Umi Alya tidak menyadari bahwa belahan kain kimono di dadanya mempertontonkan keindahan gumpalan payudara yang montok dan putih di kala dia agak merunduk. Edan, ranumnya! Penisku pun menegang dan terasa hangat. Sebersit kenikmatan terasa di saraf-saraf kemaluanku. Saat kami masih asyik ngobrol tiba-tiba terdengar suara dering ponsel. Umi Alya bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Pengaruh kebanyakan minum bir mulai terlihat pada dirinya. Jalannya agak sempoyongan.
“Sialan!” Makiku dalam hati karena dering telpon tersebut memutus keasyikanku melihat kemontokan payudaranya. Umi Alya terlibat pembicaraan sebentar lewat ponsel, aku bisa mendengar suaranya dari tempatku duduk. Tak lama wanita cantik itu kembali berjalan sempoyongan ke tempat duduknya.
“Suamiku bulan ini tidak pulang, ada tugas yang tidak bisa ditinggal.” Umi Alya menjelaskan isi pembicaraan telponnya.
“Oh iya…” Sahutku menanggapinya.
Hujan di luar semakin deras, suara guntur dan petir saling bersahutan beberapa kali. Umi Alya menuangkan bir ke gelasnya lagi. Sudah gelas yang keempat. Edan juga perempuan ini. Jalannya sudah sempoyongan namun masih terus menambah bir.
“Mas Bram sudah menikah?” Tanyanya.
“Belum.” Jawabku.
“Sudah ada pacar?”
“Belum juga.”
“Hmmm, tapi pernah pacaran kan?” Matanya yang semakin memerah melirikku sembari senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Ya pernah, tapi sudah lama.” Kataku.
“Dulu ngapain aja Mas kalo pacaran?” Gelasnya sudah terisi penuh dengan bir.
“Ya biasa aja, paling jalan bareng, nongkrong atau nonton bioskop.” Umi Alya kembali meneggak bir, isi gelasnya berkurang separuh lebih.
“Gitu doang? Nggak pake ngewe?” Ucapan Umi Alya makin ngelantur, pengaruh alkohol benar-benar membuat tiap kata yang terucap dari mulutnya tak bisa tersaring secara sempurna.
“Ya pernah juga, tapi itu udah lama banget.” Umi Alya tertawa lirih mendengar kata-kataku. Suara tawanya amat menantang kejantananku.
“Di sini, gadis-gadis usia 16 sampai 17 tahun kebanyakan sudah menikah. Jadi untuk urusan sex, kami sudah sangat terlatih. Bahkan aku dulu sering disebut perawan tua karena baru menikah di usia 25 tahun.”
“O… begitu. Baru tahu saya…”
Umi Alya tertawa lagi. Tawa yang membangkitkan hasrat. Sialan. Aku seperti sedang diuji oleh pemilik bibir ranum sensual itu. Ingin rasanya kubuktikan kedewasaan dan kejantananku. Ingin rasanya kulumat habis-habisan bibir merekah itu. Ingin rasanya kusedot-sedot payudara aduhai itu dengan penuh kegemasan. Dan ingin rasanya kuremas-remas pantat kenyal Umi Alya sampai dia menjerit keenakan. Agar dia kapok.
“Kenapa tidak cari pacar lagi Mas? Betah amat jadi jomblo. Mas Bram ganteng, badan tinggi-tegap dan berpenampilan jantan. Kalau cari pacar, pasti banyak perempuan yang mau. Sayang kalau energi pada usia segini tidak dinikmati.” Ujarnya seolah begitu berpengalaman dalam urusan asmara. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Sebab kalau Mas Bram sudah berumur energi akan berkurang. Atau bahkan loyo seperti suamiku. Baru main empat atau lima menit sudah crot duluan. Setelah itu langsung tidur dan melupakanku, padahal aku belum ngrasain apa-apa. Dasar suami egois!”
Nah, benar terkaanku. Dia mulai meracau tak jelas. Bicaranya tambah mengacau. Kebiasaan orang mabuk, kalau mulai hilang kesadarannya karena kebanyakan minum, apa yang dia pendam dalam hati akan dia keluarkan satu per satu. Umi Alya menenggak bir lagi. Habislah gelas yang keempat. Dan dia mengisinya kembali sampai penuh. Padahal matanya sudah merah dan kelihatan mengantuk. Namun dalam kondisi demikian kulihat kecantikan aslinya. Mata mungil yang setengah tertutup kelopak mata itu tampak sangat bagus.
Terus terang aku menyukai perempuan bermata sipit, contohnya perempuan Jepang, Cina, atau Korea. Bibir Umi Alya yang sensual dan berwarna merah muda tanpa polesan lipstik itu mengeluarkan keluhan-keluhan tentang keloyoan suaminya dalam masalah sex. Namun biarlah dia mengoceh, bagiku yang terpenting adalah menatap bibir merekah itu tanpa rasa risih karena yakin si empunya dalam keadaan tidak tersadar. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika melumat bibir sensual itu nantinya.
“Maaf ya Mas Bram kalo bicaraku agak ngelantur kayak gini. Maklum, sudah lama aku nggak dapat teman ngobrol. Suamiku jarang pulang, sementara aku di sini nggak punya teman sama sekali.” Umi Alya menenggak bir lagi, wajahnya makin bersemu merah.
“Nggak apa-apa kok. Tapi lebih baik Alya istirahat saja, sudah terlalu banyak minum kamu ini.” Kataku memberi saran, bagaimanapun aku juga mulai mengkhawtirkannya.
“Aku udah biasa minum kok. Semakin banyak minum bir dunia terasa semakin indah. Hehehehehe…” Umi Alya beranjak dari duduknya. Dia mencoba berdiri, namun sempoyongan kemudian terjatuh. Aku bersiap-siap menolongnya, namun dia berkata,
“Nggak apa-apa Mas, aku masih bisa kok.”
Umi Alya berusaha berdiri dan berjalan menuju kulkas. Namun baru menapak dua langkah wanita itu kembali terjatuh seperti yang kukhawatirkan. Untung tangannya masih sempat sedikit menjaga badannya sehingga dia tidak terbanting ke lantai. Namun tak ayal, betis kanan Umi Alya masih membentur kaki sofa..
“Aduuuhhh!!!” dia berteriak kesakitan.
Aku segera menolongnya. Punggung dan pinggulnya kuraih. Kubopong dia ke atas sofa. Kuletakkan kepalanya di atas bantal duduk. Dalam posisi seperti itu, tercium bau harum sabun mandi dari tubuhnya. Kimono atasnya terbuka lebih lebar sehingga mataku yang berada hanya sekitar 10 cm dari payudaranya melihat dengan leluasa kemontokan gumpalan daging kenyal di dadanya. Nafsuku pun naik. Penisku semakin tegang. Dan ketika aku menarik tangan dari pinggulnya, tanganku tanpa sengaja mengusap pahanya yang tersingkap. Paha itu hangat, licin, dan mulus.
“Aaauucchhhh….” Sambil masih di posisi tiduran, tangannya berusaha meraih betis yang terbentur tadi.
Namun pengaruh banyaknya bir yang sudah dia minum membuatnya tak mampu meliukkan badannya dalam menggapai betis. Kulihat bekas benturan tadi membuat sedikit memar di betis yang putih indah itu. Aku pun berusaha membantunya. Kuraih betis tersebut seraya meminta ijin.
“Permisi ya…” Kuraba dan kuurut bagian betis yang memar tersebut.
“Acchhh…Sakiitttt…” Umi Alya meringis kesakitan. Namun kemudian dia bilang,
“Betul bagian situ yang sakit. Ah… enak… Ah… ah… terus… terus…”
Cukup lama aku memijit betis Umi Alya hingga kemudian suaranya hilang. Sambil terus memijit betis, kupandangi wajahnya. Matanya sekarang terpejam. Nafasnya jadi teratur, dengan bau harum bir tercium dari udara pernafasannya. Umi Alya sudah tertidur. Kantuk akibat pengaruh alkohol sudah tidak mampu dia tahan lagi. Tekanan tanganku pada betisnya sedikit kulemahkan hingga akhirnya kuhentikan sama sekali.
Aku tak bisa berpaling dari kecantikan alami ibu kosku ini. Alangkah cantik wajahnya. Lehernya jenjang. Daging montok di dadanya bergerak naik-turun dengan teratur mengiringi nafas tidurnya, seolah menantang kejantananku. Dada tersebut tidak dilindungi bra sehingga putingnya menyembul dengan gagahnya dari balik kain kimono.
Pinggangnya ramping, pinggulnya yang besar melebar dengan indahnya. Kain kimono yang mengkilap tersebut tidak mampu menyembunyikan garis segitiga celana dalamnya yang kecil. Sungguh kontras, celana dalam minim membungkus pinggul yang besar. Celana dalam yang di antara dua pahanya terlihat membelah. Pasti di situ letak lubang vaginanya. Terbayang apa yang ada di balik celana dalamnya, penisku menjadi semakin tegang. Apalagi paha putih mulusnya dipertontonkan dengan jelas karena kimono bagian bawah yang tersingkap.
Gila! Melihat lekuk tubuh aduhai yang tertidur itu nafsuku menjadi semakin naik. Terbangunkah dia bila kutiduri? Beranikah aku? Teman-temanku yang tertidur karena kebanyakan minum alkohol biasanya akan pulas sampai sekitar satu atau dua jam, apakah Umi Alya juga begitu? Akankah dia terbangun bila tubuhnya kucumbu? Segala pikiran-pikiran itu seperti sedang berputar-putar di dalam kepalaku, pertentangan birahi dan akal sehat serta keberanian bercampur dalam benakku.
Hasratku semakin memuncak. Kuelus betis indah Umi Alya. Kemudian sedikit kuremas untuk memastikan bahwa dia cukup pulas. Ternyata dia tidak terbangun. Keberanianku bertambah. Kusingkap bagian bawah kimononya sampai sebatas perut. Kini paha mulus itu terhampar bebas di hadapanku. Di atas paha, beberapa helai bulu jembut keluar dari celana dalamnya yang minim. Sungguh kontras warnanya. Jembutnya berwarna hitam legam, sedang kulitnya berwarna putih mulus.
Kueluskan tanganku menuju pangkal pahanya sambil kuamati wajah Umi Alya. Ibu kosku tidak terbangun, masih sangat pulas. Kueluskan perlahan ibu jariku di bagian celana dalam yang mempertontonkan belahan bibir vaginanya. Tiba-tiba jari-jari tangannya bergerak seperti tersentak. Aku kaget. Segera kuhentikan aksiku, dadaku berdetak makin cepta, khawatir jika dia terbangun dan menyadari tindakan cabulku pada tubuhnya. Namun detik berikutnya dia kembali tertidur dengan nafas yang teratur.
Keberanianku muncul kembali. Dengan sangat berhati-hati, kurundukkan kepalaku, kuciumi pahanya bergantian, kiri dan kanan, sambil tanganku mengusap dan meremasnya perlahan-lahan. Kedua paha tersebut secara otomatis bergerak terbuka agak lebar. Bau harum yang tercium dari pahanya membimbing hasrat kejantananku untuk meneruskan pendakian.
“Dia sedang tertidur pulas! Dia sedang tidak tersadar! Dia sedang dibawah pengaruh alkohol! Kenapa aku harus takut?” Batinku bersorak kegirangan.
Setelah puas menciumi pahanya, aku berjalan ke pintu dan menguncinya dari dalam, untuk berjaga-jaga kalau ada orang dari luar tiba-tiba masuk. Tak mau membuang waktu berharga, segera kulepas celanaku hingga telanjang bulat. Penisku telah mengacung tegak, tanda siap untuk segera digunakan menuntaskan hasrat. Meskipun jantungku masih berdegup kencang, kuarahkan langkah kaki kembali menuju sofa tempat Umi Alya pulas tertidur. Kembali kuciumi paha serta betisnya. Penisku sudah sangat tegang. Birahi menuntunku untuk bertindak makin jauh, kutempelkan kepala penisku di paha mulus tersebut.
Rasa hangat mengalir dari paha Umi Alya ke kepala penisku. Kugesek-gesekkan ujung penis di sepanjang kulit pahanya yang mulus. Rasa geli, hangat, dan nikmat menyelimuti kulit penisku. Penisku terus kugesek-gesekkan di pahanya sambil agak kutekan. Birahiku semakin tinggi, membuatku semakin nekat. Kulepaskan ikatan baju kimono tidur Umi Alya, kusingkapkan begitu saja hingga tubuh mulusnya terhampar bebas di hadapanku tanpa penghalang sedikitpun.
Tubuh moleknya sungguh membangkitkan gairah. Sesuatu yang hanya bisa kubayangkan sejak pertama kali bertemu dengan Umi Alya, kini secara nyata dan jelas hanya berjarak beberapa senti dari pandangan mataku. Payudara yang besar membusung indah, pinggang yang ramping, dan pinggul yang besar melebar dengan bagusnya. Payudaranya menggunung putih, putingnya berdiri tegak berwarna pink kecoklat-coklatan.
Perlahan kuciumi payudara montok Umi Alya. Hidungku mengendus kedua payudara yang berbau harum itu sambil sesekali mengecupnya, tak lupa lidahku juga ikut menjilatinya. Kemudian puting payudara kanannya kulahap ke dalam mulutku. Badan Umi Alya sedikit tersentak saat putingnya kugencet perlahan dengan menggunakan lidah dan gigi atasku. Aku pun terperanjat kaget, dadaku bergemuruh bak tabuhan perang, khawatir jika wanita cantik ini tersadar. Namun seperti sebelumnya, kedua matanya terpejam tanda jika Umi Alya masih terlelap. Kulanjutkan aksiku dengan mulai menyedot putingnya secara bergantian.
Kuperbesar daerah lahapan bibirku. Kini puting dan payudara sekitarnya yang berwarna kecoklatan itu semua masuk ke dalam mulutku. Kembali kusedot secara perlahan, namun lama kelamaan kutambah tenaga sedotan bibirku. Meskipun begitu aku tetap siaga, saat Umi Alya bergerak sebagai reflek sentuhan, aku memilih untuk mengendurkan sedotan. Walaupun tetap tertidur, mimik wajah Umi Alya tampak sedikit berubah, seolah menahan suatu kenikmatan.
Kedua payudaranya terus kuciumi dan kusedot-sedot secara berirama. Di bawah, penisku bertambah tegang. Sambil terus menggumuli payudaranya aku terus menggesek-gesekkan penis di kulit pahanya yang halus dan licin. Rasa nikmat merembes dari penisku ke sel-sel otak di kepalaku.
Kubenamkan wajahku di antara kedua belah gumpalan dada Umi Alya. Kemudian perlahan kepalaku bergerak ke bawah. Kugesek-gesekkan wajahku di lekukan tubuh yang merupakan batas antara gumpalan payudara dan kulit perutnya. Kiri dan kanan kuciumi serta kujilati secara bergantian. Keharuman yang tercium dari badannya kuhirup dengan rakus, seolah tidak rela bila ada bagian kulit tubuhnya yang terlewatkan barang satu milimeter pun.
Kepalaku terus bergerak menyusur ke bawah, kali ini menyasar pinggang Umi Alya. Sementara gesekan kepala penisku kupindahkan ke betisnya. Bibir dan lidahku menyusuri perut sekeliling pusarnya yang putih mulus. Kemudian wajahku bergerak lebih ke bawah. Dengan nafsu yang menggelora kupeluk pinggulnya secara perlahan. Kecupanku pun berpindah ke celana dalam tipis yang membungkus area sensitifnya tersebut. Kususuri pertemuan antara kulit perut dan celana dalam. Kemudian bibirku menyasar ke arah pangkal pahanya.
Kujilat helaian rambut jembutnya yang keluar dari celana dalam. Lalu kuendus dan kujilat celana dalam pink itu di bagian yang tidak mampu menyembunyikan lekuk belahan bibir vaginanya. Kuhirup kuat-kuat bau khas yang terpancar dari balik celana dalam, membuat nafsuku semakin meronta-ronta. Setelah cukup puas, aku mengakhiri kecupan dan jilatanku di celana dalam sekitar vaginanya tersebut.
Aku bangkit dari posisi semula, kali ini aku berdiri di atas lutut, kukangkangi tubuh mulus Umi Alya dari atas. Penisku yang tegang kemudian kutempelkan di kulit payudaranya. Bagian ujung penis kugesek-gesekkan di payudara yang menggembung montok itu.
Kembali rasa geli, hangat, dan nikmat mengalir di sekujur syaraf-syaraf penisku. Sambil kukocok batang penisku dengan tangan kanan, sementara bagian ujungnya terus kugesekkan di gumpalan daging payudara Umi Alya, kiri dan kanan secara bergantian. Aku ingin berlama-lama merasakan kelembutan serta kekenyalan payudara ibu kosku itu. Ketakutanku sudah pudar seluruhnya berganti dengan desakan birahi tak bertepi. Bahkan kalaupun sekarang Umi Alya terbangun dan memberontak, aku sudah tak peduli lagi, kepalang tanggung.
Kuraih kedua belah gumpalan payudara mulus Umi Alya. Aku berdiri di atas lutut dengan mengangkangi pinggang rampingnya dengan posisi badan sedikit membungkuk. Batang penisku kemudian kujepit dengan dua gundukan payudaranya. Kini rasa hangat payudara Umi Alya terasa mengalir ke seluruh batang penisku.
Perlahan penisk kugerakkan maju mundur pada kedua payudara Umi Alya. Kekenyalan daging payudara tersebut serasa memijit-mijit batang penisku, memberi rasa nikmat yang luar biasa. Di kala maju, kepala penisku terlihat mencapai pangkal lehernya yang jenjang. Di kala mundur, kepala penisku tersembunyi di jepitan payudaranya.
Lama-lama gerakan penisku bertambah cepat, dan kedua payudara montok Umi Alya kutekan semakin keras dengan telapak tangan agar jepitannya pada batang penisku semakin kuat. Saking nikmatnya, kedua mataku sampai merem melek menikmati enaknya jepitan payudara indah itu. Lambat laun bibir mungil Umi Alya mengeluarkan desahan, samar namun masih bisa terdengar.
“Eeemmcchhh…Eeemmcchhh…”
Mungkin saja meskipun dalam keadaan tertidur pulas, Umi Alya juga merasakan sentuhan benda asing di gundukan payudaranya. Sekali lagi, ketakutanku sudah hilang seluruhnya, aku tak peduli jika nanti Umi Alya terbangun dan mendapati tingkah mesumku pada tubuhnya.
Sekilas kulihat lubang kencingku sudah berair, tanda jika cairan precum ku telah keluar sedari tadi. Cairan tersebut membasahi belahan payudara Umi Alya. Oleh gerakan maju-mundur penisku di dadanya yang diimbangi dengan tekanan-tekanan dan remasan tanganku di kedua payudaranya, cairan itu menjadi teroles rata di sepanjang belahan dadanya yang menjepit batang penisku. Cairan tersebut menjadi pelumas yang memperlancar maju-mundurnya penisku pada jepitan payudaranya. Alhasil gerakan penisku makin lama makin lancar, sensasi licin dan hangat bercampur padu seolah menyelimuti seluruh batang penisku yang telah mengeras sempurna.
20583Please respect copyright.PENANA6VYQ5BAyJH
BERSAMBUNG
Cerita "UMI ALYA" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI20583Please respect copyright.PENANAyybIj4WhST