Di luar Sakti benar bertemu dengan kliennya yang tak lain adalah sahabatnya sendiri Erfan.
"Wuih pengantin baru uda keluar keluar aja langsung kerja" ledek Erfan
"Pengantin baru atau bukan sama aja Fan. Udah lah bahas proyek kita aja gimana ini perkembangannya" ucap Sakti mengalihkan topik
"Wah ada yang nggak beres kayaknya sama pernikahan lo" selidik Erfan yang langsung tepat sasaran
"Haiiis, ya gimana Fan lo tau kan gua belum ada fikiran mau nikah secepet ini. Kalau bukan karena peemintaan orang tua gue, dan lagi penyakit Papa nggak akan gua nikah. Dia pun begitu mungkin nggak akan terima perjodohan ini" cerita Sakti
"Papa sakit? Sakit apa Sak?" Tanya Erfan
"Kata dia Kanker stadium akhir" ucap Sakti lesu kembali mengingat penyakit Papanya
"Lo.serius? Lo uda tanya sama dokternya langsung?" Tanya Erfan dan baru kali ini Sakti sadar, dia hanya percaya ucapan Papanya tanpa bertanya kepada dokter langsung.
"Nggak sih Fan, tapi entar deh gua tanya. Kalau sampai Papa berbohong sih keterlaluan, gimana nasip gue dong" ucap Sakti frustasi
"Nasip lo? Ya bagus dong artinya Papa lo nggak sakit." Ucap Erfan santai
"Maksud gue pernikahan ini? Jujur gua nggak suka sama cewe ini, gua cuma suka jadiin dia sahabat aja karena dia selalu mengerti apa yang gua rasain, apa yang gua fikirkan tanpa gua kasih tau ke dia" jelas Sakti mengingat kembali Rara
"Hahahaahah sahabat kata lo? Sahabat nggak enak bro, enakan jadi istri halal semuanya" ucap Erfan sambil mengedipkan matanya
"Anj**t lo. Hah yang jelas gua bawaannya bete aja kalo ngeliat muka dia. Mau berusaha baikpun gua nggak bisa" ucap Sakti
"Selow aja bro, coba lo terima dia sebagai temaN hidup. Lo nggak usah berusaha sekuat tenaga, ikutin aja alurnya" titah Erfan
"Namanya dijodohkan, lu belum kenal dia sedikitpun. Maka itu pelan pelan untuk kenal, nggak usah dipaksa harus suka dulu. Biarkan mengalir bagai air, tapi bukan berarti lo ikutin arusnya maka lo akan terseret." Erfan memberikan sedikit pencerahannya.
Sakti mendengarkan nasihat sahabatnya itu dengan seksama. Namun dirinya tetap tidak bisa menerima karena di hatinya masih berfikir dengan adanya Rara maka kehidupannya akan menjadi beban.
Di apartemen
Rara baru selesai memasak setelah beberapa jam yang lalu ia membereskan semua barang barang dan perlengkapan di apartemennya.
"Huh capek juga ya" ucap Rara sambil mengusap peluhnya. Iapun kemudian memutuskan untuk mandi terlebih dulu.
Tanpa ia sadari, Sakti sudah tiba dirumah. Saktipun melihat kini apartemennya terlihat hidup dan bersih rapih, iapun melihat di atas meja makan yang tidak kosong.
Saat melihatnya perut Sakti berontak seraya mengatakan untuk mencicipi.
"Dia emang bisa masak ya? Kalo ini nggak enak habis dah" ucap Sakti saat ingin mencicipi masakan Rara.
"Loh Mas udah pulang? Mau makan? Biar saya yang siapin" ucap Rara yang baru saja selesai mandi. Namun tetap bajunya masih tertutup rapih walau kini dia sudah tidak mengenakan hijabnya.
"Saya bisa ambil sendiri" tolak Sakti, Rarapun berlalu untuk menjemur handuk dan mencuci baju di ruang laundry.
"Enak juga masakan dia, tidak kalah dengan restaurant mahal" puji Sakti sesaat telah mencicipi masakan Rara.
Entah sudah berapa kali dia menambah makanannya hingga hampir habis.
Sakti sudah selesai makan, iapun segera masuk kedalam kamarnya untuk mandi tetapi ia batalkan karena kini dirinya malah tertidur pulas karena kekenyangan.
Sedangkan Rara sudah selesai mencuci dan ingin makan karena dari tadi pagi dirinya belum makan.
"Lah Mas Sakti tadi nggak makan diluar? Ini makanan uda mau abis gini. Alhamdulillah berarti masakan aku cocok dilidahnya" ucap syukur Rara, iapun segera menghabis sisa yang masih ada di meja.
ns 15.158.61.55da2