***
KONTEN INI DI POSTING GRATIS OLEH MIRZAALI DI PENANA DAN FORUMSEMPROT. DILARANG UNTUK DIPERJUALBELIKAN.
***133Please respect copyright.PENANAS0bYUrXZXS
“Syifa sakit apa sih, Tan?” tanya gue sembari menyendok nasi. “Kok seharian ngga keluar kamar.”
“Katanya sih demam, tapi pas Tante suruh minum obat ngga mau,” ucap Tante Ratih. “Mungkin dia lagi badmood apa gimana. Biarin aja, besok juga paling udah sehat kok.”
Gue mengangguk-angguk. Semoga aja dia ngga sakit beneran sih, bisa buyar rencana gue buat jadiin Syifa budak seks kalau dia tiba-tiba sakit.
Setelah selesai makan malam, gue menghipnotis Tante Ratih di teras samping rumah. Gue cuma mengulang-ulang sugesti yang sama seperti pada sesi terakhir.
“Menurut Tante, kalau Tante diperkosa terus Tante keenakan sampe orgasme. Yang salah itu pemerkosanya atau Tante sendiri?”
“Salah pemerkosanya dong,” ucap Tante dengan yakin.
“Kenapa gitu? kan Tante juga keenakan.”
“Karena memperkosa itu salah,” jawab Tante dengan tegas.
Sama seperti kemarin, nada bicaranya Tante langsung meninggi waktu gue membahas hal ini. Gue memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh dan mengganti ke topik yang lain.
“Tante udah berapa kali colmek hari ini?”
“Lima kali.”
“Kenapa sampai lima kali?”
“Karena Tante makin stress soal kerjaannya Tante, jadi Tante colmek lebih sering biar rileks.”
“Bagus. Semakin sering Tante colmek, Tante akan semakin mudah buat rileks. Tante juga bisa nurunin kalori lebih banyak.”
“Tante pas colmek bayangin dientot sama aku dan temen kerjanya Tante?”
“Iya.”
“Aku pengen Tante terus bayangin soal hal itu tiap Tante colmek, tapi Tante juga bayangin, menurut Tante kalau Tante diperkosa terus keenakan, yang salah itu apakah tetep pemerkosa atau malah Tante sendiri?
“Iya, Tante bakal bayangin hal itu tiap kali Tante colmek.”
Kalau dalam keadaan normal, Tante Ratih memang bakal ngomong kalau memperkosa itu salah. Tapi gue ngga yakin dia bakal tetep berpikir kayak gitu pas dia lagi colmek.
Gue kemudian menyudahi sesi hypnotherapy kali ini.
“Udah selesai, Tan,” ucap gue sambil menggoyang-goyangkan pundaknya Tante Ratih.
Tante Ratih mengerjap-ngerjapkan matanya. “Makasih, ya. Rif,” ucapnya.
“Iya, Tante,” balas gue.
Tante Ratih kemudian masuk duluan ke dalam rumah sementara gue masih duduk di teras. Gue sempet bingung untuk memilih langsung pulang atau mengecek Syifa di kamarnya dulu.
Gue bisa langsung pulang dan ngga peduli sama Syifa sampai dia sendiri dateng ke gue mohon-mohon buat gue hipnotis lagi. Terus rencana gue berjalan dengan lancar kembali.
Tapi kalau Syifa ngga mau ketemu gue sampe berminggu-minggu? Secara, dia itu self-esteemnya udah rendah, apalagi sejak kejadian kemarin.
Gue masuk ke dalam rumah dan berpapasan dengan Tante di ruang tamu.
“Tan, aku mau ngecek Syifa di kamarnya ya,” ucap gue ke Tante yang lagi duduk di sofa ruang tamu. “Kalau sakitnya parah, aku hipnotis aja. Bisa kok buat redain sakit.”
“Iya, Rif,” jawab Tante Ratih.
Gue kemudian berjalan menuju ke kamarnya Syifa. Begitu sampai di depan kamarnya, gue mengetuk pintu.
Tok, tok, tok.
Tok, tok, tok.
“Syif? Kamu masih bangun?” gue bertanya.
Ngga ada respon.
Tok, tok, tok.
Gue mengetuk pintu sekali lagi, terus bertanya, “Syif? Syifa? Udah tidur apa masih bangun?”
Ngga ada respon lagi.
Mungkin Syifa emang beneran lagi tidur tapi feeling gue bilang kalau Syifa pasti masih bangun.
“Syif, buka pintunya!” ucap gue dengan tegas sambil mengetuk pintu lebih keras.
Tetap nggak ada suara dari dalam.
Tanpa ragu, gue gedor pintunya. Nggak peduli kalau Tante Ratih sampai denger. Sebelum gue sempet gedor lagi, suara klik terdengar dari dalam.
Perlahan, pintu terbuka.
Di baliknya, Syifa berdiri dengan kepala tertunduk. Rambutnya sedikit berantakan, dan napasnya pelan, hampir nggak terdengar.
Gue nggak bilang apa-apa. Cuma mendorong pintu supaya lebih lebar dan melangkah masuk.
“K-kamu mau ngapain, Rif?” suaranya gemetar, mata lebarnya menatap gue penuh waspada.
Gue ngga jawab. Langsung duduk di tepi kasurnya, lalu melirik ke arahnya. Satu tangan gue terangkat, mengisyaratkan dia buat mendekat.
Syifa diam sejenak, matanya melirik ke pintu seperti mempertimbangkan sesuatu. Tapi akhirnya, dia menghela napas, menutup pintu, dan melangkah ke arah gue. Wajahnya penuh kecemasan.
Gue ngga langsung ngomong. Cuma duduk di tepi kasur, diam, ngeliatin dia tanpa ekspresi. Sengaja ngasih jeda, biar dia makin panik, biar pikirannya makin muter-muter.
Dan berhasil.
Syifa berdiri di tempatnya, kelihatan resah. Tangannya mencengkeram ujung bajunya, jemarinya meremas kain dengan gelisah. Tatapannya sesekali naik ke arah gue, lalu buru-buru turun lagi.
Gue tetap diem, menikmati keheningan yang makin berat.
Akhirnya, pas ekspresinya udah keliatan campur aduk antara takut dan cemas, gue buka suara. Suara gue datar, tapi tegas.
"Kamu kemarin kurang ajar, tau nggak?"
Syifa langsung kelihatan tegang. Matanya membelalak sedikit, bibirnya menganga kayak mau ngomong sesuatu, tapi nggak ada suara yang keluar.
“A-aku…” suaranya akhirnya keluar, kecil banget, hampir ketelen udara.
Gue masih diem. Tetap ngeliatin dia tanpa bereaksi, biar dia makin kepikiran.
Syifa menggigit bibirnya, tangannya makin erat mencengkeram bajunya. "M-maaf, Rif..." suaranya bergetar.
Gue menghela napas pelan, menatap Syifa tanpa ekspresi. "Emang aku kemarin ngasih consent?" suara gue datar, tapi tajam.
Syifa langsung membeku. Tangannya sedikit gemetar, napasnya pendek-pendek. “E-engga…” bisiknya, nyaris nggak kedengeran.
Mata gue tetap terkunci ke arahnya. "Berarti kamu sadar kan, apa yang kamu lakuin kemarin sama aja kayak perkosa aku?"
Syifa ngga bisa jawab. Tatapannya goyah, bibirnya sedikit terbuka seolah mau ngomong sesuatu, tapi ngga ada suara yang keluar.
Gue nyandar dikit, masih ngeliatin dia. "Kalau aku ceritain ke Tante Ratih, ke temen-temen kamu juga, kira-kira gimana hidup kamu nanti, Syif?"
Wajahnya makin pucat. "M-maaf, Rif… A-aku kemarin beneran nggak ngerti kenapa aku bis—"
"Alesan!" gue potong tanpa ragu. "Jangan coba-coba playing victim di depan gue."
Syifa terdiam, bahunya sedikit bergetar.
"Kamu tau sendiri, nggak ada alasan yang bisa ngebenerin ini," lanjut gue, suara gue tetap tajam.
“I-iya, Rif…” suaranya makin kecil, nyaris putus. Matanya berkaca-kaca, napasnya nggak stabil.
Gue diem sebentar, masih ngeliatin dia dengan tatapan dingin. Syifa terus menunduk, sama sekali nggak berani ngelihat ke arah gue. Keheningan menggantung di antara kita sampai akhirnya, gue buka suara lagi.
"Ada satu cara supaya aku bisa maafin kamu."
Syifa langsung menegang. "A-apa, Rif?" tanyanya pelan, suaranya sedikit gemetar.
"Sepong kontolku sekarang juga,“ ucap gue.
Syifa menatap gue dengan pandangan bingung, alisnya mengkerut. "H-ha?"
“Mau aku laporin atau sepong kontolku sekarang?” ucap gue lagi.
Syifa masih terdiam beberapa detik, matanya menatap gue penuh kebingungan. Tapi akhirnya, dia menelan ludah dan perlahan mendekat.
“Jongkok terus keluarin kontolku,” perintah gue selanjutnya.
Syifa menuruti perkataan gue. Dia jongkok di depan gue dan mulai menurunkan resleting celana gue. Gue bisa liat tangannya gemeteran saat dia mulai mengeluarkan kontol gue dari celana.
Syifa menatap gue sekali lagi ketika kontol gue, yang udah ngaceng berat, keluar dari celana. Gue menganggukkan kepala gue, mengisyaratkan Syifa buat lanjut.
Syifa menelan ludahnya kemudian dengan perlahan mulai membuka mulutnya dan memasukkan kontol gue ke mulutnya.
“Ahh..” Gue mengerang pelan ketika mulut hangatnya Syifa mulai menyentuh batang kontol gue.
Sluuurp, sluuurp, sluuurp.
Sluuurp, sluuurp, sluuurp.
Sama seperti kemarin, sepongannya Syifa masih kaku dan amatir banget. Sesekali juga giginya kena batang kontol gue, tapi gue tetep membiarkan Syifa berusaha semaksimal mungkin buat muasin gue.
Sluuurp, sluuurp, sluuurp.
Sluuurp, sluuurp, sluuurp.
Setelah sekian menit berlalu, gue tetep ngga puas sama sepongan amatirnya Syifa. Gue yang udah ngga sabaran, akhirnya mencengkram kepalanya Syifa dan mementokkan kontol gue sampai ke ujung tenggorokannya.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Matanya Syifa membelalak dan tangannya mencengkram paha gue, ia berusaha memberontak tapi gue ngga lepasin sama sekali kepalanya.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
“Nghhh, ahhhh,” gue mengerang keenakan. Mulutnya Syifa yang gue perkosa brutal ini kerasa enak banget.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Pipinya Syifa sampai basah akibat air matanya yang terus keluar, tangannya pun terus-terusan memukul paha gue. Gue menyeringai lebar, pasti rasa sakit dan panas di tenggorokannya Syifa sudah begitu membara sampai ia bereaksi sebegitunya.
Bukannya kasihan, gue justru tambah pengen mengasari Syifa lagi. Cengkraman tangan gue di rambutnya gue kencangkan lalu gue dengan brutal memaju-mundurkan kepalanya Syifa hingga kontol gue mentok di ujung tenggorokannya.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
“Arghhhhhhhhhh!” erangan gue mengeras tanda bahwa peju gue mau keluar.
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Glokgh! Glokgh! Glokgh!
Crot! Crot! Crot!
Gue menahan kepala Syifa cukup lama sampai semua peju gue bener-bener habis semua gue keluarin di mulutnya. Setelah gue selesai muncratin peju gue, gue mencabut kontol gue dari mulutnya Syifa.
“Uhuk! Uhuk!“ Syifa terbatuk-batuk dan memuntahkan peju yang ada di mulutnya.
Matanya Syifa berkaca-kaca ketika menatap gue. Ekspresinya seakan mengatakan ‘aku ngga percaya kamu sejahat ini Rif’ tapi justru hal itu membuat kontol gue mulai ngaceng lagi.
Gue kemudian berdiri dan menarik paksa tubuhnya Syifa ke atas kasur. Gue jatuhin Syifa sampai dia rebahan di kasur kemudian gue robek hotpants yang dia pake.
Kreekk..
Gue robek hotpans itu sampe memeknya Syifa keliatan jelas. Seperti yang gue duga, memeknya Syifa udah becek.
“Ahhhh,” Syifa mendesah ketika gue memasukkan satu jari gue ke memeknya.
“Kok memekmu becek, Syif?” tanya gue. “Kamu suka dipaksa nyepong?”
“E-engga…” kata Syifa, suaranya bergetar dan tangannya mencengkeram sprei dengan gelisah.
Gue membuka lebar pahanya Syifa, lalu mendekatkan kepala gue dan menjulurkan lidah gue.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
“Ouhhhhh,” desahan mulai keluar dari mulutnya Syifa.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Gue mulai menjilati memeknya Syifa dengan ritme teratur.
“Udah becek banget begini,” ucap gue disela-sela menjilmek. “Ngaku aja Syif, kamu suka kan dipaksa nyepong?”
“E-engga….” bantah Syifa.
Gue kembali menjilati memeknya Syifa, kali ini dua jari gue membantu merangsang memek beceknya.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Clep, clep, clep.
Clep, clep, clep.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
“Ouhhhhh, ahhhh, ahhhh, Rifff, stoppp, pleasee, stopp, ouhhhhhh,” Syifa mendesah makin keras. Tangannya berusaha mendorong kepala gue menjauh dari memeknya tapi percuma. Gue menahan kepala gue agar tetap berada di dekat memeknya dan terus menjilmek memeknya itu.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Clep, clep, clep.
“Ahhhhh, ouhhhh, ouhhhhh, Ri-Riff, aku mauu pipisss, ouhhhhhhhhhh!” Syifa mendesah kencang.
Serrrr… serrrrr… serrr…
Cairan orgasme menyembur deras dari memeknya Syifa hingga membasahi wajah gue. Tapi, gue ngga berhenti dan tetep terus merangsang memeknya Syifa dengan jari dan lidah gue.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Clep, clep, clep.
Sluurp, sluuurp, sluuurp.
Clep, clep, clep.
“Ahhhh, Riffff, Riffff, stopp pleaseee, ouhhhh, ouhhhh, OUHHHHHHHHHHH—”
Punggungnya Syifa melengking keatas dan desahannya makin mengeras.
SERRRR… SERRRR… SEERRRR….
Memeknya Syifa menyemburkan cairan orgasmenya sekali lagi. Kali ini gue udah minggir duluan sehingga wajah gue ngga basah lagi. Gue bangkit dan duduk di sampingnya Syifa yang masih terpanting-panting. Mulutnya terbuka lebar, kelelahan dan kehabisan nafas.
Gue melihat jari gue yang becek penuh dengan cairan memeknya Syifa. Tentu saja yang cocok buat bersihin jari gue ini adalah mulutnya Syifa, yang nantinya mulut itu bakal jadi tempat pembuangan peju gue selamanya.
Gue kemudian bangkit dan langsung menyodorkan dua jari ke mulut Syifa yang masih terengah-engah. Bibirnya yang ranum terbuka sedikit, memberi gue akses sempurna.
"Nghhh... mmmphh!" Syifa tersentak, matanya melebar kaget saat jari-jari gue menerobos masuk ke dalam rongga mulutnya yang hangat dan basah.
Gue menekan jari-jari gue lebih dalam, menyentuh pangkal lidahnya. "Bersihin jari-jariku," perintah gue.
Tatapan gue tajam ke matanya Syifa, ada pesan jelas kalau gue ngga menerima penolakan.
Dengan patuh, lidahnya Syifa mulai bergerak, awalnya malu-malu, kemudian semakin bersemangat. Lidahnya yang lembut dan panas meliuk di antara jari-jari gue, menelusuri setiap lekuk dan celah.
Sluuurp... sluuurp...
Gue merasakan getaran kecil dari tenggorokannya ketika dia mengeluarkan suara menelan. Bibirnya yang lembab melingkari jari gue, bergerak maju-mundur dengan ritme teratur.
Sluuurp... nnnghh... sluuurp...
Mata Syifa perlahan terpejam, seolah dia mulai menikmati rasa dirinya sendiri di lidahnya. Kedua tangannya yang gemetar terkulai pasrah di sisi tubuhnya yang masih telanjang.
"Bagus," gue berbisik setelah yakin semua cairan orgasmenya telah bersih terjilat. Gue menarik jari=jari perlahan dari mulutnya, menghasilkan suara 'pop' kecil yang menggoda saat bibirnya melepaskan jari gue.
Tangan gue yang tadi habis mengkasari Syifa kini bergerak lembut, membelai rambutnya yang berantakan. Jari-jari gue menyisir helai demi helai dengan sentuhan yang hampir... romantis.
Syifa membeku, jelas kebingungan dengan perubahan drastis dari gue. Matanya yang berkabut perlahan kembali fokus, menatap gue dengan campuran emosi yang kompleks, takut, bingung, terhina.
Gue terus mengelus kepalanya tanpa kata, menikmati kebingungannya Syifa. Beberapa saat kemudian berhenti mengelus kepalanya dan bangkit dari kasur dan merapikan celana dengan santai.
Syifa tetap diam di tempatnya, telanjang dan terengah. Wajahnya keliatan jelas mengatakan ‘tadi aku dikasarin sama dia, tapi sekarang diperlakuin dengan lembut, dielus-elus kepalanya gini?’
Tanpa memberikan jawaban, tanpa satu kata pun, gue berjalan ke arah pintu dan meninggalkan Syifa yang masih kebingungan.
***
Keesokan harinya, seperti biasa, gue mampir ke rumah Syifa buat ngajak dia berangkat kuliah bareng. Gue ketuk pintu depan rumahnya dan yang keluar adalah Tante Ratih.
"Eh, Rifki," kata Tante Ratih. Gue liat pakaiannya udah rapi dan dia nenteng tas di bahunya. "Cari Syifa ya pasti? Bentar ya, Rif. "Syifa masih di atas, sebentar lagi juga turun. Lima menit lah."
"Iya, Tan," gue jawab santai.
Tante Ratih merapikan tas kerjanya sambil melangkah keluar. "Kamu masuk dulu aja, nunggu Syifa di dalam. Tante mau berangkat kerja dulu."
Gue meliriknya sebentar, lalu, sebelum dia sempat pergi—gue tahan pergelangan tangannya dengan lembut. "Eh, bentar, Tan. Kok kayaknya kurusan, ya?"
Tante Ratih mengerjap, agak kaget sewaktu gue sentuh. "Ah, masa sih?"
Gue nggak langsung jawab, malah mengelus punggung tangannya, merasakan kulitnya yang lembut, putih, dan bersih. Tante Ratih diam, tapi gue bisa ngerasain otot-otot di tangannya sedikit menegang sebelum akhirnya perlahan rileks.
"Beneran, lho," gue lanjut, nada suara gue santai tapi jujur. "Progress-nya kelihatan."
Wajah Tante Ratih berubah sedikit merah. Dari yang awalnya agak kaget pas gue pegang tangannya, sekarang dia keliatan lebih santai. Bahkan, ada senyum kecil di sudut bibirnya. "Ini efek hypnotherapymu pasti, Rif."
"Sama efek olahraga dan dietnya Tante juga. Kalau cuma hypnotherapy doang, nggak bakal ngaruh."
Tante Ratih mengangguk pelan, matanya berbinar. "Iya juga, ya."
Gue kemudian melepas tangannya Tante Ratih, "Tante berangkat kerja, gih. Nanti telat lho."
"Iya, Rif. Tante mah bukan anak sekolahan, harus kamu ingetin terus," Tante Ratih tertawa kecil. Ia kemudian berjalan ke arah mobilnya.
Gue pun berbalik lalu masuk ke dalam rumah. Syifa masih belum turun.
Gue nunggu sekitar lima menit sambil nonton TV, tapi Syifa masih belum muncul juga. Nggak sabar, akhirnya gue teriak,
"Syif—"
Belum sempet gue selesain, suara langkah buru-buru di tangga bikin gue otomatis noleh. Syifa muncul, napasnya sedikit tersengal.
"A-ayo berangkat," katanya cepat, nada suaranya gugup.
Mata gue sekilas ngeliat penampilannya. Hijab pendeknya agak berantakan, kayak buru-buru dipasang. Kemeja ketat lengan panjang membalut tubuhnya dengan pas, memperjelas bentuk toket brutalnya itu yang keliatan mencolok banget. Ditambah jeans ketat yang bikin detil bokongnya terlihat jelas kayak dia ngga pake celana sama sekali.
Gue nggak ngomong apa-apa, cuma mengangguk sebelum bangkit dari duduk. Langsung jalan keluar, dan Syifa mengikuti di belakang tanpa suara.
Di dalam mobil, suasana jadi sedikit awkward. Gue fokus nyetir, sementara Syifa duduk diam di sebelah.
Beberapa kali, gue liat dia buka mulut kayak mau ngomong sesuatu. Tapi tiap kali, dia batal dan kembali diam.
Deru mesin mobil dan suara kendaraan di luar jadi satu-satunya yang ngisi kekosongan.
Begitu mobil gue berhenti, gue dan Syifa turun tanpa banyak omong. Dia langsung melangkah ke depan, sementara gue ngunci mobil dulu sebelum nyusul.
Hari itu berjalan kayak biasa… atau setidaknya hampir. Dia tetep ngelakuin hal-hal yang gue minta, tetep mau ngerjain tugas gue walaupun dia sibuk sama mata kuliahnya sendiri. Pas jam makan sekarang pun dia tetep beliin gue makanan di kantin, sementara gue cuma duduk sambil main hp. Tapi bedanya, dia lebih banyak diem. Biasanya dia bakal ngoceh tentang dosen yang nyebelin, atau sekadar ngeluh capek. Kali ini, nggak ada.
Nggak lama, Syifa datang ke meja tempat gue duduk, naro makanan yang gue pesen. “I-ini Rif,” katanya pendek.
Gue ambil makanannya, melirik dia yang masih berdiri di depan meja. “Kamu kenapa deh Syif, hari ini banyak diem aja?” tanya gue santai.
Syifa sedikit tersentak, kayak nggak nyangka gue bakal nanya. “N-ngga apa-apa,” jawabnya cepat, terlalu cepat malah.
Gue mengangguk-angguk, terus buka bungkusan makanan, ambil sendok, terus makan sesuap. Setelah ngunyah sebentar, gue ngeliat dia lagi. “Nanti sore sesi hypnotherapy, ya.”
Syifa mengangguk, matanya nggak berani lama-lama ketemu sama gue. “I-iya, Rif.”133Please respect copyright.PENANA1Hw5TVMAyy
Sekitar jam dua, gue udah kelar semua matkul, sementara Syifa masih ada satu kelas lagi. Gue nungguin di taman kampus, main game di hp sambil sesekali ngeliatin orang yang lalu-lalang, tapi ngga ada yang menarik perhatian gue. Ngga ada cewek kampus yang toketnya sebesar punyanya Syifa.
Jam tiga lewat dikit, Syifa akhirnya muncul. Tanpa banyak omong, kita langsung jalan ke parkiran, masuk mobil, dan pulang bareng.
***
Sekarang gue duduk di ruang tamu rumah gue, bersandar santai di sofa. Syifa duduk di samping gue, kelihatan gelisah. Tangannya sibuk meremas ujung bajunya sendiri, napasnya pelan tapi terasa berat.
Gue menatapnya sebentar, lalu buka suara. “Siap?”
Syifa mengangguk ragu. “Iya.”
Gue kemudian menggerakkan liontin itu perlahan ke kanan dan ke kiri, bersamaan juga pandangan mata Syifa mengikuti gerakan liontin itu. Beberapa saat kemudian, pandangannya Syifa udah terlihat ngeblank. Tanda bahwa dia udah sukses gue hipnotis.
“Kenapa kamu gugup dan lebih banyak diem hari ini?” tanya gue.
Syifa diem agak lama, kayak bingung mau jawab atau tetep diem. Tapi akhirnya dia buka mulutnya, “Karena kemarin kamu maksa aku nyepong kamu...”
“Aku maksa nyepong kamu?” tanya gue. “Bukannya yang pertama kali pengen nyepong kontolku itu kamu?”
“I-iya…tapi….” Syifa keliatan pengen ngomong lagi tapi ia akhirnya diem. Mungkin dia tahu kalau yang gue omongin ini emang bener.
“Jadi, kamu ga suka aku maksa kamu nyepong kontolku terus kamu jadi diem gara-gara itu? Kamu marah sama aku?”
“Iya..” jawab Syifa pelan.
“Terus kalau marah kok kamu masih mau ngelakuin semua yang aku suruh tadi?”
“Karena kalau aku ngga ngelakuin perintahmu, nanti kamu nyetop hipnotis aku. Terus aku bakalan jadi gendut terus.”
Gue tersenyum. Efek sugesti gue udah berjalan di dalam dirinya Syifa. Seharusnya sehabis gue perkosa kemarin, Syifa pasti langsung lapor ke mamanya dan ke polisi tapi sugesti gue yang udah meresap ke alam bawah sadarnya membuat dia jadi nurut sama gue.
“Oke. Jadi walaupun aku maksa kamu buat nyepong tiap hari, kamu marah tapi kamu tahan gara-gara kamu takut jadi gendut kalau nanti aku menjauh dari kamu?”
“Iya,”
“Kenapa sepenting itu dihipnotis sama aku?”
“Karena kalau aku ngga kamu hipnotis, aku bakalan jadi gendut. Kalau aku gendut, aku itu jelek. Ngga guna. Ngga ada harganya. Rendahan. Najis. Orang-orang bakal mandang sinis sama aku..”
Syifa terus mengeluarkan kata-kata yang isinya jelekin dirinya sendiri sampe gue harus bilang stop agar dia berhenti.
“Menurutmu aku maksa kamu nyepong kontolku kemarin itu tiba-tiba atau ada sebabnya?”
“Ada sebabnya.”
“Apa?”
“Karena aku sebelumnya tiba-tiba nyepong kontolmu duluan, jadi aku duluan yang perkosa kamu..” Syifa mengaku.
Dengan ini Syifa berarti sama aja bilang kalau dia adalah pelaku dan victimnya adalah gue.
“Jadi kalau kamu aku perkosa tapi kamu tetep aku hipnotis, itu ngga apa-apa?”
“I-iya…” Syifa kedengeran ngga yakin ngomong hal itu.
“Oke,” ucap gue. “Ulangi kata-kataku. Kamu rela diperkosa sama aku asalkan kamu tetep dihipnotis sama aku terus.”
“A-aku rela diper-diperkosa… sama kamu asalkan kamu ngehipnotis aku terus..”
Masih kendengeran kurang yakin. Wajar sih, karena walaupun alam bawah sadarnya Syifa udah nerima kalau dia itu ngga bisa nolak waktu gue perkosa, tetep aja bilang kalau dia rela diperkosa lewat mulutnya sendiri itu pasti bakalan kedengeran aneh meskipun ini cuma sekedar saat dia lagi dihipnotis.
“Ulangi lagi.”
“A-aku rela diperkosa… sama kamu asalkan kamu ngehipnotis aku terus…”
“Ulangi lagi.”
“Aku rela diperkosa… sama kamu asalkan kamu ngehipnotis aku terus…”
“Lagi.“
“Aku rela diperkosa… sama kamu asalkan kamu… ngehipnotis aku terus.”
Gue terus menyuruh Syifa buat mengulang-ulang hal itu sampe dia lancar ngomongnya.
“Aku rela diperkosa sama kamu asalkan kamu ngehipnotis aku terus.”
“Kalau aku perkosa kamu sekarang juga, kamu bakalan seneng atau takut?” tanya gue selanjutnya.
“Takut,” ucap Syifa.
Gue masih belum puas sama kontrol gue atas diri Syifa. Seorang budak harusnya selalu senang saat diperintah oleh Tuannya. Caranya tentu dengan membuat self-esteemnya makin hancur.
“Menurutmu sejak kamu di hypnotherapy ini, kamu udah ada perkembangan soal dietmu?” tanya gue.
Syifa diam cukup lama, lalu menjawab, “Belum ada…”
“Kenapa gitu? Kamu sendiri liat Mamamu kan? Dia sekarang udah cukup kurus dibandingkan saat pertama kali belum aku hypnotherapy,” gue terus mencerca Syifa. “Kok kamu ngga bisa kayak gitu juga?”
Syifa cuma diem. Dia hampir nangis gue marahin.
“Kamu pasti tiba-tiba nyepong kontolku gara-gara gaada laki-laki yang suka sama kamu kan?” tuduh gue. “Jadi kamu nyepong kontolku biar aku suka sama kamu.”
“E-engga gitu…” ucap Syifa lirih.
“Ngaku aja Syif,” ucap gue. “Kamu itu gendut, jelek. Udah kuhipnotis belasan sesi juga tetep aja gabecus dietnya. Emang ada yang mau sama kamu?”
“Engga ada…”
“Berarti bener kan kamu nyepong kontolku biar aku itu suka sama kamu?”
“Iya..” suaranya Syifa sangat kecil sampai gue harus ngedeketin telinga gue ke mulutnya.
“Ulangi jawabanmu lebih keras.”
“I-iya.”
Gue tersenyum puas. Sesi hipnotis pertama hari ini sudah selesai, dan gue membangunkan Syifa.
Begitu Syifa bangun, hal pertama yang keluar dari mulut gue adalah nanya soal berat badannya.
“Sekarang berat badan kamu berapa?”
Syifa mengerjap, masih keliatan sedikit linglung. “Ngga tau,” jawabnya pelan. “Aku udah lama ngga nimbang.”
Gue diem, menatapnya dari atas ke bawah tanpa berkata apa-apa.
Syifa kelihatan resah. “K-kenapa, Rif?”
Gue cuma menghela napas pelan, tetap ngga merespons.
Syifa menunduk, ngeliatin tubuhnya sendiri. Seketika, wajahnya pucat. Matanya mulai berkaca-kaca.
Lalu, tiba-tiba dia melorot turun dari sofa dan memeluk kaki gue erat.
“T-tolong, Rif…” suaranya bergetar, air matanya jatuh satu-satu. “Jangan stop hypnotherapy aku, ya? Please…”
Gue tetap pasang wajah datar, pura-pura ngga peduli. Padahal dalam hati, gue nyengir lebar. Siapa juga yang mau nyetop buat hipnotis elo, Syif? Ya kali. Udah bentar lagi lu jadi budak sex gue.
Gue perlahan melepaskan tangannya yang mencengkeram kaki gue, terus ngehela napas panjang.
“Jujur, dibanding Mama kamu, aku gagal nge hypnotherapy kamu, Syif.”
Syifa tersentak, tangisnya makin pecah. “J-jangan gitu dong, Rif… Pleasee…” Air matanya ngalir makin deras, napasnya sesenggukan.
Gue ngeliatin dia datar. “Udah susah banget, Syif. Kamu tau nggak apa yang kamu bilang pas lagi dihipnotis tadi?”
Dia menggeleng lemah. “E-engga…”
“Aku udah kasih kamu banyak sugesti biar dietmu berhasil. Tapi alam bawah sadar kamu nolak. Kamu terlalu keras kepala buat nurunin berat badan dan bikin badan kamu jadi lebih kurus.”
Syifa makin nangis. Bahunya bergetar. “A-aku bakal ngelakuin apa aja, Rif…” suaranya serak, penuh putus asa. “Aku jadi jongos kamu juga ngga papa… Ngga usah dibayar, yang penting aku tetep dihipnotis…”
Gue nyender ke sofa, senyum tipis mulai kebentuk di wajah gue. "Kamu beneran mau ngelakuin apa aja yang aku suruh? Jadi jongosku?" tanya gue.
“Iya…” jawab Syifa lirih.
Gue ngeluarin ponsel dari saku, jempol gue dengan santai ngetik sesuatu di notes. Setelah selesai, gue puter layar ke arahnya Syifa.
“Beliin aku semua yang di list ini.”
Syifa ngeliatin layar ponsel gue, matanya sedikit membesar ketika membaca list belanjaan yang gue buat.
Gaada yang aneh, cuma list belanjaan biasa. Tapi justru itulah yang membuat Syifa bingung.
Sejenak, ekspresinya berubah, kayak dia mikir sesuatu yang lain. Tapi cuma sebentar. Wajahnya langsung muram, pandangannya merendah.
Dia pasti berekspektasi gue bakal nyuruh nyepong atau ngentot dia.
Gue liat dia nelen ludah pelan, tangannya gemetar sedikit waktu dia buru-buru ngeluarin ponsel dari tasnya dan motoin list yang gue kasih.
“B-baik,” ucapnya, suaranya hampir ngga kedengeran.
Tanpa nunggu lama, dia bangkit, langsung menuju pintu tanpa nanya apa-apa lagi.
Gue ngeliatin punggungnya yang pergi dengan langkah cepat, terus gue rebahan di sofa.
“Rifki ngga mau ngentot diriku yang jelek dan gendut ini,“ gue yakin itu yang Syifa pikirkan saat ini pas dia pergi buat beli stok makanan gue.
Sekitar setengah jam kemudian, suara pintu depan kebuka. Syifa muncul, ngos-ngosan, nenteng dua plastik belanjaan gede di tangannya.
Gue duduk santai di sofa, cuma ngelirik sekilas ke arahnya. “Taruh di dapur. Terus masak. Terserah mau bikin apa.”
Syifa cuma mengangguk tanpa banyak omong, langsung masuk ke dapur. Gue denger suara plastik kresek berisik, diikuti bunyi barang-barang yang dikeluarin dan ditata.
Gue santai aja di ruang tamu, main hp sambil nunggu. Ada suara panci, air ngalir, sendok ngetok-ngetok mangkok. Wangi masakan yang dibuat Syifa mulai samar tercium setelah beberapa menit.
Sekitar setengah jam kemudian, Syifa balik lagi ke ruang tamu, ngebawa nampan dengan satu piring makanan dan segelas air putih. Dia berhenti di depan gue, lalu dengan gerakan hati-hati, naruh semuanya di meja.
Gue ngelirik piringnya. Nasi putih, ayam goreng, dan tumis sayur. Sederhana, tapi aromanya enak.
“Oke, sekarang kamu duduk.”
Syifa kemudian bergerak buat duduk di samping gue tapi gue langsung mendorong tubuhnya mundur. “Siapa yang suruh kamu duduk di sampingku?”
Syifa kaget, “T-terus aku dudukdi mana?”
Gue nepuk lantai di samping sofa. “Di sini. Bersimpuh.”
Ada jeda sepersekian detik sebelum Syifa nurut. Dia nunduk, terus perlahan-lahan berlutut di lantai, duduk bersimpuh di samping gue.
Seperti lonte yang baik dan penurut, Syifa duduk dengan tenang tanpa suara selama gue makan masakannya. Setelah makanan gue hampir habis, gue akhirnya buka mulut.
“Kamu itu tadi ngos-ngosan pasti gara-gara lemakmu kebanyakan. Kamu tuh kegendutan, sadar ngga sih?”
Syifa nundukkin kepalanya, ngga berani natap gue. Tangannya mencengkram ujung bajunya sendiri.
Gue naruh sendok ke piring dengan suara 'tuk' yang lebih keras dari biasanya. “Udah aku kasih sugesti macem-macem, udah aku sugesti atur pola makan, tapi tetep aja hasilnya nihil. Kamu masih sama aja, ngga ada perubahan. Kamu ngerti kan artinya apa?”
Syifa nelen ludah. “A-artinya…”
“Artinya, kamu itu gagal.” Suara gue lebih tajam dari sebelumnya. “Beda banget sama Mama Kamu. Dia sukses nurunin berat badan karena dia punya disiplin dan niat. Kamu? Kamu malah ngerusak semuanya. Bahkan ketika di hipnotis pun kamu tetep nggak bisa ngelawan kebiasaan kamu sendiri.”
Syifa mencengkram celana yang dia pake, kelihatan gemetar. “M-maaf…”
“Ngapain minta maaf lagi, tadi dah minta maaf, kemarin minta maaf juga,” Gue mendengus, bersandar ke sofa dengan ekspresi kecewa. “Kamu mau tetep kayak gini terus? Mau terus ngecewain aku?”
Syifa buru-buru geleng, air matanya udah ngumpul di pelupuk mata.
“Kalau kamu emang serius mau berubah, kamu tanya langsung ke Mama kamu. Gimana caranya dia bisa diet sampai sukses. Gimana dia bisa punya kemauan yang kuat.” Gue menyilangkan tangan di dada, mata gue ngeliatin Syifa dari atas ke bawah. “Atau kamu mau tetep jadi beban aja?”
Syifa ngegigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. “A-aku bakal nanya ke Mama… Aku bakal belajar dari Mama…”
“Bagus.” Gue meraih gelas air gue, minum seteguk, lalu naruhnya ke meja lagi. “Besok aku mau kamu kasih laporan. Kamu tanya ke Mamamu, dan kamu kasih tau aku apa yang kamu dapet.”
Syifa mengepalkan tangannya di pangkuan pahanya. “I-iya…” suaranya kecil, tapi penuh ketakutan.
“Oke. Sekarang kamu berdiri terus copot baju, aku mau liat tubuh gendutmu itu.”
Syifa langsung membelalakkan mata, napasnya tertahan. "J-jangan dong, Rif..." suaranya lirih, memohon.
Gue ngga jawab, cuma menatapnya lebih tajam.
Syifa pasti takut telanjang di depan gue, yang adalah seorang laki-laki. Tapi gue tau kalau sekarang di pikirannya itu yang lebih ia takutin adalah tubuhnya yang dia pikir itu gendut berlemak. Tubuh yang udah bertahun-tahun dia benci, tubuh yang kalau dilihat orang bakal bikin mereka benci dan jijik. Dan sekarang, dengan gue yang jelas lagi marah, dia makin takut. Takut gue bakal jijik juga.
Syifa menggigit bibirnya, tubuhnya sedikit gemetar. Tapi gue tetap diam, tetap menatapnya tanpa ragu.
Akhirnya, dengan gerakan ragu dan enggan, Syifa perlahan berdiri. Tangannya gemetar saat iamulai melepas bajunya, lalu celananya, satu per satu. Begitu Syifa mencopot kaos dan celananya, ia sudah telanjang.
Gue kemudian bangkit dari duduk dan mulai melangkah pelan, mengitari tubuhnya.
Mata gue menjelajahi setiap lekuk tubuhnya, proporsinya sempurna. Spek tubuhnya emang level model papan atas. Toket jumbo pinggang ramping, bokong bulat dan kencang. Tiap manusia yang pernah hidup di muka bumi ini pasti setuju sama pikiran gue ini.
Kalau dia lahir di zaman kerajaan, pasti udah dinikahin sama raja atau jadi selir kesayangan bangsawan. Kalau lahir sebagai budak, harga jualnya pasti selangit, Tuan-Tuan kaya raya pasti saling sikut buat rebutin dia. Kalau dia lahir di zaman modern, dia pasti jadi model top yang langganan ngehiasi sampul Vogue.
Tapi kenyataannya dia sekarang udah selangkah lagi jadi budak seks gue. Ini semua gara-gara lu yang terlalu tolol sampe buta kalau diri lu itu cantik, Syif.
Plak!
Gue menampar toket sebelah kanannya Syifa dengan keras sampai bergoyang-goyang.
“Ahh!” Syifa berteriak kesakitan.
"Kamu ngga pake bh atau celana dalem? dasar cewek mesum!"
“B-bukan git–”
Plak!
Sebelum Syifa selesai ngomong, gue menampar toket sebelah kirinya.
"Atau jangan-jangan toket sama bokongmu ini kegendutan jadi ngga ada yang pas buat kamu pake?"
“Ahh, s-sakit Rif…” protes Syifa.
Plak!
“Toket kamu ini kegedean! kayak sapi, tau ngga?”
“Ahhh! Rif… sakitt benerann…”
Plak!
“Ngga usah ngeluh!” bentak gue. “Kalau kamu lakuin sugesti hypnotherapyku dengan bener, ngga bakal juga aku tampar susu gedemu ini. Ngga malu apa sama sapi?”
Plak! Plak!
Gue menampar toket kanan dan kirinya bersamaan, terus gue memelintir kedua putingnya sampai Syifa berjinjit saking sakitnya.
“Aw! Aw! Aw! S-sakit Rif… Pleasee, jangan dicubitt! Aw!”
Gue ngga hirauin rengekannya Syifa dan tetep memelintir putingnya itu sampai kemerahan. Setelah hampir semenit gue pelintir baru gue lepasin putingnya itu.
Plak! Plak!
Toketnya dia gue gampar lagi sehabis putingnya gue hukum.
“Uhhhhh…. Uhh…..” Matanya Syifa kembali berair.
"Jangan cengeng! Udah berapa kali kamu nangis hari ini?!“ bentak gue.
Gue kemudian berjalan ke belakang tubuhnya Syifa.
Plak!
Bokongnya Syifa gue tampar sekali.
“Ah!” Syifa berteriak kesakitan lagi. Teriakannya itu lama-lama jadi melodi merdu di telinga gue, membuat gue jadi ketagihan buat ngehukum Syifa terus.
Plak! Plak! Plak!
Berulang kali gue menampar bokongnya Syifa sampai bokongnya itu memerah.
Plak! Plak! Plak!
Setelah berulang kali nampar toket dan bokongnya Syifa, tangan gue akhirnya capek juga. Bokong dan toketnya Syifa juga udah merah-merah semua.
“Kamu udah paham kesalahanmu? Kamu habis ini bakal berusaha lebih keras ngga?” tanya gue.
“Iya, Rif. Aku bakal berusaha lebih keras, aku janji.”
Gue kemudian duduk di sofa lagi. “Duduk di sofa sini,” ucap gue sembari menepuk bantalan sofa di sebelah gue.
Syifa melangkah mendekat dengan gugup, setiap gerakannya bikin bokongnya ikut bergoyang halus. Begitu dia duduk, sofa di bawahnya sedikit tenggelam, seolah ikut nyadar betapa beratnya beban bokongnya itu.
Gue yakin Syifa sendiri juga sadar, wajahnya langsung memerah, sadar betapa gendut bokongnya sendiri.
Gue kemudian mengambil liontin di meja dan ngomong, “Aku bakal hipnotis kamu lagi. Kalau alam bawah sadarmu tetep nolak, yaudah aku nyerah dan stop hipnotis kamu selamanya. Paham?”
“Paham…” jawab Syifa.
Gue kemudian menggerakkan liontin itu perlahan ke kanan dan ke kiri, bersamaan juga pandangan mata Syifa mengikuti gerakan liontin itu. Butuh waktu agak lama buat Syifa masuk ke dalam trance dan terhipnotis karena kali ini Syifa gugup sehabis gue hukum. Tapi pada akhirnya, Syifa tetep bisa gue hipnotis dalam waktu sekitar sepuluh menit.
Hal pertama yang gue lakuin setelah Syifa ngeblank adalah menelungkupkan tubuhnya di sofa dan mencopot celana gue. Kontol gue yang udah mengacung tegak dari tadi akhirnya terbebaskan dari sangkarnya.
Plak!
Gue menampar bokongnya Syifa yang montok banget itu.
Gue udah ngga bisa nahan nafsu birahi gue lagi. Gue bakal ngentot Syifa sekarang.
Tapi bukan memeknya. Gue pengen dia nanti ngemis-ngemis ke gue buat ngentot memek perawannya. Kali ini gue bakal ngentot lubang anusnya.
Gue ngambil lotion di kamar gue, terus balik lagi dan mulai mengoleskan lotion sebanyak-banyaknya ke dalam dan sekitar lubang anusnya.
“Anusmu kerasa dingin ngga?” tanya gue ke Syifa.
“I-iya dingin…” ucap Syifa.
“Kamu tau kamu mau diapain sama aku?”
Ada jeda sedikit sebelum Syifa jawab dengan pelan, “Aku… mau kamu entot?”
Ngga ada penolakan dari Syifa. Alam bawah sadarnya udah sukses gue sugesti sampai dia ngga nolak buat gue entot.
“Bukan dientot, tapi diperkosa,” gue membenarkan perkataannya Syifa.
Gue langsung bisa liat pahanya Syifa sedikit bergetar. Gue yakin memeknya pasti juga tambah becek pas denger gue mau perkosa dia.
Slebb…
Dengan tekanan yang cukup kuat, gue perlahan-lahan bisa memasukkan kontol gue ke anusnya Syifa.
“Nghh…” Gue melenguh. Lubang sempit anus perawannya Syifa membuat kontol gue cenat-cenut keenakan. Gue kemudian mulai menghujamkan kontol gue.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
“Anusmu peret banget bangsaatttt!” erang gue. Waktu kontol gue diem aja, anusnya Syifa udah buat kontol gue cenat-cenut, apalagi pas gue sodok-sodokin terus.
Bukan gue aja yang dapet enaknya, Syifa pun mulai mendesah meskipun pelan. “Uhh….. nghhhh…”
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Gue ngga cuma nyodok-nyodok anusnya Syifa aja, rambutnya Syifa gue jambak sampai kepalanya ketarik kebelakang. Sesekali gue juga meremas-remas toketnya.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Desahannya Syifa makin keras seiring gue yang makin kencang menghujamkan kontol gue. “Ouhhhhh… ouhhhhh, ouhhhhhhh.”
“Lu emang beneran lontee Syif! Pas lagi ngga sadar lu malah tetep ndesah terus,” ucap gue sambil menampar bokongnya.
Plak!
Gue dengan bebas menampar bokongnya Syifa berulang kali, meremas-remas toketnya, bahkan mencekik lehernya Syifa dan dia tetep ngga bakal bangun dari hipnotis. Alam bawah sadarnya Syifa udah sukses gue taklukkin. Alam bawah sadarnya udah membolehkan gue buat perkosa dia, buat ngelecehin dia, buat memperlakuin dia kayak objek personal gue.
“Lu dari lahir emang diciptain buat jadi pelacur murahan Syif! Lu sama Mamamu samaa! Pelacur murahan semuaa!”
“Ouhhhhhhhhhhhhhhhh,” Syifa mendesah keras dan tubuhnya bergetar-getar. Bersamaan dengan itu juga, cairan orgasme keluar dari memeknya.
Gue ngga tau kalau orang dihipnotis ternyata bisa orgasme.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Lima belas menit penuh gue habiskan buat memperkosa anusnya Syifa. Selama itu, ngga ada satupun bagian tubuhnya yang belum gue tampar, cubit, atau pelintir.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Hingga akhirnya gue mengerang panjang ketika gue mau crot, “Arghhhhhhh,” gue langsung mencabut kontol gue dari anusnya Syifa.
Crot! Crot! Crot!
Peju gue menyembur ke punggungnya Syifa. Gue terus mengocok kontol gue hingga peju gue berhenti muncrat.
“Ahhh…” Gue menyandarkan punggung gue ke sofa. Hati gue serasa lonjak-lonjak saking senengnya gue bisa ngentot Syifa walaupun masih di anusnya. Gue bangkit sebentar buat ngambil tisu di meja lalu mengelap peju gue dari punggungnya Syifa.
Tangan gue akhirnya bisa dibebastugaskan dan digantikan oleh anusnya Syifa buat muasin kontol gue.
Kalau kayak gini gue bisa sih ngentot Syifa terus-terusan pas dia dihipnotis. Pas dia bangun, walaupun anusnya bakal kerasa longgar terus sakit, walaupun memeknya habis kejang-kejang orgasme, dia ngga bakal inget apapun dan sadar kalau dia habis diperkosa sama gue.
Yaps. Walaupun anusnya bakal kerasa longgar terus sakit, walaupun memeknya habis kejang-kejang orgasme..
Walaupun anusnya bakal kerasa sakit… dan memeknya orgasme…?
Wait.
Gue segera merubah posisi Syifa yang tadinya menelungkup jadi duduk kembali.
“Syif?” gue menelan ludah, jantung gue berdetak lebih kencang.
“Mmm?” balas Syifa.
“Kalau kamu habis ini bangun, kamu bakal nyadar ngga kalau kamu tadi habis orgasme?”
“Iya,” jawab Syifa. “Langsung sadar.”
Well, shit.
“Kamu bakal nyadar ngga kalau kamu habis di anal sama aku?”
Syifa berpikir sejenak, “Ngga langsung sadar. Aku bakalan bingung karena anusku jadi sakit gitu.”
“Tapi kamu bakal sadar nantinya walaupun agak lama?”
“Iya.”
Anjing.
Gara-gara gue sange dan ngebet buat ngentot Syifa, gue ngga kepikiran setelahnya gimana.
Anjing.
Anjing.
Anjing.
I fucked up my plan.
“Gimana perasaanmu setelah aku entot tadi?”
“Uhhh..” Syifa mikir agak lama. “Bingung. Marah tapi ada senengnya juga karena aku good enough buat dientot sama kamu.”
“Good enough”
Hal yang paling gue hindari untuk gue lakuin ke Syifa malah terjadi. Dia bakalan mikir kalau dia itu cukup seksi, cukup cantik buat gue entot.
Rasa percaya dirinya Syifa yang udah serendah jurang itu gue angkat karena gue mikir pake kontol gue.
Anjing emang.
Gue menjambak rambut gue sendiri saking frustasinya.
Mikir Rifki, mikir!
“Menurutmu kalau kamu jadi jongosku, aku bakal ngentot kamu ngga?” tanya gue.
“Engga,” jawab Syifa.
“Kenapa?”
“Karena aku jelek sama gendut. Rifki pasti maunya sama cewek cantik dan seksi.”
“Betul,” ucap gue.
“Terus kenapa aku tadi ngentot kamu?”
“Karena kamu berubah pikiran. Kamu mikir aku itu ngga terlalu jelek dan gendut buat kamu entot. Nilaiku naik jadi 4 dari 10,” ucap Syifa sambil tersenyum.
Lonte bangsat, umpat gue dalam hati ngeliat Syifa yang tersenyum. Komuknya dia yang tengil itu keliatan seneng banget bisa ngalahin gue di ‘game’ gue sendiri.
Tapi setidaknya self-esteemnya masih rendah karena dia ngga bilang nilainya itu 8 dari 10. Pikirannya Syifa itu udah gue
“Kamu emang percaya nilaimu naik jadi 4 dari 10?” tanya gue. “Emang kamu ngga ngaca sampe sepercaya diri itu?”
Syifa terdiam, senyum tengilnya itu langsung hilang.
“Sadar diri Syif,” ucap gue lagi. “Aku lebih percaya kalau besok turun hujan emas daripada kamu nilainya naik jadi 4 dari 10. Nilaimu itu turun malahan jadi 1.5 dari 10 sekarang, tau ga?”
“I-iya…”
“Balik lagi sekarang, kamu pikir kenapa aku tadi ngentot kamu?”
Syifa berpikir cukup lama. Kelamaan malah sampai gue bosen nunggunya. Gue akhirnya ngomong, “Mungkin ngga kamu itu cuma berhalusinasi?
“Halusinasi?”
“Iya. Kamu ini dihipnotis, jadi aku bisa sugesti kamu buat mikir apa aja kan?”
“Iya..”
“Jadi bisa aja kan aku sugesti kamu kalau tadi kamu dianal sama aku itu ternyata bohongan? cuma sekedar halusinasi? fantasimu aja?”
“Iya..”
“Oke. Ulangi perkataanku. Pas kamu bangun nanti, kalau kamu mikir anusmu itu sakit terus kamu mikir kamu habis dientot sama aku, kamu itu cuma berhalusinasi karena aku ngga mungkin ngentot kamu yang jelek dan gendut.”
“Pas aku bangun nanti, kalau aku mikir anusku habis dientot sama kamu, aku itu cuma halusinasi karena kamu ngga mungkin ngentot aku yang jelek dan gendut.”
“Ulangi.”
“Pas aku bangun nanti, kalau aku mikir anusku habis dientot sama kamu, aku itu cuma halusinasi karena kamu ngga mungkin ngentot aku yang jelek dan gendut.”
“Ulangi lagi.”
“Pas aku bangun nanti, kalau aku mikir anusku habis dientot sama kamu, aku itu cuma halusinasi karena kamu ngga mungkin ngentot aku yang jelek dan gendut.”
“Oke. Sekarang kalau kamu bangun kamu bakal ada rasa curiga ngga? Curiga apapun soal tubuhmu, ke aku. Semuanya sebutin,” ucap gue. Gue ngga mau bangunin Syifa sampe bener-bener dia udah ngga ada rasa curiga lagi ke gue.
“Ada,” jawab Syifa setelah ia berpikir sebentar. “Aku bakal tau kalau aku udah orgasme.”
“Kok kamu bisa tau kalau kamu orgasme?”
“Karena memekku udah ga berdenyut-denyut lagi. Udah ‘plong’ gitu.”
“Tapi kamu ngga bakal curiga kalau anusmu sakit?”
“Engga.”
“Kenapa?”
“Karena aku ngiranya itu anusku sakit gara-gara kamu tampar tadi bukan karena kamu entot. Kamu ngga mungkin ngentot aku yang jelek dan gendut ini.”
Satu masalah terselesaikan.
Sekarang, gimana caranya gue buat biar Syifa ngga sadar kalau dia udah orgasme?
Gue harus ngeyakinin Syifa kalau memeknya itu masih terasa gatel dan berdenyut-denyut lagi. “Aku pengen kamu ngerasa sange banget, sange kayak sebelum di hipnotis sama aku,” ucap gue asal-asalan.
Gue tau kalau Syifa itu tipe orang yang ngga bisa gerak waktu di hipnotis tapi tadi memeknya bisa bergetar pas dia orgasme, jadi mungkin kali ini bisa beda juga.
Sialnya, ngga ada respon dari Syifa.
Oh, well.
Gue nyenderin punggung gue ke sofa, kehabisan ide. Gue menatap tubuhnya Syifa yang ada di samping gue itu, bayangan betapa sempit anusnya Syifa yang njepit kontol gue membuat gue pengen ngentot lonte jalang di samping gue ini lagi.
Oh, iya.
Kenapa gue ngga coba ngentot Syifa lagi aja? Tapi kali ini dia ngga gue bolehin orgasme.
Gue langsung bangkit dari sofa dan mengubah tubuh Syifa dari duduk bersandar jadi menelungkup di sofa lagi.
“Kalau aku rangsang memekmu lagi sampai memekmu terasa sange, berdenyut-denyut kayak sebelum kamu dihipnotis. Kamu ngga bakal curiga kan?”
“Engga.”
“Aku bakal rangsang memekmu ini, kamu ngga boleh orgasme. Paham?”
“Paham.”
“Pas kamu mau orgasme, kamu harus bilang, biar aku stop.”
“Iya, aku bakal bilang kalau aku mau orgasme.”
Gue kemudian mengoleskan pelumas lagi di anusnya Syifa dan mengarahkan kontol gue yang udah mengacung tegak kembali.
Slebbb…
Kali ini, kontol gue lebih gampang masuk ke dalam anusnya yang udah adaptasi sama bentuk kontol gue. Tanpa berlama-lama lagi, gue langsung menghujamkan kontol gue maju-mundur.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Gue ngga hanya menyodok-nyodok anusnya Syifa aja kali ini, tangan gue ikut mengobel memeknya Syifa agar dia terangsang makin cepat.
Clep, clep, clep.
Di serang di dua titik sensitifnya secara bersamaan, Syifa tak bisa lagi menahan desahannnya, “Ouhhhhh, nghhhh, ouhhhhhhh,”
Plok! Plok! Plok!
Gue terus menyodok-nyodokkan kontol gue dan mengobel memeknya sampai tubuhnya Syifa bergetar.
“Ouhhh, aku mau crotttt!”
Disaat itu juga gue langsung mencabut kontol gue dari anusnya dan berhenti mengobel memeknya.
“Gimana?” tanya gue sambil terus mengocok-gocok kontol gue. “Memekmu udah berdenyut-denyut kayak pas sebelum aku hipnotis kamu?”
“B-belum…”
Gue ngga tau itu cuma akal-akalan alam bawah sadarnya Syifa biar dia bisa dientot gue lagi atau emang beneran memeknya belum terangsang penuh, tapi gue ngga peduli.
Kiamat bakalan dateng duluan sebelum gue nolak kesempatan buat ngentot anusnya Syifa.
Gue memasukkan kembali kontol gue ke dalam anusnya Syifa.
Sleb…
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Gue menyodok-nyodokkan kontol gue dengan brutal.
Syifa pun mendesah keras, “Ouhhhhh, ouhhhhhh, nghhhh, ouhhhhhh.”
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Hampir lima menit lebih gue menghujamkan kontol gue berulang kali ke anusnya Syifa sampai akhirnya dia bilang.
“Aku mau crottttt! ouhhhhhh,”
Gue langsung cabut kontol gue dari anusnya.
“Nghhhhh,” Syifa melenguh pelan sementara tubuhnya bergetar-getar dan memeknya berkedut-kedut. Syifa pasti frustasi karena memeknya ngga bisa orgasme.
Sleeb…
Gue masukin kembali kontol gue ke dalam anusnya Syifa.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Clep, clep, clep.
Lima menit gue rangsang kembali dua lubangnya Syifa itu sebelum dia berteriak lagi.
“Aku mau crottt!”
Gue mencabut kontol gue lagi dan tubuhnya Syifa kejang-kejang lagi. Saat kejang-kejangnya udah mereda, gue masukin kembali kontol gue ke dalam anusnya.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Clep, clep, clep.
Masukin kontol gue ke anusnya, cabut pas Syifa teriak mau crot, tunggu sebentar, terus masukin kontol gue lagi.
Begitu terus sampai dua puluh menit lebih waktu terlewat. Gue kali ini ngga cuma mau bikin memeknya Syifa kembali ke saat sebelum gue hipnotis aja. Gue mau bikin memeknya jadi bener-bener diujung.
Selalu sange tapi tak bisa orgasme. Memeknya bakal jadi memek murahan, memek pelacur, memek haus kontol.
Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
“Nghhhhhh,”
Kali ini bukan Syifa yang teriak, tapi gue. Dua puluh menit lebih udah nguras stamina gue sampai bener-bener habis, dan kontol gue udah gabisa diajak kompromi.
Gue segera mencabut kontol gue dari anusnya Syifa.
Crot! Crot! Crot!
Gue kembali menyemburkan peju gue di punggungnya Syifa.
“Ahhh,” gue melenguh puas sambil duduk senderan di sofa lagi. Gue beristirahat sebentar buat normalin nafas gue yang masih ngos-ngosan ini.
Sekitar lima menit kemudian, gue memakai celana gue lagi terus mengelap peju gue dari punggungnya Syifa sampai bersih. Baru kemudian gue mengubah posisi Syifa dari menelungkup jadi duduk bersandar seperti semula.
“Memekmu udah kerasa sange dan berdenyut-denyut lagi kayak sebelum dihipnotis?” tanya gue.
“Iya.”
“Habis aku bangunin, kamu nanti di kamar langsung colmek. Bayangin betapa cantiknya kamu kalau jadi kurus, bayangin kalau kamu kurus aku bakal ngentot kamu. Tapi kayak tadi itu, kamu ngga boleh orgasme. Pas kamu mau orgasme, kamu harus langsung berhenti colmek. Paham?”
“Paham, aku habis ini colmek tapi ngga boleh orgasme.”
“Kamu tau kenapa kamu ngga boleh orgasme?”
“Engga.”
“Ini itu hukuman karena kamu gagal buat ngejalanin dietmu. Kalau kamu belum berhasil diet, kamu ngga boleh orgasme sama sekali.”
“Iya.”
“Ulangi perkataanku.”
“Selama aku belum berhasil diet, aku ngga boleh orgasme sama sekali.”
“Ulangi lagi.”
“Selama aku belum berhasil diet, aku ngga boleh orgasme sama sekali.”
Gue menghela napas panjang. Akhirnya, semuanya beres. Hampir aja rencana gue berantakan.
Setelah memastikan semuanya aman, gue mulai membangunkan Syifa dari hipnotisnya.
Perlahan, dia mengerjap, matanya masih agak sayu. “Gimana, Rif?” tanyanya yang masih setengah sadar.133Please respect copyright.PENANAwTPhzSit6i
Gue menyandarkan punggung ke sofa, nada gue tetap datar. “Ada peningkatan dikit doang. Intinya, alam bawah sadarmu udah mulai bisa diajak kompromi buat usaha diet lagi.”
Syifa langsung tersenyum, wajahnya penuh harapan. “Berarti kamu bakal ngehipnotis aku terus, kan?”
“Bukan terus,” gue meluruskan. “Selama ada perkembangan, aku bakal terusin. Tapi inget, tiap perintah yang aku kasih, kamu harus nurut. Nggak ada protes. Sekali aja kamu nolak atau banyak alasan, aku berhenti.”
Syifa buru-buru mengangguk. “Iya, Rif. Aku bakal nurutin semua perintahmu. Makasih ya.”
Dia kelihatan maju, seakan mau meluk, tapi gue mundur sedikit, menghindar tanpa banyak usaha. Tatapan gue cukup buat ngasih tahu kalau itu ngga perlu.
“Udah, pulang sana.” Gue melirik ke jam di dinding, lalu ke dia lagi.
Syifa keliatan kecewa ketika gue ngga mau peluk dia, tapi dia akhirnya bangkit dan berjalan keluar. Gue bisa lihat langkahnya agak tertatih, jelas masih ngerasain rasa sakit di anusnya yang habis gue perkosa dua kali.
***133Please respect copyright.PENANAwOj4caj04I
KONTEN INI DI POSTING GRATIS OLEH MIRZAALI DI PENANA DAN FORUMSEMPROT. DILARANG UNTUK DIPERJUALBELIKAN.
***133Please respect copyright.PENANAXz1xtcj4Xk
133Please respect copyright.PENANANSHhMxdaLt