******
Chapter 7 :
Be the CEO’s Girlfriend?
******
13Please respect copyright.PENANAizzIzXtvVF
Justin Alexander:13Please respect copyright.PENANA8n5pohKqDK
AKU tersenyum miring ketika aku menggenggam tangan Violette.
Mendadak ia memberontak—memelintir tangannya sendiri yang sedang kugenggam erat—dan akhirnya, tangannya terlepas dari genggamanku. Aku sudah tahu kalau ini pasti akan terjadi. Jadi, aku hanya menoleh dengan pelan ke belakang. Kulihat dia menatapku dengan tajam, tetapi itu hanya membuatku menatapnya dengan mata yang memicing.
"Hei! JANGAN MEMUTUSKAN SEGALANYA SEENAK PERUTMU! DARI MANA KAU BISA LANGSUNG MENDAPAT KESIMPULAN BAHWA AKU MENYUKAIMU? MENGAPA KAU LANGSUNG MEMUTUSKAN BAHWA MULAI SEKARANG KITA MENJADI SEPASANG KEKASIH? Oh, ya ampun, kepalaku sakit karena menghadapimu," ujar Violette, dia memijat dahinya sendiri sesaat setelah dia mengamuk. Aku menaikkan sebelah alisku.
"Aku tak pernah menyuruhmu untuk menghadapiku," jawabku singkat. Gadis ini tetap tak berubah dan selalu bisa membantahku. Namun, itu justru menjadi ciri khas dari seorang gadis bernama 'Violette' di mataku.
Kulihat dia menggeram.
"KAU SELALU MEMBUATKU EMOSI, MR. ALEXANDER. MAAF," katanya dengan jengkel.
Aku mengembuskan napasku samar. "Tidak perlu meminta maaf. Aku tidak akan membuatmu emosi jika kau menjadi executive assistant yang penurut, Nona."
Pipinya memerah bak kepiting rebus karena emosi. Aku kembali memicingkan mata, menyilangkan lenganku di depan dada.
"Terima saja, Violette," ujarku pelan. Dia tampak terkejut dan menggelengkan kepalanya. Sial, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku takut ini terulang lagi kalau aku memiliki hubungan spesial dengan seseorang. Sesuatu itu...
God.
Menghela napas samar, aku meraih jemarinya lagi dan menggandengnya, mengajaknya untuk berjalan bersama. Dia ada di belakangku.
"Ki—kita mau ke mana?" tanyanya dan aku menjilat bibir bawahku.
"Gedung yang kita sandari tadi adalah restaurant yang sering kukunjungi. Kita mampir sebentar," perintahku. Dia diam. Aku tak tahu ekspresi apa yang ia buat, yang jelas—dan yang kutahu—aku menggeram. Sial. Bersentuhan dengan Violette...mengapa seperti ini? For God's sake, dia ini Violette. Aku sudah mengenalnya sejak masih bocah. Aku menggeletukkan gigiku.
This is not good. Fuck.
"Tapi kau yang mentraktirku, ya. Aku tak membawa uang..." ucapnya tiba-tiba dengan lirih, tepat ketika kami sampai di depan pintu putar restaurant. Aku hanya berdeham, kemudian kudengar dia ber-'Yes' sendiri. Aku mendengkus dan kugandeng dia sampai ke salah satu kursi yang ada di dekat jendela. Aku tahu semua pandangan orang mengarah kemari dan Violette dengan bodohnya memedulikan semua tatapan itu.
Aku duduk berseberangan dengannya yang terlihat masih tersenyum dengan riang. Hanya karena ditraktir? Ah. Memangnya ke mana semua uangnya? God.
Apakah baik jika aku menyembunyikan semua ini? Sesuatu di sana mendorongku untuk menyentuhnya, tetapi aku masih memiliki harga diri. Dia bekerja di perusahaan yang kupimpin dan aku tahu bahwa dia adalah teman lamaku. Bersikap dingin dengannya bukanlah hal yang baik, tetapi hey, man. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku berubah. Berubah dalam artian: aku yang dulu tak bereaksi di dekatnya, menjadi bereaksi.
Shit...no. Not that.
Dia Violette, Justin. Ingatlah.
Aku mengerti diriku sendiri dan sudah lama aku menyadari sisi diriku yang lain. Sesuatu yang tak mungkin orang-orang percaya; sosok diriku ketika aku mulai mencintai seseorang.
Hasrat yang berlebih, keinginan yang kuat untuk melindungi, pengorbanan diri... Itu akan menyiksaku serta segala hubungan yang kumiliki.
Aku tersadar dari lamunanku, lalu duduk tegap dan meletakkan tanganku di atas permukaan meja berbentuk bundar yang ada di depanku.
"Kau pesan apa, Sir?" tanya Violette.
"Biar aku yang memesan," ujarku. Aku lalu memanggil salah satu pelayan yang sedang lewat di ujung sana. Pelayan itu mendekat dan aku tersenyum. "Two lobster newberg plus challah and Italian ice, please."
Pelayan itu mencatat semuanya, mengangguk, dan pergi dari hadapan kami. Aku menghela napas, lalu aku mengeluarkan ponselku yang kusimpan di dalam saku celanaku, melihat e-mail-ku sebentar.
"Mengapa kau memesan banyak sekali? Satu bongkah challah saja sudah sangat besar, Sir! Kau membuang-buang uang. Sumber daya kita ini—"
"Diamlah, Violette. Mengapa tiba-tiba kau membahas sumber daya alam? Sumber daya alam memang hal yang terpenting bagi semua orang dan tidak boleh disia-siakan, tetapi aku tahu kau lapar dan itu pasti akan habis juga nantinya," potongku. Dia tersentak, mendadak pipinya memerah.
"DA—DARIMANA KAU TAHU AKU LAPAR?!!!! PENGUNTIT!" teriaknya.
Aku sedikit memiringkan kepalaku ke sisi.
"Ketika aku mendekapmu di samping gedung ini tadi, aku mendengar suara perutmu. Tolong bedakan yang mana yang penguntit dan yang mana yang teliti," tekanku dengan suara dingin. Dia mendadak merunduk malu dan memukul-mukul dahinya sendiri.
Violette menggeleng, berdecak sendiri dan aku menyimpan kembali ponselku ke dalam saku.
13Please respect copyright.PENANALoMRwawfEL
"Wah, lihat itu, hey! Wanita yang di ujung sana itu seksi sekali!"
13Please respect copyright.PENANAjTnnKx4pPj
Violette sedikit mengernyitkan dahinya.
13Please respect copyright.PENANAuEG8yVp4Ro
"Ah—demi Tuhan, dia cantik dan seksi! Pakaian kerja? That's my favorite!"
13Please respect copyright.PENANAhgmi4X3tDU
Violette jadi semakin mengernyitkan dahi, ia lalu melirik sedikit menggunakan ujung matanya. Ia melirik ke asal suara, yaitu di samping kanan dan agak ke belakang. Aku memicingkan mata dan ikut melirik sedikit ke arah yang sama. Di sana ada tiga orang berpakaian rock 'n roll yang bersiul tepat ke arah Violette. Mendadak kuperhatikan Violette membuang wajahnya ke samping kiri, menghadap ke arah jendela. Aku merasa taplak meja ini sedikit bergerak dan aku tahu bahwa dia sedang menarik-narik roknya. Wajahnya memerah. Aku hanya memperhatikannya dengan ekspresi datar.
13Please respect copyright.PENANASUJzJ6CoWg
******
13Please respect copyright.PENANAMczER4lm2D
Author:
Violette menggigit bibirnya. Berengsek! Mengapa di sini ada cowok-cowok gila seperti tiga manusia yang ada di sana itu? Jujur, Violette malu sekali karena ia sekarang sedang bersama Justin. Dia malah kena catcalling seperti itu oleh orang-orang gila yang ada di sana. Ini menyebalkan.
Violette tahu kalau Justin pasti mendengar catcalling itu juga. Pasalnya tidak ada yang Justin lakukan dari tadi, dia hanya diam. Namun, apakah Justin mau menolong Violette? Tidak mungkin. Violette jadi ingin menangis sekeras-kerasnya. Soalnya dia malu sekali! Violette rasa besok dia harus memakai rok yang lebih panjang. Minimal sampai ke bawah lutut.
Sial, Violette benar-benar malu. Violette bahkan tak sanggup untuk mengangkat wajahnya setelah menarik-narik roknya sendiri.
"Ayo ke luar."
Violette tersentak, mendadak lengannya ditarik dan gadis itu mendongak.
Itu Justin.
Kedua mata Violette terbelalak dan akhirnya gadis itu semakin terperanjat ketika Justin menariknya dengan kuat. Mereka pergi dari tempat itu setelah sebelumnya Justin meninggalkan selipan uang di atas meja. Justin menarik Violette dengan kuat dan lelaki bertubuh maskulin itu berjalan dengan gagah.
Langkah Justin yang lebar itu membuat Violette nyaris kehilangan keseimbangannya. Justin menggeletukkan giginya. Ada sesuatu yang tidak beres yang sedang terjadi di sini, saat ini. Tidak, Justin sekarang memang merasakan banyak godaan untuk menyentuh Violette, tetapi tak bisa semudah itu.
Justin mungkin telah menyukai Violette. Hasrat itu selalu muncul setiap berada di dekat Violette sejak sehari yang lalu. Justin menggeram sendiri.
Tidak disangka-sangka, Violette melepas pegangan tangan Justin. Mereka berhenti di depan restaurant. "Mengapa kau menarikku? Kita belum makan! Kau membuang uangmu!" teriak Violette.
Justin diam. Ia menatap ke arah Violette dan mengeluarkan napas dengan samar lewat mulutnya. "Mulai besok pakailah celana panjang."
Violette mengernyitkan dahi, lalu menggeleng dengan cepat. "A—apa yang sedang kau bicarakan? Mengapa kau tiba-tiba jadi aneh?"
Iya, aneh. Soalnya beberapa waktu belakangan Justin tak pernah peduli padanya.
"Aku tidak sedang bercanda, Violette. I know I'm being weird. Namun, jangan membantahku," jawab Justin dingin. Matanya menyipit dengan tajam.
Mata Violette memelotot. "Kau kerasukan sesuatu? Sejak berada di samping gedung tadi, kau jadi aneh, kau tahu?! Lelaki bertiga memang menyebalkan, tetapi kau tak perlu menarikku ke luar. Kita belum makan!"
Ah, Violette pasti memedulikan makanannya.
Justin mendadak mengembuskan napasnya dengan keras dan mendekati Violette. Tatapannya tajam dan pria itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Dengarkan aku, Nona Violette Morgan. Mereka tidak masalah, tetapi kaulah yang menjadi masalah di sini. Aku tak mau melihatmu memancing nafsu setiap orang; aku tak mau kau diperhatikan orang lain. Tidak ingatkah kau bahwa sekarang kau adalah kekasihku? Kau wanitaku."
Violette terperangah. I—ini... Ada apa dengan Justin? Ini seratus persen gila! Sebenarnya, pria ini Justin atau bukan?
"Ju—Justin... Kau...kenapa? Kau.."
Justin hanya menatap Violette dengan ekspresi datarnya, lalu ia berbalik. Namun, alih-alih berjalan mengikuti Justin, Violette malah menarik lengan Justin kembali.
"Katakan padaku apa yang terjadi padamu," ujar Violette. Dia mendadak khawatir. "Kau...aneh."
Justin telah berhadapan kembali dengan Violette yang kini tengah menatapnya dengan tatapan 'apa-yang-salah?' dan itu membuat Justin meneguk ludahnya samar. Jakunnya terlihat bergerak ke atas dan ke bawah.
Tiba-tiba tatapan Justin berubah. Pria itu menatap Violette dengan intens.
"Bagaimana jika kukatakan kalau aku mulai...melihatmu dengan cara yang berbeda?" ujar Justin seraya memiringkan kepalanya. Violette mengernyitkan dahi.
Lalu Justin melanjutkan, "Dari kemarin aku merasakan sesuatu yang asing. Namun, aku baru tahu apa itu tepat ketika ketiga orang itu membicarakanmu."
"Apa maksudmu?" tanya Violette seraya memiringkan kepalanya, memasang ekspresi bak orang tolol.
Justin mendengkus. "Dasar bodoh."
Kontan mata Violette memelotot.
"Hei! Kaulah yang bodoh!" teriak Violette kepada Justin. Justin memutar bola matanya.
"Sepertinya aku menyukaimu. Aku baru menyadari perasaan ini ketika ada seseorang yang menghinamu dan aku merasa tak terima. Awalnya semua itu terasa samar-samar sebelum ada yang menghinamu." Justin mengedikkan bahu.
Violette menggeram, matanya semakin memelotot. "What are you, a kid? Jadi, sewaktu di samping gedung ini tadi kau sembarangan mengajakku berpacaran tanpa tahu perasaanmu, eh?! Selain itu—apa kau bilang?! Jadi, HARUS ADA YANG MENGHINAKU DULU BARU KAU SADAR? TUHANKU, AMPUNI AKU KARENA MENGHADAPI CEO SEPERTIMU..." Violette menggeleng-geleng. Gadis itu menepuk jidatnya sendiri.
Justin tersenyum miring.
Tiba-tiba Justin mendekat ke arah Violette—berjalan pelan—dan memeluk Violette. Kedua mata Violette kontan terbelalak, tubuhnya mendadak merasakan sebuah kehangatan; ia merasa dilindungi oleh tubuh Justin yang maskulin. Tubuh yang maskulin itu melingkupi Violette hingga ke belakang tubuhnya.
Hangat. Detak jantung Justin terdengar samar. Dibatasi oleh kemeja itu, jas itu, dan dilingkupi oleh tubuh kekarnya... Violette merasa sangat nyaman.
Dua puluh tahun lebih mereka saling mengenal, baru kali ini mereka berpelukan seperti ini. Justin dulu sering melindunginya ketika berada di organisasi Red Lion, sering menghabiskan waktu bersamanya, tetapi belum pernah mereka sedekat ini.
Ada energi setipis silet yang tarik-menarik diantara mereka, bahkan kedua detak jantung itu saling melepas dan meraih satu sama lain. Napas beraroma mint Justin terasa menggelitik telinga beserta rambut Violette; aroma aftershave khas Justin seolah menempel secara permanen di penciuman Violette.
"Maafkan aku. Aku baru menyadarinya. Caranya konyol sekali," ujar Justin dengan lirih. Violette meneguk ludahnya. Mendadak Violette merasa jantungnya berdegup kencang.
Justin...menyukainya?
Violette terdiam. Di tengah detak jantungnya yang terasa mengganggu, pipi Violette mulai memerah. Violette merasa seolah ada beberapa kupu-kupu yang beterbangan di perutnya setelah mendengar semua kata-kata manis dari Justin. Namun, gadis itu berpikir. Benarkah hal itu? Sedangkan dia tahu bahwa Justin memiliki banyak wanita murahan yang mengelilinginya. Bila diingat-ingat kembali, Violette memang selalu memedulikan Justin dan berusaha untuk mematuhi Justin, meskipun kenyataannya dia selalu tak bisa mematuhi semua perintah Justin.
Violette sebenarnya juga tidak suka apabila Justin pergi ke club—seperti waktu itu—dan dikelilingi oleh wanita-wanita murahan.
Selain itu, soal Elika. Violette selalu bertanya dalam hati pasal apa hubungan Justin dengan Elika. Tanpa disadari, Violette ingin tahu semuanya, walau sebenarnya Violette tahu bahwa itu pasti karena mereka dulunya berteman baik. Namun, entah mengapa rasa benci terhadap CEO ini tidak pernah hilang. CEO dingin yang bisa membuatnya mengamuk seperti gorila sekaligus bisa membuat Violette mati kutu karena kebekuannya.
Jujur, sejak dia kenal Justin, Hillda adalah wanita pertama yang dekat dengan pria itu. Saat itu, ketika ia tahu, Violette sebenarnya kurang setuju karena dia khawatir dengan Justin. Biar bagaimanapun juga, Hillda itu istri orang lain. Namun, melihat Hillda yang orangnya baik dan mereka juga saling menyukai satu sama lain, Violette jadi mendukung apa pun keputusan Justin dan diam-diam berharap yang terbaik untuk Justin dan Hillda.
Namun, dia tak menyangka bahwa setelah tiga tahun, setelah mereka bertemu kembali, semuanya jadi terasa berbeda. Apakah itu karena situasinya berbeda? Ataukah karena Justin yang berbeda?
Kalau memang karena Justin yang berbeda, seharusnya Violette tidak tertarik. Soalnya Justin yang sekarang sungguh kejam padanya.
Violette sejujurnya akhir-akhir ini selalu merasakan denyutan yang aneh ketika dia melihat Justin bersama orang lain, tetapi ia selalu berpikiran bahwa itu karena...dia tak setuju Justin jadi playboy begitu, sebagai teman. Denyutan itu sama sekali tak ia mengerti. Bahkan ia sempat mengira bahwa ia memiliki kelainan jantung.
Violette juga merasakan denyutan yang aneh ketika Justin tiba-tiba bersikap seperti ini, terutama pria itu sampai mengungkapkan perasaan kepadanya. Denyutan itu berbeda.
"K—kau... Kau pasti bercanda," jawab Violette dengan lirih, tetapi nadanya tegas. Gadis itu mencoba untuk melepaskan pelukan Justin, tetapi tanpa ia sadari, Justin menarik tubuhnya kembali dan mendekapnya semakin erat. Mata Violette membeliak.
"Ju—Justin, what are you—"
"Aku tidak pernah bercanda, Violette," ujar Justin, pria itu bernapas samar. "karena aku tidak akan bermain-main dengan perkataanku sendiri."
Violette mengernyitkan dahi. "Tapi... Bukankah tadi kau hanya sembarangan bicara? Kau ini pembohong sekali."
"Siapa bilang aku sembarangan bicara?" balas Justin tiba-tiba.
Violette membulatkan matanya.
Eh? What?
Apa maksudnya ini?
Justin melepaskan pelukan mereka, memegang pundak Violette, dan tersenyum miring di depan gadis itu. "Aku berbicara seperti itu secara spontan karena aku tak mau kau menolaknya. Elika bukanlah sebab utama hubungan palsu itu, Violette. Kau harus tahu kalau itu tak masuk akal jika kau pikirkan dengan baik-baik," ujar Justin. "Itu spontan karena kupikir kaulah yang harus kujadikan kekasih palsuku di depan semua orang. Entah mengapa itu...terdengar wajar. Mungkin itu terjadi karena jauh di dalam hatiku, aku juga menginginkannya. I kinda want it. Namun, kau tak terima dengan hubungan palsu itu. Jadi, dengan spontan aku mengajakmu untuk benar-benar berpacaran agar semuanya tetap berjalan sesuai kemauanku. Hanya itu."
Violette hanya diam. Gadis itu memandangi Justin dengan mata yang menyipit.
H..ah?
"Keinginan untuk menjadikanmu sebagai kekasihku itu nyata, Violette."
Violette yakin dia ternganga selebar setengah kepalan tangan Justin sekarang.
"Kau—" ujar Violette, tetapi terpotong karena Justin tiba-tiba semakin mendekat ke arahnya. Justin merunduk dan matanya menatap Violette dengan intens. Pipi Violette sontak memerah dan gadis itu langsung membuang wajahnya.
13Please respect copyright.PENANAtJpynA7aG1
"Jadi...apa jawabanmu, My Dear?"
13Please respect copyright.PENANAaLB8OBFJYg
My...Dear?
13Please respect copyright.PENANAnlowB13UUe
Deg.
Deg.
13Please respect copyright.PENANAGNPXDzPWIG
Violette meneguk ludahnya.
CEO ini...apakah dia sedang menyatakan perasaannya kepada Violette? Ah—benarkah? Astaga, bahkan Violette masih terus meneguk ludahnya. Mendadak tenggorokannya terasa sangat kering.
"A—aku..."
13Please respect copyright.PENANAjE7ziELnfp
"Hm?"
13Please respect copyright.PENANABGI4VQglhd
Sial! SIAAAAAAAAAALLL!!! MENGAPA SUARA JUSTIN JADI LEMBUT SEKALI? SIAL! VIOLETTE JADI TIDAK BISA BERPIKIR SAMA SEKALI!!
"A..ku..."
Justin hanya diam, tatapan dari bola mata berwarna karamel milik Justin yang terasa seperti psikopat kecil itu mulai menghangat...dan masuk, menyelami bola mata Violette. Jika Violette tidak berkedip, mungkin Violette akan meleleh.
Ah!
"Aku...tidak tahu, Justin," jawab Violette pada akhirnya.
"Kau tidak mau aku jadi kekasihmu?" Justin bertanya seraya memiringkan kepalanya.
Violette membulatkan matanya. "Bu—bukan begi—"
Justin tersenyum miring. Sedikit terkekeh.
"Berarti kau menerimaku."
"E—eh?!" Violette menganga.
Justin menarik hidung Violette pelan. "Dasar bodoh."
Violette sontak menyatukan alisnya. Lah? A—apa yang terjadi? Jadi, Violette tanpa sadar sudah menerima Justin?! AAARGHH! Sial, apalagi yang akan terjadi setelah ini?! Tuhan!
Ya soalnya Violette memang tidak ada niat untuk berkata 'tidak', dia sendiri tak tahu mengapa. Akan tetapi, tidak langsung mengatakan 'ya' juga!!
Justin kembali tersenyum miring, kemudian tangan pria itu kini turun ke pergelangan tangan Violette.
"Terima kasih, My Dear," ujar Justin. "Sekarang ayo kita pulang."
Sepanjang jalan menuju ke mobil, Violette hanya tertunduk. Detak jantungnya belum stabil, ia mendadak merasa kalau tubuhnya panas-dingin. Bahkan sepertinya dia juga gemetaran.
Justin terus menggandeng Violette. Ketika sampai di dekat mobil, Justin mengantarkan Violette untuk duduk di dalam terlebih dahulu. Lalu, pria itu memutari mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Justin hanya diam, tetapi Violette terus menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Justin menghidupkan mesin mobilnya dan mengendarai mobil itu dengan santai, sama santainya seperti pemiliknya.
Tiga menit sudah berlalu dan Violette masih terus tertunduk. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Namun, ia tak bisa menolaknya karena ada keanehan bila mengatakan 'tidak' kepada Justin di dalam hatinya.
Violette juga tak tahu mengapa dia bisa merasa aneh seperti itu.
"Mengapa kau ragu?" tanya Justin tiba-tiba dan Violette terperanjat hingga ia merasa seolah jantungnya akan lepas.
"Eh?" tanya Violette balik. Justin mendengkus samar.
"Aku tanya mengapa kau ragu, Violette." Justin mengulangi pertanyaannya dengan sabar. Pipi Violette mendadak memerah dan gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Y—yah...itu... Itu karena aku takut kau hanya bercan...da," jawab Violette.
"Masih bodoh seperti biasanya," ujar Justin dingin.
Mendadak mata Violette memelotot ke arah Justin. "HEI!!!"
Tidak peduli dengan teriakan Violette, Justin hanya kembali mendengkus samar. "Jadi...apakah kau masih mau bekerja menjadi executive assistant-ku?"
Violette mengernyitkan dahinya. Mendadak wajah Violette jadi pucat. "Me—memangnya kenapa? Kau mau memecatku?!"
"Tidak."
Violette jadi semakin bingung. "Jadi apa, eh?! MENGAPA KAU BERBICARA SEPERTI ITU?!!"
Justin tersenyum miring. "Bayangkan saja berapa kali aku akan menciummu jika kau satu ruangan denganku."
The heck. Apa-apaan? Siaaal!
"JUSTIN!!!" teriak Violette. Mendadak semburat merah muncul lagi di pipi Violette. "Kalau begitu, kita pisah ruangan saja!!"
"Carilah ruangan jika memang ada," jawab Justin tak peduli.
Sial. Apakah ini ancaman? Great. Setahu Violette gedung perusahaan mereka sangat tinggi.
"KAU HARUS MENCARIKANNYA UNTUKKU!!!" teriak Violette kemudian.
Akhirnya Justin menatap Violette juga, meski dengan ekspresi yang datar. Pria itu melakukannya sembari menghela napas.
"Diamlah, Vio. Aku tidak mungkin melakukan itu. Masih banyak wanita-wanita lain yang lebih enak dipandang."
Mendadak Violette merasa kepalanya memanas. Jadi, apa yang dikatakannya tadi? Apa arti dari semua ungkapan perasaan itu? Bualan?
Violette mengembuskan napasnya dengan kasar. "Ya, kau memang selalu membualiku. Entah mengapa aku merasa bahwa kau itu berengsek sekali."
Justin mendengkus. Tidak, bukan itu masalahnya. Sebenarnya, hasrat itu memang ada. Namun, dia hanya tak ingin melakukannya kepada Violette. Ini tidak seperti dirinya dengan Hillda dahulu. Ada sebuah rasa ingin melindungi yang menutupi keinginan Justin untuk menyentuh Violette.
"Aku hanya bercanda," jawab Justin dengan serius.
Violette terkejut, gadis itu menganga.
Mengapa Justin menjadi mengalah? Bukankah biasanya Justin akan meneruskan opininya dengan dingin untuk membalas Violette?
Sembari mengeraskan rahangnya, Justin mendengkus. "Besok pakailah celana panjang. Aku akan menjemputmu. Jangan terlambat."
Okay...okay. Dasar Mr. Sok Mengatur.
Violette yang tadinya masih ternganga, akhirnya tersadar dan mengerjap. "Y—ya."
Justin bernapas samar. "Kau berkata bahwa aku berengsek, tetapi kenyataannya jantungmu berdegup kencang melebihi suaramu sendiri ketika kau berada di dekatku."
Wajah Violette memerah padam. "DIAMLAH, JUSTIN!! AKU HANYA KAGET TIBA-TIBA DIPELUK SEPERTI ITU!!!!"
"Nah, aku benar, 'kan? Kuharap itu hanya denganku saja. Jangan dengan orang lain," ujar Justin, pria itu menatap ke arah Violette dan mengedipkan sebelah matanya. Violette sontak terlonjak ke belakang.
Ha. Kapan pria dingin ini berubah menjadi perayu ulung di depan Violette? Oh...jadi begini sifat Justin ke wanita-wanita yang ada di club itu? Violette mulai merasa ada sebuah sisi di hatinya yang merasa kecewa—tak terima—dan entah apa lagi, yang jelas, ada yang terasa mengganjal di hatinya.
Setelah itu, mereka berdua hanya diam. Hanya keheninganlah yang mengisi kekosongan di antara keduanya. Tidak ada yang dapat Violette sampaikan lagi, sedangkan Justin, pria itu memang selalu lebih suka suasana yang hening. Sebenarnya, Justin tidak ingin menatap ke arah Violette karena tiba-tiba Justin merasa libidonya naik. Sialan! Mengapa hasrat seperti ini bisa muncul secara tiba-tiba? Perasaan ingin meraih, menyentuh, yang bahkan tidak pernah dirasakannya kepada Violette selama berpuluh tahun itu kini tiba-tiba muncul?
Ketika Justin sampai di rumah Violette, hari sudah gelap. Mungkin sekitar jam setengah tujuh malam. Violette keluar dari mobil Justin dengan perasaan yang tak menentu. Gadis itu lalu menutup kembali pintu mobil Justin.
"Thank you, Sir."
Justin menoleh ke arah Violette. "Hm."
Violette tersenyum simpul dan mengangguk. Setelah itu, Violette pun beranjak pergi, tubuhnya mulai membelakangi Justin.
"Sampaikan salamku kepada Nathan. Aku pulang, Babe," ujar Justin dan sekonyong-konyong mata Violette terbelalak. Violette langsung menoleh ke belakang dengan ekspresi bak orang tololnya; dia tercengang seketika. Babe? BABE? Justin kerasukan apa, sih? Shit.
Tersenyum miring, Justin hanya mulai kembali menjalankan mobilnya. Setelah itu, mobil itu berlalu begitu saja. Violette mematung; dia memandangi mobil itu sampai mobil itu terlihat jauh hingga menjadi sebuah titik kecil di matanya.
Sial.
Setelah itu, Violette akhirnya berjalan menuju ke teras rumahnya dan menaiki tangga—berhubung rumahnya adalah rumah panggung—dan berjalan lagi sebentar melewati teras, lalu mengetuk pintu. Nathan membuka pintu itu dan Violette masuk. Pintu itu lalu ditutup kembali oleh Nathan.
13Please respect copyright.PENANAMpBtv8Ew7Q
******
13Please respect copyright.PENANAEfqthOAcWE
"There’s a man," ujar seorang perempuan seraya bertelepon. Dia memakai mobil Ford hitam, memakai mantel tebal dan masker penutup wajah. Mobil itu terparkir sekitar tiga puluh meter dari rumah Violette yang berdiri sendiri di tengah-tengah barisan pohon cemara hingga ke belakangnya. Mobil itu bersembunyi agak ke samping—di ujung—dan di balik barisan pohon cemara itu.
"Besok bisa dilakukan. Lelaki berumur sekitar empat puluh tahunan dan kurus tinggi yang ada di dalam rumah itu."
"Baiklah," jawab wanita itu, kemudian dia menyeringai. Dia lalu menutup sambungan teleponnya. Wanita itu menghidupkan mesin mobilnya dan berbalik, lalu pergi dari barisan pohon cemara di dekat rumah Violette dan pergi begitu saja.
13Please respect copyright.PENANAEx8EGDHVzc
******
13Please respect copyright.PENANALACC3C0drL
Violette:
Aku melepas sepatuku dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di balik pintu. Nathan menyilangkan tangannya di depan dada. "Mengapa kau baru pulang?"
"Aku ada pertemuan dengan perusahaan lain," ujarku, tidak menyebutkan bahwa itu adalah perusahaan Martin. Nathan tak tahu sama sekali soal Martin dan Hillda.
"Disiksa oleh Justin lagi? Oh, ayolah, Nak. Kau bisa berhenti jika kau tak tahan menjadi executive assistant-nya."
Nah. Pamanku jadi membahas soal ini, deh.
"Tidak, Nathan. Percayalah padaku," ujarku. Aku kini berdiri berhadapan dengannya. Aku tersenyum manis untuk meyakinkannya.
Dia memicingkan mata.
Ergh. Dia tak percaya, agaknya.
"Sesuatu terjadi?" tanyanya dan aku sontak membulatkan mataku. Memandang ke segala arah, akhirnya aku kembali menatapnya dengan takut-takut.
"A—ah...kau sudah makan, Paman?" Yeah, hanya ini yang bisa kulakukan. Alihkan pembicaraannya segera, Violette!!
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Vio."
Waduh.
Ha. Apa yang harus kujawab? Rasanya banyak sekali yang terjadi hari ini.
Merasa bahwa dia sedang menatapku dengan tatapan tajamnya, aku pun mengerjap. Aku menggeleng dengan cepat. "T—tidak ada, Nathan. Ah—aku...aku lelah sekali. Aku mandi dulu, ya? Aku akan makan malam dan langsung tidur setelah itu. Bye, Uncle!!! Beristirahatlah, aku akan membuatkanmu kopi!" teriakku, aku langsung terbirit-birit berlari ke kamarku. Sampai di dalam kamar, aku langsung menutup pintu, menguncinya, lalu aku bersandar di balik pintu itu sembari memegangi dadaku.
SIAAALLL! UNTUNG SAJA AKU CEPAT BERLARI!
Tidak mungkin, 'kan, aku berkata pada Nathan bahwa:
'Hari ini, aku bersama Justin pergi ke perusahaan lain karena ada bisnis. Justin membeli saham, bekerja sama dengan perusahaan itu, lalu aku pulang bersama Justin. Setelah itu, aku dibekap oleh Justin di samping gedung dan aku hampir pingsan. Justin juga menyuruhku untuk menjadi kekasih palsunya dan akhirnya dia malah menyuruhku untuk berpacaran sungguhan. Justin lalu menarikku ke dalam restoran dan ternyata di dalam restoran itu ada yang menghinaku, lalu Justin menarikku lagi ke luar. Setelah itu, Justin menyuruhku untuk memakai celana panjang dan di situlah Justin mengungkapkan perasaannya yang aneh padaku dan setelah itu kami pulang.'
Sial, itu panjang sekali. Hampir menjadi cerpen.
Nah, tidak mungkin, 'kan, aku bercerita seperti itu? Bisa-bisa aku digantung Pamanku di pohon cemara. Entahlah masalah bisa atau tidaknya.
Aku mengerjap dan menggeleng, kemudian aku meletakkan tasku di atas meja riasku. Setelah itu, dengan cepat aku membuka pakaian kerjaku hingga aku telanjang. Aku pun mengambil kimonoku dan memakainya. Aku mengambil baju kerjaku tadi, menaruhnya di keranjang pakaian kotor yang ada di dekat kamarku, lalu aku ke luar dari kamar.
Kamar mandi ada di dekat dapur. Jadi, aku keluar dari kamarku untuk pergi ke sana dan mandi.
Setelah mandi, aku masuk ke dalam kamarku lagi dan memakai bajuku. Hanya baju piama biasa. Setelah itu, aku ke luar lagi dan mulai makan malam. Aku makan malam di sofa ruang depan—menghadap ke TV—di mana ada Nathan yang sedang menonton berita di sana. Terkadang aku kasihan melihatnya, apakah dia tak bosan kalau di rumah saja? Namun, pekarangan cemara di sekeliling rumah kami ini adalah pekerjaannya. Dia juga memiliki satu kebun cherry di daerah rerumputan yang ada di ujung kota New York.
Penghasilan dari kebun itu serta penghasilankulah yang menjadi biaya hidup kami.
Nathan terkadang melirikku dan menatapku dengan tajam—mungkin dia masih curiga—dan aku pun makan dengan takut-takut. Aku tidak mau menatap Nathan, aku berpura-pura tidak tahu. Ya ampun, aku takut sekali Nathan menanyaiku! Aku...ah, sial.
Setelah makan, aku pun kembali ke kamarku.
Aku menutup pintu dan dengan langkah yang malas aku lantas mengempaskan tubuhku ke atas kasur. Kasur sederhana; bukan sebuah spring bed, tetapi ini lumayan tinggi.
Dalam posisi telentang, pikiranku langsung tertuju pada seorang pria maskulin berambut cokelat keemasan dengan bola mata lelehan emasnya yang sedang menatap dengan intens kepadaku. Menyadari siapa yang aku pikirkan, aku langsung memencak-mencak sendiri. Sial! Mengapa aku memikirkannya?
Namun, entah mengapa dia selalu masuk ke dalam pikiranku. Lagi dan lagi.
Jika dipikir-pikir,
...aku...sekarang adalah kekasihnya.
Kekasihnya.
KE—KEKASIHNYA?!
Sial! Aku masih tak percaya. Rasanya itu terjadi begitu saja. Rasanya itu tak pernah terlewati. Seolah-olah dia tak pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Apakah ini semua hanyalah mimpi?
Atau...apakah itu karena aku menganggapnya sebagai orang yang selalu membuatku kesal?
Namun, mengapa aku merasa ada titik kebahagiaan yang perlahan-lahan menyebar ke seluruh tubuhku? Rasanya...
Cukup menyenangkan.
Ketika mataku akhirnya terpejam, aku bermimpi tentang bola mata lelehan emas yang terus melihatku dengan intens lagi.
13Please respect copyright.PENANAxVpep8mxOa
******
13Please respect copyright.PENANAhNKpdy3KHx
Seperti kata Justin, dia akan menjemputku. Tidak banyak yang terjadi, seperti biasa dia menghinaku dengan perkataan dinginnya. Aku hari ini memakai celana panjang. Pertama kali aku melihatnya ketika aku masuk ke dalam mobil, rambut spike-nya tertata rapi dan dia terlihat fresh. Dia memakai jas berwarna hitam, kemeja berwarna merah, serta dasi yang berwarna hitam. Aku sempat terpana melihatnya dan dia mengejekku. Argh, memang dasar CEO sialan. Sepertinya dia tak merasa gugup sedikit pun dengan hubungan ini. Seperti tak ada apa pun yang terjadi. Namun, dia agak berubah; dia jadi sering merayuku. Sial, bagian ini yang kubenci.
Ketika kami sampai di parkiran khusus atasan, aku keluar dari mobil serentak dengan Justin. Dia mengunci mobilnya dengan remote control kecil yang ada di tangannya dan ia memasukkan remote control itu kembali ke dalam saku celananya. Setelah itu, dia mulai berjalan. Seperti biasa dia langsung mendahuluiku. Merasa lelah mengikutinya, aku hanya menghela napas dan jalan dengan santai saja.
Ketika aku berjalan dengan santai sembari melihat-lihat ke sekeliling, tanpa sadar aku menabrak sesuatu yang keras di depanku. Aku mengusap dahiku dan otomatis aku mendongak.
Eh—Justin? Aku menabrak dadanya? Mengapa dia berhenti berjalan dan malah berbalik?
"Ju—stin...? Mengapa kau berhenti?"
Dia menaikkan sebelah alisnya. Kedua tangannya berada di dalam saku celananya.
Aku mengernyitkan dahi, kemudian dia mengeluarkan sebelah tangannya dari dalam saku celananya itu.
13Please respect copyright.PENANAHnx2IbNbYW
"Perlu digandeng, eh?"
13Please respect copyright.PENANAojLwY6Sz7D
Hah?
Aku kontan ternganga.
"Jangan terlalu bodoh, Nonaku." Justin langsung menarik tanganku dan menggandengku hingga kami masuk ke lobi perusahaan. Semua mata tertuju pada kami dan aku tertunduk karena malu. Dia membawaku masuk ke dalam lift dan kami sampai di ruangannya. Siaaal, aku yakin pipiku kini merah sekali.
Ketika aku masuk ke ruangannya, aku langsung duduk dan menyelesaikan pekerjaanku di tengah-tengah otakku yang masih kepikiran dengan semua yang telah terjadi. Tadi semua orang terlihat berbisik-bisik, man! Oh, God. Aku menggeleng-geleng sendiri untuk mengusir pemikiran itu. Aku yakin aku terlihat seperti kepiting rebus. Maksudku wajahku. Bukan seluruh tubuhku.
Kulihat Justin juga langsung berhadapan dengan laptopnya ketika sampai di ruangan ini.
Lima menit, sepuluh menit, aku sudah agak tenang. Aku menghela napas dan mulai bekerja dengan serius.
Tiba-tiba ponselku yang ada di dalam tas berbunyi. Aku membuka tasku dan meraih handphone-ku, lalu aku melihat ada sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal. Aku mengernyitkan dahi, lalu aku membuka pesan itu.
13Please respect copyright.PENANAKTwgWGaHmt
From: +17153878913
Hai, Nona Cantik. Aku pinjam pamanmu dulu, ya? Dia aman bersamaku.
Aman, tetapi pergerakannya agak terbatas karena aku mengikatnya.
Well then, see ya later ;)
13Please respect copyright.PENANAxOUG4HXWft
Berengsek! []
13Please respect copyright.PENANAgJmY8TeizM