“Pertemuan denganmu, memberikan aku sebuah pengalaman bagaimana caranya bertahan.”647Please respect copyright.PENANAyRXtWQEAcx
647Please respect copyright.PENANAj8Ezr2zsN5
– Ivy
ಬ಼ಬ಼ಬ಼಼
647Please respect copyright.PENANAkKLP175XHx
Yudha berjalan di sepanjang koridor hotel lantai lima belas dengan menenteng paper bag di tangan kanan dan memeluk kotak biru berukuran besar berpita putih di tangan lainnya. Mulut yang terus menyumpah, membuat siapa saja yang melintas di sekitarnya menggeleng.
Mau orang melabelinya pemuda brandal, tak punya etika, tak berpendidikan, bad boy atau apalah itu, yudha tak peduli. Sudah cukup ia kesal dengan kejadian di lift tadi, tak usah menambah beban emosinya dengan meladeni ucapan orang.
Kesialannya bermula saat lift berhenti di lantai lima belas. Yudha yang hendak keluar harus menjatuhkan barang bawaannya terlebih dahulu karena kecerobohan remaja laki-laki berambut ikal yang menabraknya saat hendak masuk ke dalam lift.
“WOI! Kalo jalan pake mata dong!”
Gertak Yudha pada pemuda yang tetap berdiri di tempatnya. Yudha marah, emosinya tersulut, tak terima kenapa hanya ia yang harus duduk terjatuh seperti seorang gadis.
Pemuda berambut ikal itu sama sekali tak menghiraukan amarah yang Yudha tunjukan terang-terangan. Remaja tanggung itu celingukan mencari sesuatu yang terlepas dari tangannya. Maniknya menyisir tiap jengkal lantai di sekitar lift.
“Lo, Bisu!”
Pemuda berjaket coklat sempat berhenti dari aktifitasnya sejenak. Hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk mencari selembar benda penting yang kini hilang.
“Songong amat nih, bocah.” Tangan Yudha yang hendak meraih kerah jaket si ikal berhenti di udara.
“Sial, Mana fotonya?” geram pemuda berjaket coklat.
“Si kriwul lagi cari foto?” batin yudha.
Entah mengapa Yudha juga ikut menelisik petakan lantai, mencari selembar foto yang dicari-cari remaja itu. Matanya menyipit lalu mengambilnya, memastikan bahwa kertas yang menempel di bawah sepatu adalah foto yang dimaksud remaja berjaket coklat tadi.
“Permen karet sialan!”
Diperhatikannya kertas itu, tapi cuma sebentar, sebelum kertas itu berpindah tangan. Yang Yudha tahu, foto itu adalah potret seorang gadis berhijab biru tosca. Di belakangnya tertulis nama Halivyna. Sekilas saja yang ia tahu, karena si Kriwul itu tak membiarkannya melihat lebih banyak.
“Ck... dia emang harus diberi pelajaran.”
Sebelum ini, tak ada satupun orang yang berani menganggapnya remeh. Jujur saja egonya sebagai lelaki tak bisa membiarkan orang lain menganggapnya begitu. Ia tak terima dianggap remeh.
“Thanks Bro, udah bantuin gue nyari foto ini.”
Pemuda berjaket tadi beranjak memasuki lift. Mengacungkan foto itu tinggi-tinggi ke arah Yudha.
Hari ini mungkin alam menginginkan Yudha untuk segera memberikan barang yang dititipkan Anne. Dan segera keluar dari hotel, tanpa bertemu dengan kesialan lagi.
Kaki beralas snickers putih milik Yudha berhenti di depan pintu ruang kerja orang yang ingin ia temui. Tangannya yang membawa paper bag mengetuk pintu coklat. Detik kemudian terdengar suara sahutan dari dalam. Yudha segera membuka pintu, menemui pria pemilik ruangan.
“Selamat malam. Gimana kabar, Om?”
Pria yang duduk di meja kebesarannya tersenyum lebar. Menjawab pertanyaan Yudha, lalu menyuruh pemuda itu duduk di hadapannya.
Menghargai sambutan pria dewasa itu, Yudha segera berjalan ke dalam, duduk di salah satu kursi di depan meja yang penuh dengan berkas-berkas. Lalu meletakkan paper bag dan kotak biru di sampingnya.
“Om baik. Syukurlah kamu bisa datang.”
Anggukan dan senyuman kecil Yudha lontarkan. Satu dua patah kata ia ucapkan untuk berbasa basi sejenak. Topik ringan seputar pesta mereka jadikan bahan perbincangan saat ini.
Di tengah perbincangan ringan mereka. Pria yang duduk di hadapan Yudha meraih satu figura yang berdiri manis di meja, sambil tersenyum memandangi potret bocah kecil berambut hitam panjang
“Kalau kamu mau ketemu Rachel, dia ada di lantai dua. Anak om pasti seneng kalau tahu kamu datang ke pestanya.”
Pemuda dengan setelan jas biru donker itu tersenyum sekilas. Semoga saja senyumnya ini tak terlihat seperti kepalsuan meskipun memang begitu kebenarannya.
Yudha merasa niatnya untuk pergi dari gedung ini semakin besar, saat mendengar nama gadis yang kini sedang merayakan ulang tahunnya itu.
Jika saja bukan perintah dari ibunda tercinta. Yudha tak akan menginjakkan kakinya di sini. Pesta adalah tempat yang sangat ia benci. Ia tak pernah suka terlibat didalam sana.
Seperti inikah basa-basi yang harus dilakukan olehnya? Perbincangan, sapaan, senyum, etika, semua terasa munafik. Yudha sudah tidak betah berbincang lebih banyak lagi.Ia sangat haus saat ini.
Rasa muak mendorongnya untuk segera melakukan apa yang seharus sudah ia lakukan sejak kemarin. Tapi terhalangi oleh kepulangan orang tuanya.
“Ah, ya. Mama dan Papa minta maaf sama Om, karena mereka gak bisa dateng ke acara ini. Dan, Mama menitipkan sesuatu buat Om juga Rachel.”
“Tidak masalah, Yudha.”
Pemuda itu tersenyum samar, lalu sedikit menunduk untuk meraih barang titipan mamanya. Kening pemuda itu berkerut kala manik coklatnya menemukan selembar kertas yang tak asing.
Pergerakan tangannya berhenti bersama dengan kepalanya yang berpikir.
“Inikan foto yang dibawa si kriwul tadi.”
Diambilnya foto itu. Diamati lagi dengan lebih teliti. Benar. ini memang orang yang sama, hanya saja di foto ini tidak ada tulisan yang tertera di baliknya.
Pria berkacamata itu mungkin heran dengan Yudha yang menunduk terlalu lama. Penasaran, dia terus memanggil nama pemuda itu. Ingin tahu ada apa gerangan di bawah sana. Sampai untuk yang ke sekian kalinya, barulah Yudha duduk dengan benar.
“Ini foto siapa Om?”
Yudha menyerahkan selembar foto itu pada pria dihadapannya. Gelagat pria itu berubah aneh. Wajahnya menjadi gugup, nada bicara yang terbata-bata.
“Ini... foto gadis yang melamar kerja tadi sore.” Tangannya bergerak cepat memasukkan foto ke dalam laci meja. Berharap jika pemuda ini tak lagi membahas lebih panjang perkara foto itu.
“Ah ya... ngomong-ngomong memangnya Anne dan Tirta kemana?”
Yudha menghembuskan napas berat mendengar pertanyaan yang terlontar untuknya. Ia menjawab dengan malas sambil meraih kotak dan paper bag yang tadi sempat diabaikanya.
“Biasa Om, urusan bisnis.” Ia menyerahkan kedua benda itu. Ada Jeda sebentar sebelum mengutarakan kalimat yang ingin diucapkannya sejak tadi.
“Kalau begitu saya pamit, Om.”
Pria yang dipanggil 'om' itu menyambut pemberian Yudha sambil tersenyum lalu menaruh kedua benda itu di meja tempat berkasnya tertata rapi. Menatap lamat-lamat punggung Pemuda tadi.
Tangannya merogoh laci meja. Mengambil selembar kertas dan melihat kertas yang tadi sempat membuatnya gugup.
“Semoga bocah itu tak lagi penasaran dengan foto ini.”
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
Ivy terduduk bosan di salah satu meja. Tidak seorang pun yang ia kenal dan bisa diajak bicara. Tatapannya tertuju pada seorang remaja cantik, yang dengan bahagia meniup lilin berbentuk angka 15 bersama kedua orang tua di sampingnya.
“Rachel beruntung.”
647Please respect copyright.PENANA8vZMtmNzY8
Pesta ulang tahun sudah berlangsung selama dua jam. Selama itu pula Ivy hanya duduk sendirian di meja. Kakinya pegal, begitu juga tubuhnya. Ingin rasanya ia membaringkan tubuh di kamar.
Mata bulatnya beredar keseluruh ruangan sembari menata tali tas di pundaknya. Ivy meraih kotak yang ia taruh di bangku sebelah, lalu berjalan ke arah Tian. Tubuhnya sudah tak bisa berada di tempat ini lebih lama lagi.
“Pak, saya pamit mau kembali ke kamar. Ini untuk Rachel.” Ivy menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang pada orang di hadapannya.
“Terima kasih, Nak. Seharusnya ini tidak diperlukan.”
Ivy tersenyum,“Kalau ada pesta ulang tahun, rasanya gak lengkap tanpa kado.”
Kekehan keduanya sempat menyita perhatian orang di sekitar, termasuk Rachel. Sepintas saja, Ivy bertemu pandang dengan Rachel. Kilatan tak suka dari Rachel membuatnya menunduk. Entah itu hanya perasaannya saja atau memang begitu cara Rachel menyapa orang baru dengan matanya.
“Tak salah lagi, memang gadis ini orangnya. Wajah, Senyum, dan perilakunya pun mirip. Maafkan saya,” batin Tian sambil memerhatikan lekuk wajah gadis yang berdiri di hadapannya.
“Saya tau kamu pasti lelah,” celetuk Tian. Ivy menghela napas lega. Akhirnya ia bisa segera keluar dari tempat ini.
“Kalau begitu saya permisi, Pak.”
Gadis itu melangkah menuju pintu ke luar aula. Berjalan di sepanjang lorong hotel untuk sampai di lift. Sepi. Ia melipat tangan. memeluk erat kedua lengan atasnya. Berjalan dengan wajah menunduk, sedikit melirik ke sisi kiri lalu ke kanan memastikan semuanya aman.
Ia percepat langkah saat di persimpangan lorong. Hanya tinggal dua langkah untuk sampai di depan lift. Tangannya segera memencet kombinasi tombol, menunggu beberapa detik sampai lift terbuka. Tapi, belum sempat melangkah. Ada seorang lelaki menarik tangan dan menghimpit tubuhnya di tembok samping pintu lift.
“Sakit,”
Ivy nerintih dalam hati begitu punggungnya membentur kasar tembok. Rasa takut juga marah berbaur jadi satu. Ternyata firasat buruk yang dipikirkannya terjadi.
Fokusnyanya kembali saat merasakan nyeri di tangan karena remasan kuat. “Apa yang orang ini inginkan dariku?”
Ivy berusaha melepas cengkraman pemuda itu dari lengannya. Berbagai upaya ia lakukan untuk bisa lepas dari orang jahat ini. Sayang, tenaga yang ia miliki tidak lebih kuat dari lelaki di hadapannya.
“Kamu mau uang? Ambil semunya di tas, lalu menjauh dari saya!”
Ivy berteriak tepat di depan wajah pemuda yang sejak tadi menatap dan melempar seringai aneh padanya. Ia memalingkan wajah ke samping, memejamkan kedua mata. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana keadaannya saat ini. Seluruh anggota badannya dihimpit oleh tubuh lelaki yang bahkan tak pernah ia temui.
“Apa maksud orang ini?Ya Allah, kenapa cobaan seperti ini yang Engkau berikan padaku?”
“Gue bakal buktiin ihk... kalo gue bukan gay. Ihk... Ya, hahaha... ihk... Gue bakal buk— ihk... tiin," racaunya di sambung tawa yang memenuhi lorong hotel.
Ivy terdiam mencerna ucapan irang ini. Perlahan cengkramannya melemah seiring tubuh Ivy yang tak lagi berontak. “Ugh... bau alkohol, apa dia sedang mabuk?”
Ivy menegakkan wajah, menatap lekat wajah orang yang berada di depannya beberapa senti. Bibir itu terus bergumam tak jelas. Mata pemuda itu bergerak kesana-kemari. Napas berat milik pemuda itu bahkan bisa didengar oleh Ivy.
“Dia beneran teler.”
Ivy pikir ini adalah kesempatan bagus untuknya pergi. Dengan sekuat tenaga ia menginjak kaki lelaki dihadapannya. Diam. Tak ada tanda-tanda bahwa lelaki ini kesakitan. Yang ada hanya tangannya yang semakin perih karena cengkraman itu mengetat.
“Lo pikir gue ikh...kesakitan hah? Gue gak selemah itu asal lo tahu.”
Lelaki itu kembali tertawa di.tengah cegukannya. “Gue cuma mau meluk terus nyium Lo. Gue... bosen—”
“Hah, Naudzubillah itu yang dia mau. Ya, Allah tolong hamba. Aku harus gimana?”
“... udah lo diem. Ikut cara gue main. Habis itu...”
Sementara pemuda yang mabuk itu mengoceh. Ivy terus mencari cara untuk melepaskan diri. Beberapa menit berlalu, dan ia tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi jika tak ingin kehilangan kesempatan untuk lepas. Mata Ivy terpejam, lalu terbuka kemudian menatap lurus pada mata laki-laki itu.
“Apa?”
Satu kata singkat keluar dari pemuda ini. Helaan nafas panjang ivy hembuskan. “Jika itu yang orang ini mau, maka baiklah. Aku harus bisa lepas. Semoga ini berhasil. Ya allah maafkan hamba.”
Tak disangka saat lengah karena berpikir, tiba-tiba lelaki di hadapan Ivy berusaha untuk mencium bibirnya. Beruntung Ivy lebih dulu menenggelamkan wajah di dada berjas biru pemuda itu sambil memeluknya. Lima detik berlalu. Tak ada pergerakan yang berarti dari pemuda ini
“Ah, bagus sekali ia tidak memberontak. Dan sekarang adalah saatnya. Maafkan aku.”
Sejurus kemudian, Ivy menjinjitkan kaki untuk melancarkan rencanannya. Ia dekatkan wajah pada leher si lelaki. Lalu dengan cepat Ivy menggigit kuat-kuat leher pemuda di pelukannya ini.
"Aaakh!" pekikan dan tangan kuatnya mendorong Ivy menjauh dari tubuh pemuda itu.
Dorongan kuat pemuda itu, otomatis membuat Ivy terlepas dengan sangat mudah. Beruntung dugaannya tidak meleset dan rencananya berhasil. Lelaki itu melepaskan pelukannya, lalu mundur beberapa langkah. Ini kesempatan bagus untuknya agar bisa lari menjauh, masuk ke lift dan meninggalkan lelaki sinting itu.
“Hei... cewek gila. Awas saja nanti, banyak cewek di luar sana ingin dicium gue. Hah... mungkin lo bukan cewek lurus,” teriak pemuda berjas biru sambil memegangi lehernya yang berkedut sakit. Bisa ia rasakan, ada cetakan bekas gigitan disana.
Ivy memencet tombol. Melihat ke arah lelaki itu sampai pintu lift tertutup sempurna. Ia mendudukan diri di lantai lift, menetralkan deru napasnya yang begitu cepat.
“Huh... Gak semua perempuan mau dicium oleh lelaki sepertimu.”
“Hahaha... gadis sinting. Berani dia gigit leher gue, beruntung gak ngisep darah," racaunya sambil melangkah gontai menuju pintu aula, tetapi ada tiga pemuda menghalangi jalannya.
“Gimana rasanya digigit gadis berhijab yang sholehah nan manis itu?” kekeh seorang berkemeja putih yang sejak tadi menyaksikan kejadian di lorong.
Kekehan lain yang terdengar mengejek dan ikut menimpalinya. “Pasti rasanya sama kayak dicium cewek seksi, bukan?” Kali ini lelaki berbaju kotak-kotak yang menyahut.
“Dana. Lo yakin, kalo dia pernah ngerasaain rasanya nyium cewek? Gue rasa dia gak tau rasanya. Hahaha...,” ledek lelaki lainnya yang berkemeja hitam.
“Bener juga,” setuju Dana, lelaki berbaju kotak-kotak.
“Gue bilang apa. Lo akan lebih mudah melakukan ciuman itu jika sama cewek yang gampang lo deketin. Contohnya Rachel aja dah, kan dia ngejar-ngejar elo tuh. Iya, gak Fatir?” Rama yang berkemeja putih, meminta persetujuan pada Fatir yang berkemeja hitam.
“Lo dengerin tuh kata Rama,” timpal Fatir yang kelihatannya senang sekali memojokkan temannya yang masih merasakan nyeri bekas gigitan di leher.
“Iya emang sih, cewek berpakaian serba panjang itu manis. Tapi, gue gak nyangka dengan cara itu dia bisa ngelepasin diri dari lo.”
Celetukan Fatir kali ini membuat pria berjas biru memejamkan matanya kesal. Ingin sekali ia menonjok sahabatnya satu persatu.
“Gue rasa cewek itu menarik, manis, cerdik, yang paling penting dia itu gak murahan,” sambung Dana dengan nada lembut penuh ketertarikan. Sekejap membuat atensi yang lain terpusat padanya.
“Apa?” Dana melempar tatapan penuh tanya. “Ada yang salah dari kalimat gue?”
“Lah, Dan. Jangan bilang lo tertarik ama cewek berhijab tadi?"
“Lo jangan sok jadi dukun, deh. Bukan bakat Lo, Tir. Gue cuma ngomong apa adanya.”
Setelah dirasa cukup dengan kalimat pembelaannya. Dana lalu terdiam,“Kenapa gue yang jadi dipojokin, sih?”
“Gue juga cowok kali, Dan. Tapi serah lo aja dah,” cibir Fatir.
“Iya, gue paham Lo ngerti. Secara, Lo kan pleyboy,” balas Dana telak membuat Fatir berulang kali mengeluarkan sumpah serapahnya.
“Heh, Yudha dari tadi gue nanya, lo diem aja?” ujar Rama pada Yudha. Ia memilih mencari tahu kenapa temannya yang satu itu mendadak terdiam, daripada melihat drama harian kucing dan anjing ala Fatir dan Dana.
“Yud, Jangan bilang lo bisu mendadak karena abis digigit cewek tadi?”
Pertanyaan Fatir kembali mengundang tawa Rama dan Dana. Di tengah kesadarannya yang kurang penuh, Yudha hanya diam dengan gejolak kekesalan yang meletup-letup.
“Udah puas ngebully?"
Yudha menusap wajah kasar. Egonya sebagai seorang lelaki tulen sedang diinjak-injak oleh sahabatnya sendiri. Ia kalah dalam tantangan. Sudah tak terhitung berapa kali mulut binal para sahabatnya itu memanggilnya dengan sebutan 'gay'.
Menyadari atmosfer sekitar menjadi panas, tegang, dan penuh keheningan. Dana berdehem, “Ayo masuk, nanti Rachel nyariin kita semua.”
“Iya, ayo.” Fatir menyahut setuju dan mulai membuka pintu aula. Baru sedikit pintu terbuka, Dana menghentikan pergerakannya.
Memberitahu bahwa sahabatnya yang berjas biru masih belum beres. Melihat Yudha diam tak bergeming, Rama lantas menarik tangan temannya agar ikut masuk. Tetapi Yudha menampik tangannya kasar, lalu melirik jam.
“Kepala gue pusing, gue mau pulang,” kata Yudha final.
“Tapi acaranya masih setengah jam lagi,” jelas Dana menghambat langkah Yudha.
“Gue gak peduli.”
Yudha perlahan berjalan menjauh. Kepalanya sangat berat saat ini. Ia sedikit ragu, apa bisa dirinya mengemudi motor dalam keadaan begini. Reflek ia meraba kantung celana dan jas mencari sesuatu. Ia membuang napas panjang. Hanya berjarak beberapa meter dari tempat para sahabatnya berdiri, ia melangkah berbalik.
“Lah, lo berubah pikiran, Yud?” tanya fatir berusaha menahan suara tawanya.
“Sial! kunci motor gue ketinggalan di meja. Ini semua gara-gara lo, lo, dan lo. Kepala gue sakit. Sial! Sial! Argh...”
Yudha menarik rambut karena tak kuat akan rasa sakit yang bersarang di kepalanya. Tiga orang lain hanya diam, bingung dengan kelakuan Yudha. Dan yang mereka lakukan hanya mengikuti pemuda itu.
ಬ಼಼ಬ಼ಬ಼
Ivy berjalan di lorong hotel lantai sepuluh. Ia cepat-cepat membuka kunci pintu dan masuk ke kamarnya. Untung saja kamarnya dekat dengan lift, jadi ia tidak perlu lagi berjalan sendiri di sepanjang lorong yang sepi.
647Please respect copyright.PENANAd1DWHa57JA
Tempat pertama yang ia tuju adalah kamar mandi, karena sedari di lift ia ingin buang air kecil. Setelah selesai, ia menuju meja rias hendak melepas hijab yang dikenakan.
Tangannya yang hendak melepas kaitan hijabnya tiba-tiba berhenti. Betapa terkejutnya Ivy, saat melihat ada seorang pemuda tengah duduk sambil tersenyum padanya melalui pantulan di cermin.
“Siapa kamu?” tanya Ivy dengan nada bergetar. Ivy membalikkan tubuh, tangannya meraba apapun yang ada di sekitar.
“Aku? tak penting siapa diriku.” Seringai licik tercetak di wajahnya.
“Yang penting malam ini kita akan bersenang-senang.”
Siapapun akan bergidik ketakutan mendengar lontaran kalimat orang asing itu, terlebih di satu ruangan yang sama. Ivy tau jelas maksud orang itu.
“Jangan mendekat, atau aku akan berteriak,” ancam Ivy dengan suara tegas berusaha menutupi ketakutannya.
“Teriak saja sesukamu, karena tak akan ada yang bisa mendengarnya.”
Tawa lantang dari pemuda berjaket coklat Ivy menciut. Kedua tangan pemuda itu bertumpu pada kasur, menatap Ivy dengan intens. Merasa terancam, ivy mengacungkan vas bunga sebagai senjatanya.
“Bersenang-senanglah dengan gadis yang lain. Sekarang kuminta kau keluar. Mungkin kau salah masuk kamar. Karena, aku tak mengenalmu sama sekali.”
“Tapi, aku kenal kamu. Sayang, dia sudah tidak sabar,”
Pemuda itu bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati Ivy dengan tatapan yang mengancam. Ivy mangambil ancang-ancang untuk melempar vas bunga.
Namun, belum sempat mengayunkan tangan. Orang itu lebih dulu merebut benda tersebut, lalu membuangnya ke arah lain. Menyisakan suara benturan nyaring antara tembok dengan vas bunga. Detik kemudian tubuhnya dipeluk erat. Ivy gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Ketakutan membuat tubuhnya sulit digerakkan. Ia palingkan wajah ke sisi kanan. Matanya terpejam. Ia benci berada dalam situasi seperti ini.
Apakah malam ini akan menjadi malam terhina untuknya? Melakukan sebuah dosa Zina yang sangat dilaknat oleh Allah bagi pelakunya. Meski ini pemaksaan, tapi tetap saja ia melakukan dosa itu.
Pemuda itu meletakkan dagu di bahu Ivy lalu membisikkan sesuatu. “Lemparan yang bagus, Ivy. Terima kasih, aku tak perlu susah-suah mengunci kamar ini, karena kau sudah menguncinya sayang.” Lagi pemuda itu menampakkan senyum liciknya di depan wajah Ivy.
“Mari, kita mulai.”
“Tolong selamatkan aku Ya Allah,” mohon Ivy dalam hati sambil memikirkan cara untuk lepas dari pria ini.
Bersambung...
Mohon maaf jika ada typo.
ns 15.158.61.8da2