjangi tubuhnya dari kain kimono mengkilat yang dia kenakan. Pinggangnya ramping. Pinggulnya besar dan indah. Kemudian betis dan pahanya yang putih mulus tampak licin mengkilap di bawah sorot lampu ruangan. Betapa harum dan sedapnya bila betis dan paha tersebut kuciumi dan kujilati.
Kami kembali terlibat obrolan-obrolan ringan seputar asal kotaku sambil sesekali dia menenggak bir. Kini dari mulutnya yang indah tercium wanginya bau bir setiap kali dia mengeluarkan suara. Kupikir sungguh kuat dia meminum bir. Tiga gelas besar sudah hampir habis diteguknya. Matanya sudah sedikit memerah. Ngomongnya pun kadang agak kacau, mungkin karena pengaruh alkohol. Namun bagiku ini adalah kesempatan menatapnya dari dekat tanpa rasa risih.
22144Please respect copyright.PENANAlJgpXRXVSf
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.48da2