"Saya terima nikah dan kawinnya Khairunissa Amaliah binti Abdul Karim dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Pak Malik, atau yang biasa dipanggil Ustadz Malik oleh tetangga sekitarnya, masih mengingat dengan jelas pernikahannya dengan Ummi Nisa 15 tahun yang lalu. Mereka berdua saat itu baru saja lulus dari pondok pesantren di desa mereka dan langsung menikah. Latar belakang keluarga mereka bukan orang berada, sepasang kekasih itu lebih suka menyebut kondisi ekonomi mereka berkecukupan.
Ustadz Malik dan Ummi Nisa menetapkan satu tujuan yang ingin mereka laksanakan selepas menikah yaitu haji bersama di tanah suci Mekkah. Demi melaksanakan cita-cita mulia itu, mereka rela merantau ke kota untuk mencari rezeki dengan membuka warung di pinggir jalan, ditambah malamnya mereka mengisi kegiatan dengan mengajar anak-anak SD dan SMP mengaji di latar teras rumah mereka. Namun kenyataan berkata lain, tabungan yang awalnya digunakan untuk berangkat haji itu terus tergerus oleh kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Tahun demi tahun berlalu dan impian berangkat haji seakan sirna dari benak mereka. Usia Utadz Malik sudah menginjak kepala empat, sementara usia Ummi Nisa juga sudah 37 tahun, menyadarkan mereka sudah tak lagi muda. Banyak hal lain yang mereka khawatirkan, pernikahan lebih dari satu dekade lebih ini tak kunjung diberi rezeki Allah seorang anak. Ditambah, beberapa hari yang lalu terbit peraturan dari pemkot untuk menertibkan para pedagang yang berjualan di pinggir jalan, membuat pusing pikiran Ustadz Malik dan Ummi Nisa. Mereka tak punya tempat untuk berjualan lagi.
Ustadz Malik dan Ummi Nisa tentu tak berputus asa, mereka terus berdoa siang dan malam kepada Allah untuk membantu ekonomi keluarga mereka. Tiap hari, Ustadz Malik selalu datang ke masjid dekat rumahnya. Belasan tahun tinggal di rumah kontrakannnya membuat ia dikenal sebagai Ustadz yang baik hati dan berilmu, tiap kali ia lewat di jalan pasti banyak orang menyapanya. Ummi Nisa pun sama, ia dikenal sebagai Ustadzah berhijab lebar yang salihah, disukai anak-anak. Nyaris tak ada gosip ataupun cibiran yang menodai hubungan pasangan suami-istri itu.
Malam itu, sehabis sholat maghrib Ustadz Malik dan Pak Bambang—tetangganya yang seorang pensiunan satpam—sedang berjalan pulang menuju ke rumah masing-masing.
"Denger-denger Ustadz udah engga jualan lagi ya?" tanya Pak Bambang.
"Iya Pak, kan habis terbit perda dari pemkot itu, terus dilarang jualan di pinggir jalan lagi," ucap Ustadz Malik berterus terang.
"Oalah," Pak Bambang mengangguk-angguk. "Sekarang belum dapet tempat buat jualan Tadz?" tanya Pak Bambang penasaran
"Belum Pak hehe," jawab Ustadz Malik. "Ya semoga sama Allah segera dikasih tempat buat jualan baru."
"Gimana kalau buka di sekolah tempat saya dulu kerja?" Pak Bambang menyarankan. "Jualan di kantin sekolah gitu." Lanjut Pak Bambang.
"Emang bisa Pak? minta izinnya ke siapa?" tanya Ustadz Malik.
"Itumah gampang Tadz, saya kenal sama kepala sekolahnya, nanti saya yang ngurus aja kalau Ustadz mau," jawab Pak Bambang meyakinkan.
"Terimakasih Pak," Ustadz Malik menyalami tangan Pak Bambang. Ia tak menyangka pertolongan Allah datang dari tetangganya itu.
Beberapa hari kemudian, Pak Bambang mengabari bahwa urusan biaya sewa dan izin berjualan di kantin sudah beres dan harga sewanya sesuai dengan budget Ustadz Malik. Ustadz Malik tinggal datang untuk melihat lokasi kantin itu, dan apabila cocok bisa langsung sign kontrak dan bayar biaya sewa. Namun Pak Bambang tak bisa menemani mengecek lokasi karena hari itu ia sedang ada acara keluarga di luar kota. Jadi Pak Bambang hanya mengirimkan alamat sekolah itu via share location WA. Dengan gembira Ustadz Malik memberitahu istrinya bahwa dia mendapat tempat berjualan yang baru. Ummi Nisa sangat senang saat mengetahui kalau tempat jualan mereka yang baru adalah di kantin sekolah.
Siang harinya setelah mendapat kabar dari Pak Bambang itu, Ustadz Malik datang ke kantin sekolah tempat dia akan berjualan, namun betapa terkejutnya ia ketika sekolah yang ia datangi adalah SMK Kristen Swasta khusus laki-laki. Dirinya yang sudah yakin untuk berjualan di kantin sekolah kini menjadi ragu, biar bagaimanapun juga nantinya semua pembelinya adalah laki-laki, sementara dia berjualan hanya dibantu istrinya karena masih belum sanggup menggaji pegawai. Ustadz Malik akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat dulu. Ternyata kantin tersebut cukup luas dan ramai, penjaga kantinnya juga beberapa ada yang perempuan. Lokasi lapaknya nanti cukup strategis, di pojokan dekat deretan ruang ekskul yang mana banyak dipakai nongkrong dan selalu ramai bahkan sampai sepulang sekolah. Melihat hal itu, Ustadz Malik menjadi sedikit lebih yakin untuk tetap menyewa tempat di kantin ini. Akhirnya, ia pulang ke rumah untuk menceritakan hal itu kepada sang istri.
"Kalau Ummi sendiri sih yakin Bi, lagipula ini jawaban dari doa kita berdua lho bisa dapet tempat jualan di situ." Ucap Ummi Nisa setelah mendengar cerita suaminya.
"Ya sudah Ummi, bismillah mulai besok kita jualan disana ya," ucap Ustadz Malik kepada istrinya.
"Iya, Bi,"
Berbekal dukungan istrinya, Ustadz Malik lalu menghubungi administrasi sekolah untuk menyewa lapak di kantin. Selang beberapa hari, pasangan suami istri tersebut akhirnya resmi berjualan di kantin sekolah SMK Kristen Swasta itu. Hari pertama mereka berjualan dagangan mereka laris manis, dagangan mereka ludes padahal belum sampai sore hari. Sehingga esoknya Ustadz Malik dan Ummi Nisa mempersiapkan barang dagangan lebih banyak. Yang membuat Ustadz Malik terkesan adalah ternyata siswa-siwa di sekolah tersebut sopan dan saling menghormati, berbeda dari pandangan awalnya yang mengira anak-anak smk itu nakal dan berandalan. Terutama anak-anak ekskul pecinta alam yang terkenal jadi geng berandalan di sekolah itu justru sering membantunya beberes dan menutup lapaknya.
"Ustadz kalo mau sholat di ruang ekskul aja, udah kita sekat buat Ustadz sama Ummi Nisa sholat," ucap Alex, perawakannya tinggi dengan kulit putih bersih khas keturunan chinese.
"Iya, Ummi Nisa nanti bisa gantian sama Ustadz Malik sholatnya, atau kalau ngga nanti kita aja yang jaga kantinnya," ucap Ferdinand yang berdiri di sebelah Alex. Dibandingkan Alex, Ferdinand lebih pendek dan kulitnya lebih gelap, badannya gempal dan berotot. Ia keturunan Batak.
"Wah, makasih yaa, kalian itu emang baik-baik banget. Nanti Ummi sama Ustadz Malik gantian aja sholatnya biar ga ngerepotin," ucap Ummi Nisa.
"Betul itu," sahut Ustadz Malik yang masih sibuk melayani murid-murid lainnya yang membeli dagangan mereka. "Kalian baik banget sama kita berdua, jadi sungkan ngerepoti lebih banyak lagi."
"Gapapa lho Ustadz, Ummi, kita emang pengen bantu-bantu aja," ucap mereka berdua.
Ding, Dong.
Bel sekolah tanda istirahat habis berbunyi.
"Iya iya. Ummi berterimakasih banyak banget sama kalian-kalian." Ucap Ummi Nisa. "Tuh, udah bel, kalian masuk gih sana, titip terimakasihnya Ummi buat Lukas sama Daniel ya. Inget kalian berempat jangan bolos kelas,"
"Siap Ummi," ucap Alex dan Ferdinand.
Lukas dan Daniel adalah teman mereka berdua yang lain. Berempat, mereka dikenal sebagai geng pecinta alam di sekolah ini.
Hari demi hari berlalu dan usaha kantin pasangan suami-istri itu makin laris, tabungan mereka juga bertambah signifikan. Dengan bertambahnya pendapatan usaha itu, Ustadz Malik berpikir untuk menggunakan uang itu untuk merenovasi latar rumahnya sehingga tempat mengajar anakanak mengaji menjadi lebih bagus. Ia juga sudah mendapat izin dari pemilik kontrakan. Namun untuk merenovasi latar rumahnya itu, Ustadz Malik harus meninggalkan Ummi Nisa sendirian menjaga kantin selama beberapa hari, untungnya empat anak ekskul pecinta alam itu bersedia membantu istrinya ketika jam istirahat dan usai jam sekolah.
"Sini aku lap mejanya Ummi, Ummi istirahat aja pasti capek kan," ucap Daniel menawarkan bantuan. Perawakan tubuhnya mirip Alex, keturunan chinese dengan badan tinggi dan kulit putih.
"Ah, gak usah Dan, Ummi gak enak kalian terus yang kerja," ucap Ummi Nisa. Sejak kemarin, mereka berempat telah membantu dirinya berjualan dan menutup lapaknya.
"Udah gak apa-apa Ummi, sini aku lap," ucap Daniel. Ia lalu hendak merebut kain lap dari tangan Ummi.
"Jangan Dan," Ummi Nisa menghindar dari tangannya Daniel. Tapi Daniel terus mengejar Ummi Nisa.
"Sini Ummi, aku aja," ucap Daniel gigih. Ummi Nisa mundur setengah berlari menghindari kejaran Daniel, ia harus sampai meliuk-liuk menghidari meja dan kursi kantin.
"Ngga, kamu tadi udah beresin kursi sam-"
Bruk!
Ummi Nisa tak sadar menyenggol kaki kursi dan badannya terjatuh, Daniel yang mengejarnya juga ikut terjatuh. Badan Daniel menindih Ummi Nisa dan tangannya tak sengaja menyentuh toket Ummi Nisa yang tertutup gamis kombornya.
"M-maaf Ummi, aku beneran gak sengaja," ucap Daniel sambil segera berdiri. Ummi Nisa tak menjawab, ia berdiri dan menjauhkan diri dari Daniel. Wajahnya cemberut. "
Maaf Ummi, beneran gak sengaja, Ummi marah?" tanya Daniel. Wajahnya cemas melihat Ummi Nisa yang cemberut.
Ummi Nisa sebenarnya marah. Tak seharusnya ia sebagai istri salihah bermain-main dengan pria bukan mahram seperti ini, apalagi ketika suaminya tak ada. Tapi begitu ia melihat Daniel dengan badan tinggi besar ketakutan ia marahi membuat ia tak bisa menahan tawanya.
"Ummi laporin ke pak Ustadz ya?!" ucap Ummi Nisa.
"J-jangan Ummi, maafin Daniel," ucap Daniel. Wajahnya yang sudah putih itu bertambah pucat. "Hihihi, takut ya kamu," Ummi Nisa tertawa kecil.
"Um-Ummi gak marah?" Tanya Daniel.
"Jangan diulangi lagi," ucap Ummi Nisa, nadanya tegas kali ini. "Ummi maafin kali ini, tapi awas aja kalau kelewatan, Ummi laporin ke pak Ustadz nanti kamu."
"Siap Ummi," ucap Daniel. "Aku yang lap aja ya Ummi, Ummi duduk aja." Daniel mengambil kain lap yang terjatuh di lantai.
Daniel lalu lanjut membersihkan meja sementara Ummi Nisa duduk di kursi dekat tasnya. Ia melihat betapa rajinnya keempat anak itu membantu dirinya, ia mengakui bahwa anak-anak itu rajin dan juga sering bercanda sehingga membuat ia tak bosan selama menjaga lapaknya waktu suaminya tak ada.
'Mereka pasti berniat baik kok,' ucap Ummi Nisa kepada dirinya sendiri. Tak perlu kejadian kecil semacam ini ia laporkan kepada suaminya.
Ummi Nisa tak tau bahwa Daniel sebenarnya sengaja mengejar-ngejar dirinya. Rencana awalnya adalah membuat Ummi Nisa agar bisa akrab dengan ia dan geng pecinta alamnya itu. Bahwa Ummi Nisa jatuh lalu toketnya berhasil ia remas itu adalah bonus diluar rencananya.
"Gimana toketnya bro? tadi lu remes kan?" tanya Lukas disela-sela ia merapikan barang dagangan Ummi Nisa yang tersisa. Ia keturunan flores, badannya kekar dan berkulit gelap mirip seperti Ferdinand.
"Anjing, betul dugaan gue, tobrut emang Ummi Nisa," jawab Daniel.
Alex dan Ferdinand segera mendekat, ingin bertanya bagaimana kejadian tadi lebih jelas. Daniel lalu menjelaskan ulang kejadian tadi dari awal.
"Emang yang tertutup-tertutup gini lebih menggoda," ucap Daniel mengakhiri ceritanya.
Ketiga temannya mengangguk-angguk setuju. Latar belakang mereka yang berandalan, dan orang kaya membuat mereka mudah mendapatkan cewek-cewek buat memuaskan kontol mereka. Tapi, sensasi menaklukkan wanita muslimah alim seperti Ummi Nisa buat dijadikan budak sex membuat kontol mereka berdesir.
Beberapa hari selanjutnya, Ummi NIsa masih tanpa suaminya menjaga lapak kantin. Butuh sekitar seminggu lebih untuk merenovasi latar rumah mereka. Ummi Nisa tak merasa keberatan menjaga kantinnya, karena ia selalu dibantu oleh keempat anak dari ekskul pecinta alam itu untuk melayani pembeli. Di tengah keramaian pembeli yang berdatangan, anak-anak itu sering bercanda dan melempar candaan yang membuat Ummi melupakan rasa penat dan capek berjualan.
"Ah maaf Ummi," ucap Ferdinand. Dada bidangnya bersentuhan dengan punggung Ummi Nisa ketika mereka berdua berlalu-lalang melayani pelanggan.
"Iya Fer, gak apa-apa," jawab Ummi Nisa.
Kondisi kantin yang ramai membuat Ummi Nisa memaklumi hal itu. Kondisi yang tak bisa dihindari, ucapnya dalam hati. Melihat Ummi Nisa yang tak marah disentuh tubuhnya tentu saja akan dimanfaatkan oleh keempat anak berandalan itu. Perlahan-lahan mereka menyentuh bahu, leher, paha, dan bokong Ummi Nisa yang montok itu. Semuanya dengan alasan tak sengaja tentunya.
"Ini Ummi uangnya," ucap Lukas memberikan uang hasil penjualan yang ia bawa. Ummi Nisa saat itu sedang berdiri sedikit membungkuk kedepan untuk mencatat hasil penjualan hari ini. Lukas yang datang dari belakang sengaja menabrakkan selangkangannya ke bokong semok Ummi Nisa.
"I-iya," tubuh Ummi Nisa sedikit terdorong kedepan. Kaget dengan kedatangan Lukas yang tiba-tiba. Ketika ia menengok kebelakang, Lukas sudah balik kembali bersama teman-temannya membereskan lapaknya.
"Hmm," Ummi Nisa menggigit bibirnya. Ia yakin sekali kalau tadi kontol Lukas menggesek-gesek pantatnya. "Gede..."
Astaghfirullah. Ummi Nisa langsung menutup mulutnya. Ia tak menyangka dirinya mengatakan hal itu. Pernikahannya yang sudah menginjak lebih dari satu dekade itu membuat hubungan sex dirinya dengan suaminya menjadi jarang sekali. Satu bulan sekali atau bahkan dua bulan sekali.
"Astaghfirullah," Ummi Nisa beristighfar sekali lagi. Ia menyingkirkan semua pikiran kotor dari otaknya. Anak-anak itu semua berniat baik membantu aku dan Abi berjualan, jangan dikotori niat baik mereka dengan pikiran kotorku, gumam Ummi Nisa.
Ummi Nisa lalu lanjut mencatat hasil penjualannya. Ummi Nisa menyibukkan dirinya dengan mencatat dan membereskan lapaknya. Walaupun begitu, memori tentang kontol Lukas telah tercetak jelas di otaknya, dan tak mungkin hal itu mudah terlupakan.
Setan tak pernah menyerah untuk menggoda hamba Allah yang paling alim sekalipun. 15 tahun pernikahan Ustadz Malik dan Ummi Nisa, tak sekalipun Ummi Nisa pernah bersentuhan dengan laki-laki ajnabi, berbicara pun sangat jarang. Pun bahkan saat berjualan di pinggir jalan, Ummi Nisa selalu menjaga marwah dirinya sebagai seorang istri. Namun kini, ia dengan santai bertukar candaan dengan keempat anak yang sering membantunya itu.
"Hei, siapa yang nempelin ini ke punggungnya Ummi?!" Ummi Nisa setengah berteriak. Ditengah ramainya pembeli yang berdatangan, anak-anak tengil ini malah menjaili dirinya. Ia baru sadar dari tadi punggungnya ditempeli kertas bertuliskan 'Ummi badannya bagus'. Bukan candaan yang mesum memang, Alex dan teman-temannya masih belum berani menulis hal-hal yang menjorok kesana, takut Ummi Nisa nanti marah.
"Alex Ummi!" serempak Daniel, Ferdinand, dan Lukas menunjuk Alex yang pura-pura sibuk menatap smartphonenya.
"Oh, Alex ya?" ucap Ummi Nisa. Ia lalu berjalan mendekati Alex dan mencubit pinggangnya. "Anak nakal kamu ya sekarang?! mau Ummi hukum?" Ummi Nisa memarahi Alex, tapi dari nada bicara Ummi Nisa yang seperti menahan tawa membuat Alex tau Ummi tak benar-benar marah.
"Aw!" Alex mengaduh kesakitan. "Iya, iya, Ummi ampunn," ucap Alex memohon. Alex berdiri dan segera menjauh dari Ummi Nisa, takut dicubit lagi.
"Tapi Ummi beneran badannya bagus lho,"
"Alah gombal kamu."
"Lah beneran Ummi, tanya aja Daniel," ucap Alex.
Daniel mengangguk-angguk, "Iya Ummi bener, malah bagusan badannya Ummi daripada model-model selebgram lho," ucap Daniel menyetujui pendapat Alex.
"Ssst, udah kalian main sana. Kantin juga lagi sepi kan," ucap Ummi Nisa. Ia mengangkat telapak tangannya dengan gerakan mengusir.
"Iya deh Ummi." ucap Alex. Ia dan teman-temannya lalu berjalan menjauh untuk mencari tempat nongkrong baru. "Tapi beneran lho Ummi cantik badannya bagus!" ucap Alex sambil berlari. Kalau saja Alex masih di dekat Ummi Nisa, ia pasti akan mencubitnya kembali.
"Dasar anak nakal baru puber, huh," ucap Ummi Nisa. Berulang kali ia dibuat mengelus dadanya menghadapi kelakuan anak-anak itu. "Emang badanku masih sebagus itu ya?" Ummi Nisa bertanya kepada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, lapak Ummi Nisa masih ramai seperti biasanya. Geng pecinta alam pun masih rajin membantu Ummi Nisa berjualan. Namun, sepanjang hari berlalu Ummi Nisa menyadari ada yang aneh. Anak-anak yang sering menjahilinya itu hanya bertiga. Daniel, Ferdinand, dan Lukas. Mungkin Alex bolos, pikir Ummi Nisa. Tapi besoknya, Alex tak masuk sekolah, dan besoknya lagi pun sama.
"Temen kalian tuh kemana?" tanya Ummi Nisa sambil membereskan lapaknya. Hari sudah sore dan daganganya sudah habis. "Bolos lagi ya pasti Alex,"
"Ah, Alex di rumah sakit Ummi. Maminya sakit." ucap Lukas.
"Katanya pingsan di ruang kantornya," Ferdinand menambahi. "Untung cepet ditemuin sekretarisnya, jadi langsung dibawa ke rumah sakit."
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, parah ya Maminya Alex sakitnya?" tanya Ummi Nisa.
"Iya Ummi, kena serangan jantung." ucap Ferdinand.
"Hmm, kasihan ya. Semoga beliau segera sembuh."
"Iya Ummi, kita doakan bareng-bareng." ucap Ferdinand. "Gimana kalau besok kita jenguk Maminya Alex? Ummi ikut juga?"
"Boleh, tapi Ummi izin suaminya Ummi dulu."
Malam harinya selepas shalat Isya, Ustadz Malik dan Ummi Nisa duduk-duduk di latar rumah mereka, menyeruput teh sambil menatap langit malam yang cerah. Ustadz Malik bertanya bagaimana keadaan lapak mereka di kantin sekolah, dan apakah istrinya itu kerepotan sendirian mengurusi lapak kantinnya.
"Engga repot Bi, tenang aja. Ummi dibantu Alex sama temen-temennya tiap hari," ucap Ummi Nisa meyakinkan suaminya itu.
"Alhamdulillah, bersyukur banget kita ya Mi, ketemu anak-anak baik kayak mereka." kata Ustadz Malik sambil menyeruput teh panasnya.
"Iya Bi, tapi mereka juga nakal lho Bi. Kemarin malah si Alex sempet gombalin Ummi coba."
"Digombalin gimana Mi?" tanya Ustadz Malik. Ia nampak tertarik pada cerita istrinya itu.
"Ya gombalin Bi, kan pas itu Ummi lagi layanin pembeli, rame banget itu. Terus Ummi ga sadar kalo di punggungnya Ummi ditempelin kertas, kayak anak kecil lah mereka itu hihh," ucap Ummi Nisa yang masih sebal ketika mengingat kejadian itu.
"Walah, walah," Ustadz Malik tertawa mendengar cerita istrinya.
"Terus kertasnya itu ditulisin "Ummi badannya bagus' gitu coba," lanjut Ummi Nisa. "Ummi lho udah ibu-ibu tua gini masa dibilang badannya bagus."
"Kan Ummi emang cantik, makanya Abi bisa betah sama Ummi sampe belasan tahun," ucap Ustadz Malik mengamini gombalan Alex.
"Iiih Abi, tapi risih tau digodain sama laki-laki yang lebih cocok jadi anak kita" balas Ummi Nisa kesal.
"Yang bener?" tanya Ustadz Malik menggoda istrinya itu. "Risih apa nagih?"
"Emang Abi gak cemburu istrinya digombalin cowok lain?" Ummi Nisa balik bertanya.
"Ngga lah Ummi, Alex sama temen-temennya kan masih smk, wajar masa-masa puber mereka itu."
"Iyadeh terserah Abi," Ummi Nisa malah makin kesal mendengar respon suaminya itu.
"Yee, Ummi marah ya?"
"Engga ya," bantah Ummi Nisa. "Eh omong-omong soal Alex, Ummi jadi inget katanya Maminya dia dirawat di rumah sakit."
Ummi Nisa lalu bercerita soal Maminya Alex yang sakit jantung dan ajakan Ferdinand untuk menjenguk Maminya Alex.
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, semoga Maminya Alex cepet sembuh." ucap Ustadz Malik. "Ummi jenguk aja gapapa bareng Ferdinand sama temen-temennya, Abi kayaknya gabisa nemenin masih ngelanjutin ngerenov ini."
"Iya Bi,"
Keesokan harinya, Ummi Nisa nampak berlalu lalang melayani pembeli. Keringat mengucur dari pelipisnya. Ummi Nisa bekerja sendirian. Daniel, Ferdinand dan Lukas tak menampakan diri mereka hari ini.
Katanya mau jenguk bareng, sekarang malah bolos, huft. Ummi Nisa mengeluh. Ia sekarang kerepotan melayani pembeli yang begitu banyak. Ingin rasanya Ummi menelpon mereka bertanya dimana mereka saat ini, tapi nomor telpon mereka tak satupun punya. Baru pada sore harinya, ketiga anak tengil itu memunculkan batang hidung mereka.
"Kita bantuin beres-beres Ummi," ucap Daniel. Disamping dirinya, ada Lukas dan Ferdinand. Ketiganya memakai hoodie dan jeans.
"Oalah, Ummi baru tau ya sekarang anak-anak smk itu masuknya jam 3 sore," ucap Ummi Nisa sambil berkacak pinggang. "Kalian bolos kemana tadi?"
"Hehe, bukan bolos Ummi," ucap Lukas. "Kita tadi jenguk Maminya Alex di rumah sakit."
"Emang udah izin ke guru kalian?" tanya Ummi Nisa.
"Belum sih,"
"Dasar!" Ummi Nisa hendak menampol kepala Ferdinand dengan buku catatan penjualannya, tapi Ferdinand dengan gesit menghindar. "Jadi, gimana kabar Maminya Alex? Ummi mau jenguk juga habis ini."
"Em, itu Ummi..." suara Ferdinand bergetar saat ia berusaha mencari kata-kata yang tepat.
Ekspresi Ummi Nisa berubah dari penasaran menjadi khawatir, apalagi ketika melihat ketiga anak tengil dihadapannya yang biasanya ceria itu kini tiba-tiba jadi murung. "Ferdinand, ada apa? Maminya Alex baik-baik aja kan?"
Ferdinand menarik napas dalam-dalam, "Maminya Alex meninggal tadi pagi Ummi."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan sarat dengan kesedihan. Ummi Nisa menutup mulutnya, ia merasa ada gumpalan di tenggorokannya yang membuatnya tak bisa berkata-kata. Alex, yang ia ingat sebagai seorang bocah smk tengil itu kini harus menanggung beban berat kehidupan tanpa ibunya.
"Besok siang prosesi pemakamannya Ummi," ucap Daniel memecah keheningan.
"Iya Dan, Ummi sama Pak Ustadz besok ikut melayat," kata Ummi Nisa pelan.
"Iya Ummi, nanti Daniel kirim lokasinya." ucap Daniel. "Tapi emang kalau orang islam boleh melayat orang kristen Ummi?"
"Boleh Dan, ga ada yang melarang kok. Malah dianjurkan untuk melayat."
"Oh gitu ya Ummi."
Begitu sampai di rumah, Ummi Nisa langsung mengabari suaminya tentang kabar duka itu. Ustadz Malik pun sama kagetnya ketika mendengar kabar duka Maminya Alex. Ajal memang tak ada yang tahu, Ustadz Malik mengingatkan dirinya sendiri.
"Besok kita melayat ya Bi, sekitar jam satu." ajak Ummi Nisa.
"Iya Ummi, Renovasinya Abi tunda sehari dulu." ucap Ustadz Malik.
Esoknya siang hari, Ustadz Malik dan Ummi Nisa berbocengan menggunakan motor beat menuju lokasi rumah duka yang sudah dikirim oleh Daniel. Mobil demi mobil berjejer di sekitar kompleks rumah duka itu, puluhan pelayat berbaju hitam sudah hadir di rumah itu.
Disana Ustadz Malik dan Ummi Nisa bertemu dengan Ferdinand, Daniel dan Lukas. Mereka diantar ke tempat duduk yang sudah disediakan.
"Aku gatau kalo di dalam islam gimana Ummi, Ustadz, tapi dalam kristen itu ada ibadah penghiburan yang fokusnya untuk memberi support dan kenyamanan kepada keluarga yang berduka."
"Oalah," ucap Ustadz Malik dan Ummi Nisa berbarengan. Ini baru pertama kalinya mereka menghadiri layatan orang kristen.
"Nanti, Ummi coba ngomong sama Alex, pasti dia sedih banget." ucap Ummi Nisa.
"Bagus itu Ummi," ucap Ustadz Malik. Ia mendukung usaha istrinya itu untuk menghibur Alex. Istrinya itu selain lemah lembut, juga mudah akrab dengan anak-anak remaja. Sedangkan ia sebagai seorang lelaki tak pandai bicara, apalagi menghibur.
Sekitar satu jam kemudian, sebagian tamu sudah pulang dan yang lainnya masih mengobrol dengan kerabat keluarga yang berduka. Ummi NIsa sedari tadi melihat ke sekeliling ruangan mencari Alex, tapi anak itu juga tak ia temukan.
Yang Ummi Nisa lihat justru Daniel yang sedang berjalan ke arahnya dari seberang ruangan, di sebelahnya ada seorang bapak-bapak yang berwajah mirip Alex. Mungkin Papinya.
"Ini Ummi Nisa sama Ustadz Malik," ucap Daniel memperkenalkan Papinya Alex kepada Ummi Nisa dan Ustadz Malik.
Daniel menjabarkan kepada Papinya Alex, bahwa Ummi Nisa dan Ustadz Malik itu cukup dekat dengan Alex di sekolah.
"Alex mengurung diri di kamarnya Ummi," tutur Papinya Alex. "Dia dari tadi pagi mengurung diri tidak mau keluar kamarnya, kalau Ummi berkenan mungkin bisa membantu membujuk Alex agar keluar."
"Alex pasti sedih sekali ya Pak. Saya akan coba bujuk Alex Pak," ucap Ummi NIsa.
"Wah, silahkan Ummi," ucap Papinya Alex. "Saya ini sibuk kerja terus, jadi mungkin Alex sama saya ga bisa ngomong dengan baik,"
Ummi Nisa memahami hubungan Alex dengan papinya itu pasti tidak dekat. Satu-satunya sosok orang tua bagi Alex adalah Maminya, dan kini ia tak memiliki sosok keibuan itu.
"Kalau Alex masih mengurung diri di kamar, pasti lama nanti ngebujuknya, Abi pulang dulu aja gimana?" ucap Ummi Nisa kepada suaminya.
"Ummi gapapa sendirian? nanti naik apa pulangnya?" tanya Ustadz Malik khawatir, jarak rumah ini dengan rumahnya memang agak jauh.
"Nanti dianter Lukas aja Ustadz, rumah dia searah sama rumahnya Ustadz sama Ummi," sahut Daniel.
"Hmm, yaudah deh. Ummi beneran gapapa sendirian?" tanya Ustadz Malik sekali lagi. Ia agak tak nyaman jika Lukas yang mengantar istrinya itu pulang.
"Iya, Abi. Abi pulang aja, pasti capek kan, tadi pagi masih renovasi lho Abi, padahal udah dibilangin jangan malah ngeyel." Ummi NIsa memegang kedua tangan suaminya, meremat telapak tangannya erat. Kadang suaminya ini memang suka ekstra khawatir. "Abi kan kenal sama Lukas, sama Daniel, gausah khawatir deh."
"Iya Ummi, nanti habis ini Abi malah lanjut ngerenov."
"Tuh kan ngeyel malahan."
Ummi Nisa lalu mencium tangan suaminya sebelum suaminya itu pulang.
"Ayo Ummi, ke kamarnya Alex di lantai dua." ajak Daniel.
"Iya Dan," ucap Ummi Nisa sambil mengikuti Daniel. Di tangga mereka berdua bertemu dengan Ferdinand dan Lukas yang sedari tadi disana.
Mereka berempat akhirnya naik bersama keatas.
"Ini Ummi kamarnya Alex, coba diketuk dulu."
Tok, tok, tok.
"Alex, Ini Ummi Nisa nak, buka pintunya ya?" ucap Ummi Nisa.
Tak ada jawaban.
Tok, tok, tok.
"Alex? buka pintunya ya? Ummi mau ngomong sama Alex."
Lagi, tak ada jawaban.
Setelah beberapa kali diketuk pintunya dan sepuluh menit telah berlalu, Alex baru mau membuka pintunya.
Alangkah kagetnya Ummi Nisa melihat kamar Alex yang berantakan, sampah berserakan dan baju celana bertebaran. Apalagi, Alex hanya memakai kolornya saja dan kaos pendek. Alex yang setelah membuka pintu kini kembali duduk memeluk lututnya di atas kasur. Kepalanya ia benamkan dalam-dalam di antara lututnya.
"Alex...." Ummi Nisa begitu prihatin melihat keadaan dirinya sekarang. Berbeda 180 derajat dengan Alex yang ia kenal di sekolah.
"Deketin Ummi, duduk di kasurnya coba," bisik Daniel kepada Ummi Nisa.
"I-iya Dan,"
Ummi Nisa lalu mendekati Alex, ia sampai harus berjinjit untuk menghindari sampah yang memenuhi lantai kamarnya.
"Alex? Ummi tau kamu sedih, tapi jangan gini ya, kamarmu berantakan banget lho, gasehat kayak gini..." ucap Ummi Nisa. ia duduk di pinggiran kasur, masih menjaga jarak dari Alex yang berada di tengah.
Alex tak merespon, ia masih membenamkan kepalanya di antara lututnya.
"Deketin lagi Ummi, biar Alex mau ngerespon," ucap Daniel lagi.
Ummi Nisa awalnya ragu, walaupun ia memandang Alex dan teman-temannya sebagai anaknya pun, mereka tetap bukan mahram. Tapi melihat Alex yang kondisinya sudah kacau begini membuat Ummi Nisa menghiraukan semua itu. Alex butuh sosok ibu sekarang ini. Perlahan, ia mendekati Alex. Hanya sebatas sejengkal saja, tak lebih, pikirnya.
Tapi, tiba-tiba begitu Ummi Nisa mendekat, Alex langsung memeluk tubuh Ummi Nisa dari samping. Kepalanya ia senderkan di toketnya Ummi Nisa yang kenyal itu.
"A-Alex.. Ummi jangan dipeluk..." Ummi Nisa berusaha menjauhkan Alex, namun Alex justru semakin kencang memeluknya.
"Hiks, hiks,"
Ummi Nisa mendengar Alex menangis. Ia memang belum pernah mempunyai anak, namun naluri keibuannya mengambil alih. Ummi Nisa tak lagi berusaha menjauhkan Alex, ia refleks menyisiri rambut Alex dengan jari-jemarinya.
"Iya Alex, Ummi paham gimana rasanya kehilangan orang tua." ucap Ummi Nisa menenangkan Alex. "Nangis aja gapapa, diluapin semua rasa sedihnya Alex ya?"
"Hiks, Hiks,"
Alex terus menangis hingga air matanya itu membasahi gamis bagian dadanya Ummi Nisa. Ummi Nisa tak menyadari bahwa akibat hal itu, toketnya kini mengecap dan keliatan jelas oleh Daniel, Ferdinand dan Lukas yang sedari tadi melihat dirinya.
"Eh," Ummi Nisa menggelinjang saat ia merasakan geli di dadanya. Masa Alex jilatin payudaraku? ah, pasti ga sengaja karena air matanya masuk ke mulutnya, pikir Ummi Nisa. Namun kejadian itu berulang lagi dan lagi, bahkan ia sempat merasakan pentilnya digigit dari luar oleh Alex.
Tapi Ummi Nisa tak mau suudzon apalagi ketika Alex sedang berduka ditinggal ibunya. Paling cuma kejepit kepalanya Alex atau gimana, ucap Ummi Nisa dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Toh, ia sudah mengenal Alex dan teman-temannya, dan mereka itu anak-anak yang baik kok.
Lima belas menit berlalu, Ummi Nisa mengira bahwa Alex sudah akan berhenti memeluknya. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Alex bergerak semakin dekat dan semakin erat memeluk tubuhnya, bahkan kini satu kakinya Alex naik keatas pahanya. Posisi itu membuat kontol Alex yang hanya tertutup kolor dengan jelas terasa di pahanya.
Otaknya reflek membandingkan besar mana kontol Alex dan Kontol Lukas. Mungkin besar punya Alex kalau ia kira-kira tapi kan punya Lukas saat itu cuma tersentuh sekilas, apalagi orang timur biasanya kontolnya ged-
Astaghfirullah! Ummi Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya, tangannya masih mengelus-elus kepala Alex. Bisa-bisanya ia malah berpikiran mesum di tengah Alex yang sedang berduka ini.
Ummi Nisa membisikkan kata-kata penenang ke Alex, bercerita soal apapun yang ia kira bisa mengalihkan pikiran dan mood Alex yang sedang sedih. Dirinya merasa terenyuh melihat Daniel dan yang lain berinisiatif sendiri membersihkan kamar Alex. Alex sungguh beruntung mempunyai teman-teman yang baik.
"Alex jangan sedih lagi ya? ada Ummi sama temen-temen Alex, kita semua bakal nemenin Alex biar ga sedih lagi," ucap Ummi Nisa. Cerita dan kata-kata lembutnya seolah menghapus segala duka yang tersembunyi di dalam hati lelaki yang baru kehilangan ibunya itu.
"Makasih Ummi," ucap Alex, matanya masih berkaca-kaca. "Ummi baik banget sama aku,"
"Iya Alex, senyum dong, jangan cemberut terus," bisik Ummi Nisa di telinga Alex. Dengan lembut, tangannya menyeka air mata yang membanjiri pipi Alex.
Alex pun mencoba mengangkat bibirnya, mencipatakan senyuman kecil, "Iya, Ummi, makasih ya sekali lagi."
"Emm, Alex lepasin pelukannya ya?" pinta Ummi Nisa. Ia tak mau terlalu lama memeluk Alex, takut terjadi fitnah.
"Ah, Ma-maaf Ummi," Alex langsung melepaskan pelukannya. "Ummi ga marah kan?"
"Ngga kok," jawab Ummi Nisa. Alex pasti memandang dirinya sebagai sosok ibu, maka ia juga harus memandang Alex sebagai seorang anak. "Tapi lain kali kalau bisa jangan tiba-tiba peluk ya?"
"Iya Ummi," ucap Alex.
Ummi Nisa lalu membantu Ferdinand, Daniel, dan Lukas untuk membersihkan kamar Alex yang berantakan. Alex juga sedikit-dikit membantu walaupun Ummi Nisa menyuruhnya untuk beristirahat saja.
"Tadi lu foto berapa kali toketnya Ummi Nisa yang nyeplak itu?" tanya Lukas sambil menuruni tangga. Ummi Nisa dan Alex sudah turun lebih duluan.
"Banyak lah, puluhan kali, dari depan, belakang, samping," balas Ferdinand.
Ummi Nisa tak tau bahwa alasan Ferdinand dan teman-temannya membersihkan kamar tadi salah satunya adalah untuk memfoto Ummi Nisa tanpa sepengetahuan dirinya.
"Wih, gila, nanti kirim di grup bro semua fotonya," sahut Daniel yang berjalan di samping Lukas.
"Santai, pasti gw kirim," jawab Ferdinand.
Mereka bertiga lalu turun ke bawah dan melihat Ummi Nisa sedang berbincang-bincang dengan Papinya Alex.
"Terimakasih banyak Ummi Nisa, terimakasih," ucap Papinya Alex berulang kali. Ia tak mengira anaknya yang keras kepala itu bisa dibujuk dengan mudah seperti ini.
"Sama-sama Pak, saya cuma membantu sebisa saya aja kok," ucap Ummi Nisa merendah. Pandangannya lalu beralih ke Alex. "Jangan dipaksa masuk sekolah ya Alex, di rumah aja dulu gapapa kamu,"
"Iya Ummi," ucap Alex.
"Wah, kalau aku juga ga masuk besok boleh Ummi?" sahut Ferdinand.
"Oh, kalau kamu Ummi hukum nanti!" ucap Ummi sambil menunjukkan kepalan tangannya.
"Mau dong dihukum Ummi yang cantik," ucap Ferdinand sambil lari ke luar rumah.
Ummi Nisa geleng-geleng. Beberapa tamu yang mendengar guyonan Ferdinand itu tertawa, bahkan Papinya Alex pun juga ikut tertawa. Ummi Nisa mengobrol singkat dengan beberapa tamu yang lain sebelum ia akhirnya pulang dianter Lukas.
Di jalan, Ummi Nisa dan Lukas saling bertukar candaan membuat perjalanan yang cukup jauh terasa singkat. Ummi Nisa sesekali bertanya tentang kehidupan Lukas disela-sela guyonan mereka, dari situ Ummi Nisa bisa tau bahwa Lukas adalah anak yatim piatu.
Mungkin karena kehilangan sosok ayah dan ibu itulah kenapa Alex dan Lukas menjadi nakal dan pembuat onar. Mereka mencari perhatian dari orang lain yang tak bisa diberikan oleh orang tua mereka. Ummi Nisa menduga Ferdinand dan Daniel pun mungkin juga sama. Anak-anak baik yang kurang diperhatikan orang tuanya.
"Makasih ya Lukas, udah anterin Ummi," ucap Ummi Nisa begitu mereka sampai di depan rumah. Tangannya mencopot sabuk pengaman.
"Iya Ummi," jawab Lukas yang berada di sampingnya.
Ummi Nisa merasa bahwa Lukas ingin mengatakan sesuatu tapi ia menahannya, "Lukas kenapa? ada yang mau diomongin?" tanyanya lembut.
"Anu Ummi..." Lukas mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tak berani menatap Ummi Nisa. Ia terdengar ragu-ragu.
"Ada apa Lukas? bilang aja ke Ummi," ucap Ummi Nisa tersenyum.
"Aku boleh peluk Ummi?"
"Eh?" Ummi Nisa terkejut mendengar permintaan Lukas itu. Memeluk seorang pria ajnabi di depan rumahnya sendiri? gimana nanti kalau suaminya tiba-tiba keluar dan melihatnya. "Emm.. Gimana ya, bukannya Ummi mau nola-"
"Tadi Alex boleh lho meluk Ummi," potong Lukas.
"Tadi beda Lukas, Alex kan lagi bersedih kehi-"
"Aku juga udah ga punya Ibu," Lukas kembali memotong. Ekpresi wajahnya campur antara sedih dan marah.
Ummi Nisa terdiam. Ia benar-benar kehabisan kata. Lukas benar, kalau Alex ia bolehkan memeluk dirinya karena sedih kehilangan sosok ibu, kenapa Lukas tidak boleh? Lukas mungkin malah tak pernah dipeluk oleh siapapun semenjak ibunya meninggal.
"Hmm," Ummi NIsa membuang nafasnya. "Ummi bolehin kamu peluk Ummi tapi sebentar aja ya?"
"Iya Ummi," ucap Lukas. Dengan cepat ia langsung menggerakkan tubuhnya mendekat ke tubuh montok Ummi Nisa dan memeluknya erat.
"Jadi anak yang baik ya Lukas," ucap Ummi Nisa. Ia mengelus-elus kepala anak smk itu yang kini berlagak manja, memang seorang anak laki-laki itu senakal apapun akan kembali jadi anak kecil ketika bertemu sosok yang dia anggap ibu.
"Ah," Ummi Nisa hampir kelepasan berteriak saat ia merasakan toketnya ditowel. Tubuhnya menggelinjang lagi, sensasi yang sama seperti ketika dipeluk Alex. Akal pikirnya menyuruhnya untuk segera melepaskan pelukannya dengan Lukas. Namun, tubuhnya mengatakan hal yang sebaliknya. Ia membiarkan Lukas memeluknya semakin erat dan kepala Lukas dibenamkan diantara buah dadanya.
Dadanya berdesir dan tubuhnya menggelinjang saat Lukas terus-terusan menggerakkan kepalanya menggesek-gesek toketnya, kadang bahkan menjilatinya dari luar. Ummi Nisa hanya diam, ia memejamkan matanya dan memeluk Lukas sama eratnya.
"Makasih Ummi, Ummi udah kayak jadi ibu keduaku," ucap Lukas sewaktu ia dan Ummi Nisa melepaskan pelukan mereka.
"Iya, kamu, Alex, Ferdinand, sama Daniel itu udah Ummi anggep kayak anak Ummi sendiri kok," ucap Ummi Nisa.
Ummi Nisa lalu turun dari mobil, menitip pesan kepada Lukas untuk berhati-hati ketika ia balik pulang. Ummi Nisa lalu berjalan menuju rumahnya, emosinya bercampur bingung berusaha memproses kejadian tadi. Kenapa jantungnya berdetak begitu kencang ketika Lukas memeluknya?
Sementara itu Lukas tersenyum lebar di balik setir mobilnya. Rencana geng mereka untuk menaklukkan Ummi Nisa dan menjadikannya tempat pembuangan peju mereka berempat hampir terealisasikan.
***
Bagi yang mau membeli cerita karya penulis lainnya bisa hubungi @mirzaali1 di Telegram atau join Channel : https://t.me/+7mjZFt-x1UAzZThl9118Please respect copyright.PENANA9DvDkW9Fqc
9118Please respect copyright.PENANAjFRLj8WqbV
9118Please respect copyright.PENANAQJQt6j4Wyr