– 1999 –462Please respect copyright.PENANAbzYJFDNLT5
Seruan untuk mengajak umat Islam untuk menunaikan sholat maghrib telah berkumandang pada malam itu. Seperti biasa, aku dan beberapa sahabatku sudah bersiap untuk mengikuti kewajiban untuk sholat berjamaah di surau, satu-satunya tempat untuk beribadah umat Islam di desa. Semenjak Ayah memutuskan untuk tinggal di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota dan menjadi Kepala Desa pertama di wilayah Trans- tempat tinggal untuk para transmigrasi dari luar Kalimantan, di mana masyarakat yang tinggal masih bisa terbilang sedikit. Disana jauh berbeda dengan desa yang pernah aku datangi, maklum mungkin masih bisa disebut hutan belantara dengan tanpa akses jalan yang baik, jauh dari kota dan juga kalian akan melihat di sepanjang mata memandang hanyalah pepohonan yang rimbun. Selain Ayah dan Mama, aku mempunyai adik perempuan bernama Icha yang menginjak umur 4 tahun. Entah apakah keluarga kami bisa dibilang keluarga bahagia seperti kebanyakan orang menggambarkan keluarganya sendiri, yang aku tau, cukup bagiku untuk masih mempunyai keluarga utuh dan bisa merasakan masa kecil yang bahagia.
Seperti kebanyakan anak pada umumnya, aku juga merasakan masa kecil yang hingga sekarang tidak bisa terlupakan. Disini aku mempunyai enam teman yang setiap harinya memang selalu bersama-sama, mungkin itu karena memang hanya sedikit anak seumuran yang tinggal di lingkunganku. Kami selalu bersama-sama, mulai dari berangkat sekolah, sekelas, pulang sekolah, bermain, dan mengaji. Jika aku tidak sedang bersama mereka, aku akan menghabiskan waktu bermain bersama adikku atau kadang kala aku bermain sendiri di belakang rumah, lebih tepatnya hutan belakang rumah. Hei, bukan hanya kalian saja yang mempunyai 'arena' bermain yang extrim, aku pun punya. Ya, hutan itu menjadi wilayah kekuasaanku, oh maaf, maksudku sebagian hutan di belakang rumahku. Ada salah satu pohon besar yang menjadi rumah keduaku, Ayah membuatkan rumah pohon untuk tempat bermainku. Hal biasa bagi kami, anak desa, jika melihat ataupun berpapasan dengan binatang hutan seperti ular ataupun babi hutan saat bermain. Pernah waktu itu aku sedang asik bermain petak-umpet, salah satu teman kami yang bertugas berjaga berteriak kegirangan, bukan karena dia berhasil memenangkan permainan tetapi karena dia berhasil menemukan ular sendok dan naas bagi si ular tersebut karena bertemu dengan tujuh anak ingusan yang lebih senang berburu dibandingkan bermain layaknya anak-anak seharusnya. Apa yang kami lakukan pada ular sendok itu? Tidak banyak, hanya memamerkannya dengan cara mengarak-araknya ke anak-anak lain sehingga mereka menangis ketakutan. Bagi kami tidak ada lagi hal yang bisa membuat ketakutan, binatang hutan ataupun mengeksplor tempat yang orang dewasapun mungkin tidak pernah tau. Hingga suatu hari, pendapat kami terbantahkan dan menjadikan kami ketakutan, sampai saat ini pun jika aku membayangkannya.
*****
Malam itu, aku lupa kapan tepatnya, seperti rutinitas biasa kami bersama anak-anak lain pergi mengaji di surau. Tidak ada hal yang aneh pada saat itu, hanya saja entah kenapa perasaanku menjadi lebih waspada.
"Ada apa Tha?" tanya Musi
Oh, aku lupa memperkenalkan keenam teman kecilku ini. Kelompok kami terdiri dari aku, Musi, Adam, Lina, Wawan, Andi dan Lasmi. Tiga anak gadis yang berlagak seperti jagoan dan empat pengawal setia. Kombinasi yang membuat lingkungan tempatku resah karena kelakuan yang membuat geleng-geleng kepala.
"Enggak apa-apa, hanya perasaan aku saja" jawabku sambil tersenyum. Aku hanya tidak ingin membuat teman-temanku merasa bingung. Akhir-akhir ini memang perasaanku sedang tidak menentu, seperti sedang diawasi, dibuntuti tetapi yah mungkin hanya imajinasiku yang sedang tinggi-tingginya. Sekali lagi aku mengatakan itu pada diriku sendiri.
"Masih merasa diikuti?" tanya Lasmi dengan kekhawatiran.
"Iya, tapi aku enggak tau." jawabku sambil melihat keluar jendela surau.
Obrolan kami pun terpotong saat guru mengaji kami memberitahukan waktu mengaji kami telah usai, kami bergegas untuk bersalaman dan keluar dari surau. Sebelum aku beranjak keluar dari surau, guru mengajiku berkata padaku.
"Tha, kalian pulang mau diantar sama bapak?" tawar beliau
"Enggak usah pak, kita kan biasa pulang sendiri" jawab Adam
"iya sudah, kalian hati-hati ya di jalan, jangan lupa untuk sholawatan, jangan bercanda di jalan nanti ya." Kata beliau dengan muka serius.
Memang sudah biasa beliau berpesan seperti itu, tetapi entah kenapa malam itu perasaanku bilang kalau itu tidak biasa.
Selama perjalanan pulang kami tidak lupa untuk membaca sholawat seperti yang diminta oleh guru mengaji, ya hitung-hitung untuk menghilangkan rasa sunyi malam hari. Bayangkan, sepanjang jalan yang dikelilingi hutan dan diterangi cahaya yang hanya berasal dari obor kami, suasana malam itu- atau malam-malam sebelumnya, menambah tantangan uji nyali kami. Walaupun jalan setapak ini sudah menjadi jalur setiap hari yang harus kami lalui tetapi tetap saja masih mengerikan jika dilalui seorang diri. Di jalan setapak ini, terdapat banyak sekali jembatan kecil untuk air mengalir yang berasal dari ladang warga setempat, jadi tidak heran jika sepanjang jalan kami akan melewati 6 sampai 7 jembatan. Rumah kami pun bisa dibilang berdekatan, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah ke rumah. Kami sudah melewati jembatan yang ketiga, yang berarti rumah Lina sudah dekat. Urutan rumah kami itu yang pertama sampai adalah Andi, Lina, Lasmi, Adam, Musi, dilanjut Wawan dan yang terakhir adalah aku. Ini sih seperti mengantarkan mereka sampai ke depan rumah, dan yang lebih mengesalkan adalah aku orang terakhir yang sampai, karena rumahku berada di paling ujung jalan. How fun is that? *sarcarm*
Setelah melewati jembatan keempat, kami berlima mulai merasa sudah waktunya untuk sholawatan dengan lebih keras, maklum dibakar oleh rasa ketakutan dan juga berkurangnya personil membuat kami lebih ciut dibanding sebelumnya. Mulai melewati jembatan yang keenam, perasaanku semakin tidak menentu dan perasaan takut karena sesuatu semakin lama semakin menjadi. Apalagi sekarang hanya bersisakan aku, Musi dan Wawan saja.
"Eh itu apa?" seru Musi sambil menunjuk ke arah samping kanan jembatan.
"Ada apa? Yang mana?" tanya Wawan dengan antusias.
Ini dua anak sepertinya minta di getok kepalanya, ucapku dalam hati.
"Itu, ada kain tuh di pohon pisang. Punya siapa ya?" tanya Musi
"Orang-orangan sawah mungkin Mus" jawab Wawan
"Masa iya orang-orangan sawah tapi gak ada tali pengikat gitu?" sanggah Musi
"Sumpah ya kalian, mending cepetan pulang ah, udah malam ini" rengekku
Akhirnya mereka berdua mengiyakan rengekanku dan lanjut berjalan melewati pohon pisang yang berada di jembatan terakhir sebelum dekat dengan rumah kami itu. Sesaat kami hendak melewati jembatan itu, mataku yang sedari tadi aku tahan agar tidak menoleh ke arah pohon pisang tersebutpun akhirnya terkalahkan oleh rasa penasaran tentang kain yang tadi dilihat oleh Musi. Dan seketika jantung terasa berhenti, darah serasa hilang entah kemana. Dan lebih parah lagi dari semua itu, kakiku tidak mampu untuk bergerak, jika keadaannya banyak orang mungkin aku memilih untuk pingsan atau sekalian saja menangis sejadi-jadinya.
"Tha, hei Tha, kenapa?" tanya Wawan sambil memegang tanganku.
Mereka berdua berusaha memanggilku yang sedang berdiri diam diantara mereka.
"Tha, itu muka kamu pucat. Kenapa?" tanya Musi lagi
"Kamu lihat apa Tha?" berulang-ulang Musi dan Wawan bertanya ada apa sebenarnya.
Aku tidak mampu, atau lebih tepatnya tidak mau, menjawab semua pertanyaan mereka. Segera setelah tersadar aku akhirnya berlari meninggalkan mereka sambil membaca doa yang aku tau, apapun, agar yang tadi aku lihat hilang dari pikiranku. Aku sadar mereka juga berlari mengejarku, aku tidak perduli, aku mau pulang!
Sesampai di depan rumah, aku menggedor daun pintu sejadi-jadinya agar mama membukakan pintu secepatnya, aku takut diluar, takut sendirian. Aku menangis sejadi-jadinya di depan rumah dan sesudah mama membukakan pintu aku berlari masuk kedalam kamar mama, secepatnya bersembunyi di bawah kelambu dan selimut.
Dengan kaget melihatku seperti itu akhirnya mama pun bertanya "Kamu kenapa Tha?"
Aku yang tidak menjawab pertanyaan mama, hanya menangis didalam selimut, berharap itu hanya imajinasiku saja. Imajinasi yang hanya dibuat oleh pikiran penakutku. Aku tidak melihat 'itu'! Tetapi apa yang aku lihat itu seakan nyata, seakan bukan imajinasiku saja. Aku pun mulai mengingat kembali tentang apa yang aku lihat tadi.
Wajah yang mengerikan. Hitam legam dan kulit mengelupas seperti terbakar. Badan yang dibungkus hanya oleh kain putih meskipun warnanya bukan putih bersih, kotor dan bernoda tanah. Tetapi yang tidak bisa aku lupakan adalah matanya. Mata merah seperti dipenuhi oleh amarah. Mata itu yang membuatku takut untuk bergerak, mata itu pula yang membuat tubuhku berteriak untuk melawan rasa takut dan berlari sekencang-kencangnya.
DUK, DUK, DUK
Seketika kami dikejutkan oleh suara pintu digedor. Dirumah hanya ada aku, mama dan adikku yang sedang tertidur pulas, sedangkan ayah sedang berada diluar kota. Gedoran itu semakin menjadi-jadi sehingga aku berpikir kalau-kalau ada yang berusaha untuk membobol pintu depan. Mama yang sepertinya sudah mulai bisa membaca situasi yang sedang terjadi akhirnya memutuskan untuk membiarkan siapapun atau apapun yang berusaha menggedor pintu depan.
DUK, DUK, DUK
Gedoran itu berlanjut dan anehnya, hanya tiga kali di setiap selang waktunya. Suara itu seperti bukan suara dari ketokan tangan, tetapi lebih seperti suara yang berasal dari tendangan atau, sundulan kepala. Tidak ada yang berani untuk bersuara dan aku pun berusaha menahan tangisan yang kapan saja siap untuk keluar dari mulutku.
Tok, tok, tok
"Assalamu'alaikum" seru seseorang yang mengetok pintu depan.
"wa'alaikum sallam" jawab mama sambil berjalan kearah pintu depan.
Sesaat aku mendengar suara yang ku kenal mendekati kamar mama.
"Mitha, kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya guru mengajiku.
"Mitha takut pak!" jawabku sambil menangis di pelukan guru mengajiku itu.
"Itu tadi apa pak?" tanya mama yang sedari tadi mungkin penasaran tentang tamu yang menggedor pintu rumah kami
"Bukan apa-apa bu. Tapi nanti kalau misalkan ada yang ngetok tapi gak ucap salam, gak usah dibukain ya bu." ujar beliau.
Mungkin beliau tau. Mungkin beliau sengaja untuk datang ke rumahku. Tetapi yang tidak aku mengerti, bagaimana beliau tau? Sejak kapan? Terus yang tadi itu apa?
Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku berada dirumah. Tempat yang aman untukku, meski bayang-bayang tentang 'sesuatu' yang aku lihat di perjalanan pulang tetap tidak mau hilang dari pikiranku, setidaknya ada orang rumah yang bisa membuatku lebih tenang untuk tidur.
Selepas guru mengajiku itu pulang, aku terlelap di atas kasur dengan di-ninabobo-kan mama yang sedang membaca Al-Quran.
ns 15.158.61.44da2