x
******
Chapter 4 :
Discharged
******
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFtrq8q6ZxF
Violette:
AKU meneguk ludahku. Apa-apaan ini?!
Aku menggeleng, lalu aku langsung mendekat ke arahnya.
"Club? K—kau... Ya ampun, kau sekarang parah sekali," ujarku, berkata dengan nada yang terdengar dramatis. Justin hanya memutar bola matanya padaku. Aku terus berjalan dengan cepat; aku menyamakan langkahku dengan langkahnya.
Sialnya, dia hanya diam.
"Justin, bukankah kau tadi sedang tidur di rumahmu? Kau mengusirku, ingat? Apa kau mengikutiku? Hey!!! Dengar aku!!!" teriakku karena tampaknya dia tak mengacuhkanku. Dia malah terus meninggalkanku. Aku lagi-lagi berteriak kencang, "JUSTIN!!!!!!!"
Dia lalu berhenti.
Aku berlari mendekatinya dan aku terhenti ketika dia tiba-tiba berbicara dengan suara bekunya seperti biasa, "Aku tak tidur, Vio. Aku mengusirmu karena kau terlalu berisik. Jangan membuat keributan lagi di sini atau kau kukeluarkan dari pekerjaanmu."
Sial.
"Lagi pula, bukan urusanmu apakah aku mengikutimu atau tidak," lanjutnya.
Aku terdiam. Mendadak aku merasa pipiku panas. Merona? Oh shit! Apa-apaan ini? Mr. Sialan Alexander benar-benar tak bisa ditebak. Seberapa dingin bola mata karamelnya itu? Baru kali ini aku merasa bahwa warna karamel itu warna yang 'dingin'. Selama ini, aku merasa bahwa warna biru lautlah yang terlihat beku.
Sial. Apakah ini adalah satu-satunya kelainan yang dimilikinya? Jika iya, aku akan tertawa sepuasnya.
Namun, mengapa aku sempat memerah? Ergh.
Akhirnya, dia kembali berjalan. Sebenarnya, ketika dia berbicara tadi, dia tak menatap ke arahku. Dia hanya terus membelakangiku hingga akhirnya sekarang dia sudah meninggalkanku lagi. Aku berdecak dan kembali meneriakinya, berlari mengejarnya. Itu sebenarnya dia berjalan atau berlari, sih?
Aku terus mengikutinya hingga kami sampai di depan sebuah club. Oh, Tuhan. Club ini besar sekali! Berkelap-kelip hingga menimbulkan siluet dari berbagai macam warna di mataku.
Tanpa kusadari, aku ternganga. Mungkin setengah kepalan tangan pria sialan itu bisa masuk ke dalam mulutku. Langkahku terhenti seiring dengan napasku yang terengah-engah. Dalam sepersekian detik saat aku ternganga itu, aku sadar bahwa dia hanya terus berjalan meninggalkanku.
Sialan!
"Justin!! Justin, wait! What are you doing here?!!" teriakku. Aku berlari dengan cepat. Aku sebenarnya tak peduli dengan tatapan orang-orang yang mulai tertuju ke arahku, tetapi ketika aku melihat ada yang menatapku dengan tatapan jijik, aku mulai mencoba untuk memperhatikan penampilanku.
Oh, ya Tuhan. Aku memang kelihatan seperti penghuni rumah sakit jiwa yang terbebas tanpa dicegat oleh pihak rumah sakit jiwa. Dengan kaki tanpa alas, baju kerja yang sudah tak rapi lagi, dan—ugh—ternyata rambutku berantakan juga. Hal yang tambah memperjelas bahwa aku terlihat seperti orang gila di sini adalah: aku mengejar-ngejar seseorang seperti sedang mengejar pencuri. Sialan, apa aku ini memang gila?
Aku menggigit bibirku merasa malu dan menggeleng, mencoba untuk mengabaikan tatapan mereka semua. Aku berlari lagi dan memanggil pria itu seraya berteriak. Hingga akhirnya, kakiku membawaku pada sebuah tempat yang ketika aku dipersilakan masuk, aku ternganga. Ini. Benar-benar. Club.
Musik yang bernada tak jelas mulai berdengung di telingaku hingga jantungku ikut berdegup tak keruan. Suara musik ini terlalu keras.
Aku meneguk ludahku.
"Argh—berisik sekali di sini..." gumamku sembari meringis, aku menutup telingaku. Aku menatap ke depan lagi, kemudian kudapati sosok Justin yang telah hilang dari pandanganku. Aku tercengang, lalu mengedipkan mataku berkali-kali bak orang tolol. Aku kemudian berlari lagi dan menyelip-nyelip di antara kerumunan orang-orang yang sedang berdansa. Setelah itu, aku memanjangkan leherku, mencari-cari keberadaannya. Setelah lama aku mencari, gotcha! Aku mendapatkannya.
Namun, aku mengernyitkan dahi.
Dia sedang dikelilingi oleh banyak perempuan. Tiga orang—oh, bukan—lima orang, sepertinya. Salah satu dari perempuan itu menawarkan minuman kepadanya, lalu Justin mengambil minuman itu. Perempuan yang lainnya menggeliat bagai cacing kepanasan di dekat Justin, ada yang duduk di pangkuannya dan memegangi dada serta bagian tubuh Justin yang lainnya. Aku menggeram dan mendekat ke arah mereka.
Apa-apaan yang sedang Justin lakukan ini?
"Justin! Apa yang kau lakukan di sini, eh? Kau itu sedang sakit! Kau tahu, kau itu tak tahu diri! Kau—"
Dia mengangkat wajahnya ke arahku dan menaikkan sebelah alisnya padaku.
"Hanya duduk diam dan tunggu aku. Kau boleh lakukan apa pun semaumu."
Mataku terbelalak. "Kau pikir aku sepertimu? Kau gila! Apa maksudmu dengan perempuan-perempuan ini?" teriakku, menunjuk ke arah perempuan-perempuan itu dan mulutku terbuka karena keheranan sendiri. Hal yang membuatku mengernyit adalah, mereka hanya tertawa melihatku. Justin pun hanya tersenyum miring padaku.
"Bukankah kau suka yang seperti ini?" kata Justin tiba-tiba padaku.
Sesuatu terasa seperti menohok jantungku. Berengsek! Aku tidak pernah sekali pun menginginkan hal yang seperti ini! Sial. Dia temanku, tetapi dia bertindak seolah-olah tidak pernah mengenalku.
Bahkan aku terlihat seperti orang yang tidak waras di sini, aku terlihat seolah-olah aku memaksanya.
Aku menggeletukkan gigiku dan tertunduk, menghela napas sebanyak mungkin agar gemuruh di jantungku mereda.
"Kau ternyata tak lebih dari bajingan yang ada di jalanan," ujarku dingin, lalu aku berbalik dan meninggalkannya.
Aku duduk di dekat bar counter, lalu memesan air putih di sana. Aku tak peduli dengan mata bartender itu yang melihat ke arahku seraya mengernyitkan dahi karena mendengar aku memesan air putih. Satu hal lainnya adalah: laki-laki di sini sepertinya sialan semua. Ha—okay, mereka sudah berjambang, tetapi tak tahu diri. Seharusnya, jam segini mereka sudah berada di rumah bersama istri dan anaknya... Bukan berada di sini.
Aku mendengkus, lalu meraih air putih itu dengan cepat ketika air putih itu diberikan oleh bartender. Hal itu membuat bartender itu tercengang melihatku. Aku pun meneguk air putih itu sampai habis. Well, perjalanan hari ini seratus kali lipat lebih melelahkan dan menyebalkan. Aku haus sekali. Aku bahkan jadi diperhatikan oleh semua orang karena keadaanku yang super kacau serta tanpa high heels.
Oh, please. Seseorang! Adakah orang yang kasihan padaku dan mau mengantarkanku pulang? Masalahnya, aku lelah sekali...
Sesekali aku melirik Justin yang masih ada di tempatnya tadi. Aku memperhatikannya dengan saksama. Dia mulai meraba-raba perempuan-perempuan itu. Aku mengerutkan hidungku karena jijik. Justin terlihat mabuk berat. Aku kemudian melihat dia diajak oleh perempuan-perempuan itu ke lantai dansa dan dia pun menari dengan salah seorang perempuan. Tubuh perempuan itu meliuk di dekat tubuhnya, menempel hingga benar-benar mendesak. Tubuh mereka hanya dibatasi dengan helaian pakaian yang mereka kenakan. Oh, salah, kurasa, soalnya pakaian para perempuan itu tidak pantas disebut sebagai pakaian. Meski baju sehari-hariku adalah kaus santai dan celana piama—apabila tidak sedang di kantor—aku merasa kalau bajuku lebih menawan. Aku merasa aku kaya karena bajuku tidak kekurangan bahan.
Nah, aku benar, 'kan?
Setelah beberapa saat kemudian, aku melihat Justin mencium salah satu dari perempuan itu. Aku kontan menggeleng ketika melihat adegan itu. Aku memalingkan wajahku sebab kurasa aku tak sanggup melihat seseorang yang kukenali ada di ujung sana, tetapi mendadak terasa asing bagiku. Aku tak tahu mengapa Justin jadi seperti ini. Hal yang kulakukan hanyalah untuk melindungi temanku, apalagi dia itu sekarang adalah boss-ku. Namun, ini sepertinya berlebihan untuk siapa pun yang melihatnya. Percayalah, aku hanya ingin dia kembali menjadi Justin yang kukenal. Sepertinya, aku tak terima melihat dia seperti itu. Apa aku egois? Hah.
Kini, kulihat dia menciumi leher perempuan itu. Kulihat perempuan itu mendesah kenikmatan. Aku merasa dadaku sesak secara tiba-tiba, aku tak mengerti, tetapi aku merasakannya. Aku bahkan tercengang saat mengetahui bahwa dadaku terasa sesak saat melihat adegan itu.
Aku meringis. Aku langsung berpaling, membuang wajahku dari arah pandangku sebelumnya.
Aku melirik sedikit dan yang kutemukan adalah sama, malah mereka semakin—err—panas. Aku menghela napasku. Dua detik kemudian, aku menggigit bibirku dan aku berdiri. Aku ingin keluar dari tempat itu. Aku berjalan ke luar dengan sulit—menyelip di antara kerumunan—dan aku mengaduh kesakitan setiap kali ada bahu seseorang yang menabrakku dengan keras. Aku sekarang sudah sampai di pintu dan aku pun menghela napasku. Aku melirik ke arah Justin lagi yang sekarang sudah ada di dekat bartender. Aku bisa melihatnya tanpa harus mengangkat leherku. Aku melihatnya dan—astaga!
Dia terjatuh dari bar counter itu! Para perempuan itu berusaha menolongnya. Aku kontan kembali ke sana, menyelip dengan cepat. Aku sampai di sana beberapa saat kemudian dan aku langsung berjongkok untuk meraih Justin. Tanpa memedulikan tatapan semua orang termasuk para wanita itu, aku mengangkat Justin, tangannya kutaruh di bahuku dan aku membopongnya. Dengan susah payah, aku berhasil berdiri membopong tubuhnya yang lebih besar dariku. Tubuhnya sangat oleng dan aku nyaris beberapa kali terjatuh. Aku mengatur napasku agar aku terus bisa kuat untuk menahan tubuhnya, padahal aku tahu kalau aku sedang lelah. Namun, aku tetap mengusahakan diriku untuk berjalan dengan pelan, menyelip dan mendorong orang-orang agar memberi jalan pada kami. Aku menahan amarahku bila ada yang protes padaku karena aku menyelip dengan sembarangan sebab sungguh, ini bukan sembarangan. Aku hanya melakukannya semampuku karena ini sangat menyesakkan. Aku kesulitan.
Ketika sampai di luar club, aku berjalan menjauh dari gedung itu dan mulai beranjak ke pinggir jalan. Aku mengernyitkan dahi, lalu menatap ke arah Justin yang tubuhnya terus oleng serta tak bisa diam.
"Justin—hey! Apakah kau memiliki uang? Di mana dompetmu? Aku tak memiliki uang, tetapi aku harus mengantarmu dengan taksi. Hey!" teriakku. Kudengar dia hanya bergumam tak jelas. Ergh, sialan. Rasa sesak di dadaku hilang, tergantikan dengan rasa kesal yang bukan main. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri semenjak aku melihat keadaan dirinya yang seperti ini.
"Hei!! Oh c'mon, Justin, di mana dompetmu? Aku tak memiliki uang, sungguh!" teriakku sekali lagi, lalu aku meraba-raba kantungnya. Dia tiba-tiba menjauh dariku.
"Stay a...way," gumamnya sembari memperingatiku dengan jari telunjuknya. Aku berdecak kesal, memutar bola mataku.
"Well, berikan uangmu." Aku membuka telapak tanganku, menyodorkannya ke depan dadanya. Dia mengernyitkan dahinya seolah merasa aneh kepadaku. Aku mengangkat sebelah alisku kesal. Hah. Dia ini mabuk atau tidak mabuk terasa sama saja menyebalkannya.
"Justin, aku tidak sedang bercanda! Kau mau kutinggalkan di sini, eh? Pulanglah bersama wanita-wanita jalang itu dalam keadaan mati berdiri."
Dia hanya menatapku dengan mata yang memicing.
"Aku lebih se..nang," jawabnya dengan terbata karena dia sedang mabuk. Dia tiba-tiba memegang kepalanya. Aku langsung mendekat ke arahnya, tetapi dia menolakku. Aku mendengkus dan berkacak pinggang di depannya. Aku memutar bola mataku dan sesaat kemudian, dia nyaris jatuh. Aku langsung sigap dan membopongnya kembali.
Okay, tidak ada pilihan lagi. Aku harus membawanya pulang dengan berjalan kaki. Terserah dengan apa yang akan dia katakan ketika dia sadar. Kemungkinan dia tak akan ingat. Eh, apa dia akan ingat? Soalnya Justin ini, kan...makhluk jenius...
Aku terus membawanya berjalan, meski terkadang mataku nyaris terpejam karena aku mengantuk. Aku lelah sekali. Aku kadang tersadar ketika tiba-tiba kami nyaris terjatuh dan mataku kembali terbuka. Langkahku mungkin lambat sekali. Namun, akhirnya setelah kurang lebih satu jam—aku yakin sekarang sudah jam satu malam—kami pun sampai di depan gedung apartemennya. Aku membawanya masuk, menaiki lift, lalu akhirnya aku sampai di depan pintu apartemennya.
Namun, tak lama setelah aku sampai di sana, aku mengernyitkan dahi. Ada suara langkah kaki seseorang yang mendekat ke arah kami. Aku semakin gusar dan akhirnya kutatap samping kananku.
Aku terenyak, menyatukan alis ketika mendapati bahwa ada orang yang menatap tajam ke arahku.
"Siapa k—kau?" tanyaku, suaraku terbata-bata. Dia semakin mendekat ke arahku. Kini, dia berada sejauh dua langkah di depanku.
"Apa yang kau lakukan padanya di larut malam seperti ini," tanya orang itu tajam.
Dia adalah pria yang memiliki jambang pada rahangnya dan rambutnya mulai memutih. Dia memakai kemeja dan jas yang rapi. Aku mengernyitkan dahi.
"Siapa...kau?" Aku bertanya balik kepadanya.
"I'm Locardo Alexander."
Aku sontak terperanjat. Alexander?
Wait.
Mataku melebar. "Jangan katakan bahwa kau adalah—"
"Kau benar. Aku pamannya," jawab pria itu sembari menatapku dengan tatapan tajam.
Dia menyilangkan lengannya di bawah dada. Aku meneguk ludahku. Ternyata ini pamannya Justin...
"Justin tidak pernah ke luar sampai malam seperti ini, apakah kau tahu soal itu?" tanyanya dan aku menyatukan alisku kebingungan. Bukankah Justin sudah berubah menjadi 'Bad Guy'? Lantas mengapa Paman Locardo bilang bahwa dia tak pernah pulang selarut ini? Apakah Justin yang tak mau mengaku kepada pamannya?
"Jika kau tahu, TINGGALKAN TEMPAT INI," perintahnya dengan suara yang kuat, membuatku terperanjat.
Aku mulai panik. "T—tetapi aku—aku tidak melakukan apa—"
"Tidakkah kau mendengarku? PERGI DARI SINI!" teriaknya padaku.
Aku terlonjak, memejamkan mataku karena aku begitu terkejut dengan teriakannya.
"Sekarang pergilah," ujarnya lagi, mendekatiku dan langsung menarik tubuh Justin dengan kasar dariku. Aku terdorong. Pria itu membawa Justin ke dekat pintu dan dia mendorongku lagi dengan tangannya, lalu melanjutkan, "Pergi atau kau akan kulaporkan kepada polisi. Kau hanyalah perempuan jalang yang berusaha untuk mendekati keponakanku."
Mataku lantas terbelalak. Justin hanya menggumam tak jelas sembari berusaha melepaskan pegangan tangan pamannya.
Aku mengepalkan tanganku. Mataku menatap paman Justin dengan tajam.
"Tuan, dengarkan aku. Aku bukanlah wanita jalang dan kuharap kau bisa menjaga ucapanmu. Aku adalah executive assistant-nya dan aku hanya berusaha untuk membawanya pulang ketika aku menemukan dia sedang mabuk di dalam club. Hanya itu. Kumohon jaga ucapanmu," pintaku penuh dengan ancaman. Aku mengucapkannya dengan tegas.
"Executive assistant? Sejak kapan kau dipekerjakan? Okay. Mulai hari ini, kukeluarkan kau dari pekerjaanmu. Jangan pernah datang untuk bekerja lagi. Pergi dari sini," usirnya, lalu aku terperanjat. Aku tiba-tiba merasa ciut dan lemah, kakiku terasa seperti seonggok jelly. Aku mendadak lupa bernapas dan aku menggeleng, berkali-kali menarik dan mengeluarkan napasku dengan cepat.
Aku—aku tidak bisa berhenti bekerja! Aku membiayai kehidupan Pamanku dan kehidupanku sendiri! Ya Tuhan, bencana apa lagi ini?
"But, Mr. Locardo!" teriakku. "Aku tidak melakukan apa pun pada Justin!! Aku tidak bisa kehilangan satu-satunya pekerjaanku!!"
"AND DO YOU THINK I CARE?! NOW GET OUT FROM HERE!!!"
Dia berteriak, hampir memecah gendang telingaku. Aku menangis dan dia memberiku isyarat—dengan telunjuknya—untuk menyuruhku pergi. Setelah itu, kulihat dia masuk ke dalam apartemen Justin ketika pintu ruangan apartemen itu sudah terbuka. Aku langsung mendekat ketika pintu itu tertutup dan mengetuk-ngetuknya, aku berteriak memanggil nama Mr. Locardo, tetapi tak ada jawaban. Ya Tuhan, aku tidak bisa kehilangan pekerjaanku. Kumohon, aku sudah mengemis untuk Mr. Locardo, tetapi dia tak kunjung mendengarnya. Sesaat kemudian, aku meneguk ludahku, mengelap air mataku, dan aku berbalik.
Aku masuk ke dalam lift dan turun ke lantai dasar, lalu keluar dari gedung apartemen mewah itu. Melihat sedikit ke belakang, aku akhirnya mengeluarkan air mataku lagi dan pergi berjalan menuju ke rumahku. Aku tak peduli aku tak bersepatu, yang lebih memusingkanku saat ini adalah: aku kehilangan pekerjaanku.
Bagaimana ini?
Tak lama kemudian, aku sampai di lorong tempat aku bertemu dengan Seth sebelumnya. Oh, Tuhan, sudah jam berapa ini? Aku yakin Nathan akan marah padaku, apalagi ketika aku pulang dalam keadaan kehilangan pekerjaanku.
Tiba-tiba, aku mendengar suara motor—suara motorku!—mendekat ke arahku. Apakah...apakah itu Megan? Oh! Aku bahkan hampir melupakannya yang tengah membawa motorku. Yang benar saja, dia baru pulang jam segini? Apakah bensin motorku dia isi ulang? Ergh.
Aku langsung berbalik dan kutemukan dia sudah berada di sampingku, kini dia mengklaksonku dan sinar lampu motor itu menyilaukanku. Dia berhenti tepat di sampingku dan aku mendekatinya, berkacak pinggang di depannya. Dia cengar-cengir sebagai respons untukku. Aku memutar bola mataku.
"Ke mana kau, hah? INI SUDAH MALAM, GODDAMMIT! Kau tahu, aku seperti orang gila karena high heels-ku patah!"
Dia langsung membelalakkan matanya dengan dramatis dan menatap ke arah kakiku. Aku merasa buruk sekali.
Megan berteriak, "OH TUHANKU—VIO!! APA YANG TERJADI? APAKAH ADA YANG MEMUKULMU? ATAU MENCURI SEPATUMU KARENA SEPATUMU MANIS? APAKAH KAU HABIS MELAKUKAN SESUATU? ATAU—"
Dengan cepat aku menutup mulutnya. Ergh—membuat malu sekali.
"Megan, please, bisakah kau pelankan suaramu? Ini sudah malam!" pintaku, aku memperingatinya dengan bisikan. Dia sibuk memegangi tanganku yang sedang menutup mulutnya itu, lalu dia mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya, aku pun melepaskannya.
"Okay, okay. Aku mengerti. Ah—ya! Satu lagi, aku ingin meminta maaf padamu karena aku baru pulang dan—dan...kau tahu, AKU BERTEMU DENGAN SEORANG PRIA TAMPAN DI TEMPAT AKU MENGANTARKAN BARANG TADI! OH TUHAN, DIA—DIA TAMPAN SEKALI! SEMOGA TUHAN MENJODOHKAN KITA..." teriaknya sembari menyatukan jemarinya, memohon kepada Yang Maha Kuasa.
Menggeleng dengan muka datar, aku langsung naik ke atas motor dan menepuk pundaknya. "Sudahlah, ayo antar aku pulang," ujarku, lalu dia mengangguk, walau masih cengar-cengir. Dia langsung mengegas motorku dengan kuat hingga aku terlonjak ke belakang. Beruntung aku memegang bahunya. Dia membawaku dengan kecepatan penuh.
Di jalan, aku hanya diam. Pikiranku masih kacau dan bercampur aduk.
"Vio," ujarnya, memanggilku. "mengapa kau diam? Jadi, bagaimana? Sepertinya kau menjenguk CEO kita. Apakah dia memelukmu dari belakang ketika kau membuatkannya bubur?"
Aku memutar bola mataku.
"Aku memang menjenguknya, tetapi ya Tuhan, Meg, kumohon berhentilah berpikiran terlalu dramatis. Apakah kau pencinta drama Korea? Kau kurang dimanja sewaktu kecil?" ujarku, lalu aku tertawa. Megan membuatku melupakan semuanya untuk sementara waktu dan aku merasa kalau pikiranku jadi sedikit lebih tenang.
Dia tertawa.
"Jadi?" tanyanya dan mendadak aku terperanjat ke belakang. Masih ditanya juga?
Dia masih excited dan aku menepuk bahunya.
"Yah—tidak melakukan apa pun," ujarku dan aku tertunduk. Aku menghela napasku dengan perlahan dan menjilat bibir bawahku. Dia sedikit melirik ke arahku yang duduk di belakangnya.
Aku lalu melanjutkan, "Kau tahu? Aku dipecat dari pekerjaanku."
Mendadak motor itu berhenti; Megan mengerem motornya dengan sangat kuat. Tubuh kami terdorong ke depan dan mataku terbelalak.
"APAA?!! KAU DIPECAT?!! MAKSUDKU—MAKSUDKU BAGAIMANA BISA? APA SALAHMU?!!!" Megan berteriak histeris. Aku mengaduh kesakitan, mengetahui bahwa gendang telingaku rasanya bagai ingin pecah dan aku kembali menghela napas setelah itu. Dia sedikit memutar tubuhnya dan menatap ke arahku lewat ujung mata kirinya.
"Aku tak mengerti," ujarku seraya merundukkan kepala, lalu Megan menutup mulutnya dengan kedua tangannya secara dramatis. Kacamatanya hampir saja terlepas karena tersenggol oleh tangannya sendiri. Aku mendengkus.
"KATAKAN PADAKU, VIO!! KAU—APA YANG AKAN DIKATAKAN NATHAN NANTI?! YA AMPUN, SEBAIKNYA MALAM INI KAU DI RUMAHKU SAJA, AKU TAKUT KAU DIMARAHI NATHAN," tawarnya dengan suara yang kencang, lalu dia memegang bahuku. Aku menoleh padanya.
"AYOLAH! NANTI KITA CARI PEKERJAAN LAGI. NAMUN, KATAKAN PADAKU APA SEBABNYA KAU DIPECAT? APAKAH JUSTIN SI TAMPAN ITU YANG MEMECATMU? DAMN..." Dia berteriak histeris. Oh, hell, Meg, kau masih saja bisa menyebutnya sebagai pria tampan. Dia menyebalkan.
Aku memutar bola mataku.
"Tolong jangan katakan bahwa dia tampan, Meg," kataku seraya menghela napas lelah. "Well, aku tak mengerti. Aku pulang dari rumahnya dengan cara diusir dan—"
"DIUSIR?!!!" teriaknya.
Aku memutar bola mataku lagi, mengembuskan napasku lewat mulut. "Meg, biarkan aku bercerita dulu," ujarku dan dia dengan cepat cengar-cengir lagi. Aku menggeleng.
"Aku pulang jalan kaki karena kau bilang kau masih ada urusan. Aku kesulitan saat mau memberhentikan taksi, entah kenapa sopirnya tidak melihatku. Aku berjalan lagi dan aku menolong anak-anak yang ingin membeli es krim lalu ongkosku untuk pulang jadi habis. Aku bahkan tak ingat jumlah uang yang kubawa. Setelah itu, aku bertemu dengan taksi dan sialnya aku sadar bahwa aku tak punya uang. Aku lanjut berjalan lagi dan hak high heels-ku patah. Tak lama kemudian, aku bertemu dengan Seth dan tiba-tiba sudah ada Justin. Dia—aku tak mengerti bagaimana caranya dia bisa berada di sana, tetapi dia benar-benar menghabisi Seth. Aku menanyainya dan tanpa sadar aku mengikutinya, lalu kami sampai di sebuah club. Di sana dia benar-benar...okay, bajingan. Ketika aku mau pulang dan meninggalkannya, sialnya dia tiba-tiba terjatuh karena mabuk. Aku membopongnya, membawanya pulang, lalu ternyata aku bertemu dengan pamannya ketika kami sampai di depan pintu apartemennya."
Megan terenyak. "Mr. Locardo Alexander?" tanya Megan kepadaku. Aku mengangguk. Well, wajar Megan tahu, soalnya dia sudah lama bekerja di perusahaan itu dan dulunya, sebelum Justin memimpin, Mr. Locardo-lah CEO di sana. Namun, dia tidak sedingin Justin.
"Ya," jawabku. "dan dia mengira bahwa akulah penyebab semua itu. Kurasa dia tak tahu bahwa Justin bersifat seperti bajingan dan dia malah menyalahkanku. Aku dipecat karena hal itu."
"Ya Tuhan, Violette... Sungguh, aku minta maaf..." ujar Megan, menggeleng menatapku dan langsung memelukku. Aku balas memeluknya dan aku tersadar bahwa aku merasa sedikit nyaman ketika berada di pelukannya. Megan mengusap punggungku dan mataku berkaca-kaca. Aku memeluknya semakin erat, mencengkeram bajunya dan aku menangis dengan pelan di pelukannya. Dia terus mengusap punggungku dan terus menenangkanku.
Setelah itu, dia menghidupkan kembali motorku dan kami pergi menuju ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, dia pun turun dan aku pulang membawa motorku sendiri. Megan memelukku dan menenangkanku lagi, kemudian dia meminjamkan salah satu high heels-nya kepadaku tanpa kuminta sebelumnya. Aku awalnya menolak, tetapi dia bilang dia prihatin melihat kakiku. Aku memang terlihat kacau sekali.
Aku akhirnya pulang sendirian dengan mengendarai motorku.
Aku melihat jam tangan yang tersemat di tangan kiriku dan ternyata ini sudah jam dua lebih lima belas menit. Aku terenyak dan mulai mempercepat laju motorku. Aku sampai di rumah dan memarkirkan motorku di dekat teras, lalu berlari dan membuka pintu. Pintu depan memiliki dua kunci. Satu kunci asli dan satu lagi kunci duplikat. Aku dan Nathan masing-masing memegang satu. Aku memutar kuncinya dan membuka pintu. Ketika aku menutup pintu itu kembali, aku berbalik dan aku terkejut. Nathan sudah ada di depanku. Tepatnya, dia masih duduk di kursi yang ada di depan TV, tetapi dia tidak sedang menonton. Oh, sial. Dia pasti marah karena aku pulang kelewat larut bahkan hampir subuh.
"Dari mana saja, Vio?" tanyanya, nadanya terdengar seperti menginterogasiku. Aku meneguk ludahku, tertunduk. Mengernyitkan hidungku, aku berpikir keras. Aku menggigit bibirku.
"Aku...aku bermain di rumah Megan dan aku tertidur. Maaf, Nathan. Aku...aku tidur dulu," ujarku dengan cepat, lalu aku langsung berjalan menuju ke kamarku. Aku yakin Nathan tengah menatapku dengan tatapan memicing. Namun, aku hanya langsung masuk ke dalam kamar dan aku tertidur tengkurap di atas kasurku. Aku pun menangis hingga akhirnya aku tertidur dan aku bermimpi tentang sepasang mata karamel yang kembali menyiksaku.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxW9XoFEYD9
******
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCudMyfJG7H
Aku terbangun ketika tiba-tiba ada suara deringan ponsel. Aku mengusap wajahku ketika kuketahui bahwa bunyi itu berasal dari ponselku yang kuletakkan di samping bantalku. Ponsel itu berbunyi pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Aku berdecak sendiri karena aku belum lama tidur. Hey, aku tertidur jam setengah empat pagi tadi dan aku harus terbangun sekarang? Lagi pula, siapa yang mengirimiku pesan sepagi ini? Operator? Oh hello, jika benar, aku akan mendatangi kantor operator itu nanti.
Aku membuka pesan itu seraya mendengkus.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZW0c56pJfn
From : +17148559235
Apakah sopan membuat boss-mu sampai mengirimi pesan kepadamu, Vio?
Datang sekarang atau undurkan dirimu.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡW60U8cQPc6
Aku sontak terlonjak, langsung terduduk di kasurku.
Hah, apa ini Justin? Kalau ini Justin, dari mana dia bisa mendapatkan nomor ponselku?! APA DIA PENGUNTIT?!
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡl6OMPzQnnR
To : +17148559235
Ini kau? KATAKAN PADAKU DARI MANA KAU MENDAPATKAN NOMOR PONSELKU.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjwOueDIWEB
Setelah kukirimkan itu, aku pun menyimpan nomornya dan mengubah namanya.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡD9ZWPaUOAq
From : Mr. Sok Mengatur
Dari temanmu. Aku beri waktu dua puluh menit sampai kau kemari. Jangan membantah, Vio.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlqSGGFeaub
Aku sontak terkejut. Aku sudah dipecat! Di mana akan kutaruh wajahku jika aku pergi ke sana lagi? Aku tahu kalau pemecatanku itu bukan Justin yang melakukannya, tetapi tetap saja aku sudah dipecat. Aku sontak meremas ponselku karena aku merasa bahwa dadaku sesak lagi tatkala memikirkan bahwa aku kehilangan rutinitasku. Ditambah, aku juga masih menyembunyikan ini semua dari Nathan...
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXyHl89E2P9
To : Mr. Sok Mengatur
Aku tidak memiliki urusan lagi denganmu, Tuan.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvTNOcPAiiH
From : Mr. Sok Mengatur
Aku boss-mu dan ini perintah, Vio. Bukan aku yang memecatmu. Kau tak perlu menuruti perintah dari orang lain selain aku.
Waktumu sudah berkurang tiga menit.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQjVK8jcOte
Mataku terbelalak. Awalnya, mataku memang berkaca-kaca; aku terharu karena menyadari bahwa dia tak memecatku dan dia menyuruhku untuk kembali bekerja. Namun, pada kalimat terakhir, aku mendadak merasa kalau bokongku seakan sedang tertusuk jarum. Aku terlonjak dan langsung berlari ke kamar mandi. Syukurlah! Aku mendapatkan kembali pekerjaanku! Nathan, aku tidak akan mengecewakanmu!
"YUHUUUUUUU!!!!!!!" teriakku, melesat masuk ke kamar mandi sembari menaikkan tanganku ke atas, setelah sebelumnya aku mengambil handukku. Oh, shit, ini tinggal tujuh belas menit, Man! Apakah sempat? Apakah sempat?
Eh...tunggu. Apa ini?
INI NAMANYA SAMA SAJA!! Dia berkata bahwa jika aku terlambat, aku disuruh untuk mengundurkan diri. INI SUDAH PASTI TIDAK SEMPAT! Dia hanya mengerjaiku!! Ini gila!
Namun, masih ada satu harapan jika aku bisa secepat kilat dan selaju roket. Haha. Tunggu aku, Mr. Sialan Alexander.
Hei, aku baru sadar. Untuk apa dia mencari nomor ponselku—yang kuyakin pasti dari Megan—itu? Dia mencariku, padahal dia itu sangat kejam dan tak mau tahu tentangku? Aku benar, 'kan?
Untuk apa? Ditambah lagi, aku terkejut dengan pesannya. Dia memaksaku. Aku masih tak memercayainya karena dia itu manusia es yang terkuat, menurutku. Dia tidak seperti itu. Apakah itu karena pengaruh mabuk tadi malam? Apakah...dia memakan makanan basi hari ini, makanya dia sedikit kurang waras?
HAHA. Aku tertawa sendiri bila memikirkannya.
Setelah selesai, dengan secepat kilat aku memakai pakaianku—seperti robot—dan well, aku tak tahu mengapa aku bisa secepat ini. Gila, seperti embusan angin. Setelah itu, aku merapikan rambutku, mengambil tasku, dan keluar mengambil high heels-ku dengan berlari hingga membuat Nathan menumpahkan kopinya. Aku mengambil kunci motorku di atas meja yang ada di depan TV, kemudian keluar dari rumah dan langsung menghampiri motorku. Aku memasang helm dan tanpa peduli apa pun lagi, aku melesat dengan kecepatan penuh.
CEPAT, VIO! KAU TIDAK ADA WAKTU LAGI!
Aku menatap jam tanganku dan ternyata tinggal sembilan menit lagi! Sialaaaaan!!!!!
Setelah berusaha mengendarai motorku seperti pembalap, aku akhirnya sampai di tempat parkiran perusahaan. Aku pun turun dan menaruh helmku di motor. Setelah itu, langsung saja aku berlari terbirit-birit masuk ke dalam perusahaan. Melalui lobi, lalu ke ujung—ke dekat lift—dan naik ke lantai tiga belas. Aku sungguh merasa gusar hingga aku menggigit kukuku sendiri di dalam lift.
Akhirnya, pintu kubikel lift itu terbuka. Aku menghela napas lega dan langsung berlari lagi ke dekat pintu CEO dan langsung mengeluarkan napasku lewat mulut. Merapikan pakaianku, aku pun mengetuk pintu CEO itu. Tiga kali.
"Sir," panggilku.
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5eidR6Iu55
"Masuk."
11Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfbxi9CtsYJ
Aku membuka pintu itu, lalu masuk dan menutup pintu itu kembali. Aku berbalik dan menemukan dia duduk di kursinya. Ia menatapku dengan kepala yang memiring ke sisi, sikunya bertumpu pada meja. Aku tertunduk, berdiri dengan jarak tiga meter di depannya.
Dia lalu membuka suara, "Kau terlambat 45 detik."
HECK. Dia menghitung sampai ke detik-detiknya? Dia ini robot atau manusia? Dia menghitung waktuku kemari? Peduli sekali dia? Apakah dia memang menunggu agar aku mengundurkan diriku sendiri?
"HEI!! ITU HANYA 45 DETIK!!!" teriakku. "Kumohon, Justin, biarkan aku bekerja. Aku tahu kau berkuasa, tetapi tak sepantasnya kau sampai seperti itu!"
Dia berkata dengan suara dingin, "Aku menerapkan kedisiplinan dengan tegas di sini, Vio."
"KEJAAAMMMM!!!!" teriakku tak terima. Dia malah menaikkan sebelah alisnya.
Dia lalu mengedikkan bahu. "Kembalilah bekerja. Antarkan berkas ini ke beberapa manajer bawahanku." []
ns 15.158.61.6da2
