Saat Ima kembali dari dalam kamar mandi dia mendapati suaminya sudah tertidur pulas, mendengkur keras setelah beberapa waktu lalu memacu birahi bersamanya. Kebiasaan buruk yang begitu dibenci oleh Ima sejak dulu, meninggalkannya seorang diri setelah melepas hasrat bersama. Wanita cantik itu lalu mengemasi daster yang teronggok begitu saja di lantai kamar kemudian memakainya.
Alih-alih menemani suaminya tidur, Ima justru membuka pintu kamar Wongso. Entah kenapa kini dia ingin menemui Wongso, tak ada lagi perasaan takut dalam dirinya kala menghadapi wajah mesum pria tua itu. Semuanya berubah menjadi keinginan untuk memacu birahi yang sama sekali tak dia dapatkan bersama Andi. Sisi liar dan kebinalan Ima dibangkitkan perilaku bejat dan mesum Wongso, hal yang disadari penuh oleh wanita cantik itu.
Ima menutup pelan pintu kamarnya, dia tak ingin membangunkan Andi meskipun suaminya itu terlihat sudah begitu nyenyak dalam tidur. Kakinya yang jenjang melangkah pelan menuruni anak tangga, dadanya berdebar kencang, sementara kepalanya masih kosong tak tau apa yang nanti kan dia katakan saat menemui Wongso.
Mengaku jika ingin disetubuhi oleh pria tua itu tentu bukan alasan yang tepat, bagaimanapun Ima tak ingin harga dirinya jatuh ke titik yang paling rendah kala berhadapan dengan Wongso. Anak tangga terakhir, tapak kaki wanita cantik itu terhenti.
"Nyari siapa Nduk?"
Ternyata Wongso sudah menunggunya, mantan napi itu duduk tenang di atas sofa ruang tamu, menghadap langsung ke arah anak tangga, tempat dimana Ima kini berdiri mematung. Ima tercekat kaget, namun masih bisa menguasai dirinya. Kesadaran penuh akan niatnya pada Wongso membuat Ima bergerak maju mendekati pria tua itu.
Lampu utama ruang tamu sudah padam, yang tersisa hanyalah sorot cahaya kecil dari lampu meja yang berada tak jauh dari sofa yang diduduki oleh Wongso. Meskipun sedikit gelap tapi gemulai langkah Ima bisa dengan jelas disaksikan oleh pria tua itu makin mendekat, bayangan gerak erotis Ima kala memacu birahi bersama Andi beberapa saat lalu kembali terbayang dalam benak pria tua itu. Wongso sudah bisa mengira bentuk tubuh mulus nan menggairahkan yang ada di balik daster tipis dari istri keponakannya itu.
"Ada apa Nduk? Hmm..?" Tanya Wongso sekali lagi, Ima sudah berdiri tepat di depan sofa, kedua matanya sayu memandangi tubuh Wongso yang masih duduk tenang.
"Nduk? Kamu kenapa?"
Wongso menarik lembut pergelangan tangan istri keponakannya itu hingga membuat tubuh Ima condong maju ke depan, semakin dekat dengan wajah pria tua itu. Bibir Ima kelu, gejolak birahinya sedang berperang melawan prinsip kesetiaannya pada Andi di dalam batin. Namun nampaknya tatapan mata Wongso yang dalam sekaligus menghanyutkan membuat Ima bertekuk lutut tanpa daya.
Wanita cantik itu pasrah ketika bibir tebal Wongso sudah menempel pada permukaan bibirnya yang ranum. Pagutan si mantan napi disambutnya dengan begitu hangat, kali ini tanpa paksaan sedikitpun, Ima cukup sadar terlibat ciuman panas dan menyerahkan tubuhnya untuk segera dinikmati oleh Paman suaminya itu.
Pelan tapi pasti, Ima mulai mengangkat bagian bawah dasternya hingga sebatas paha, kemudian perlahan wanita cantik itu menduduki Wongso yang masih berada di atas sofa. Ima sudah berada di atas pangkuan Wongso, saling berhadapan, aura keintiman makin terpancar diantara keduanya. Mereka lalu saling melumat bibir dengan saling menjilat, bertukar liur kemesuman. Jari-jari kekar Wongso merambat pelan menyusuri punggung mulus dari balik daster tipis yang dikenakan Ima.
"Kamu menginginkan ini Nduk?" Tanya Wongso, nafas Ima masih terengah-engah. Pertanyaan Wongso hanya dianggap angin lalu, tanpa menjawab Ima kembali memagut bibir pria tua itu dengan ganas.
Bak mendapat durian runtuh, Wongso kembali melanjutkan aksinya, mencumbui Ima dengan penuh nafsu. Wanita cantik itu merasakan batang penis si mantan napi sudah mengeras meskipun masih berada di dalam celana. Wongso kini menjilati bibir Ima sambil meremas bokongnya yang tengah ia pangku. Wanita itu menggelinjang tidak karuan saat bokongnya menjadi mainan sang pria tua.
"Pakdhe .... Ngghhh..."
Ima melenguh saat pria tua yang sedang memangkunya tersebut mengalihkan kecupannya ke bagian leher. Sementara tangannya yang masih bebas, kini mulai meremas-remas payudara Ima dari arah depan.
"Buka dastermu Nduk.."
Ima menuruti permintaan Wongso, wanita itu turun dari pangkuan si mantan napi lalu melepas daster tipis yang ia kenakan hingga membuat tubuh mulusnya bugil. Wongso tak tinggal diam, dia juga melepas kaos serta celananya hingga telanjang bulat. Pria tua itu kembali duduk di atas sofa, Imapun kembali mendekat dan duduk di pangkuannya. Dengan posisi saling berhadapan, keduanya kembali saling memagut lidah, panas, dan intim.
"Occhhh! Pakdhe!!"
Lenguh manja Ima terdengar makin lantang saat bibir tebal Wongso mulai mengecup bagian payudaranya. Ima tak kuasa menahan nikamat ketika pria tua itu menghisap puting payudaranya secara bergantian. Wongso begitu bergairah hingga kemaluannya pun makin menegang, dan berkedut-kedut naik turun, batang penis itu menggesek-gesek bibir vagina Ima. Liang senggama yang sudah mulai lembab tersebut pun kini kian basah.
"Emmcch!! Enak Nduk?" Goda Wongso dengan senyum mesum menyeringai di wajahnya.
"Enak banget Pakdhe!! Ayo entotin Aku Pakdhe!!" Desis Ima penuh kebinalan.
Wanita cantik itu menjambak rambut Wongso, menariknya ke belakang hingga membuat wajah si mantan napi menengadah ke atas. Tanpa pikir panjang, Ima langsung menjulurkan lidahnya, menyapu bagian leher Wongso dengan buas. Tak puas sampai disitu saja, lidahnya bergerak ke samping hingga menyasar bagian telinga pria tua itu. Tubuh ramping istri Andi itu bergerak erotis, maju mundur, menggesek batang penis kekar milik Wongso yang menempel pada lipatan vagina miliknya.
"Oochhhh!! Kamu binal banget Nduk!" Puji Wongso menikmati jilatan lidah Ima yang semakin liar.
Ima tampak benar-benar tidak bisa lagi menahan birahi. Gesekan batang penis Wongso yang bertubi-tubi mengetuk pintu gerbang vaginanya, seperti menjadi ambang batas terakhir yang bisa ia terima.
"Pakdhe... A-aku mohon, en-entotin Aku sekarang." Rengeknya penuh harap.
1095Please respect copyright.PENANA1C3wNYYe2x
***
ANDI POV
1095Please respect copyright.PENANAXZWBQyrTWk
Rasanya Aku terlelap cukup lama, tapi saat Aku lirik jam di layar ponselku ternyata baru sekitar 20 menit saja Aku menikmati tidur. Kulihat di sisi ranjang istriku tak ada, kemana Ima? Bukankah tadi dia pergi ke kamar mandi sebelum Aku memejamkan mata? Penasaran, Aku bangkit dari ranjang kemudian melangkah ke kamar mandi, saat Aku membuka pintu kamar mandi ternyata juga kosong melompong. Lalu kemana perginya istriku?
Ah, mungkin saja Ima sedang menonton tv di bawah. Tapi bagaimana kalau..?
Sial! Kenapa pikiranku jadi kembali aneh, seperti halnya saat Aku menelepon Ima beberapa hari lalu. Suara berat, dan diselingi desah nafas mencurigakan dari Ima kembali terputar dalam ingatanku. Apa mungkin Ima sedang bersama Pakdhe Wongso dan melakukan....?
Tidak! Tidak mungkin! Pakdhe Wongso tidak mungkin tega melakukannya pada Ima, apalagi istriku adalah wanita baik dan sama sekali tak tertarik bahkan cenderung membenci Pakdhe Wongso. Mereka berdua tidak akan mungkin berani bermain gila di belakangku!
Tak mau dihantui berbagai macam prasangka buruk, Aku putuskan untuk mencari Ima ke ruang tv di lantai satu. Saat membuka pintu kamar, sayup terdengar suara rintihan. Aku melangkah perlahan mendekati tangga, dadaku semakin berdebar kencang karena rintihan itu makin jelas terdengar oleh telingaku, dan Aku hapal betul si empu pemilik rintihan itu. Dengan sangat berhati-hati Aku menuruni anak tangga satu persatu, hingga akhirnya langkahku terhenti sebelum tiga anak terakhir.
Di tengah temaram lampu meja di ruang tamu, Aku bisa dengan jelas melihat tubuh istriku dari belakang bergerak erotis menggagahi penis kekar Pakdhe Wongso yang memangkunya. Lenguhan serta desahan binal terdengar lirih namun cukup jelas menggambarkan bagaimana panasnya persetubuhan diantara keduanya. Dadaku bergemuruh kencang, tak percaya dengan apa yang Aku lihat saat ini. Ima, yang selalu setia sejak menjadi pacarku di jaman kuliah dulu kini terang-terangan menyetubuhi pria lain yang tidak lain adalah pamanku sendiri!
Geram, marah, dan cemburu bercampur menjadi satu, seolah mengaduk-aduk isi darahku. Namun ada satu perasaan asing yang tiba-tiba menyergap isi kepalaku. Sebuah perasaan kepuasan yang entah datangnya darimana kala melihat Ima bersetubuh dengan pria lain. Pelan tapi pasti penisku bereaksi, mataku terus menyorot tiap adegan erotis yang dilakukan oleh istriku pada tubuh besar Pakdhe Wongso. Tanpa sadar Aku meraih batang penisku yang mulai mengeras, mengeluarkannya dari balik celana boxer yang Aku kenakan.
"Aaachhh!! Iya Pakdhe! Terus!! Entotin Aku Pakdhe!!"
Tubuh istriku terus bergerak naik turun, dari kejauhan Aku bisa melihat penis besar milik Pakdhe Wongso melesak keluar masuk di dalam liang vagina Ima. Pria yang sudah Aku anggap sebagai ayah kandungku sendiri itu begitu menikmati persetubuhan ini, kedua tangan kekarnya sesekali meremas gemas pantat bulat istriku dengan penuh nafsu, sementara mulutnya mengulum puting Ima bergantian.
Aku sendiri mulai beraksi dengan mengocok batang penisku sendiri sambil terus menyaksikan persetubuhan antara Ima dengan Pakdhe Wongso. Birahiku bercampur dengan perasaan marah karena dikianati, tapi itu menimbulkan sensasi tersendiri yang begitu memacu adrenalin.
"Enak mana Nduk kontol Andi atau kontolku?" Tanya Pakdhe Wongso ditengah persetubuhan mereka.
"Aaachh!! Enak kontol Pakdhe! Enak kontol Pakdhe!" Jawab istriku lantang nyaris tanpa beban, tubuhnya terus meliuk-liuk liar menggenjot batang penis Pakdhe Wongso.
Pakdhe Wongso lalu mengangkat tubuh istriku, menggendongnya dengan posisi berdiri. Ima memeluk leher pria tua itu, sementara bagian pantatnya tertahan dua tulang hasta kekar Pakhhe Wongso. Dengan penis masih tertancap di dalam liang vagina, Pakdhe Wongso mulai menggerakkan pinggul naik turun.
Penis pria tua itu kembali keluar masuk di dalam liang senggama yang seharusnya hanya boleh dijajah oleh penisku. Ima merintih pelan, istriku itu memeluk erat leher Pakdhe Wongso sambil sesekali menciumi lehernya, dadanya yang membusung kenyal menempel erat pada dada bidang Pakdhe Wongso yang ditumbuhi bulu-bulu lebat.
Pria tua itu nampaknya mulai kelelahan menyetubuhi istriku dengan posisi berdiri sekaligus menahan beban gendongan, dia memutar posisi badannya kemudian melangkah pelan menuju sisi tembok luar kamar yang ditempatinya selama tinggal di rumahku. Punggung Ima kini menempel pada bagian luar tembok kamar itu, mengurangi berat bebannya pada tubuh Pakdhe Wongso. Tak lama, Pakdhe Wongso kembali menggoyang tubuh Ima, kali ini dengan gerakan menusuk maju mundur.
Bunyi suara benturan pangkal penis yang menghantam bagian luar tulang selangka dari Ima, terdengar jelas. Urat syaraf mereka sudah terpenuhi oleh pancaran gelombang penuh nikmat. Aku bisa melihat jelas raut kepuasan dari wajah istriku, bibirnya yang mungil terus meracau tak karuan merasakan palu godam orgasme yang mungkin sebentar lagi akan dia dapatkan. Aku merubah posisi badanku, dengan menuruni satu anak tangga lagi maka pandanganku akan makin jelas menyaksikan persetubuhan terlarang antara keduanya.
"Aaachh!! Pakdhe!! A..Aku mau keluar!!! Aaaccchh!!!"
Aku makin mempercepat kocokan tangan pada batang penisku kala teriakan Ima terdengar lantang memberi tanda jika badai orgasme akan segera menghujam datang. Pakdhe Wongso mempercepat tusukan penisnya dari depan, satu kaki istriku ditariknya sedikit ke atas dan dibuatnya bertumpu pada tulang hastanya. Aku makin tak kuasa menahan ledakan ejakulasi yang sebentar lagi juga akan mendatangiku.
"Ayo keluarin Nduk! Keluarin semua!!"
Benar saja, selang beberapa saat kedua mata istriku terpejam erat, Ima menggigit bibirnya sendiri, ketika tubuhnya menggelinjang tergodam badai orgasme. Kedua telapak tangannya menancapkan kuku-kuku di punggung Pakdhe Wongso, yang tetep tidak mau berhenti menusukkan batang kejantanannya, ketika istriku sedang mengalami puncak klimaks. Aku mengalami hal yang sama, spermaku muncrat begitu saja. Aku menutup mulutku dengan tangan kiriku menahan dengusan nafasku agar tak terdengar oleh mereka.
"Ooouuh! Pakdhe!! Ampun! Aaachhh!"
Pakdhe Wongso menarik keluar batang penisnya yang sedari tadi menyesaki liang senggama istriku. Ima tau pria tua itu akan segera menuntaskan hajat birahinya, segera dia berjongkok menghadap ujung penis yang siap memuntahkan sperma, dengan memasang tampang binal yang sangat menggairahkan.
"Ooohhhh!! Aku keluar Nduk!!" Pekik Pakdhe Wongso sambil menyemburkan cairan sperma ke arah mulut yang menganga dengan lidah terjulur keluar milik istriku.
Cairan sperma kental itu juga muncrat membasahi wajah dan sepasang buah dada Ima yang menggelantung indah. Setelah semburan sperma berhenti, istriku langsung mengulum batang penis Pakdhe Wongso, membersihkan sisa-sisa sperma yang masih tertinggal di sana.
Momen itu mengingatkanku pada apa yang dilakukan Ima padaku beberapa jam yang lalu, nyaris sama tanpa cela. Pakdhe Wongso menggeram hebat, sementara istriku masih terus menjilati ujung penisnya sambil sesekali memberi tatapan binal bak seorang pelacur profesional.
Aku kembali memasukkan penis ke dalam celana boxer kemudian pelan-pelan melangkah menaiki anak tangga dan kembali ke kamar. Dadaku bergemuruh hebat setelah menyaksikan adegan persetubuhan itu, gemuruh itu bukan didominasi oleh perasaan marah tapi lebih pada perasaan puas yang sulit untuk Aku jelaskan dengan kata-kata.
1095Please respect copyright.PENANA4X2uWVZdmw
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA1095Please respect copyright.PENANAfjCpP1pCoV