Prolog
Kehidupan selalu turun-naik bagai sebuah pasar saham. Merah pertanda sial, dan hijau pertanda syukur. Aku adalah yang tidak bisa membedakan antara merah dan hijau.
Ia datang disaat yang tidak tepat, seperti meniadakanku. Tapi, ia pernah berkata, “Yesus datang bukan untuk mentiadakan hukum taurat, melainkan menggenapkannya.”
Ia datang dalam hidupku untuk menggenapkan, setidaknya itu yang kupercaya. seperti sebuah film dengan kecepatan 1.5x, semuanya berlalu begitu cepat, seperti kedipan mata.
Kehadirannya serupa partikel kecil. tak bisa kuterka, tapi sejak dulu pernah kulihat, dan kemudian kurasakan dengan segenap jiwa. Waktu ia kecil, ia kerap-kali bermain dengan anakku di sebuah taman. Mereka tertawa dan berlarian tanpa beban. Menjalang dewasa anak kecil itu, berhasil membuatku jatuh ke dalam lubang yang dinamakan cinta. Ia membongkar setiap pertahananku, pengetahuanku, dan keyakinanku.
Bagaimana seorang ibu rumah tangga berumur 38 tahun sepertiku, berhasil dibuatnya tidak berdaya akan kehendaknya.
“Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa disulam menjadi puisi oleh sang pujangga, tidak bisa di lukis oleh sang pelukis. Tidak bisa ditenun oleh sang perajut,” katanya sewaktu-waktu.
Cinta adalah rangkain indah dan getir. Mampu menjadikan minus menjadi plus, dan sebaliknya. Cinta juga adalah subtansi terciptanya alam semesta. ia adalah energi purba. Lebih dekat daripada nadi, lebih pekat daripada darah.
Ini adalah Sebuah cerita yang kutulis dan kuabadikan untuknya. Sosok yang tidak bisa kulupakan. Tidak sama sekali. Karena dia, hidupku berubah. Untukmu yang hidup sekaligus mati dalam jiwaku: Kupersembahkan kisah ini.