Manik hitam dengan bulu mata lentik itu berpendar ke seluruh sudut ruangan. Rak putih yang penuh dengan buku berdiri gagah di sisi ruangan dekat jendela besar yang menampakkan panorama ibu kota. Ivy memandang ke luar jendela, terus berdzikir semoga ia bisa melupakan beban hidupnya sejenak.
Di depannya ada meja penuh berkas dan sebuah kursi putar yang membelakangi jendela. Matanya beralih ke sisi ruangan lain, ada lemari kaca berisi piala dan piagam.
Tangannya bergerak menyentuh globe, memutar-mutar malas. Sudah setengah jam lamanya ia duduk di sini, tapi masih belum bertemu orang itu.
Kemana pemilik ruangan ini?
Tubuhnya sudah sangat lelah menunggu. Gadis itu menengok kesana-kemari, ia baru menyadari ada sofa putih lengkap dengan permadani di dekat pintu. Ingin sekali rasanya ia tiduran di atas benda empuk itu.
Napas panjang ia hembuskan, matanya memejam sembari melisankan pujian pada Allah. Tiba-tiba saja pintu terbuka, masuklah seorang pria sekitar empat puluh tahunan berjas hitam dengan kemeja putih.
Setelah duduk di kursi kebanggaannya, ia langsung mematut layar laptop. Mata itu bergerak membaca tulisan di sana, menyuarakannya pada gadis berpakaian tertutup berwarna senada dengan hijab.
“Halivyna Vidiaratty, dipanggil Ivy, kelahiran 1 Maret di Jakarta. Lulusan SMP tahun ini. Tempat tinggal Surabaya.”
Ivy menunduk dalam kala pria berjas hitam meniliknya dengan tatapan menghunus. Sorot mata tajam itu membuat keringat dingin bermunculan di dahi gadis ini. Dengan tangan bergetar, ia meremas kuat gamis longgarnya. Helaan napas panjang terdengar jelas di telinga Ivy.
Pria itu tengah mengurut pangkal hidung dan memejamkan mata. Ivy kembali menunduk, tak berani membalas tatapan orang yang kini memerhatikannya lagi.
“Tak ada pekerjaan untuk anak lima belas tahun. Maafkan saya, Nak.”
Sederet kalimat terucap dari pria itu. Dia kembali fokus pada layar laptop, sepertinya tengah membaca sesuatu.
“Saya punya putri seumuranmu. Kebetulan hari ini dia ulang tahun. Kamu mau kan datang ke pestanya di Aula lantai satu?”
“Saya tahu kamu belum ada tempat tinggal. Untuk semalam saja, kamu bisa beristirahat di salah satu kamar hotel ini. Saya tak tega membiarkanmu berkeliaran malam-malam di tengah kota.”
“Dan jika kamu mau, datanglah ke acara ulang tahun anak saya. Tolong terima ini sebagai permintaan maaf saya, karena tidak bisa menerimamu bekerja di hotel ini.”
Perlahan, kalimat panjang itu berhasil membuat Ivy mengankat wajahnya. Raut ketakutan tadi berubah menjadi wajah penuh kelegaan. Ternyata dugaannya salah. Ia dibawa ke sini hanya untuk bekerja di hotel. Bukan dijual untuk melayani para lelaki seperti yang biasa ia temui di film dan novel.
“Saya mohon terimalah ini, kamu sudah seperti putri saya. Terimalah semuanya, sebagai tanda bahwa kamu memaafkan saya,” bujuk pria tadi untuk yang ketiga kalinya.
Ivy meringis bimbang seraya melirik sebuah amplop di meja. Pria di hadapannya ini ternyata sangat baik, ia menyesal telah berprasangka buruk.
“Ambillah, Nak. Karena kamu akan membutuhkan uang itu.”
“Benar aku memang membutuhkan uang itu,” batin Ivy sambil menghembuskan napas pelan. Ia mengangkat kepala dan mengangguk seraya melempar senyum.
Pria berjas, melepas kacamata bacanya. Tersenyum lebar pemberiannya diterima. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
“Ini kartu nama saya, kunci kamar lantai sepuluh nomer 989. Ambillah dan saya berharap kamu menerimanya.”
Untuk kessekian kalinya, Ivy mengehela napas berat. Wajah berbalut hijab itu mendongak, lalu menyimpan kartu nama–yang sempat dibacanya–beserta kunci juga amplop pada tas selempang putih yang ada di pangkuan.
“Jangan lupa datang ke acara ulang tahun anak saya jam delapan malam.”
Ivy mengangguk, menyanggupi undangannya, lalu mengucap terima kasih. Membalas senyum pria bernama Tian. Setelah itu ia berlalu dari ruangan membawa koper biru juga tas putih di bahunya.
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
Pukul lima sore, langit jakarta masih terang. Jika sedang di Surabaya, saat ini matahari sudah bersiap pergi dengan memberi keindahan cahaya jingganya sebagai salam perpisahan.
Ivy bangkit dari duduk, membuka pintu kaca yang membatasi kamar dengan balkon. Semilir angin sore menerpa wajah dengan penuh kelembutan. Hijab biru yang masih dikenakannya bergerak seirama dengan udara.
Perpisahan dengan kota Surabaya, tak meninggalkan kesan bahagia bagi gadis itu. Malah sebaliknya, bahagia seperti apa yang ia harapkan? Jika ia sendiri tak pernah menemukan kebahagiaan semenjak tinggal di kota pahlawan itu.
“Jangan pernah kembali kesini.”
Kalimat terakhir, anggap saja sebagai salam perpisahan yang terucap dari mulut Nanik, Ibu angkatnya. Ivy tersenyum miris mengingat segala pengakuan mengejutkan dari wanita yang selama ini ia cintai. Semuanya semakin jelas semenjak sehari sebelum keberangkatannya ke Jakarta.
“Jadi, bibi menginginkanku untuk ikut dua rentenir tadi?”
“Tentu, kalau saja almarhum suamiku tidak mewasiatkan padaku untuk menjagamu. Seharusnya sejak lima tahun lalu, kau sudah ku usir dari sini.”
Kecewa, sesak, juga sedih bercampur jadi satu. Dan kini ia tahu alasan Nanik enggan dipanggil ibu olehnya, karena memang ia tak pernah menginginkan keberadannya di rumah itu.
Hadiwijaya, suami Nanik, ia adalah seorang pengusaha kaya. Pria itu penolong Ivy disaat ia tidak memiliki siapa-siapa. Hadi memutuskan untuk merawat Ivy bersama di rumahnya hingga gadis kecil itu dewasa. Ia sungguh menyayangi orang yang kerap dipanggil ayah oleh Ivy.
Mendapatkan keluarga baru. Ivy kecil merasa kebahagiaannya telah kembali bersama datangnya keluarga Hadiwijaya dalam hidupnya. Gadis kecil itu semakin girang, saat ia tahu bahwa akan ada kakak perempuan yang dipikirnya bisa ia ajak bermain. Namanya Tiana Hadiwijaya, anak kandung Hadi.
Waktu terus berjalan. Setahun sudah dia tinggal di rumah Hadiwijaya dengan suka cita. Namun, kegembiraan yang dimiliki Ivy kecil lenyap, disaat Hadi meninggal dunia.
Selama lima tahun terakhir perlakuan buruk terus saja diterima olehnya. Titik puncaknya adalah saat ini. Dimana ia diberlakukan seperti barang. Diserahkan pada orang lain untuk melunasi hutang yang Nanik punya.
Andaikan kecelakaan enam tahun lalu tak pernah menimpa keluarganya. Andai Allah masih mengahadirkan orang tuanya. Mungkin saat ini ia tak perlu merasakan kepedihan hidup.
Astagfirullah...
Ivy tersadar, sudah dua kali dirinya menyalahkan takdir Allah. Gadis itu beranjak dari balkon menuju kamar mandi untuk berwudhu. Semoga setelah bertemu pada Dia bisa membuat pikiran dan benaknya kembali tentram.
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
“Gak, Pa. aku gak mau dateng ke sana. Males,” jawab seorang pemuda.
“Gak ada penolakan, atau semua fasilitas punya kamu papa sita?”
Pemuda itu mendesah berat. Ia mengalihkan mata dari tv lalu meletakkan toples kripik singkong yang ada di pelukannya selama menonton tadi. Jujur. Dia sangat benci situasi seperti ini, ditambah ancaman itu.700Please respect copyright.PENANALpBezHspkY
“Pa, aku gak mau ketemu cewek itu. Mereka itu be-ri-sik.”
“Bagaimana dengan mama mu, Yudha? Dia juga seorang wa-ni-ta.”
Wajah Yudha tertekuk melihat tawa penuh ejekan Tirta. Apakah ini pertanda bahwa ia tak akan mendapat pasukan pembela?
Dia mendengus kesal. “Pah itu beda, pokoknya aku tetap gak mau.”
Sikap keras kepala putranya membuat Anne angkat bicara, kali ini ia harus mengambil sikap tegas.
“Yudha Hilmy Prayata mama gak pernah mengajarkan kamu untuk menolak perintah orang tua.”
Yang disebut namanya melirik sekilas, memilih diam, dan menatap kosong layar televisi di depannya. Jika sudah seperti ini ia bisa bilang apa lagi untuk menolak?
“Papa dan Mama akan ada perjalanan selama seminggu ke Paris untuk mengurus cabang butik baru mamamu yang ada disana. Kamu mau ikut untuk berlibur di sana atau berlibur di rumah saja?”
Ruangan sempat hening sebelum Tirta bersuara memecah ketegangan yang dirasakan istri dan putranya.
"Yudha di rumah aja pah."
Dia berkata lalu melirik pada Tirta yang sudah terbaring di sofa dengan Anne yang memangku dan mengusap kepala suaminya. Pemuda itu memutuskan untuk beranjak dari sini ketimbang melihat kemesraan yang orang tuanya tunjukan. Lagi pula moodnya nonton film sudah lenyap.
“Ya, baiklah. Sekarang kamu siap-siap, karena acaranya satu jam lagi.”
Yudha yang hendak menuju halaman belakang harus memutar arah, ia tak bisa menghindar dari titah mutlak sang bunda. Ia mengusap kasar wajahnya. Tanpa menyahuti ucapan Anne, Yudha bergegas menaiki tangga menuju kamar.
Tak bolehkah sekali saja, ia tak melaksanakan perintah Anne. Selama ini Yudha selalu melakukan apa yang di inginkan tuan Prayata dan nyonya Prayata, sekalipun ia harus menemui perempuan menyebalkan itu. Sebelum hari ini, ia sudah sering dipertemukan oleh putri dari sahabat karib Anne.
Jika diperhatikan semua ultimatum Anne dan Tirta padanya selalu berkaitan dengan gadis centil itu. Dirinya tak habis pikir. Kenapa orang tuanya ingin ia dekat dengan oarang yang sukses membuatnya jengah.
Yudha sangat menghindari perempuan itu. Ah tidak, sebenarnya bukan perempuan itu saja, tapi semua. Dia menghindari perempuan.
Karena selama ini tak satupun ia bertemu perempuan yang tulus. Baginya perempuan itu tak lebih dari makhluk munafik yang rela merendahkan diri hanya demi seorang lelaki. Menjijikan!
Bersambung...
Ps: Mohon maaf jika ada typo yang luput. Ini udah aku revisi kok.
ns 15.158.61.20da2