
"Ahaaahhh ... aahhhh!!"
Tubuh Bu Alvi bergetar tak karuan. Kakinya semakin kaku, terus gemetar. Dadanya makin membusung. Tentu saja, memeknya semakin kencang dan merapat.
"Akkhhh ... Bu Alvi!"
"Bentar Sayaaangg ... aahh aaahh!" Tangan Bu Alvi menahan perutku. Pundaknya terangkat. "Aaaahhhh!"
"K-kenapa, Bu?"
"Cabut ... cabut dulu, Sayang."
Aku menurutinya dengan bingung. Bu Alvi menekan siku ke kasur untuk bangkit duduk. Kemudian tangannya bergerak gesit untuk menarik kaosku ke atas. Kini kami benar-benar telanjang bulat.
Aku berpikir Bu Alvi hanya ingin menelankangiku. Ketika aku ingin mendorong pundak wanita itu untuk kembali berbaring dan kugenjot.
Namun, Bu Nolan malah terkekeh. "Ganti posisi," katanya.
Masih dalam kebingungan, Bu Nolan berdiri dan menghampiri lemari. Dia memandangku melalui pantulan kaca. "Biar makin pinter genjotannya, kamu belajar posisi baru, ya." Bu Nolan merapatkan diri ke cermin, menempelkan toketnya ke kaca itu sampai toket besar dan empuk milik Bu Alvi jadi gepeng.
Mataku terbelalak melihat pantulan toket di cermin. Entah kenapa rasanya makin seksi dan menggoda.
Bu Alvi mengangkat sedikit bokong, menggoyangkannya. "Ayo Sayang ...."
Aku tak bisa menahan lagi.
Cepat-cepat kudekati tubuh Bu Alvi. Dalam posisi ini, aku mampu melihat kedua lubang bawah Bu Alvi, memek dan anus. Kumasukkan ke memeknya yang berkilat basah, ia mendesah panjang, tangannya terkepal di badan lemari.
"Aaaaaahhhh ...."
Ketika kutarik pinggulku dan kuhentakkan kembali, terdengar suara keras.
Plookkk ....
Dan bokongnya bergelombang berbareng jerit kenikmatannya. "Aauuhh!"
Kulakukan lebih keras.
Plookk ... Plookk ... Plookk ....
"Aaahh ... aahh ... aaahhh!"
Desahan nikmat dan manja terus terdengar. Bu Alvi sengaja mengeraskan suaranya, sesekali bernapas terengah-engah.
Mereka saling tatap melalui cermin. Bu Alvi tersenyum lemah. Senyum bergairah. "Terus, Nak ...."
Dengan napas memburu, kucengkeram bokong besar Bu Alvi lantas kugenjot sekuat tenaga.
"Ibuu ,aaahh!" Satu genjotan. "Aaahh!!" Dua genjotan. "Ibuu ... ibuu ... aahh aahh!!" Sepuluh genjotan.
"Aauuww ... aahh ... aahh ... Iya, Nak, aaahh! Enak sayaaangg!"
Bu Alvi memejamkan mata dalam upaya menikmati setiap genjotan kontol panjangku. Makin lama aku menggenjot makin cepat, kini terasa makin natural dan mudah.
Bokong Bu Alvi yang putih bersih telah memerah karena terus berbenturan dengan pinggangku.
"Aahh .. Aahhh ... Bu Alvii ... Bu Alvii!!"
"Iihh Saayaaangg!"
Dengan kupanggil namanya berulang-ulang, sepertinya Bu Alvi jadi makin terangsang.
Keringat membuat punggung Bu Alvi berkilat, aku tak tahan lagi melihatnya. Kusibak rambutnya yang panjang ke samping, lalu kuciumi belakang lehernya.
"Uuhh ... haaahhh ...." Lidah Bu Alvi terjulur, napasnya terengah. "Pukul ... tampar ... ayo tampar, Nak ...."
"Eh?" Aku kembali menjilati punggung Bu Alvi. "Tampar ...?" Kembali kujilati.
"Tampar bokong Ibu yang keras, Naaakk!"
Aku teringat di adegan porno sering melakukan hal itu. Dengan senyum miring, kepercayaanku terbang tinggi. Aku mengangkat tangan kanan, dan dengan sekuat tenaga kutampar bokong kanan Bu Alvi.
Plaaakk!!
"Aahh!" Jerit Bu Alvi.
Plakkk!
"Ouuhh!"
Plakk ... Plaakk ... Plaakk ....
"OOUUHHH ... AAHHH!!!"
Dengan bertambah merahnya bokong Bu Alvi, dia semakin menggila. Kini dia bahkan menggerakkan sendiri pinggangnya maju mundur.
Plaakk ... Plaakk ... Plaakk ....
Dengan dua tangan aku terus menampari kedua bokong Bu Alvi.
"Terus, Nak ... Teruuss ... Aahh aahh iyaaahh!"
Tiba-tiba, masih terus bergerak sendiri, punggung Bu Alvi melengkung ke atas. Kakinya gemetaran dan lututnya semakin berdekatan satu sama lain.
Ini membuat jepitannya makin keras.
"Eeghh ... eemmhh ...."
Desahan Bu Alvi makin lirih. Dia sedang menahan sesuatu.
"Ibu mau crot lagi?" Kutatap wajahnya yang memejamkan mata dari pantulan cermin. Toket penuh keringat itu membasahi cermin dan sungguh pemandangan memukau. "Bu?" ulangku saat ia tak menjawab.
"Aahh ... aaahhh ...." Desahannya makin panjang, gerakannya terhenti. Napasnya makin cepat pula.
Segera kupegang pinggang Bu Alvi dan kugenjot keras.
"Aaakkkhhh!" Bu Alvi terbelalak. "Nolan ... Nolan aaaahhhh!!!"
Aku menggenjot makin keras.
Plookk ... Plookk ... Plookk ....
"Aaahhh kencing!!!!!!"
Aku mencabut kontolku, tubuh Bu Alvi bergetar tak karuan dan ....
"Aaaaahhhhh!"
Dari memekny, mengalir air bening yang menembak keras. Bokong Bu Alvi bergerak naik turun pada saat itu.
Belum selesai "kencing" nya, karena sudah tak tahan, aku kembali menyodok.
Plaaakkk!
Setelah satu kali menampar bokong, kembali kugenjot keras.
"Aaahh ... aaahh ... bentar ... sebentar say—aaaaahhhhh!!!"
Bu Alvi melotot dengan bola mata ke atas.
Sebentar saja, setelah beberapa sodokan, aku merasakan dorongan hebat untuk segera crot. Genjotanku kupercepat.
"Nolan ... Nolan ... Aahh ahhh!!"
"Ibuu aku croott!!!"
"Aahhhhh!!!"
Berbareng dengan lengking panjang itu, kucabut kontol dan menembaklah sperma putih ke punggungnya yang berkilat oleh keringat.
"Aahhh aahh ahh ...."
Aku mengocok kontolku sampai tetes sperma terakhir.
Tubuh Bu Alvi masih gemetar, kedua lututnya menempel. Dia memandangku dari cermin dengan napas terengah-engah. Sebentar kemudian ia tersenyum.
"Nikmat banget, Nak ...."
__________
Seperti yang sudah dijanjikan, aku dan Widya bertemu di Burjo Langgeng besok malamnya. Pagi tadi Pak Wan ada di rumah, jadi aku tak bisa berkeringat bersama dengan Bu Alvi.
Beberapa menit menunggu, seseorang menepuk pundakku.
"Eyy!"
Widya sudah datang.
Dia tak langsung duduk di depanku melainkan lebih dulu memesan sesuatu. Ia kini mengenakan kaos oblong lengan pendek dan celana jeans ketat. Dari belakang, bokongnya tampak menggoda.
Tak lama kemudian dia duduk di hadapanku. "Udah lama?"
"Belum, baru aja dateng."
Widya meletakkan tas selempang kecil dan HP nya ke meja. "Nunggu pesenan gue dateng dulu, ya." Ia tersenyum. "Biar yang nganterin nggak ikut dengerin obrolan kita."
Aku setuju dengan itu.
Kurang lebih lima menit, kami hanya mengobrolkan hal-hal acak yang lewat di kepala. Entah itu tentang kehidupan kampus, kehidupan sekolah dulu, atau kehidupan di luar kampus. Beberapa kali Widya tertawa kecil, hanya pada saat tertawa inilah sisi feminisnya sedikit keluar.
Beberapa saat kemudian, pesanan Widya berupa nasi goreng datang. Dia pun juga memesan es teh manis yang sudah datang beberapa menit lalu.
Sambil dia makan, kita memulai obrolan.
"Jadi gimana?" tanyanya.
"Gini, sebenernya gue juga bingung, Wid."
Gadis itu menaikkan alis. "Bingung kenapa?"
"Yaelah, lo kan punya Vino, gue takut hubungan ini bisa ketahuan."
Widya tampaknya mulai memikirkan hal ini pula. Tangannya berhenti menyuap. "Jadi gimana dong? Gue takut banget dia ninggalin gue."
"Gue takut pas kita lagi latihan, ketahuan sama dia."
"Latihan." Ulang Widya memutar bola mata. "Elo juga dapet enak, Anjing."
Kugaruk belakang kepala yang tidak gatal. Ucapan Widya memang sudah kasar sejak SMA dahulu. "Dia udah tahu tempatmu?"
"Ya jelas udahlah, pertanyaan aneh." Widya menyuap lagi. "Gue nggak mau kalau harus ke hotel atau penginapan. Harus bayar."
"Ya gue juga nggak mau. Habis uang gue nanti." Aku meminum minuman pesananku beberapa teguk. "Nggak kepikiran tempat lain lo?"
Jelas sekali Widya tak berusaha untuk berpikir ketika menggeleng cepat. "Nggak."
Aku mencoba memikirkan tempat-tempat yang cocok untuk latihan ini. Cukup lama, mungkin dua sampai tiga menit aku menemukannya. "Gimana kalau—"
"Gue juga nggak mau kalau harus di kebon atau pinggir sungai, kayak tarzan aja, cok."
Aku langsung bungkam.
Widya melanjutkan. "Di kos lo aja deh kalo gitu. Bisa?"
"Enggak," jawabku tanpa berpikir dua kali. Tentu saja tidak bisa. Bagaimana kalau ketika proses latihan itu, Pak Wan pergi dari rumah? Tentu Bu Alvi akan datang ke kamarku.
"Udah rumah gue aja, ortu gue sibuk banget jadi jarang pulang ke rumah, aman."
"Tapi Vino?"
"Yaelah, kenapa khawatir sama Vino? Dia kalau mau mampir juga ngabarin, Lan."
"Yakin?"
Suapan Widya terhenti sesaat. "Yakin, kok."
Keningku berkerut, aku merasa semakin tak yakin.
Namun, di sisi lain aku juga tidak ada pilihan tepat untuk tempat lain yang bisa khusus untuk kami berdua. Jadi, aku mencoba memaksa diri untuk yakin.
"Oke, deal. Aku mau bantu lo," kataku yang membuat senyum Widya mengembang. "Kapan latihan pertama?"
"Secepatnya."
"Secepatnya itu kapan?"
"Malam ini ortu gue nggak pulang."
Aku terbelalak. Yang benar saja!
"Tungguin nasgor gue habis." Widya menyuap cepat-cepat. "Habis itu ke rumah gue, ngentot."
Fantasiku langsung berkelana. Malam ini akankah aku melihat tubuh telanjangnya?
ns 15.158.61.55da2