Chapter 1 :
Oh, God! That Shit CEO!
******
42Please respect copyright.PENANAkQCGz6HyQ6
Violette:
YA TUHAN, mengapa rambut ini sulit sekali untuk dirapikan? Maksudku, aku sudah memakai seragam kerjaku dan meski tidak memakai seragam khusus dari perusahaan, aku memiliki beberapa baju kerja dengan jas dan rok selutut. Hari ini aku memakai stokku yang berwarna cokelat kehitaman dan menurutku ini kelihatan lumayan manis. Aku tak peduli bila itu hanyalah pendapatku sendiri, tetapi aku senang memakainya.
Seragam sudah rapi, akan janggal bila rambutku tidak rapi.
Ini adalah hari ketigaku bekerja di Alexander Enterprises Holdings, Inc. Kuharap akan berjalan lancar-lancar saja seperti pertama kali aku bekerja di sana. Bekerja di bagian marketing tidak terlalu membosankan. Aku senang karena aku mulai membiasakan hidup mandiri, meski aku masih tinggal bersama Pamanku. Alexander Enterprises Holdings, Inc. mengingatkanku pada seseorang—well, temanku.
Aku pernah bergabung dengan suatu organisasi, yang kami namai Red Lion. Sejak kecil, aku diajak bergabung di organisasi itu oleh ketuanya yang bernama Brian. Organisasi perkumpulan pencuri yang menurutku sangat hebat karena dunia awalnya tidak mengetahui identitas kami, meski mereka sendiri mengalami kerugian yang sangat besar.
42Please respect copyright.PENANAoura3ud7as
Sebelum sesuatu terjadi.
42Please respect copyright.PENANABQJZiQ4YNU
Aku di sana sebagai rekan dari Justin Alexander, temanku yang tadi kukatakan teringat diotakku ketika aku melihat nama perusahaan tempatku bekerja. Justin Alexander adalah orang kepercayaan ketua Red Lion dan aku ditugaskan sebagai rekannya. Justin adalah orang yang misterius dan dingin, juga tidak suka dibantah. Sebelum akhirnya, dia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Hillda Esdaquille. Istri dari CEO muda yang kaya, yang cabang perusahaannya tersebar di banyak negara di dunia. Kami sempat melakukan aktivitas kami, mencuri di perusahaannya, meskipun itu hanya uang selundupan dari bawahan suami Hillda. Pertemuan itu membuat suatu hubungan khusus yang intim antara Hillda dan Justin.
Kejadian itu berakhir tragis, peperangan antara Justin dengan Martin, suami Hillda, berujung dengan jalan Red Lion terbunuh oleh Justin. Aku masih tak percaya, tetapi itulah yang terjadi. Masuk akal. Lagi pula, akulah yang menemani Justin dan menyaksikan semua itu di depan mataku. Aku tahu jalan pikiran Justin. Dia adalah orang tercerdas yang pernah kutemui.
Semenjak tiga tahun ini, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Justin. Terakhir kali aku dan Justin sempat bertemu dengan Hillda di Paris, lalu aku dan Justin kembali lagi ke New York. Satu bulan, kami berdua masih sering bertemu. Akan tetapi, setelah itu sepertinya Justin menghilang. Entahlah, aku merasa berbeda ketika dia tak ada di sampingku karena aku terbiasa menjadi rekan kerjanya. Aku berharap dia lebih sukses dariku, mengingat dia adalah orang yang sangat cerdas. Aku akan selalu mengingatnya. Dia benar-benar hebat.
Ah, akhirnya selesai. Rambutku tertata rapi dan hanya diurai begitu saja. Aku tersenyum dan berdiri, mengambil tas gandengku dan pergi ke ruang tamu—berharap untuk cepat menemukan rak sepatu dan mengambil sepatu high heels-ku. Argh, sebenarnya ini menyebalkan, tetapi aku harus memakainya.
Aku berjalan ke luar dan melihat Pamanku, Jonathan, duduk di depan televisi.
42Please respect copyright.PENANAxWCf6hNDIG
"Kau sudah mau berangkat?"
42Please respect copyright.PENANA9MQtC8zKYu
Aku berhenti, memandangnya sekilas dan kembali berjalan. Aku merunduk ketika sampai di depan rak sepatu yang ada di balik pintu.
"Uh-hm." Aku memakai sepatuku. "Aku pergi dulu, Nathan. Di mana motorku?"
Dia menoleh. Well, mobilnya sudah dijual karena kami sedikit krisis ekonomi. Aku mencoba untuk berusaha keras dalam pekerjaanku.
Namun, motor sudah membuatku nyaman. Berbentuk Vespa, tetapi bagiku ini benar-benar nyaman.
"Ada di luar. Ini kuncinya." Whoops. Dia melemparkan itu dengan spontan di depanku. Aku menangkapnya, kemudian tersenyum. "Okay. Aku pergi!"
"Be careful.." katanya. Aku keluar dari rumah yang tidak cukup besar, tetapi berbentuk minimalis itu, lalu mengambil motorku. Memakai helm pink bergambar beruang milikku, aku akhirnya menaiki motorku dan pergi.
42Please respect copyright.PENANAi1OjG1FoMO
******
42Please respect copyright.PENANAHaJtVe9wxZ
"Violette!" teriak Megan, memenuhi gendang telingaku ketika akhirnya dia sampai di depanku, tertunduk dan terengah-engah. Dia bahkan seperti atlet. Aku hanya mengedipkan mataku berkali-kali dalam tempo cepat. "Ada apa? Tarik napasmu," ujarku dan menepuk-nepuk punggungnya. Akhirnya dia berdiri, masih berkacak pinggang di depanku.
"Hoaaah! Aku capek sekali!" Dia terengah. "Ternyata diet dengan olahraga naik-turun dari lantai dua sampai lantai tiga belas itu menyakitkan! Oh, sial. Aku tak ingin merasakan hal semacam itu lagi," katanya dan aku tertawa.
"Kita punya lift di sini dan kau memilih jalan terburuk," ujarku. "Lagi pula, ada apa denganmu?"
Dia menatapku dengan senyum yang bersemangat, seperti mendapatkan pencerahan.
"Tahu apa? Sepertinya kau dipanggil CEO kita," ujarnya, matanya nyaris keluar dari tempatnya. "Demi Tuhan, Vio. Walaupun aku sudah lama bekerja di sini, tetapi aku belum pernah sekali pun melihat CEO perusahaan ini. Dia sepertinya sangat sibuk dan sangat misterius. Segitu sibuknyakah seorang CEO?" ujarnya lalu dia terbahak. Aku menggeleng, tak menghiraukan candaannya.
"Memangnya a—ada apa? Sebegitu mengerikannya, kah, CEO itu? Jangan membuatku bergidik ngeri, Meg." Dia tertawa.
"Entahlah. Sepertinya dia sedang mengadakan survei tentang seluruh karyawan di sini sampai bagian OB sekalipun. Aku kurang paham juga. Hmm.. Atau kau dipanggil karena kau karyawan baru? Tetapi rasanya tidak mungkin. Biasanya yang menangani kita adalah bos marketing kita langsung, bukan CEO atau jabatan teratas seperti dia! CEO itu biasanya hanya berhadapan dengan CFO, CLO, direktur, serta manajer-manajer bawahannya! Tak mungkin mau menemui karyawan secara langsung, 'kan? Wah, apa kau melakukan kesalahan fatal, ya?"
Aku terbelalak. Tidak! Aku baru tiga hari di sini dan aku yakin otakku masih bagus untuk mengingat bahwa aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun selama tiga hari ini. Lantas ada apa?
"Ah—er...sudahlah. Beritahu aku di mana ruang CEO kita," ujarku, memecah kebingungan. Megan mengangguk.
"Lantai tiga belas, keluar dari lift lurus saja ke depan dan ruangannya ada di pintu ketiga sebelah kanan lorong, yang pintunya paling besar. Lagi pula, kau akan menemukannya karena ada plang 'CEO bla-bla- bla' di depan pintunya."
CEO bla-bla-bla? Hell. Dia tak mengingat lanjutan kalimatnya. "Baiklah. Aku pergi dulu," ujarku lalu dia mengacungkan jempolnya padaku sembari cengar- cengir bak orang tolol.
Aku menggeleng dan langsung beranjak pergi menuju ke lift.
Lantai tiga belas. Well, lumayan jauh.
Bunyi 'ding' dari lift itu membuat pintu kubikel lift terbuka dan aku menghela napas. Aku keluar dari lift dengan berhati-hati—agar tidak tersandung—lalu dengan cepat kucari pintu nomor tiga dari samping kanan lorong. Aku berjalan dengan kepala mendongak ke atas, mencari-cari plang CEO itu di depan pintunya. Ketika menemukannya, aku menghela napas. Pintu ini lebih besar daripada pintu-pintu lainnya. Aku mencoba meredakan gemuruh di dadaku, mencoba untuk rileks.
42Please respect copyright.PENANA8VQlDeBDQM
Kau tidak punya salah apa pun, Violette. Tidak perlu takut.
42Please respect copyright.PENANAaNUc7zYHks
Lagi pula, ke mana assistant-nya? Aku tak melihat adanya assistant-nya di sini. Ah, sudahlah.
Aku menggeleng dan menarik napas dalam, mengeluarkannya lewat mulut. Aku pun mengetuk pintunya dengan pelan, tiga kali.
"Sir," panggilku.
42Please respect copyright.PENANAtPe8jHv6PF
"Masuk."
42Please respect copyright.PENANAS3SLW1wJ2P
Aku mengedikkan bahu, mencoba mengulum senyum dan membuka pintu itu dengan sepelan mungkin. Ketika aku masuk, aroma buah bercampur dengan aftershave merasuki penciumanku. Ruangan ini ber-AC dan aromanya menyegarkan. Memang berbeda jika ini ruangan orang terpenting. Gah, kapan aku bisa sukses seperti ini?
Aku menutup pintu lalu berbalik. Memicingkan mataku ketika aku melihat siluet tubuh seorang lelaki; dia membelakangiku dan hanya menghadap ke arah jendela. Well, sebenarnya bukan jendela, tetapi dinding di ujung sana adalah kaca. Seluruhnya bagiannya adalah kaca yang membentang. Dari tempatku berdiri pun, kota New York dan kepadatannya terlihat jelas. Pria itu memasukkan tangannya di dalam saku celananya dan masih belum berbalik. Aku mengernyit, kedua tanganku menyatu dan aku memainkan jemari-jemariku.
Kok...tiba-tiba...mengerikan?
"Err... Excuse me, Sir—"
Dia berbalik dengan anggun dan pelan. Aku memicingkan mataku. Meski wajahnya tertutupi sinar matahari dari kaca yang kini ada di belakangnya—yang membuat sosoknya seolah bersinar dan membuatku silau—aku sepertinya mengenalinya. Aku memfokuskan mataku lagi dan hasilnya aku terbelalak.
42Please respect copyright.PENANAWRY5OxOquo
"JU—JUSTIN?!!!"
42Please respect copyright.PENANAigN3sg0ti3
Dia memandangku dengan tatapan mengintimidasi. Hanya diam, tanpa ekspresi. Dia masih tak berubah.
"Ja—jadi kau—"
42Please respect copyright.PENANAiDKhd6M5eH
"Apakah sopan memanggil atasanmu dengan namanya langsung?"
42Please respect copyright.PENANA9jET0TI7BA
Glek.
42Please respect copyright.PENANAy5Uhw2Q4lG
Argh! Bodohnya aku! Justin itu bukan tipe orang hangat yang bisa berpelukan ketika bertemu teman lamanya! Dingin tetaplah dingin, meski dia dulu sempat menjadi orang yang hangat ketika bersama dengan Hillda!
"Ah... Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kau..."
"Alexander Enterprises Holdings, Inc. Apakah itu kurang jelas?" tanya Justin sembari memiringkan kepalanya.
Sialan. Mengapa dia selalu memotong ucapanku? Aku tertunduk dan menggigit bibir bawahku. Sialnya, tatapan intimidasinya itu terus berlanjut.
"Ya—ergh..."
"Duduklah."
Aku terenyak. Dia sepertinya beranjak duduk di kursi super besarnya itu dan aku hanya meremas jemariku. Tanganku dingin. Bukan karena AC, tetapi karena suasana saat ini sangat mengerikan! Mengapa aku jadi gemetar begini saat berhadapan dengan Justin?
42Please respect copyright.PENANAqbqQlIYdmr
Apa karena dia jadi super dingin seperti itu?
42Please respect copyright.PENANAA1j345pTUS
Aku berjalan pelan dan dengan gemetar, menuju ke kursi yang ada di seberangnya. Aku mulai duduk dan bunyi kursi yang akan kududuki ini terdengar cukup mengganggu. Sial.
Aku merutuki diriku sendiri dalam hati.
"Well, aku tak menyangka kau bekerja di sini," ujarnya, terus menghadap padaku seolah sedang menginterogasiku. Aku meneguk ludahku, menatapnya sedikit.
"Aku juga tak menyangka kalau kau adalah CEO di sini," jawabku.
Dia mengangguk. Setelan jasnya sangat rapi, by the way. Dia sangat tampan dan shit... Dia hot.
"Aku terkejut, ngomong-ngomong," ujarnya, memiringkan kepalanya memperhatikanku. "Aku menyurvei seluruh karyawan dan kutemukan nama Violette Morgan di sana. Aku penasaran dan ternyata itu benar adalah kau."
Aku hanya bisa menelan ludahku. Mengapa aku menjadi gugup? Apa otakku berjalan dengan mengingat bahwa dia adalah 'president' alias CEO di perusahaanku? Bukan mengingatnya sebagai Justin Alexander?
"Y—ya, begitulah, haha." Sial! Apa yang kulakukan? Ga-Gap La-Gi.
Dia menghela napas. "Well, kau tak banyak berubah. Duduklah di sofa yang ada di sebelah sana dan aku akan membicarakan sesuatu padamu setelah aku mengerjakan sebagian dari pekerjaanku."
Sialan. Yeah, yeah, yeah. Aku tak banyak berubah dan sepertinya kau menghinaku, Mr. Alexander.
Aku hanya mengangguk dan beranjak dari kursi itu, lalu berjalan menuju ke arah sofa yang ada di sudut ruangan. Lalu, aku duduk di sana.
Kupikir...wow. Nyaman sekali.
Ruangan ini sangat nyaman dan aku harap aku tidak tertidur di sini atau mungkin Si Dingin dan Kejam itu menendangku. Oh, aku sudah memberinya julukan, rupanya.
Dia banyak berubah, sepertinya. Semakin dingin...
Aku memosisikan diriku agar terasa nyaman.
Aku memperhatikannya dari sini, ia berkutat dengan laptopnya dan itu sepertinya pemandangan yang menarik. Dia tampan, demi apa pun. Aku mengakuinya sejak dulu, hanya saja sepertinya sekarang dia terlihat semakin dewasa dan tentu saja semakin tampan. Berapa umurnya sekarang? Setahuku dia dua tahun lebih tua dariku.
42Please respect copyright.PENANAcuS1Vk1kaT
"Apakah menarik memperhatikan atasanmu diam-diam, Ms. Morgan?"
42Please respect copyright.PENANARu2C1QGccO
SHIT!!! KETAHUAN!
42Please respect copyright.PENANAwg1zxdS9QH
Aku merona dan langsung menundukkan wajahku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat dan merutuk dalam hati. Sialan...
Aku akhirnya hanya diam selama kurang lebih sepuluh menit. Udara di sini membuatku mengantuk, tetapi aku bersikeras untuk menahannya, meskipun kelihatannya aku sudah terpejam beberapa kali.
Mataku tersentak terbuka, ketika aku mendengar suara korek api dihidupkan. Aku langsung menoleh menghadap ke arah Justin dan aku terbelalak. Dia menghidupkan satu batang rokok yang sudah tersangkut di mulutnya.
"Kau—tidak merokok," ujarku, mencoba menyiratkan suatu pertanyaan dari pernyataanku. Itu adalah pengetahuanku dulu tentangnya. Dia dulu tak merokok!
Dia kembali menatap ke arah laptopnya dan mengembuskan napas berasap itu. Asap itu mengepul di sekitarnya.
"Sekarang aku membutuhkannya, Vio. Aku sering bergadang untuk bekerja dan kupikir rokok membuat tubuhku hangat."
Aku mengernyit, lalu aku menggeleng dan tertunduk. "Oh."
Dia sepertinya memandangku dengan kernyitan. Entahlah.
"Well, sepertinya kita bahas sekarang saja." Aku menatap ke arahnya lagi dan kutemukan iris mata berwarna lelehan karamel itu mengunciku. Aku meneguk ludahku susah payah dan aku akhirnya bisa mengangguk.
"Hmm," dehamku. Dia mendengkus.
"Kau sepertinya kurang bagus di bagian marketing," tukasnya asal. Aku kontan memelotot tak terima. I mean, hey! Aku yakin aku bekerja dengan serius dan berusaha keras agar tidak membuat kesalahan!
"Memangnya apa yang kau tahu tentangku?! Aku merasa aku bekerja dengan baik!" teriakku tak terima.
Dia mengernyitkan dahi, agak sinis.
"Well, keluar dari ruanganku jika kau kemari hanya untuk membentakku. Urusi surat pengunduran dirimu."
Aku merasa sesuatu seolah menohok jantungku hingga jantungku jatuh ke perut.
Aku hanya bisa diam dan membungkam mulutku, kemudian aku tertunduk lagi. Aku tidak mempunyai pilihan apa pun kecuali hanya diam. Aku tak mau kehilangan pekerjaanku. Sialan kau, Mr. Alexander! Mengapa dia kejam sekali sekarang?
"Mengapa kau tidak keluar?" tanyanya lagi dan kurasa dengkusanku kali ini mulai berasap. Darahku mendidih.
"Aku masih butuh dengan pekerjaanku." Aku berkata sembari menahan amarah, aku mendengkus. Kulirik dia hanya mengedikkan bahu tak peduli.
Gah!
"Baiklah, maka dari itu biasakan sopan dan dengarkan aku terlebih dahulu. Ingat itu, Ms. Morgan?"
Aku mendengkus lagi.
"Ya," jawabku, setengah mati mencoba agar suaraku tidak terdengar ketus. Mendengar kami saling memanggil satu sama lain dengan nama keluarga seperti ini membuatku merasa kami tidak pernah menjadi teman baik sebelumnya.
"Okay," katanya. Dia mengisap rokoknya kembali dan mengeluarkan asap rokok itu. "Jadi, lebih baik kau bekerja di sini."
Aku mengernyit. "Aku memang sudah bekerja di sini, Sir," jawabku dengan dengan jengah.
Dia kemudian menghela napas.
"Di sini yang kumaksud adalah di ruangan ini. Executive assistant-ku. Mejamu kupersiapkan hari ini juga jika kau mau berpindah jabatan. Kupikir kau sudah lama menjadi rekanku dan kau pasti bisa."
EXECUTIVE ASSISTANT? HELL. APA INI? CERITA TENTANG JADIANNYA CEO DENGAN EXECUTIVE ASSISTANT SEPERTI DI KEBANYAKAN NOVEL?
Oh tidak. Jangan berpikir terlalu jauh, Violette. Kau hanya terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini.
Aku tahu aku pernah menjadi rekannya. Namun, tetap saja ini membuatku kaget. Dengan dia yang kejam seperti ini, aku bisa mati dalam satu hari. Mati kutu! Remember it! Lagi pula, lihat saja apa yang tadi dia lakukan. Aku menjawab dengan suara agak keras saja, dia sepertinya langsung ingin memecatku. Aku tahu aku sepertinya kurang sopan tadi, tetapi, hell, mengertilah! Dia yang memulai duluan dengan menghinaku, 'kan?
Aku sudah enjoy di marketing. Lagi pula, apa tanggapan orang di perusahaan ini nanti ketika melihat aku yang dari marketing—jabatan yang biasa saja—tiba-tiba naik menjadi executive assistant CEO? I mean, CEO, man! Dia agaknya juga merupakan pemilik perusahaan ini. Megan mungkin akan pingsan jika tiba-tiba aku menceritakannya soal ini.
Aku meneguk ludahku.
"T—tapi...aku sudah merasa cukup dengan—"
Dia mendengkus. "Bukan kau yang membutuhkan pekerjaan itu, tetapi aku yang membutuhkanmu untuk menjadi executive assistant-ku, Violette. Aku merasa butuh bantuan dalam menjalankan tugasku," ujarnya, mengembuskan asap lagi. "dan melihatmu bekerja di sini, kurasa lebih baik kau yang mengisi bagian itu. Executive assistant-ku." Kali ini puntung rokok itu telah dijejalinya ke dalam asbak dan sudah mati.
"Just—I mean, Sir... Aku juga memedulikan apa yang nanti dikatakan orang," kataku dengan tak nyaman.
"Aku tak peduli. Jika aku begitu, apa kau masih peduli? Lebih baik kau undurkan dirimu jika kau menolaknya," ujarnya dingin.
Pemaksaan!! Aku akan menuntutnya ke pihak yang berwajib!! Oh sial.
Apakah tidak ada ancaman lain selain 'undurkan dirimu' dan 'keluar dari ruanganku sekarang juga'? Apakah laki-laki ini tahu kelemahanku yang sangat lemah dengan kata-kata itu? Aku butuh pekerjaanku!
"Okay," kataku pada akhirnya setelah menghela napasku. "tapi.. apakah aku...harus satu ruangan denganmu? Emm I mean.. Aku...mungkin bisa mati."
Dia mengernyitkan dahi, matanya memicing padaku dengan tajam dan setipis silet.
42Please respect copyright.PENANAX7eb72wslx
Aku bergidik.
42Please respect copyright.PENANANGBfviHmZq
"Memangnya aku akan terus melihatmu? Aku punya banyak pekerjaan yang lebih penting dan juga aku memiliki banyak perempuan yang lebih menarik untuk dilihat," katanya dengan angkuh.
Aku tersentak. Hei! Aku tahu aku jelek, tetapi haruskah dia terus menghinaku? Apa-apaan ini? Justin Alexander yang kukenal tidak sesombong ini! Justin Alexander yang kukenal hanyalah dingin dan misterius, juga penuh dengan pengorbanan. Namun, siapa ini? Siapa dia? Dia seperti iblis. Lagi pula, sejak kapan Justin suka melirik banyak perempuan? Oh, berada di sini ternyata bukan hanya membuatku mati kutu, tetapi juga membuatku pusing.
"Kau tak perlu menghinaku, Mr. Alexander. Maaf," ujarku, suaraku mulai tegas. "Lagi pula, tetap jauhkan mejaku dengan mejamu meski kita satu ruangan," tegasku.
Dia memandangku dengan tajam.
"Kau selalu protes padaku, Violette. Tidak berubah. Kau yakin kau akan tetap bekerja di sini dengan sifatmu yang seperti itu?" tanyanya lagi, memancing emosiku.
"Terserah anda, Sir. Aku hanya ingin itu saja, please?"
"Well, itu jelas. Tak mungkin tempat duduk bawahan dekat dengan atasan, 'kan? Kau tak perlu takut."
Sialaaaan!!! Aku menggeram sendiri setiap mendengar kata- katanya yang santai tapi menyakitkan itu. Baiklah, yang penting permohonanku tercapai. Kurasa, mulai hari ini aku harus mengasah kesabaranku. Bertemu orang ini setiap hari, akan membuatku menjadi capek tiga kali lipat.
"Terima kasih," kataku sembari menahan rasa jengkelku.
Dia mengangguk tak peduli.
"Itu saja. Keluarlah. Nanti aku akan memanggilmu kembali jika mejamu sudah kupersiapkan."
Aku mengangguk dan permisi dari hadapannya. Dia hanya berkutat kembali dengan telepon—atau apalah itu yang ada di atas mejanya—aku kesal jadi aku tak peduli. Ketika aku sudah berada di luar pintunya, sudah menutup kembali pintunya, aku mengepalkan tanganku. Aku menggeram dan kurasa semua uratku menegang. Aku sangat kesal! Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dengan cara seperti ini?
Aku kembali berjalan menuju lift dengan langkah lebar bak orang kesetanan dan menuju ke lantai bawah. Ketika pintu kubikel lift terbuka, aku keluar dari lift dan langsung berjalan ke mejaku. Megan langsung berlari menghampiriku dengan wajah penuh semangatnya. Ah, mungkin dia kira aku bertemu dengan orang yang berkarisma, berwibawa, sukses, dan menginspirasi. Well, jika dia mendengar ceritaku, pasti dia tak akan percaya.
Dia mengambil kursinya dan menempatkannya di seberangku. Dia menatapku dengan semangat dan menaruh telapak tangannya di rahang kirinya, menungguku menjelaskan. Aku mengusap wajahku frustrasi.
"Jadi, apa katanya, he? Apa? Apa? Kau disuruh apa?" tanyanya dengan antusias. Oh hell, Meg. Aku pusing. Demi Neptunus, aku pusing sekarang.
"Entahlah, Meg. Aku juga tidak mengerti."
"Hei...jangan seperti itu. Apa kau dihukum? Cerita padaku, Vio!! Aku sangat penasaran! Lagi pula, apakah CEO kita itu tua? Muda? Tampan? Berkarisma? Atau bagaimana?"
Aku memutar bola mataku.
"Oh please, Meg. Kau membuatku pusing," kataku, lalu dia mengerucutkan bibirnya.
"Ayolah...aku ingin tahu, please..." pintanya padaku. Matanya berkedip-kedip, merayuku. Akhirnya aku menghela napas. Tatapan karyawan di sini juga sudah mulai tajam karena Megan terus berisik, jadi aku tidak mau memperpanjang masalah.
"Okay." Aku menghela napas. Dia mengangguk antusias bak anak kecil di depanku.
"Soooo bagaimana wajahnya? Tampan? Sedikit tampan?" Aku memutar bola mataku, menghela napas.
"Di..dia ternyata adalah teman lamaku."
Mata Megan terbelalak, dia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Te—TEMAN LAMAMU?" Dia berteriak dengan kencang. Tatapan orang-orang di sini bertambah tajam. Aku dengan sigap menutup mulutnya dengan tanganku. "Meg, santailah," rayuku.
Dia meneguk ludah dengan susah payah ketika aku melepaskan tanganku dari mulutnya.
"Ja—jadi, apa yang dia lakukan? Sejak kapan kalian berteman? Ceritakan, Vio! Demi Tuhan, aku penasaran sekali!"
"Well, dia itu...tampan. Dia muda, hanya dua tahun lebih tua dariku. Maksudku, kupikir umurnya masih berkepala dua. Dia memang terlihat 'brighter than the sun', tetapi dia...dia sangat dingin. Aku berteman dengannya sejak kecil, tetapi aku sudah tiga tahun ini tidak bertemu dengannya. Lalu aku bertemu dengannya di ruangan itu."
Megan terperangah. Sepertinya dia terkesan dan kagum. Entahlah kagum pada ceritaku atau kagum pada sosok CEO itu yang diilustrasikannya sendiri di pikirannya.
"SE—SETAMPAN APA DIA? Ya Tuhan aku tak menyangka CEO kita berteman denganmu. Dan lagi, aku sekarang mengerti mengapa dia memanggilmu setelah menyurvei kita semua."
Aku mengangguk.
"Dia... Entahlah, tampan seperti apa. Yang jelas, garis wajahnya membuatnya tampak yang kejam dan dingin. Aku tidak tahu dia bisa bergaya cute atau tidak karena kupikir dia dominan kejam."
Mata Megan sepertinya berbinar-binar.
"Ya ampun, aku bisa membayangkan ketampanannya dari sini... MY GOD!!" teriaknya. Aku memutar bola mataku.
"Well, bukan itu yang penting Meg," kataku. Dia tiba-tiba tersadar seolah baru saja kutampar. Dia langsung antusias lagi. "Apa? Apa? Ayo cerita!"
Baiklah, setidaknya aku tidak akan cerita bahwa aku adalah teman sekaligus rekan Justin di Red Lion. Aku dan Justin bisa ditangkap polisi sekarang juga.
"Dia menyuruhku menjadi executive assistant-nya karena dia merasa lebih kenal denganku. Yah, mungkin begitu," kataku. Aku menggeleng, mengedikkan bahu. "Aku pusing karena dia itu terlalu kejam. Ancamannya itu selalu—"
Aku berhenti karena kelihatannya semua orang diam. Tidak ada lagi yang bersuara di sini, hanya suaraku yang terdengar di ruangan. Aku heran lantas aku berhenti dan melihat sekeliling. Megan juga sama. Hal yang kami dapatkan adalah, mata semua orang tertuju pada satu arah, dengan mulut mereka yang terbuka lebar—menganga—dan tubuh mematung. Apa yang mereka lihat? Dewa, 'kah? Mengapa sampai seperti itu?
Aku dan Megan akhirnya mengikuti arah pandang mereka semua.
42Please respect copyright.PENANAndluXsSVth
"I'm looking for a girl..."
42Please respect copyright.PENANAvFG9iWn6AB
Mataku kontan terbelalak.
42Please respect copyright.PENANAhEIjusqIVQ
JUSTIN!
42Please respect copyright.PENANAFF0Z4GqxUi
Dia ke sini? Well, pantas saja semua orang tercengang. Mana pernah CEO mau datang ke sini. CEO yang terkenal misterius dan selalu berada di ruangannya. Looking for a girl? Apa-apaan yang digumamkannya?
Tiba-tiba pandangan matanya mendapatkan diriku. Aku sontak membuang wajahku.
"Ahh... I got you. Violette, ikut aku." Dia berbicara tegas dan menarik tanganku ketika dia sampai di dekatku. Megan dan aku terbelalak, tetapi Megan tak bereaksi untuk menolongku. Mungkin saking terpesonanya, dia lupa. Aku terus meminta tolong padanya, tetapi dia tak menghiraukanku. Semua orang terenyak melihat Justin menarikku, padahal aku yakin, tak semua orang tahu bahwa yang menarikku ini CEO di sini. Namun, mereka pasti bisa mengambil satu kesimpulan: orang ini jarang terlihat, jadi, pastilah ini CEO yang sering dibicarakan. Apalagi, ciri-ciri yang mereka tahu tentang CEO di sini cukup spesifik, yaitu berambut spike dengan warna cokelat keemasan dan beriris mata lelehan karamel. Soal muda dan tampangnya, mereka tidak tahu. Namun, aku yakin sekarang mereka tahu!
Justin menarikku terus sampai ke dekat lift. Keluar dari ruangan tadi saja, semua orang sudah tercengang. Melihat orang yang kelihatannya penting di perusahaan ini menarik karyawannya bak menyeret anak kecil sepanjang jalan. Sebenarnya apa yang dia lakukan, sih? Apa dia tak malu menarik karyawan biasa sepertiku? Atau mungkin dia sudah gila? Atau mungkin... Dia itu menganggapku sebagai Violette yang dulu adalah rekannya, makanya dia bersikap biasa saja?
Ya, mungkin seperti itu. Well, aku bersyukur jika itu memang benar. Aku tak mau berhadapan dengan Justin yang kejam.
Sampai di lift, pintu kubikel itu langsung tertutup dan dia melepaskan pegangan tangannya dariku. Dia menekan satu tombol di sana dan merapikan jasnya, kemudian menaruh kembali tangannya di dalam saku celananya. Aku berdiri sembari tertunduk di sebelahnya dan memaki diriku sendiri. What the hell. The worst day ever.
Justin hanya diam dengan wajah datarnya.
"Mengapa kau menarikku seperti itu?!! Apa kau tak malu? Kau itu CEO di sini! Kau bisa memanggilku lewat bawahan lain atau lewat bosku! Mengapa kau sampai datang ke ruang marketing segala? Apa kau sudah gila?!! Apa nanti yang dikatakan orang!"
"Cerewet seperti biasa," balasnya dingin. Aku menggeram, mengepalkan tanganku.
"Jika aku cerewet, biarkan aku cerewet kali ini di sini," ujarku, mendengkus tak keruan. Dia bahkan tak menatapku, masih tenang dengan gaya santainya. Sialan.
"Justin—I mean, Sir—ahhh!! Sudah cukup dengan semua itu. Begini, aku tidak bisa menjadi executive assistant-mu jika kau seenaknya seperti ini! Ke mana Justin yang kukenal tidak serampangan dulu? Kau juga merokok sekarang dan kau tahu aku tidak tahan dengan asap rokokmu!"
"Jadi, kau pikir aku serampangan? Lihat dulu dirimu, Nona." Dia menjawab dengan santai. Aku menggeram, bersiap mengeluarkan bom protesku. Toh, dia lebih serampangan dariku dan dia menuduhku?
"Aku? Kaulah yang—"
"Jangan membantahku lagi, Violette. Dengar itu," ujarnya, masih dengan ekspresi santainya. Ia masih berdiri dengan tegap, tak bergerak, meskipun aku mengoceh padanya. Aku saja sudah berdiri nyaris berhadapan dengannya!
Lalu ia melanjutkan, "dan lagi, kuharap kau konsisten antara kita yang dulu dan sekarang. Karena kau sekarang adalah executive assistant-ku dan kau hanya mengerjakan apa yang kuperintah. Soal rokok, itu adalah kebutuhanku dan kau juga tak bisa melarangnya. Jelas?"
Aku mendengkus, memejamkan mataku kuat-kuat hingga menimbulkan kernyitan di dahiku. Bunyi 'ding' menyadarkanku lalu aku membuka bola mataku. Ternyata Justin sudah berjalan duluan, meninggalkanku. Aku mengumpat lagi.
Ergh—sial!
Aku berlari hanya untuk menyesuaikan langkahku dengan langkahnya. Padahal dia santai, tetapi dia tetap sulit untuk kukejar. Apalagi, aku memakai rok selutut yang tentu saja sempit untuk dipakai berlari, aku juga memakai high heels. Setelah aku bisa menyamakan langkahku dengan langkahnya, dia membuka pintu ruang CEO lalu masuk ke dalam ruangan itu. Aku berdecak, kemudian aku ikut masuk.
Dia langsung beranjak ke mejanya dan menunjukkanku sesuatu di samping kirinya, berjarak sekitar dua meter di samping kirinya. Sebuah meja. Itukah mejaku?
"Itu adalah mejamu. Mohon kerja samanya, Ms. Violette Morgan."
Ergh. Aku menelan ludahku gugup. Setelah itu dia duduk dan kembali berkutat dengan laptopnya. Lama aku berdiri di depan pintu memandangi mejaku dan akhirnya aku berjalan pelan—kelewat pelan—menuju ke mejaku. Aku duduk di sana dan aku menaruh tasku di atas meja. Aku kembali melihat Justin, bingung. Apa yang harus kukerjakan?
42Please respect copyright.PENANAuuCibuIIQj
"Jangan memandangiku. Bisakah kau menjaga matamu, Ms. Morgan?" katanya dengan santai, matanya bahkan masih memandang laptopnya.
42Please respect copyright.PENANAv4T4cC1Siy
Shit!!!
42Please respect copyright.PENANAQcPFja134D
"Aku TIDAK MEMANDANGIMU!!!" bentakku kesal. Dia hanya sibuk ke laptopnya dan tidak memedulikanku. "Aku sedang membuat seratus peraturan untukmu. Serta lembar kerja untukmu. Jadi, bersabarlah."
Seratus? Dia gila! Mengapa banyak sekali? Oh Tuhan, apa mungkin ini yang menyebabkan dia kehilangan executive assistant-nya?
"Jangan berpikir bahwa peraturan ini membuat aku kehilangan executive assistant-ku, Nona," ujarnya seolah bisa membaca isi pikiranku. Aku membelalakkan mata. "Justru mereka semua betah. Mereka pergi karena sesuatu yang lain. Aku menambahkan peraturan jika kau yang menjadi executive assistant-ku karena kau suka membantah."
Argh... Siaaaal!! Aku tak tahan lagi. Aku berdiri dari kursiku dan bersiap untuk berbicara sesuatu sebelum aku ke luar.
42Please respect copyright.PENANAG5gkfGKOcd
"Dengar, Mr. Sok Mengatur. Kau. Bukan. Justin. Yang kukenal. Titik." []
42Please respect copyright.PENANArBzrgk1u50
42Please respect copyright.PENANA7xMcG63eqU
42Please respect copyright.PENANATE73fYzL1p
42Please respect copyright.PENANA0nFgUz5ve2
42Please respect copyright.PENANAH22wwQDnYk
42Please respect copyright.PENANAnnLHVM1KH1
42Please respect copyright.PENANA1FJZGK0BWM
42Please respect copyright.PENANAu7HAoldY4C
42Please respect copyright.PENANAND0yClIJIf
******
Buku ini sudah pernah diterbitkan dan buku ini adalah sequel dari buku Prohibited. Namun, kalau nggak baca Prohibited juga nggak apa-apa.
42Please respect copyright.PENANAcuGS6eGC5a