******
Chapter 3 :
Club
******
14Please respect copyright.PENANAq8fByMtAmk
Violette:
HAHA. Bisa sakit juga? Memikirkannya saja rasanya aku ingin tertawa. Ah...dia manusia juga, ya? Aku baru ingat. Demi apa pun, memikirkannya meminum obat, tergeletak di kasur dengan selimut, dan apa pun itu yang bersangkutan dengan orang sakit, itu semua membuatku ingin tertawa. Ini akan menjadi bahan ejekan yang bagus untuknya.
Setelah diberitahu soal itu, aku tersenyum geli sendiri.
"Violette?" panggil manajer personalia itu lagi. Aku terperanjat.
Bloody hell! Mengapa aku tersenyum-senyum di sini? Ergh!
"H—hah? O—okay, Sir. Terima kasih atas pemberitahuan Anda. Saya permisi ke luar."
Manajer itu mengangguk padaku dan aku membungkuk sedikit, berpamitan padanya. Setelah itu, aku berjalan ke luar dan menutup pintu.
Ketika aku sudah berada di balik pintu, aku mulai menahan tawa. Aku berjalan menjauh sebentar, lalu ketika aku sudah jauh dari jajaran ruang manajer, aku tertawa sepuasnya. Akhirnya! Tuhan membalaskan dendamku pada pria kejam itu. Argh! Sial, aku malah sakit perut karena terus tertawa.
Setelah aku puas tertawa, akhirnya aku sampai di dekat lift dan aku langsung memasukinya, memilih untuk pergi ke lantai dua, ke ruangan marketing. Aku ingin berbicara pada Megan; menghabiskan waktu bersama Megan dengan bebas rasanya menyenangkan.
Ketika aku sampai di ruangan marketing, seperti biasa semua orang menatap aneh padaku. Aku mengernyit heran dan bingung; aku merasa bak orang yang berprofesi sebagai mata-mata, tetapi malah jadi perhatian orang. Namun, aku hanya meneruskan langkahku ke meja Megan dan kutemukan gadis itu masih fokus pada pekerjaannya. Dia mungkin sedang mencatat produk-produk yang sedang direncanakan atau sudah dipasarkan.
"Megan!" teriakku ketika aku sampai di depannya. Aku menepuk bahunya. Dia terperanjat, nyaris jatuh ke belakang dan aku terbelalak. Aku langsung menarik tangannya agar ia tak jatuh.
Megan mengelus dadanya kaget. "Kau hampir membuatku terlena—oh, bukan—mati, Vio."
Aku tergelak.
"Jika kau mati, 'kan... Tidak ada lagi yang berisik," candaku. Matanya memelotot padaku dan aku tertawa keras.
Dia lalu menggeleng dan berdiri dari tempatnya, menghampiri seseorang di seberang sana. "Aku pinjam kursimu, Ms. Cathy," ujarnya seenaknya. Ms. Cathy sedang menaruh berkasnya ke meja temannya dan tiba-tiba kursinya diambil oleh Megan. Ms. Cathy jelas bersungut kesal, tetapi Megan tak mengacuhkannya. Megan malah dengan santainya memberikan kursi itu padaku. Aku cengar-cengir, merasa tatapan Ms. Cathy padaku seolah mengatakan, 'Duduklah dan aku akan mengutukmu.'
Aku terus menggigit bibirku selama aku memandangi Ms. Cathy dengan mematung bak orang tolol. Megan menepuk pundakku. "Sudahlah, ayo duduk. Biarkan saja Nenek Sihir itu."
Ergh, kau bisa santai, Megan, tetapi aku tidak. Matanya memelototiku!
Ya ampun.
Aku lalu menggeleng, mencoba mengusir segala keraguanku dan akhirnya aku mencoba untuk duduk. Kutempatkan kursi itu di sebelah Megan dan akhirnya aku duduk dengan nyaman. Entahlah tatapan Ms. Cathy itu sekarang seperti apa.
"Jadi, mengapa kau kemari?" tanya Megan, membuatku tersenyum rahasia padanya. Megan menatapku yang lama tak menjawabnya, kemudian membuka kacamatanya sampai ke hidung, mengernyit memperhatikanku yang hanya tersenyum rahasia tatkala menanggapi pertanyaannya.
"Ada apa denganmu, eh?" tanyanya sekali lagi.
Aku akhirnya tertawa lepas.
"Hahah—kau tak tahu, 'kan? Aku sangat senang hari ini." Aku mengedipkan sebelah mataku padanya. Dia tambah mengernyit bingung.
"Ah... Kau menang lotre, eh?" tebaknya asal. Aku memutar bola mataku.
"Bukan lotre, Megan."
Dia kembali berkutat dengan berkasnya. Aku tersenyum. "Yeah... It's just because...Boss-ku tidak masuk hari ini dikarenakan sakit."
Megan menatapku dan terlihat kaget. "Sakit? Are you serious?"
Aku tertawa. Well, Megan saja heran, 'kan?
"Ya. Dan aku Bebas! Bebas, fellas! Woohoo!!" ujarku, aku berteriak sembari mengangkat tanganku ke atas bak monyet kegirangan. Aku baru tersadar dan malu sendiri ketika tatapan semua orang mulai tertuju kepadaku. Oh shit. Jangan menjadi gila, Violette.
Terakhir, kutatap Megan dan kutemukan dia juga menggeleng padaku, wajahnya seolah menyiratkan kekecewaan yang besar padaku. Atau mungkin itu ekspresi wajah datarnya? Aku tak mengerti.
"Well, sepertinya dia kejam sekali, ya? Padahal dia tampan," ujar Megan.
Aku terkikik.
"Percuma dia tampan jika dia kejam," balasku, lalu Megan menatapku dengan antusias. "But, Vio. Orang yang tampan dan kejam itu adalah orang yang biasa kugemari di film-film! Ahhhh, orang yang seperti itu malah membuatku penasaran, kau tahu?! Kalau begitu, aku saja yang menjenguknya ke rumahnya!" teriaknya dan aku memutar bola mataku.
"Dan kau akan diusir atau mungkin dilemparnya ke tong sampah," ujarku dengan ekspresi wajah datar. Megan ternganga dan matanya terbelalak. Mulutnya mungkin bisa muat satu kepalan tanganku.
"APAA? DIBUANG KE TONG SAMPAH?!" teriaknya, lalu aku mengangguk cepat. Aku takut orang-orang di ruangan ini jadi mengusir kami dari sini. Setelah itu, ekspresi Megan kembali melembut. Dia kembali menatap berkasnya. "Ah, tidak masalah jika dia yang melakukannya," sambung Megan. Aku terlonjak sebentar, kemudian aku membuang napas sebanyak mungkin karena aku ingat Megan memang gila.
"Well, Meg, terserahmu saja."
Dia tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya, dari siang hingga sore hari, aku hanya bersama Megan. Justin tidak menghubungiku untuk menyelesaikan apa-apa, pekerjaanku kemarin juga sudah selesai. Aku dan Megan memandangi Ms. Cathy yang terus bersungut-sungut di sana hingga akhirnya dia mendapatkan kursi pengganti. Aku membantu Megan dalam pekerjaannya, lalu kami makan siang bersama. Tak terasa sekarang sudah sore.
"Apakah kau tidak mau menjenguk boss-mu—eh, siapa namanya?"
Aku memutar bola mataku. "Justin Alexander, Meg. Kau sudah lebih lama bekerja di perusahaan ini daripada aku dan kau masih tidak tahu siapa nama CEO-nya."
"Nah, itu dia. Apakah kau tidak mau menjenguknya, eh? Kau executive assistant-nya, Vio."
"For what? Aku tidak mau menjenguk orang seperti dia," kataku sembari mengedikkan bahu.
Megan memutar bola matanya dengan dramatis. "Hei... Mungkin saja jika kau ke sana, dia akan berubah sikap kepadamu, 'kan? Atau bisa jadi kalian akan melakukan hal yang romantis di sana. Misalnya, emm...ketika kau membuatkan bubur untuknya di dapurnya, dia akan memelukmu dari belakang, lalu ketika kau mengompresnya, dia akan menarikmu untuk tidur bersamanya—"
WHAT THE HECK.
Dengan cepat aku menutup mulut Megan. Apa-apaan yang sedang dikatakannya? Bermimpi, 'kah? HA. Mana bisa orang sekejam itu menjadi manis seperti yang ada di khayalannya. Oh, Tuhan, memikirkannya saja rasanya perutku sudah mual, percayalah. Membayangkan Justin yang semanis itu, perutku jadi mual sendiri. Sial.
"Jangan melawak, Meg," ujarku.
Megan tertawa. "Memangnya siapa yang melawak, eh? Sudahlah, cepat jenguk dia!" teriaknya dan mataku terbelalak.
Tiba-tiba, suara yang kukenal...seperti suara Boss Marketing, terdengar memanggil Megan.
"Megan, bisa kau antarkan produk ini ke tempat yang kita datangi kemarin? Cepat, ya?"
Megan langsung berdiri dan berjalan ke arah Boss Marketing kami—maksudku, dulu dia juga boss-ku, tetapi sekarang sudah tidak—dan mengambil produk yang lumayan banyak itu dengan cepat. Megan menatapku ketika boss-nya sudah pergi.
"Vio, aku pinjam motormu sebentar, oke?! Sebentar saja," ujarnya, lalu tanpa mengatakan apa pun dia mengambil kunci motorku yang saat ini memang tengah terletak di atas mejanya. Dia lalu pergi dari hadapanku sebelum aku bisa berkata apa-apa. Aku masih ternganga, memandanginya dengan tatapan bingung.
Setelah dia keluar, aku bersandar di kursi yang tengah aku duduki. Well, sekarang aku mau melakukan apa? Pulang? Rumahku jauh dan motorku tak ada. Ini sudah senja. Naik taksi? Lantas, motorku bagaimana?
Menjenguk Justin? Ergh—itu pilihan terburuk.
Namun, demi Tuhan, sebenarnya jika dipikir-pikir, aku ini executive assistant-nya dan aku tak mengetahui kabarnya. Sebaiknya, sebagai gantinya, aku bisa menjenguknya sebentar. Namun, aku sangat takut dan malas bertemu dengan pria itu. Jika tidak mengingat fakta bahwa dia adalah boss-ku, lebih baik aku pulang. Namun, rumah Justin tidak begitu jauh dari sini. Jika aku pergi ke sana dengan menaiki taksi, lalu menjenguknya, Megan bisa mengantarkan motor itu langsung ke rumah Justin. Aku bisa memberitahu alamatnya. Jika seperti itu, aku bisa melakukan sebuah hal di sela-sela menunggu Megan pulang.
Okay, sepertinya aku memang harus menjenguk Justin.
Ketika itu, aku langsung mengangguk yakin dan menarik napas dalam, mengeluarkannya dengan perlahan. Bersiap-siap untuk mendapatkan cacian dari Justin lagi. Aku pun keluar dari perusahaan dan mencari taksi.
14Please respect copyright.PENANATMJLIth19A
******
14Please respect copyright.PENANATUnvhg76nm
Setelah sampai di depan gedung apartemen yang Justin tinggali, aku berjalan ke lift yang ada di ujung lobi, lalu mengingat-ingat di lantai berapa apartemen Justin berada. Menekan tombol 23—lantai di mana apartemen Justin berada—dan aku hanya berdiri di dalam sana, menunggu lift itu berbunyi pertanda bahwa aku sudah sampai.
Ketika sampai, aku pun keluar dari kubikel lift tersebut dan berusaha agar aku tidak tersandung, lalu aku berjalan ke pintu nomor...tunggu, aku harus mengingat-ingat di mana pintu kamar Justin. Di sini sangat banyak pintu, hell! Yang mana? Yang mana ini? Astaga, aku bisa salah pintu!
Aku mencoba mengingat-ingat lagi, menyatukan alis dan memejamkan mataku. Aku mengelus daguku dan akhirnya aku pun mengingatnya. Pintu nomor lima dari lift, sebelah kiri! Ah... Akhirnya.
Aku menekan sebuah bel di samping pintunya. Tiga kali secara berjeda dan dia belum membukanya. Aku menekan belnya lagi dua kali secara berjeda, lalu ketika aku ingin menekan bel itu sekali lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan kepalaku menoleh ke samping, aku mendapati sosok Justin yang kini sedang mengernyit heran padaku. Pintu itu hanya terbuka sedikit, lalu Justin nyaris saja menutupnya kembali jika saja aku tidak mencegahnya. Aku menahan pintu itu dengan tanganku.
"Untuk apa kau kemari?" tanyanya dengan nada yang dingin dan aku memutar bola mataku.
"Makanya, buka dulu pintunya! Biar aku jelaskan!" teriakku kesal, lalu akhirnya dia membuka pintunya. Hoah, lelah sekali menahan pintu itu agar tidak tertutup. Masalahnya, Justin sedari tadi terus mencoba untuk mendorongnya agar pintu itu tertutup kembali.
Ketika pintu itu terbuka, dia menaruh jemarinya di kantung celana piama-nya.
"Jadi, ada apa?" tanyanya.
Aku berdecak. "Tidak membiarkanku masuk, kah?" tanyaku dengan jengkel. Dia hanya memandangku dengan sebelah alisnya dinaikkan.
"Tidak," jawabnya santai. Sialan.
"HEI! BIARKAN AKU MASUK, EH?! AKU LELAH JUGA KEMARI!"
"Aku tidak menyuruhmu kemari," jawabnya enteng. Kontan mataku terbelalak.
Memang benar, sih.
"Okay, Mr. Alexander yang terhormat. Aku kemari untuk menjengukmu." Aku mengaku.
Dia mengangkat sebelah alisnya lagi. Masih dengan tenang.
"Ya sudah, sekarang cepat pulang."
14Please respect copyright.PENANAeU0t1Ca0B5
WHAT? APA—APA KATANYA?
14Please respect copyright.PENANAnsKfRGoDcK
"AKU BARU SAMPAI, TUAN!"
"Ya, tetapi kau sudah menjengukku, 'kan? Sekarang pulanglah." Dia memerintah, lalu mencoba untuk menutup pintunya lagi. Aku lantas kembali menahan pintu itu agar tidak tertutup. "Tunggu!! Aku masih ada urusan! PLEASE, JUSTIN!!!"
Dia akhirnya membukanya lagi dan berdecak samar. Aku menghela napas. Dia diam di depanku dan sedetik kemudian dia berbalik, berjalan santai memunggungiku dan pergi dari hadapanku. Eh? Berarti aku boleh masuk?
Aku terkikik dan masuk, lalu menutup pintunya. Tiba-tiba, dia berbalik, tangannya masih betah berada di dalam saku celananya.
"Jangan mengacau di rumahku." Dia memperingati. Aku mengernyit, lalu aku memutar bola mataku. Astaga, memangnya siapa yang mau mengacau di rumahnya?
Setelah itu, dia berlalu dari hadapanku dan tak lagi terjangkau dengan pandangan mataku.
Tinggallah aku yang masih berada di ruang tamunya, tempat kami dua hari yang lalu mengerjakan pekerjaan bersama-sama dan terakhir dia jadi marah kepadaku. Oh ya, dia masih marah atau tidak? Kalau dilihat dari sikapnya... sepertinya biasa-biasa saja.
Aku melihat ke sekeliling ruangan. Tuhan! Berantakan sekali! Puntung rokok di mana-mana. Botol wine juga berserakan di atas meja. Sebenarnya apa yang dia kerjakan? Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku, terkejut. Apakah dia baru saja berpesta?
Berjalan ke depan, melangkahi botol-botol yang terjatuh ke lantai dan puntung-puntung rokok yang berserakan itu, aku berusaha untuk mengikuti arah ke mana Justin berjalan tadi. Aku mengernyit, lalu aku berjalan lagi dan ternyata aku menemukan sebuah pintu. Pintu kamar?
Aku membukanya perlahan dan masuk. Aku tahu ini agak lancang, tetapi entah mengapa aku santai saja melakukan ini. Apakah karena aku merasa bahwa kami adalah teman lama?
Setelah berhasil masuk, aku pun menutup kembali pintu yang ada di belakangku. Berjalan perlahan, aku melihat kamarnya tidak terlalu berserakan. Namun, ada banyak puntung rokok di asbak yang ia tempatkan di atas meja nakasnya. Aku melihatnya tidur mengarah ke samping dan berselimut. Dia demam atau apa? Aku langsung menggulung lengan jasku, lalu berkacak pinggang. Aku akan merapikan ini semua. Mataku sakit sekali melihat keadaan ruangan kotor dan bau rokok seperti ini. Dan dia? Dia juga tidak boleh berada dalam kondisi udara yang seperti ini! Dia akan tambah sakit!
Dasar CEO gila. Dia bisa disiplin dalam pekerjaan, tetapi mengapa tak memedulikan dirinya sendiri? Hell. Aku langsung saja berjalan ke dekat meja nakas di samping tempat tidurnya dan mengambil asbak itu. Aku sempat melihat sebuah sapu di dapur tadi dan aku rasa aku ingin menyapu sekarang.
"Bukankah sudah kubilang padamu jangan mengacau? Ke luar atau kau kukeluarkan dari pekerjaanmu," ujarnya masih dengan nada yang terdengar begitu dingin.
Aku memutar bola mataku. "Jadi, kau menyuruhku hanya duduk diam di depan saja? Aku di sini untuk menjenguk Anda, Tuan."
Dia terbatuk. "Ke luar, Vio."
"Tidak sebelum aku selesai, Sir."
"Keluar dari sini atau undurkan dirimu. Aku bisa melakukan apa pun sekarang juga dengan pekerjaanmu."
Ancaman ini lagi.
Sialan. Kalau dia bukan temanku, aku sudah pergi sejak tadi!
Aku menaruh asbak itu kembali ke atas meja dan berkacak pinggang. "Lagi pula, mengapa kau tidak mengabariku bahwa kau sakit, hah?! Apa? Apa? Karena aku bukan siapa-siapamu? Tetapi aku executive assistant-mu, Justin!! Aku tidak enak jika siapa pun menyadari bahwa aku tidak mengetahui tentang apa yang telah terjadi kepadamu! AKU AKAN DICAP SEBAGAI EXECUTIVE ASSISTANT YANG LALAI JIKA KAU BEGITU!!!"
"Kau memang lalai," jawabnya santai.
Oh sial. Hah.
"AKU TIDAK—ERGH!!! PERCUMA BERBICARA DENGAN ORANG GILA!!!" Oops. Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tanganku. Mati aku! Keceplosan begitu saja... Ergh, sial.
"Apa kau bilang?" tanyanya. Dia bertanya dengan pelan, tetapi suaranya terdengar mengintimidasi. Dia terduduk dari posisi tidurnya dan menatapku seraya mengangkat sebelah alisnya. Dia langsung menatapku dengan tatapan kejam dan penuh dengan intimidasi khas dirinya. Aku meneguk ludahku.
"Ahh...tidak—tidak, aku hanya err...bernyanyi, Sir."
Dia menatapku dengan tatapan sombongnya, alisnya terangkat.
"Ke luar."
"Tidak," bantahku, aku mengambil asbak rokok itu lagi. "Lagi pula, kau sakit apa, eh? Demam? Lalu apa yang kau lakukan dengan puntung rokok sebanyak ini?! Bahkan semua ruanganmu bau rokok! Ergh—hidungku benar-benar tak tahan menciumnya!!!"
"Aku bergadang menyelesaikan pekerjaanku." Dia menjawab dengan enteng. Aku terbelalak. Bergadang menyelesaikan pekerjaannya? Mengapa dia tidak memberitahuku? Tunggu, terakhir kali aku bertemu dengannya, bukankah pekerjaan itu sudah selesai semua? Bukankah dia sudah kubantu? Jadi, apa lagi yang ia kerjakan?
Astaga. Berarti dia menyembunyikan sebuah pekerjaan dariku dan memilih untuk menyelesaikannya sendirian? Jadi, apa gunanya diriku? Argh, dasar gila! Itu namanya dia sendiri yang mencari penyakit!!
"Bukankah kau sudah kubantu? Lagi pula, MENGAPA KAU MENYELESAIKAN SISANYA SENDIRI, EH? DAN KAU MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?!! AKU BISA MEMBANTU, JUSTIN! KAULAH YANG MEMBUATKU LALAI, BUKAN AKU!!"
Dia berdecak. "Aku tidak menyembunyikannya."
Aku mengacak rambutku, stress sendiri menghadapinya yang superbeku. "Entahlah, aku ingin menyapu," ujarku pada akhirnya, menyerah menghadapi dirinya. Beribu amukan dariku—seperti yang selalu kukatakan—selalu kalah dengan satu kata-kata yang berasal dari mulutnya. Entah kapan aku bisa menang dari sifat dinginnya.
Ketika aku berbalik dan ingin keluar dari ruangannya menuju ke dapur untuk mengambil sapu, tiba-tiba dia mencekal lenganku. Sontak aku terperanjat dan menoleh ke samping, ternyata kini dia sudah berdiri di sampingku dan memegang lenganku dengan kuat. Mataku terbelalak, "Just— JUSTIN!! Lepas!! WHAT ARE YOU DOING, EH?!!"
Dia hanya diam dan mengambil asbak yang kupegang, lalu menaruhnya lagi ke atas meja. Aku menatap semua gerakannya seraya ternganga, kemudian dia menarikku. Dia menarik lenganku dan menyeretku agar ke luar dari ruangannya. Dia menarikku bak menarik anak kecil lagi.
"Hei!! JUSTIN!! APA INI? KAU MAU MENYERETKU KE LUAR, YA?!!!!" teriakku dan berdecak ketika mendapati dia hanya diam di depanku, memunggungiku. Dia tetap menyeretku dan akhirnya ketika kami sampai di depan pintu, aku pun terperanjat. Dia memang mau mengusirku, 'kah?
"Kau selalu membantahku, Violette. Hanya cara ini yang bisa membuatmu ke luar." Dia menarik lenganku lagi. Aku menggeliat minta dilepaskan, tetapi dia lebih kuat dariku. Dia mendorong punggungku keluar dari pintu, lalu dia menutup pintunya. Aku langsung terperanjat dan berbalik lagi, menggedor-gedor pintunya dengan kuat, lalu menekan belnya berkali-kali bak orang yang tak sabaran mau buang air kecil. "Hei!!! BUKA PINTUNYA!!!! HEI!!!! JUSTIN!!!! AKU BELUM SELESAI!!!!"
Aku terus mengetuk pintunya dan menekan belnya, tetapi tidak ada jawaban. Kurasa dia sudah berbaring kembali di dalam kamarnya. Sialaaaannn. Aku mengeluarkan napasku dengan kuat. Aku lelah, tetapi aku malah tambah dibuat emosi. Namun, aku tak bisa melampiaskan emosiku. Aku hanya membuang napas pasrah, mengalah, kemudian aku mengedikkan bahu. Yah, apa boleh buat. Aku hanya harus pulang.
Aku berjalan dengan langkah yang lunglai dan masuk ke dalam lift, lalu turun ke lantai bawah.
14Please respect copyright.PENANAw9Z4a8C7V9
******
14Please respect copyright.PENANAdoxY3jWfQK
Shit. Tidak ada taksi yang lewat sedari tadi. Aku sudah menunggu lama di depan gedung apartemen ini.
Dengan napas yang berderu lumayan kencang, merengek menahan tangis, serta rasa lelah, aku pun mengentakkan kakiku seraya berjalan di pinggir trotoar. Ya Tuhan!! Aku sudah lelah berada di kantor hingga sore (meski hanya mengobrol dengan Megan), lelah kemari hanya untuk dibuat emosi, diusir, dan juga sekarang tidak ada taksi. Apa ini? Mimpi buruk? Aku mengentakkan kakiku di sepanjang jalan, mataku sudah berkaca-kaca karena ingin menangis. Aku lelah sekali! Bukan lelah karena berjalan, tetapi karena aku sekarang sedang dalam mood yang buruk.
Tiba-tiba, aku ingat motorku. Di mana motorku? Mengapa lama sekali? Oh hell please, Megan, ini sudah malam! Di mana dia?
Aku langsung mengambil ponselku yang ada di dalam tasku, lalu langsung mencari nomor telepon Megan di kontakku. Aku langsung meneleponnya.
Dia mengangkat teleponku itu saat deringan pertama. Aku menghela napasku.
"Halo, Vio? Nanti saja kuhubungi lagi, oke? Aku masih belum selesai. Nanti motormu kukembalikan, maaf," katanya dengan cepat, lalu dia mematikan sambungan telepon itu begitu saja. Aku tercengang. Aku bahkan belum berbicara sepatah kata pun!! Ya Tuhan, kurasa aku mempunyai salah dengan orang lain hingga dijatuhi hukum karma yang seburuk ini.
Aku langsung berdecak kesal dan nyaris menangis, lalu dengan dongkol aku pun menaruh kembali ponselku ke dalam tas. Aku berjalan lagi dengan entakan kaki yang kuat dan cepat; aku merengek di sepanjang jalan. Hingga akhirnya, aku memasuki sebuah lorong. Hell! Perjalanan dari kantor ke rumahku sudah lumayan jauh, apalagi dari rumah Justin sampai ke rumahku! Aku tak menjamin kakiku akan baik-baik saja. Sialnya, belum ada satu pun taksi yang lewat di hadapanku dan kalau pun ada, pasti sopirnya tak melihatku yang melambai-lambai kuat bak sedang jumpa dengan idola. Bahkan sampai aku mengejar taksi itu pun, sopir taksi itu tetap tak melihatku. Ha. Dia punya mata atau tidak, sih?
Aku berjalan lagi dan mulai memasuki sebuah lorong—lorong yang memang merupakan jalan yang selalu kulewati ketika aku pulang ke rumahku—dan aku memandangi taman yang ada di samping lorong ini. Ada kursi di pinggir taman itu dan aku melihat ada anak-anak menangis. Tidak ada ibunya. Anak-anak itu berdua, yang satunya terlihat sedikit lebih besar. Aku mengernyit, kemudian aku menghampiri kedua anak itu.
Salah satu dari mereka yang lebih besar rupanya baru saja merebut es krim yang satunya. Oh, jadi itu masalahnya.
Aku langsung menghampiri salah satu anak yang sedang menangis dan berjongkok di depan anak itu yang sebenarnya sedang duduk di kursi pinggir taman itu.
"Ada apa, hmm?" tanyaku. Dia tetap menangis, lalu dia mengelap ingusnya.
"Ice cream... My ice cream!!!!!!" teriaknya kencang. Aku terenyak. Kemudian, aku melihat ke sekeliling dan aku menemukan penjual es krim di ujung taman. Aku langsung tersenyum, berdiri, dan berjalan ke dekat penjual es krim itu.
Aku membeli satu, kemudian aku kembali lagi ke dekat anak itu. Setelah itu, kuberikan es krim itu kepadanya. "Ini. Jangan menangis lagi, ya?" rayuku agar bisa menenangkannya. Dia pun terdiam. Memang dia masih terisak dengan napasnya yang tersengal-sengal, tetapi dia tetap mengambil es krim itu dari genggamanku. Setelah itu, dia diam menatapku dengan mata bulatnya dan aku tersenyum lembut padanya.
"Ah... Maafkan aku, apakah anakku nakal padamu? Maafkan aku, Nona!"
Suara seorang ibu-ibu terdengar di telingaku dan aku mendongak, mencari keberadaannya. Ternyata dia sudah menghampiri kami dan dia lekas mengambil kedua anaknya. Aku tersenyum.
"Tidak apa-apa, Nyonya," kataku.
Dia mengangguk padaku dan ikut tersenyum. "Apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini sendirian, hmm? Kau cantik, aku takut terjadi apa-apa padamu."
Aku tertawa. "Ah...tidak, kok, Nyonya."
Lagi pula, cantik? Aku tidak cantik.
Setelah itu, dia mengangguk lagi. "Baiklah. Cepatlah pulang, Nona. Kami duluan, ya?"
Aku mengangguk. "Ya, Nyonya."
Dia pun pergi dariku sembari menggandeng kedua anaknya. Aku menghela napas dan berbalik, lalu kembali berjalan lurus masuk ke dalam lorong.
Di sini gelap sekali ketika malam. Aku belum pernah berjalan kaki di sini dan ternyata rasanya lebih mengerikan. Aku mengusap lenganku karena mendadak merasa dingin, napasku sepertinya mulai beruap.
Aku terus berjalan dan berkali-kali mengeluarkan napas dinginku yang beruap itu, merasa bahwa seluruh tubuhku kini jadi kedinginan dan juga pegal-pegal. Hari ini terasa lebih melelahkan, bahkan lebih melelahkan ketimbang saat ada Justin dua hari yang lalu.
PLETAK!
Oh, shit!! Kakiku terpelecok dan aku baru menyadari sesuatu. Sebelah hak high heels-ku patah! Oh, Tuhan, ini menyebalkan!!! Aku merunduk dan langsung melepas sebelah high heels-ku, menatap heels-nya yang sudah patah dan nyaris terlepas. Aku mendengkus dan menggeletukkan gigiku.
APA LAGI INI, EH? MENGAPA NASIBKU BURUK SEKALI HARI INI?
Sialan. Merasa kesal, aku pun membuka yang satunya dan kulempar kedua high heels itu asal. Dengan sekuat tenagaku, aku membuangnya bersamaan dengan segenap emosiku. "SIAAAAAAALLLLL!!!!!"
Tiba-tiba, sebuah taksi lewat di depanku. Aku langsung melambai. Taksi itu pun berhenti di depanku dan aku teringat sesuatu. Aku langsung mengecek dompetku dan SIAL LAGI. UANGKU HABIS KARENA MEMBELIKAN ANAK-ANAK TADI ES KRIM...
Kumohon, Tuhan, ampuni dosaku. Andaikan ada hujan uang sekarang juga...
Dengan gaya orang tolol, aku lantas cengar-cengir dan menggaruk tengkukku—yang tidak gatal itu—sembari mengatakan 'tidak jadi' kepada sopir taksi itu. Sopir taksi itu pun hanya berlalu bersama mobil taksinya.
Huah. Untung saja dia tak marah padaku...
Sialan dengan hari ini. Semuanya terjadi dan menimpaku begitu saja. Aku bagaikan jatuh ketika menggali lalu tertimpa tanah berlapis-lapis. Menciut bagaikan kertas origami bekas di pinggir jalan, aku merasa malu sekali.
Aku akhirnya berjalan dengan kaki telanjang. Rokku pendek selutut dan ini benar-benar menyakitkan, angin malam pun terasa menusuk tubuhku. Aku berjalan dengan wajah yang ditekuk dan kurasa wajahku memerah antara menahan emosi, tangis, dan juga malu. Semuanya bercampur aduk!!
Sampai jauh masuk ke dalam lorong, aku merasa ada seseorang yang mengikutiku. Aku mengernyit; aku tahu aku diikuti. Dulu, aku sudah terbiasa melakukan berbagai taktik melawan musuh sewaktu menjadi anggota Red Lion. Jadi, tentu saja aku tahu jika aku sedang diikuti ataupun sedang terancam. Aku langsung menyatukan alisku untuk fokus sembari terus berjalan. Aku tahu orang itu terus mengikutiku.
Ketika sampai di dekat jalan yang lumayan sempit, aku pun berhenti. Namun, sepertinya dia terus berjalan untuk mendekatiku. Aku langsung berbalik dan menendang perutnya.
"Mau apa kau, hah?" tanyaku dan aku berdiri tegap lagi. Dia terduduk di bawah dan tersenyum miring padaku. Aku mengernyit dan dia langsung berdiri.
Ya ampun, ini Seth. Tetanggaku!! Dia tetanggaku yang selalu mabuk-mabukan dan aku sangat risi dengan sikapnya yang selalu mendekatiku. Entahlah, aku tak ingin berurusan dengannya. Namun, ketika dia tak mabuk...dia sebetulnya orang yang baik.
"Hah... Kau menendangku, eh? Ayolah Vio... Kita bisa bersenang-senang," ujarnya, lalu dia mendorongku hingga tubuhku terimpit ke batang pohon besar yang ada di pinggir jalan kecil itu. Dia mendekapku dan sial! Aku ingin muntah tatkala mencium aroma bajunya yang bau alkohol!
"Seth—kau mabuk!! Menjauhlah dariku!!"
"Hei, kita bisa bersenang-senang... Oh c'mon, Baby, you are so beautiful... Do you know that, hmm?" katanya dengan nada yang menyebalkan.
Aku menggeliat minta dilepaskan, lalu memegangi lengannya agar aku bisa mendorongnya. Aku juga mencoba untuk mendorong dadanya. SIAL! Mengapa dia kuat sekali? Tidak biasanya aku kalah dengan pria, kecuali dengan Justin! Apa ini? Apa karena Seth mabuk?
"Kau tidak akan bisa kabur, Vio..."
"SETH!!! OH PLEASE, C'MON SETH! YOU'RE OUT OF YOUR MIND!!! SETH!!!!! KAU—"
"Lelaki bajingan dengan bau badannya."
Aku terlonjak. Suara siapa itu? Mengapa terdengar familier di telingaku? Aku langsung menoleh ke samping, begitu juga Seth.
"JUSTIN?!!!" teriakku. Oh, pantas saja kata-kata yang tadi itu terdengar menyebalkan. Namun, mengapa pria ini ada di sini?!!
"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI, HAH?!!" teriakku, tetapi dia tak sedikit pun menoleh ke arahku. Dia hanya menatap dengan tatapan dingin ke arah Seth. Setelah itu, kulihat Seth tersenyum miring, melepaskan pegangannya dariku. Tubuhku nyaris saja oleng, tetapi aku berhasil berdiri dengan tegap kembali. Aku menghela napas lega, lalu menarik oksigen sebanyak mungkin. Sial, aku hampir mati, kurasa.
Seth langsung maju mendekati Justin yang berdiri sekitar tiga meter di samping kami. Lumayan jauh, tetapi Seth mendekati Justin dengan langkahnya yang oleng. Justin hanya berdiri diam di sana tanpa ekspresi.
Ketika Seth sampai di sana, Seth langsung saja mencoba untuk memukuli Justin. Berkali-kali, tetapi semua pukulannya ditangkis oleh Justin. Semua pukulannya gagal dan akhirnya Justin membalasnya dengan satu kali pukulan yang langsung membuat Seth terjatuh di aspal. Aku menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Namun, aku tak heran karena Justin dulunya adalah mantan anggota Red Lion, sama sepertiku. Dulu, Justin adalah yang selalu diandalkan oleh ketua kami. Aku hanya tercengang saat melihat tetanggaku sudah terkapar di jalan. Apa kata Pamanku nanti?
"Ju—Justin, di—dia tetanggaku," ujarku dengan gagap. Dia hanya menghela napas samar dan menaruh kembali tangannya di dalam saku celananya. Dia sekarang sudah memakai jas. Dia sudah rapi, tidak seperti ketika di apartemennya tadi. Tadi, di rumahnya, dia hanya memakai kaus putih polos dan celana piama panjang berwarna abu-abu. Dia terlihat imut dan polos sekali jika seperti itu. Namun, ketika dia memakai jas, sosoknya jadi terlihat berubah 180 derajat dan kekejamannya semakin kentara.
"Pantas saja tingkah lakunya sama sepertimu." Dia berujar seenaknya. Kontan mataku terbelalak. Dengan langkah yang seperti kesetanan—dan napas yang berembus bak banteng yang mengamuk—aku lantas mendekatinya yang sekarang sudah berbalik berjalan memunggungiku dengan santai. Aku langsung menghampirinya dengan cepat dan hell! Mengapa aku masih tak bisa menyamai langkahnya?
"APA KAU BILANG? SAMA DENGANKU?!! KATAKAN SEKALI LAGI, MR. ALEXANDER!"
"Hmm."
SIALAN!!
"JUSTIN!!!!!" teriakku dan aku berlari lagi sekencang mungkin hingga akhirnya aku sampai di depannya, menghadang jalannya dengan kedua tanganku yang terbentang lebar. Aku berada tepat di depannya. Namun, dia hanya menaikkan sebelah alisnya padaku.
Tanpa berkata apa pun, dia melewati bentangan tanganku—yang sedang menghadangnya itu—lalu dia berjalan dari samping. Aku lantas membulatkan mataku.
Dia sudah melewatiku dan sudah berjalan di depanku lagi. SIALAN!
"HEI, JUSTIN!!!!!! Oh shit," umpatku sembari berdecak. Aku langsung berlari lagi. Sekarang aku telah berjalan di dekatnya, mungkin hanya satu jengkal di belakangnya karena aku mendekatinya hingga nyaris menempel. "HEI, TUNGGU AKU!!! Setidaknya ceritakan padaku mengapa kau bisa ada di sini!!!"
Dia hanya diam.
"JUSTIN! KAU DENGAR AKU TIDAK, 'SIH? BAGAIMANA CERITANYA KAU BISA KEMARI, HAH?! BUKANKAH KAU BERGELUT DENGAN SELIMUTMU DI DALAM KAMARMU?!"
Dia berbalik. Menatapku dalam tatapan dinginnya.
"Diam, Nona Violette. Apakah sopan mengatakan bahwa atasanmu bergelut dengan selimutnya? Dan lagi, jangan membuatku malu dengan kau yang berjalan menggunakan kaki telanjangmu serta tanpa kendaraan."
Aku memelototinya kesal, terlampau dongkol dibuatnya. "MOTORKU— ERGH. Okay. Cukup dengan itu. Hak sepatuku patah DAN AKU TAK BISA NAIK TAKSI KARENA UANGKU HABIS. SUDAH PUAS, MR. ALEXANDER?"
"Aku puas jika kau diam," katanya singkat. Sialan. Bukankah tadi dia mengejekku seolah-olah ingin mendengar penjelasan dariku? Jadi, apa ini? Tanggapan sialan seperti ini selalu kudapatkan darinya ketika aku mencoba untuk menjelaskan. Dia ini manusia atau bukan?
Akhirnya, karena dongkol dan naik pitam sendiri, aku pun diam. Merasa bahwa aku sudah lelah dan aku tak mau pingsan di jalan hanya karena tambah lelah akibat melawan dirinya.
Setelah lama berjalan, aku pun tersadar. Mengapa aku mengikutinya?
Oh. Ini karena aku marah padanya tadi.
"Karena kau dengan lancangnya mengikutiku, maka kau harus mengikutiku sampai aku selesai," ujarnya.
Aku membelalakkan mata. Dia bahkan berbicara tanpa repot-repot berbalik menatapku.
"Ke—ke mana?!!!" teriakku kaget.
"Ke sebuah club yang ada di dekat sini."
Hah?
Club?!
APA LAGI YANG AKAN PRIA INI LAKUKAN, EH? Mengapa semua yang ia lakukan selalu sukses membuatku emosi?! []
ns 15.158.61.6da2