Tiga puluh menit berlalu setelah perbincangan di telpon. Kedua orang tua pemuda itu nampaknya lega mengetahui bahwa putra mereka baik-baik saja. Kini Ivy duduk di kursi tunggu dengan Tuan Prayata di sampingnya. Sedangkan sang istri sudah masuk ke ruangan di mana anaknya dirawat.
“Nak, siapa namamu?”
Ivy sedikit tersentak saat ditanya. Tak sedikit pun berniat untuk menoleh pada orang di sampingnya. “Saya Halivyna Vidiaratty. Panggil saja Ivy pak.”
“Pertama, saya berterima kasih kepada kamu karena sudah menolong anak saya,” ucap pria itu tulus sambil menatap Ivy yang menunduk.
“Sudah jadi kewajiban saya menolong sesama, Pak.”
“Saya juga minta maaf, karena istri saya sempat berprasangka buruk sama kamu.”
Kini wajah tegasnya, ia hadapkan pada langit-langit koridor rumah sakit. Membenarkan posisi duduk dan menyenderkan punggungnya pada kursi.
“Tidak apa, Pak. Saya mengerti bagaiman perasaan orang tua, jika sampai dini hari anaknya tidak pulang. Wajar jika Nyonya Prayata khawatir.”
Ivy tersenyum di sela-sela kalimatnya. Namun, sayangnya hanya sang lantai saja yang tahu senyuman manis itu. Karena sampai saat ini, gadis berhijab hijau muda itu masih enggan menegakkan kepala.
“Oh, iya nak. Rumahmu di mana? Mari bapak antar, akan bapak jelaskan semuanya pada orang tua mu.”
Kalimat itu sukses membuat Ivy mengangkat kepala dan melihat wajah pria paruh baya, yang saat ini mungki menyadari raut wajah terkejutnya.
“Tidak. Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri, saya tidak mau merepotkan bapak.”
Ivy tersenyum gugup. Pertanyaan inilah yang ia hindari. Lengkungan di bibir tipisnya peelahan memudar. Melihat reaksi Tuan Prayata yang memandangnya penuh keheranan. Sepertinya ia menyadari ke anehan atas jawaban Ivy.
“Aku harus segera pergi dari sini.” Ivy menunduk, mencari sesuatu di dalam tas selempangnya.
“Ini milik anak bapak.” Ia memberikan dompet, handphone, dan kunci motor milik lelaki yang di tolongnya tadi.
Pria itu menerimanya. “Tidak, kamu harus saya antar. Sekarang masih dini hari dan jalanan sepi. Tidak aman jika seorang gadis berjalan sendirian. Dan tolong jangan menolak saya. Ah, ya satu lagi. Saya tidak merasa direpotkan hanya karena mengantarmu, Nak."
Ivy hanya diam saja mendengar penuturan Prayata. Bukan tanpa alasan ia menolak pertolongannya. Ia harus bilang apa? berkata bahwa ia tidak memiliki rumah, orang tua sudah meninggal.
Lalu pria ini merasa iba, lantas memberikan bantuannya agar Ivy bisa melanjutkan hidup lagi. Setelahnya ia akan menumpang dan kembali menjadi parasit di keluarga orang?
Tidak, bukan ini niatnya. Ia hanya berniat menolong lelaki itu. Setelah itu... sudah selesai, tidak ada yang namanya berhutang budi. Karena gadis ini ikhlas menolongnya.
Selain itu, ia juga tidak mau lagi berurusan dengan Yudha, yang beberapa jam lalu mencoba menciumnya dengan paksa. Sekali lagi ia katakan dalam hati terdalam, bahwa ia sungguh membenci lelaki itu.
Seseorang berdehem, membuat Ivy kembali dari lamunan. Ia mendongak, melihat kearah Tuan Prayata yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya.
“Ah, kalau begitu saya minta nomor handphone orang tuamu. Akan saya telpon mereka. Jika kamu tidak ingin diantar oleh saya, maka saya akan meminta mereka ke sini untuk menjemputmu. Tentu saya akan menjelaskan semua yang terjadi di sini,” katanya dengan nada penuh semagat.
Kepala berbalut hijab itu menggeleng. “Bapak, tidak perlu melakukannya.” Ivy menarik napas dalam lalu menghembuskannya.
“Karena orang tua saya sudah meninggal dan saya tidak memiliki rumah di sini,” lanjut Ivy dengan nada datar.
Berharap segala kesedihannya tidak terlihat. Matanya menatap lurus kedepan. Tak ada wajah sedih di sana. Tapi siapa pun bisa melihat kepiluan lewat sorot mata hitamnya.
“Kalau begitu, kamu ikut bapak dan kita tinggal bersama di rumah bapak,” tawar pria paruh baya ini. Ia kembali duduk di samping Ivy.
“Saya sudah menduga kalau Bapak akan mengatakan ini. Saya tidak ingin meminta apa pun dari bapak, saya tak ingin merusak kehidupan keluarga bapak dengan adanya saya di rumah bapak.”
Ivy berhenti sejenak. Koridor sepi. Keheningan menyambut keduanya. Satu, dua perawat lewat di sana, tapi masih tak mampu memecah keheningan.
Ivy menenangkan pikirannya dan mulai menceritaka semua kejadian hidupnya. Awal ia bertemu keluarga Hadiwijaya sampai ia bisa berada di Jakarta. Hening tak ada satupun dari mereka yang berbicara setelah gadis ini selesai menceritakan kisah hidupnya.
Pria paruh baya itu berdehem, membasahi tenggorokannya yang sempat kering. “Bagaimana kalau kamu bekerja di rumah saya, dengan begitu kamu akan menghasilkan uang.”
Ivy menoleh dengand antusias. “Kerja apa Pak?”
“Sepertinya gadis ini tertarik,” pikir Prayata di balik senyumannya.
“Kamu mau atau tidak? Kalau mau akan saya beritahu tugasmu.”
Ivy membawa maniknya pada petakan lantai. Ia berpikir sejenak, lalu melihat ke arah orang di sampingnya.
“Saya akan menerimanya. Jika bapak bisa menjamin, bahwa pekerjaan yang bapak berikan tak akan melanggar norma agama islam,” tukas Ivy mantap.
Terihat sekali ekspresi teekejut Tuan Prayata yang berusaha di tutup-tutupi olehnya. “Ya, saya menjamin itu. Tapi berjanjilah, bahwa kamu akan merima pekerjaan ini.”
“Tentu Pak, saya menerima pekerjaan tersebut. Sebelum itu saya ingin memberi tahu bapak, bahwa umur saya masih 15 tahun. Jika bapak ingin mengubah keputusan bapak untuk mempekerjakan saya, saya tidak masalah dengan itu.”
“Saya sudah menduganya,” pria itu tersenyum lalu terkekeh melihat reaksi Ivy yang mengerutkan dahi.
“Siapa saja bisa tahu umurmu, Nak. Masalah itu tidak penting, karena tugasmu hanya mengawasi anak saya. Dan tolong tuntun dia agar bisa meninggalkan semua habits buruknya.”
“Oh... maksud bapak saya bekerja sebagai baby sitter?"
Terlihat dengan jelasvwajah Ivy yang amat sumringah. Pekerjaaan ini akan sangat mudah baginya. Kebetulan ia sangat suka anak kecil.
“Tidak, bukan bayi. Tapi, remaja laki-laki yang baru saja kau tolong Nak.” Kekehan keluar di akhir kalimatnya.
Kalian tahu, fantasi bermain dengan bayi lucu dalam kepala Ivy seketika padam saat mendengar kabar buruk itu. Ia membelakakan matanya, terkejut. Tentu saja.
Lelaki itu yang ingin Ivy hindari. Kenapa malah seperti ini? Hatinya kalut. Tapi mau tidak mau, ia tetap harus menerimanya karena ia sudah berjanji.
“Begini, nak akan saya ceritakan agar kamu mengerti.”
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
Sorang wanita paruh baya tengah duduk di kursi samping ranjang pasien. Sejak 30 menit lamanya ia berada disini, masih belum ada tanda-tanda anaknya akan siuman. Ia mengelus lengan Yudha, berharap semoga putranya segera siuman.Tak lama, wanita itu mendengar erangan kesakitan dari putranya.611Please respect copyright.PENANAo7cJRqL3eg
611Please respect copyright.PENANAwkGsdmNeSf
611Please respect copyright.PENANA1s9V6kAMzh
611Please respect copyright.PENANA9SNlqj0ySY
611Please respect copyright.PENANA53TXIQkhBv
“Ada apa Yudha? Kenapa dengan kepalamu nak?”
“Sakit, Mah. Mungkin efek aku minum tadi,” ungkap Yudha mencoba menenangkan ibunya yang panik.
“Kenapa harus di bawa ke RS sih, Mah?” dengusnya.
“Kamu tadi ngendarain motor dalam keadaan mabuk, lalu motormu menabrak pohon sedangkan kamu tak sadarkan diri. Ada seorang gadis yang melihatmu, dan ia membawamu ke sini. Siapa yang suruh kamu minum? Habis berapa gelas kamu, Yudha?”
Peratanyaan menghunus dari sang ibu langsung menghujaninya. Yudha memejamkan mata. Sungguh ia bingung harus berkata apa selain meminta maaf.
Hembusan napas lelah Anne keluarkan. Ia juga bingung harus berkata apa pada putra semata wayangnya. Jika dipikirkan ini juga salahnya.
“Baiklah Mama maafkan. Lain kali Mama tak ingin melihatmu mabuk lagi.”
Yudha tersenyum pada Ibunya. Dan mengangguk saat Anne menawarkannya segelas sereal.
“Ma, apa orang yang menolongku ada di sini?”
"Ya, dia di luar bersama papa."
Ibunda Yudha menjawab tenang sambil menuangkan air hangat pada gelas, lalu mengaduknya perlahan. Wanita itu masih sibuk membuat sereal coklat kesukaan putranya. Sehingga tak menyadari raut tegang Yudha.
Yudha khawatir. Dia baru ingat kalau orang yang menolongnya adalah gadis yang sama saat kejadian di lorong hotel. Kemungkinan terburuk yang ia pikirkan adalah gadis itu menceritakan semua kejadian di lorong hotel pada ayahnya.
“Ma, aku pengen ketemu ama orangnya,” pinta Yudha seraya menerima uluran gelas dari sang ibu. Meminum habis sereal yang terasa hambar di lidahnya.
“Ya, baiklah.”
ಬ಼ಬ಼ಬ಼611Please respect copyright.PENANArwiMJ8ceR1
Ivy terdiam, ia menundukkan wajahnya ke lantai. Semua perkataan Pak Prayata sungguh membuatnya terbebani. Apa ia bisa melakukan semuanya?
Suara seorang wanita, membuyarkan pikirannya. Ivy mendongak, membenarkan posisi duduk. Lalu melempar senyum pada orang yang memanggilnya.
“Iya ada apa, Bu?”
“Nak, kamu masuk ya. Karena anak saya mau ketemu sama kamu. Sekalian kamu jagain, soalnya saya mau sholat dulu.”
“Iya bu, kebetulan tadi pak Prayata juga ke musholah.”
Wanita paruh baya itu tersenyum lantas berlalu dari deoan pintu kamar rawat anaknya. Ivy memejamkan mata, menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Setelah tenang ia bangkit dari duduk dan berjalan masuk ke kamar Yudha.
Ia menarik napas lagi, kali ini lebih panjang lalu membuka pintunya perlahan. Ia dahulukan kepalanya masuk di susul tubuh mungilnya. Ivy berhenti di dekat pintu, sementara manik bulatnya beredar ke seluruh sudut ruangan. Memastikan sesuatu.
“Tidak ada siapa pun. Kemana dia?”
“Hei... ayo duduk, jangan cuma berdiri di sana,” celetuk Yudha yang baru keluar dari kamar mandi.
“Ada, apa?” tanya Ivy masih dengan posisi setia di dekat pintu.
Yudha membuang muka dan mendecih, sambil kembali naik ke tempat tidurnya. ”Sombong banget, orang ngajak duduk lo malah nolak.”
“Gue mau minta maaf sama lo, karena sema—”
“Gak usah di jelasin. Gue benci harus nginget itu,” sela Ivy tajam. Gadis itu menatap ke arah lain. Hembusan napas Yudha terdengar begitu jelas di telinga ivy.
“Gue nyesel sumpah. Ternyata lo cewek baik-baik. Dan gue juga terima kasih atas pertolongan lo.” Suaranya merendah, tapi Ivy tak yakin bahwa itu tanda penyesalaannya.
Hening sejenak tidak ada yang memulai pembicaraan. Karena tak tahan akan rasa penasarannya, akhirnya Yudha berdehem dan mulai mengeluarkan suara.
“Apa lo ngasih tau orang tua gue, masalah di hotel kemarin malam.”
“Gue males nyeritain hal yang menjijikan itu ke orang lain,” tukas Ivy penuh penekanan.
Ada rasa lega mendengar kalimat itu. Tapi jujur saja, yudha juga merasa terhina. Hati kecilnya terluka. Harga dirinya habis diinjak oleh gadis berhijab ini karena kalimat pedasnya.
“Kita belum kenalan bo—”
“Gue tau nama lo.”
“Tapi, gue gak tau nama lo.”
“Gak perlu.”
“Sombong. Gue rasa gak akan ada laki-laki yang mau deket ama cewek sengak kayak lo!”
“...”
Yudha semakin naik pitam melihat Ivy hanya diam saja.
“Ah, dari cewek sengak sekarang lo belajar bisu. Oow... atau lo belajar jadi cewek tunarungu plus tunawicara,” ucapnya sarkatis.
Ivy mendengus dalam hati, “Ternyata dia lupa kalo barusan minta maaf.”
“Kalo lo benci sama gue, lo bisa maki gue, pukul gue, lakuin apapun yang bikin lo puas. Gue gak suka ya, cara lo ngacangin orang,” jelas bersungut-sungut dengan wajah memerah. Sebisa mungkin ia tidak berteriak ke arah gadis itu.
“Lo salah, lebih baik diem, dari pada lo bicara jika pada akhirnya lo bakalan nyakitin hati orang. Dan lebih baik gue diem untuk saat ini, dari pada akhirnya gue nyakitin perasaan lo dengan kata-kata menusuk gue. Nama gue Ivy. Lebih baik lo istirahat sekarang. Selamat tidur." Gadis itu membalikkan badan, menarik kenop pintu lalu keluar dari ruangan itu.
“Tapi dengan diem juga nyakitin orang!”
Ivy yang mendengar teriakan itu, memilih tak menghiraukannya dan kembali duduk di kursi tunggu depan kamar Yudha. Ia menenggelamkan wajah di kedua tangan yang ditumpu pada kakinya. Ia ragu, apakah dirinya bisa menghadapi manusia itu? Terlebih dirinya masih benci pada Yudha dan parahnya ia belum bisa memaafkan laki-laki itu.
Sedangkan Yudha di dalam kamar, sedang mengumpat karena kesal.
“Cewek sengak, setelah nyakitin leher gue. Sekarang dia nyakitin hati gue.”
Yudha memegangi keningnya yang kembali berdenyut. Ia memilih membaringkan tubuh dan memejamkan mata berusaha terlelap. Dengan harapan bisa cepat keluar dari ruangan pengap itu.
ಬ಼ಬ಼ಬ಼
Seorang gadis menyingkap tirai jendela, membiarkan matahari dan angin pagi yang sejuk masuk. Silau cahaya memaksa Yudha membuka mata, mencari tau siapa yang membuka tirai jendela sehingga menggangu tidur nyenyaknya.
611Please respect copyright.PENANAYjaSIfbePo
“Rachel, ngapain lo di sini?” tanya Yudha dengan nada meninggi. Entah kenapa setiap melihat gadis itu, tiba-tiba saja emosinya memuncak.
611Please respect copyright.PENANAq7aWRnBVRY
“Aku yang jagain kamu pagi ini, karena ayah kamu lagi ada urusan dan bunda kamu lagi pulang ambil baju,” terangnya disertai senyum ramah sambil duduk di kursi samping tempat tidur pasien.
Yudha mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu kamar. “Lebih baik lo keluar sekarang!”
“Aku cuma mau jagain kamu di sini, boleh ya?”
“Gak, lo cuma bikin sakit kepala gue aja. Udah cukup kunjungannya, sekarang lo bisa pulang.”
Yudha merendahkan nada suara. Menghempas pelan kedua tangan Rachel yang menggelyut manja di lengannya.
“Sebentar lagi ya....” Gadis itu masih terus memohon.
“Pulang.”
“Please... ijinin aku di sini lima me—”
“CUKUP! KELUAR LO SEKARANG JUGA!" usir Yudha.
“Kamu jahat, Yud.” Rachel yang berderai air mata langsung keluar dari ruang rawat Yudha.
Pemuda itu membuang nafas lelah, paginya benar benar kacau. Ia memejamkan mata berusaha menghilangkan segala kesal di hatinya.
'Cklek'
“Ngapain sih, lo masuk lagi. Lo gak ngerti kalo lo itu udah gue usir. Cepet lo keluar dari sini, karena gue gak suka liat muka lo, Chel,” ungkap Yudha masih memejamkan mata dengan tangan yang memijat keningnya.
“Maaf, tapi gue kesini nganterin makanan, obat, sama pakaian ganti buat lo.”
Mendengar suara yang berbeda, sontak pemuda itu membuka mata dan melempar tatapan tajam pada gadis yang berdiri di samping tempat tidurnya.
“Ngapain dia masih di sini?”
Bersambung...
ns 15.158.61.8da2