Rintik hujan turun pagi ini, aku menggeliat merasakan tangan Jimmi melingkar erat diperutku dan kepalanya tepat di punggungku. Dia terlihat seperti anak kecil yang memeluk ibunya. Aku mengelus tangannya dan berbalik untuk membangunkan Jimmi. Aku harus bekerja dan sebelum bekerja aku harus menyiapkan sarapan. "bangun. Aku kerja" kataku. "izin saja, hujan" dia membalas dengan gumaman. " izin hari ini berarti aku tidak bisa cuti untuk lusa" jawabanku sukses membuat matanya terbuka lebar dan membuka selimut dengan sembarangan.
"aku mandi duluan, nanti aku siapin sarapan kamu siap-siap ku antar" lanjutnya lalu bergegas ke kamar mandi. Aku tersenyum, lucu saat melihat dia gelagapan. Walaupun tidak didasari rasa cinta aku sudah bisa menerima Jimmi dihidupku. Aku membereskan tempat tidur dan membuka gorden kamar untuk melihat lebih jelas keadaan di luar. Hujannya sedikit reda berarti aku tidak perlu khawatir kebanjiran di komplek depan.
"Hana ngapain? Mandi dulu" suara lembut itu menginterupsi indera pendengaranku.
"yakin kamu yang mau masak? Aku aja yang masak tunggu selesai mandi" sahutku sambil menyepol rambut bersiap untuk mandi. " percaya sama aku kalau aku bisa masak sandwich sarapan simple" dia berbicara sambil menepuk dada pelan. Aku tersenyum lalu mengangguk memasuki kamar mandi.
Benar setelah selesai urusanku dengan make up dan sebagainya di meja makan dua potong sandwich sudah tersaji lengkap dengan teh hangat. Dia masuk dari luar rumah memakai jaket hodie abu milikku yang memang berukuran over. Benar-benar di luar dugaanku aku bahkan dibuat menganga jika tidak dia mengajak untuk menikmati sarapannya. " kemana tadi?" tanyaku pelan. " buang sampah, tdi rotinya banyak yang basi jadi aku buang" jawabnya santai. Tentu saja banyak yang basi karena dia yang jarang mau sarapan roti dan juga dia yang sangat suka berbelanja roti. Entahlah dia memang agak aneh bagiku.
"jam setengah 3 kujemput ya Han" katanya saat keluar dari mobil. Iya dia mengantarku hari ini karena terlalu bersemangat untuk cuti yang akan aku ajukan hari ini. Sungguh dia lucu. Aku mengangguk lantas melambaikan tangan saat mobilnya melaju meninggalkan parkiran tempat kerjaku.
"ciee dianter suami" suara Dinda mengagetkan pagiku kali ini. "tumben banget Han dianter" katanya penasaran."kepo banget Dinda"sahutku sambil berjalan cepat mendahuluinya. "hehh kan cuma nanyaa Hanaa ihhh" teriakan Dinda cukup membuat kami menjadi pusat perhatian. "pelan-pelan gue mau denger cerita lo " dia kembali bertanya tanda rasa penasarannya belum terobati. Akhirnya aku mengalah dan meceritakan semuanya dan berakhir dengan cie cie yang berkepanjangan.
Demi tuhan aku tidak berniat terlambat untuk turun keparkiran, ini semua karena laptop dan komputer kantor yang tiba-tiba blank dan input seluruh data terhambat. Aku bahkan tidak sempat menghubungi Jimmi karena panik dan krodit yang terjadi. Aku berlari keparkiran mendapati mobil Jimmi terparkir ditempat dia menurunkanku tadi pagi. Aku mengetuk pintu mobil tidak ada sahutan hingga aku membuka pintu mobil dan ternyata tidak dikunci. Aku melihat Jimmi menelungkupkan kepalanya pada stir.
Perasaan bersalah menyelimutiku. "Jimmi" kataku sambil mengusap lengannya. Dia menoleh matanya merah, wajahnya benar-benar kusut aku makin dibuat khawatir. Tiba-tiba dia memelukku erat menyembunyikan wajahnya diceruk leherku sambil menangis tersedu. Aku panik tidak tahu harus bagaimana dan yang aku lakukan hanya mengelus punggungnya. Dia melepaskan pelukannya menatapku sekilas dan mencium bibirku tanpa aba-aba.
Kasar, dia menciumku kasar. Dan ini adalah ciuman pertamaku dengan dia. Benar selama menikah aku dan dia hanya tidur bersama tidak lebih. Aku menepuk dadanya, nafasku rasanya habis dan bibir rasanya perih. Ditambah ini masih di parkiran kantorku aku takut sekali kalau sampai ada yang melihat. Hampir lima menit dia menciumku kasar dan akhirnya mengakhiri ciumannya.
Aku kehabisan nafas. Sedangkan dia masih terengah-engah air matanya pun masih menetes. Mataku ikut memanas, ini pertama kalinya aku dicium sekasar ini dan rasanya sangat tidak nyaman.
"Hana maaf" suara lembutnya membuatku mendongak menatap manik mat merahnya. "ayo pulang, sudah sore" kataku sambil mengalihkan perhatian. Dia diam saja memasangkan seatbeltku lalu menjalankan mobil tanpa bicara sepatah katapun. Suasana canggung ini terjadi bahkan hingga sampai di depan rumah.
233Please respect copyright.PENANA0x8ilRcde2
233Please respect copyright.PENANATw0TS8ya4c
233Please respect copyright.PENANAQ8j089ORSh