Esok paginya, Tohru langsung bertandang ke kantor wilayah Departemen Pertahanan yang lokasinya berada tepat di tengah kota Beldiceanu. Sebagai salah satu pemburu senior muda, Tohru sangat dihormati oleh sesama hunter maupun staf departemen sendiri. Karena selain dedikasi dan reputasinya, Tohru adalah putra kedua dari keluarga Arashi-salah satu grand duke dengan sejarah tertua di Arslandia yang berjasa dalam pembentukan kekaisaran ribuan tahun silam. Serta keluarga paling berpengaruh kedua di Arslandia hingga kini.
Selain menyerahkan anak-anaknya untuk berpartisipasi dalam perdamaian dunia, Grand Duke Arashi juga merupakan donatur tetap dalam mendukung kerja keras para hunter yang rela menyetor nyawa demi keamanan dunia. Maka tidak heran kalau setiap hunter dari keluarga tersebut selalu tumbuh menjadi ksatria terkuat seperti leluhur mereka di masa lalu. Tohru dan kakaknya Kaori adalah dua di antaranya.
Memasuki ruang meeting di lantai tujuh, Tohru menemukan sosok seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi sambil membaca sebuah dokumen di tangannya dengan seksama. Wanita cantik berpenampilan dewasa itu tidak lain adalah kakak perempuannya yang telah menjadi salah satu petinggi di Departemen Pertahanan, Kaori Arashi. Saking miripnya, tidak sedikit yang beranggapan kalau Tohru adalah versi pria dari kakaknya sendiri. Yang membedakan keduanya hanya model rambut dan tinggi badan. Gen pigmen seperti warna rambut, mata dan kulit benar-benar sama layaknya anak kembar.
Tohru berhenti di hadapan kakaknya yang masih tampak serius. Kerutan bingung di wajah mereka membuat orang-orang yang sedari tadi tampak mendiskusikan sesuatu dengan Kaori bergegas meninggalkan tempat untuk memberi privasi kepada dua kakak-beradik itu. Kaori langsung meletakkan dokumen tersebut di atas meja lalu menatap adiknya dengan ekspresi datar. Tohru yang sudah terbiasa dan mengerti akan maksud dari ekspresi itu menarik kursi terdekat dan mendudukinya.
“Sepertinya aku terlalu jarang memujimu,” ucap Kaori memulai. “Aku sudah membaca semua laporannya.”
“Aku tidak akan terkejut kalau kamu sudah membaca semuanya,” sahut Tohru cuek. Dia tidak bisa mengontrol perasaannya karena ingatan akan ekspresi Hinata semalam membuatnya merasa tidak tenang. Tepatnya setelah dia menunjukkan lukisan seorang pemuda yang diduga telah mengubah Kanehira menjadi ghoul. Tohru tidak sengaja melihat sesuatu yang tidak dapat dipercaya atau bahkan mungkin tidak disadari oleh Hinata sendiri. “Lalu bagaimana dengan penyelidikan dari wilayah lain.”
Kaori membuang napas pendek sambil mengelus kepala adiknya. “Anggap saja kalau generasi kita agak sial. Setelah hampir ribuan tahun berlalu, dia malah memilih abad ini untuk mengumpulkan pengikut sebanyak mungkin,” ujarnya. “Jika hasil penyelidikan kalian digabung dengan seluruh wilayah menjadi satu laporan nasional, ditambah dengan informasi dari mancanegara, kesimpulannya sudah jelas.”
Mendadak saja Tohru merasakan sekujur tubuhnya merinding hebat dalam sesaat. Tanpa Kaori teruskan pun, dia sudah tau apa kelanjutannya. Apa yang sedang terjadi dan satu-satunya kemungkinan yang tidak diharapkan oleh siapa pun di dunia ini.
“Kita harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang,” lanjut Kaori lesu. “Jika Pangeran Iblis Kedua mulai bergerak, perang antara manusia dan iblis seperti yang terjadi seribu tahun silam akan kembali terulang.”
***
“Cukup sekian materi hari ini, sampai ketemu lagi minggu depan,” tutup pak dosen di depan kelas.
Hinata segera merapikan buku catatan dan peralatan menulisnya seperti yang dilakukan mahasiswa lainnya. Dia baru akan menutup resleting ranselnya saat ia melihat wanita muda di sebelahnya tampak lebih terburu-buru. Namanya Kuriko, salah satu teman PNS Hinata yang termasuk dalam julukan Golden Eleven. Dia berprofesi sebagai bidan terampil dan sama-sama lulusan diploma seperti Hinata. Kebetulan hari ini mereka mengikuti kuliah di kelas yang sama.
“Sepertinya sedang buru-buru,” celetuk Hinata yang langsung bertindak membantu Kuriko merapikan barang-barangnya.
“Iya, suamiku sudah menelpon sejak tadi,” ujar Kuriko agak panik. “Haruka makin rewel karena demam.”
“Jadi kuliah berikutnya bakalan daring donk.”
“Begitulah. Dari sini aku akan langsung kembali ke Corneanu. Kamu sendiri masih belum kembali? Padahal yang lain juga akan kembali besok.”
Hinata tersenyum memandang rekannya itu. “Masih ada yang harus kuurus selagi disini,” katanya sambil merogoh ranselnya. “Dan akan ada event penting dalam waktu dekat. Jadi biar sekalian.”
“Ya sudah. Yang penting kamu tidak apa-apa ditinggal sendirian.” Kuriko tertawa anggun.
“Aku hampir lupa.” Tiba-tiba Hinata menarik sebuah kotak transparan berisi sepasang sepatu skidder mungil berwarna pink yang sangat lucu. Tanpa pikir panjang dia sodorkan kepada Kuriko. “Kemarin aku lupa menyiapkan hadiah untuk ulang tahun Haruka. Kuharap ukurannya cocok. Maaf telat.”
“Ya ampun, Hinata. Ini lucu sekali. Dan brand ini...” Kuriko menerima kotak sepatu itu ragu-ragu. Detik berikutnya, sepasang bilah keunguannya melotot. “Ini pasti sangat mahal, Hinata!”
“Trus kenapa kalo harganya mahal?” tanya Hinata sambil memiringkan kepala dan tersenyum manis. “Yang penting kita semua menyukainya kan?”
Setelah berpisah dengan Kuriko di lobby, Hinata mengubah haluannya menuju kantin utama. Seperti biasa, kantin utama selalu saja ramai oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Penyebabnya hanya satu, pilihan menu di kantin utama lebih banyak dan masakannya lebih enak serta terjamin kebersihannya. Hal semacam ini selalu menjadi poin utama bagi orang rumah sakit seperti dirinya.
Seperti yang dikatakan Kuriko, semua rekan PNSnya dari Corneanu sudah meninggalkan kampus untuk persiapan pulang besok, kecuali Yukari dan Junko yang masih sementara makan saat dia memasuki kantin. Mereka masih menyempatkan diri untuk bersantai sambil menunggu jemputan taksi online yang dipesan Junko.
“Kupikir kalian sudah keluar untuk mencari oleh-oleh,” gumam Hinata sambil menarik kursi untuk diduduki. “Kuriko baru saja pulang tadi.”
“Yah, aku sudah dengar soal anaknya. Dia pasti panik,” sahut Junko prihatin.
“Kamu sendiri kenapa masih anteng begini?” tanya Yukari dan dibalas cengiran lebar oleh juniornya itu.
“Harusnya aku yang nanya begitu,” balasnya. Detik berikutnya, cengiran lebarnya berubah menjadi seringaian tipis. “Sepertinya informasinya sudah tersebar ya?”
“Iya. Walaupun belum ada klarifikasi resmi, tapi aku yakin akan ada pertemuan besar-besaran dalam waktu dekat. Kudengar kamu yang sukses membereskan ghoul level tinggi tempo hari.”
“Padahal banyak yang ingin punya skill master sepertimu, tapi kamu malah jadi hunter pasif,” timpal Junko. “Sayang kan kalau skilmu itu hanya digunakan untuk mengisi waktu luang. Tuan Muda Tohru juga pasti akan sangat senang kalau calon istrinya bertarung di sisinya.”
Ini dia pembahasan yang paling dibenci Hinata sepanjang masa. Demi ramen pedas buatan ibu kantin favoritnya, apa dia harus menjelaskannya kepada semua orang satu per satu? Mengenai alasan kenapa dia berusaha untuk meminimalisir keterlibatan di medan pertempuran secara langsung?
“Sejak awal, tujuanku memang bukan untuk mendapatkan posisi di Departemen Pertahanan,” tandas Hinata. “Aku hanya ingin membantu sebisaku.”
“Makanya terjun langsung ke medan pertempuran tidak menjadi prioritas utamamu?” Yukari menatap Hinata tajam. Begini-begini, Yukari adalah satu di antara sedikit orang yang mengerti dengan situasi Hinata. “Aku tidak akan memaksamu, tapi aku harus mengatakan ini. Negara kita masih membutuhkan banyak hunter muda dan berbakat seperti dirimu.”
Hinata hanya tertawa menanggapi perkataan kedua rekannya itu. Untungnya Yukari tau kalau Hinata tidak pernah sudi membahas alasan mengapa dia tidak melibatkan diri sepenuhnya sebagai hunter aktif. Wanita itu juga pandai mengalihkan pembicaraan sehingga Hinata tidak sempat menunjukkan muka dongkolnya. Walaupun Junko bukanlah tipe yang senang membuat orang risih, dia hanya belum begitu mengenal kepribadian dan masa lalu Hinata. Jadi sering kali Yukari harus mengambil peran sebagai kakak yang baik dengan menjelaskan duduk perkaranya setelah hanya ada dia dan si pihak yang belum tau.
Yukari dan Junko langsung berpamitan begitu taksi online pesanan mereka sudah berada di depan kantin utama. Setahu Hinata, kedua pengantin baru itu menginap di rumah Yukari yang jaraknya cukup jauh dari kampus. Kira-kira dekat perbatasan kota. Dari sini mereka akan mampir ke mall dan beberapa toko terlebih dahulu untuk membeli oleh-oleh dan titipan kalau ada. Tapi Hinata tidak perlu merasa kesepian. Karena tak lama setelah kedua orang itu meninggalkan kantin, Reiko dan Natsume ikutan muncul setelah menyelesaikan kuliah pagi.
“Kak Hinata?” Reiko memekik anggun, sementara Natsume terlalu sibuk terperangah melihat idolanya sedang menikmati ramen pedas dalam kesendirian di depan jendela.
Akhirnya kedua gadis itu memesan menu yang sama karena penasaran dengan selera idola mereka. Langsung termenung setelah merasakan suapan pertama kuah ramennya. Hinata yang terlalu menikmati makanan kesukaannya sampai tidak menyadari kalau kedua fansnya sedang memandangnya dengan tampang horor sekaligus penasaran. Sepertinya tidak habis pikir dengan selera seorang Hinata Aozora.
“Ya ampun. Lihatlah betapa kuatnya dia,” gumam Natsume dalam hati.
“Aku tidak pernah tau kalau di kantin utama ada menu seperti ini.” Reiko sudah keringatan duluan saking pedasnya. “Yang memesannya pasti bukan orang sembarangan.”
“Bagaimana dia bisa memakannya tanpa terlihat kepedasan sedikit pun?!”
“Hm?” Hinata yang tadinya sedang menyeruput kuah ramenya dari sendok mendadak berhenti untuk menatap kedua gadis muda di depannya. “Apa kalian tidak tau kalau susu bisa mengurangi rasa pedas?”
“Hah?” Reiko dan Natsume cengo bukan main. Kenapa Hinata tiba-tiba berkata seperti itu? Apa dia bisa membaca pikiran seseorang? Sama sekali tidak, pemirsa! Kedua gadis itu hanya belum menyadari kalau jeritan hati mereka rupanya keceplosan dari mulut. Karena saat mereka menyadarinya, semua sudah terlambat.
“Kamu penasaran kan kenapa ini tidak begitu pedas menurutku? Natsume?”
JDER!!!
Natsume langsung melotot panik. Di sebelahnya, keringat dingin Reiko berleleran sebesar biji jagung. Padahal tadinya mereka hanya ingin lebih dekat dengan sang idola. Tapi kenapa situasinya malah jadi terasa memalukan seperti ini?!
Sampai malam pun Hinata masih tertawa kalau mengingat kejadian tadi siang. Pun setibanya di aula utama kantor wilayah Departemen Pertahanan, Tohru malah ikut tertawa setelah mendengar cerita lengkapnya. Mereka baru pasang muka kalem setelah dihampiri oleh sang calon kakak ipar yang senantiasa tampil feminim dan menawan. Siapa lagi kalau bukan Nona Muda Kaori Arashi?
“Tohru! Kamu tidak bilang kalau Hinata akan datang!?” omel Kaori jengkel.
“Kakak pikir aku tidak merasa sedih kalau kakak merebutnya hanya untuk diajak shopping sampai aku tidak kebagian waktu?” sungut Tohru tidak mau kalah.
“Kalian berdua tolong hentikan,” Hinata berusaha melerai. “Pertemuan nasionalnya akan segera dimulai.”
“Pokoknya aku tidak terima!” Kaori semakin menjadi-jadi.
Tohru pun tidak mengendurkan kekuatan sama sekali. “Apalagi aku?! Hinata itu tunanganku! Calon istriku! Harusnya aku yang menghabiskan waktu lebih banyak dengannya!”
“Hah?! Apa kamu sudah lupa?! Sebelum dia menjadi tunanganmu, aku yang duluan menganggapnya sebagai adik perempuanku! Jadi itu sudah menjadi hak dan kewajibanku sebagai kakaknya untuk menghabiskan waktu!”
Kericuhan yang disebabkan oleh dua elit khusus perwakilan keluarga Arashi itu tidak berhenti dengan mudah. Hinata sudah ingin kabur ketika sesosok tubuh tinggi kekar dengan lencana emas bergambar dua tornado menyilang di dada kiri berhenti tepat di depan wajahnya. Nyaris saja Hinata menabraknya dengan memalukan jika kakinya tidak cukup sigap mengerem.
“Lagi-lagi kedua bocah rusuh ini mengganggumu, Nona Aozora?”
Kaori dan Tohru yang mengenali suara itu mendadak diam. Raut tidak percaya tergambar jelas di wajah keduanya saat mereka dapati sosok sang ayah yang tinggi badannya hampir dua meter sedang mengobrol dengan Hinata. Lengkap dengan setelan dan beberapa lencana yang menegaskan posisinya sebagai seorang Grand Duke sehingga keberadaannya di antara para hunter tampak sangat mencolok.
“Tidak, Yang Mulia. Mereka hanya sedang menghabiskan waktu setelah cukup lama tidak bersua. Jadi saya memutuskan untuk memberi privasi,” jawab Hinata sesopan mungkin.
Grand Duke Arashi tersenyum ramaaah sekali. “Ternyata benar, mereka kembali berulah,” ujarnya sambil mengelus rambut Hinata. “Kamu selalu saja pandai membela mereka bahkan di saat kamu sendiri yang menjadi korbannya. Tenang saja, paman akan memberi hukuman yang adil kepada mereka setelah pertemuan ini selesai. Jadi jangan khawatir.”
“JANGAN KHAWATIR KEPALAMU?!” jerit Tohru dan Kaori dalam hati.
Selesai dengan Arashi bersaudara yang sampai bikin onar karena dirinya, Hinata mengincar salah satu spot dimana tidak akan ada yang mengenalinya. Baris ketiga dari depan di bagian sebelah kiri menjadi sasarannya karena terdapat banyak pemburu muda disana. Namun setibanya di tujuan, Hinata dibuat melongo dengan keberadaan Natsume tepat di sebelah kursi yang hendak dia duduki.
Natsume pun tidak kalah kagetnya. Lolipop yang di tangannya nyaris terjun bebas ke lantai saat Hinata bergerak dengan sigap untuk menangkapnya. Sepertinya Natsume sempat berpikir kalau dia sedang bermimpi. Tapi melihat Hinata sampai menyodorkan lolipopnya kembali, gadis itu langsung mencubit pipinya untuk mengkonfirmasi sekali lagi apakah ini kenyataan atau hanya khayalan spontan.
“Beneran bukan mimpi,” gumam Natsume setelah merasakan sakit lantaran mencubit pipinya sendiri hingga memerah.
Hinata lanjut menduduki kursi di sebelah Natsume dan kembali menyodorkan lolipopnya. “Kamu tidak apa-apa, Natsume? Kenapa kamu mencubit pipimu sendiri?”
“Ti-tidak kok, kak. Hanya sedang ingin memastikan sesuatu,” kilahnya sambil menerima lolipopnya kembali. “Kupikir aku sedang bermimpi. Tapi ternyata benar-benar kak Hinata.”
“Aku juga tidak menyangka akan bertemu dengan Natsume disini,” balas Hinata sambil menyilangkan pahanya. “Jadi, sudah berapa lama Natsume bergabung?”
“Kira-kira tiga tahunan, kak,” jawab Natsume gugup. “Kakak sendiri?”
Hinata nyengir sebentar sebelum menempatkan perhatiannya pada layar besar di hadapan mereka. “Cukup lama sih, aku tidak pernah menghitungnya,” jawabnya. “Yang jelas aku sudah bergabung setelah benar-benar mahir menggunakan katana.”
“Hunter pengguna katana?” Natsume menyalakan ponselnya dan mengetuk ikon kalkulator kedua di layarnya. Langsung memasuki menu pencarian dan menginput nama lengkap Hinata pada isian keyword.
“Kira-kira pertengahan semester dua kelas delapan,” lanjutnya bersamaan dengan munculnya tulisan di layar ponsel Natsume.
‘The name you’re searching for was not found.’
Jangankan Natsume, para pemburu muda di sekitar mereka yang tidak sengaja mencuri dengar serempak mempelototi Hinata. Natsume kembali memainkan ponselnya, namun kata kunci pencarian yang dia masukkan tidak ada yang sesuai.
“Kakak tidak menggunakan nama asli sebagai user ID?” tanya Natsume kemudian.
“Iya. Coba cari chaneko di user ID,” tukasnya.
“Chaneko?”
Jari-jari lentik Natsume bergerak cepat mengikuti instruksi dari Hinata. Tak tanggung-tanggung, para pemburu muda di sekitar yang mengikuti pembicaraan mereka ikut memasukkan user yang disebutkan Hinata dan malah berakhir syok berjamaah. Beberapa bahkan spontan menjerit heboh, ada pula yang menatap wajah Hinata dan layar ponsel mereka bergantian.
“Part-timer Hidden Raven...” gumam Natsume tidak percaya. Profil Hinata yang memakai foto kartun kucing abu-abu sedang minum teh hijau panas memenuhi layar ponsel pintarnya.
Hinata melirik sekilas sambil tersenyum. “Tidak perlu seheboh itu. Aku yang jarang tampil ini tidak ada apa-apanya dibanding hunter muda yang masih aktif dan penuh semangat seperti kalian.”
Natsume ingin memprotes, tapi keburu didahului oleh suara host yang kerasnya santero aula. “SELAMAT MALAM DAN TERIMA KASIH KEPADA SELURUH TAMU KEHORMATAN DAN PARA HUNTER YANG MENYEMPATKAN DIRI UNTUK HADIR PADA MALAM HARI INI.”
Aula yang lebih mirip ruang pertunjukan opera abad pertengahan itu mendadak bergemuruh oleh sorakan meriah dari para hunter yang hadir. Namun suasana meriah itu berubah suram ketika tujuan diadakannya pertemuan besar-besaran ini mulai dipaparkan. Sesuai namanya, pertemuan skala nasional ini dipimpin oleh Menteri Pertahanan Homura XIV secara online conference langsung dari ruang rapat di ibukota negara Raceanu.
Homura XIV sendiri dikenal sebagai keturunan dari keluarga bangsawan pemburu iblis terkuat sepanjang sejarah kekaisaran Arslandia. Sebagai keturunan dari dinasti kaisar sebelumnya, Homura V diberi kepercayaan untuk membimbing para hunter di seluruh pelosok negeri dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik hingga generasi yang sekarang. Walaupun dilaksanakan secara daring, menghadiri pertemuan yang dipimpin langsung oleh sang Archduke adalah sebuah kehormatan besar.
“Wow, ini pertama kalinya aku melihat wajah Menteri Pertahanan kita,” terdengar bisik-bisik dari belakang.
“Walaupun sudah tua begitu, gantengnya masih kelihatan.”
“Pasti mirip idol Rangeul pas masih muda.”
Hinata ingin tersenyum mendengarnya, namun pembahasan pada pertemuan hari ini membuat moodnya hancur. Sebagian besar hunter yang tadinya tampak penuh semangat kini menunjukkan raut ketakutan tak lama setelah sebuah lukisan digital dari seorang pemuda berambut hitam ditampilkan di layar. Kulitnya putih seperti porselen dan biji matanya sebiru safir, memakai setelan serba putih dengan anting-anting silver berbentuk salib terbalik. Hinata dan sekelompok orang termasuk Tohru dan Kaori tidak sekaget yang lain setelah pembawa materi pertama menjelaskan siapa sebenarnya pria itu, karena lukisan yang kini terpampang di hadapan semua orang adalah lukisan yang sama dengan yang ditunjukkan Tohru semalam. Pemuda mencurigakan yang diduga sebagai iblis yang mengubah seorang masyarakat biasa menjadi ghoul.
“Seperti yang bisa dilihat oleh para hadirin sekalian. Berdasarkan hasil penyelidikan yang berhasil dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri, kami menemukan bahwa sebagian besar dari kemunculan yuurei ada kaitannya dengan pria ini,” jelas si pembawa materi yang merupakan seorang wanita muda sepantaran Kaori dengan visual yang memanjakan mata. Sempat Hinata melihat Kaori memukul kepala Tohru karena terlalu lama menatap si pembawa materi. “Dilihat dari banyaknya sumber dan artefak yang membahas tentang perang besar melawan iblis ribuan tahun silam, kami berhasil mengidentifikasi pria ini sebagai putra kedua Raja Iblis yang menyebabkan perang tersebut. Meskipun konon dia dapat mengubah ciri-ciri fisiknya, hadirin tetap dihimbau untuk berhati-hati. Karena sampai hari ini, tidak sedikit hunter yang jatuh ke tangannya dan berubah menjadi yuurei.”
“Ada kemungkinan bahwa dia berencana untuk mengulang bencana tersebut. Oleh sebab itu, dari keputusan akhir rapat dengan kaisar dan seluruh menteri, kita akan mencoba melakukan upaya pencegahan. Dan hal pertama yang dilakukan adalah meminta kerjasama dengan dua dari tiga pilar yang tersisa.”
“Pilar?! Apa para menteri sudah gila?!”
“Para tetua berkorban untuk menyegel mereka! Bagaimana kita meminta kerjasama dengan makhluk-makhluk itu?!”
Seluruh aula kembali bergemuruh. Sepertinya seruan tidak setuju berasal dari para senior yang sudah bergabung selama sepuluh tahunan ke atas. Mereka yang masih muda hanya diam menonton karena berpikir bahwa para menteri pasti memiliki pertimbangannya masing-masing. Hinata pun demikian, dua pilar yang dimaksud adalah saksi hidup yang sudah ada bahkan sebelum perang pertama meletus. Sekalipun keduanya adalah makhluk yang sangat berbahaya, tetapi para manusia tetap akan kehabisan pilihan pada akhirnya.
“Sepertinya situasi ini lebih gawat dari yang kubayangkan,” Natsume bergumam saat dia melihat Hinata pergi meninggalkan kursinya tanpa mengatakan apapun.
Wajar saja, membahas para pilar adalah satu dari sekian topik yang dibenci Hinata. Namun saat dia berpikir bahwa tindakan ini tidak akan ada hubungannya dengan dirinya, sang Menteri Pertahanan yang bergegas mengambil alih mikrofon untuk meredakan kekacauan seketika membuat langkah Hinata terhenti di depan pintu keluar.
“Saya tau keputusan ini kedengarannya mustahil dan sangat beresiko. Tapi kami sudah mempertimbangkannya, dan pihak-pihak mana saja yang akan terlibat langsung,” kata lelaki paruh baya berambut lurus sepundak itu. Suara dan wibawanya yang luar biasa sontak membuat semua orang terdiam. “Berhubung sasaran kita hanya dua pilar, kita akan membutuhkan bantuan para pewaris sah dari keempat Grand Duke untuk berpartisipasi. Kami sengaja memilih langsung karena informasi dari keempat Grand Duke sendiri, para pewaris sah ini telah dipastikan mendapatkan kekuasaan atas artefak milik keluarga masing-masing.”
Saat Hinata menoleh, empat pas foto dari profil hunter yang dimaksud telah ditampilkan berjejer pada satu-satunya layar besar di aula tersebut lengkap dengan dua foto hasil tangkapan dokumentator pada pertarungan terakhir masing-masing. Foto Hinata berada di urutan kedua, bersebelahan dengan Tohru. Foto dokumenter yang dipilih adalah adegan dimana dia menyelamatkan nyawa Toujurou dan memasukkan ujung senapannya ke dalam rongga mulut si ghoul. Sebenarnya tiga orang lainnya juga tidak kalah gilanya, seperti Tohru yang memotong lawannya menjadi dua dengan tebasan vertikal. Tapi karena Hinata Aozora adalah satu-satunya wanita yang menjadi pewaris sah, langsung saja terdengar kehebohan dari orang-orang yang kagum dengan kemampuannya.
Di tempat duduknya, Tohru menggeleng sambil tersenyum miris. Kaori di sebelahnya menepuk pundak sang adik dengan tatapan khawatir. Tohru tampak mengatakan sesuatu, tapi kerutan di kening Kaori tidak kunjung memudar saat ia kembalikan pandangannya ke arah layar.
Puas melihat hasil dari keputusan para menteri mengenai kedua pilar, Hinata kembali berpaling dan melanjutkan langkahnya. Tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap berada di tempat ini. Toh hasilnya sudah diputuskan, berikut pembagian tugasnya. Jika dia tidak kebagian mengurus pilar A, maka bagiannya sudah pasti adalah pilar B.
“Sepertinya aku harus segera kembali ke perpustakaan keluarga dan belajar lebih banyak lagi,” gumam gadis itu sambil memasang topi fedoranya dan menutup resleting mantelnya. Tanpa dia sadari, Grand Duke Arashi yang sedari tadi mengikuti pertemuan dari kursi tamu undangan ternyata memperhatikan gelagak calon menantunya.
Bersambung...
264Please respect copyright.PENANAGrpLMncWEw
264Please respect copyright.PENANAj58o9CC4C4