
Rambut di memeknya seolah menggelitik pangkal kontolku. Memang rambut memek milik Widya sedikit lebih banyak dari milik Bu Alvi, tapi itu tidak menyurutkan rasa sangeku.
Justru sebaliknya, ketika rambut memeknya bertemu dengan kulitku, seluruh tubuh kurasakan merinding hebat.
"Aahhhhh ...."
Tubuh Widya melengkung ke atas, tangannya mencengkeram sprei merah seolah bisa merobeknya kapan pun. Napasnya tak karuan, keluar masuk tanpa ritme jelas, membuat sepasang toket Widya bergerak naik turun dan memantul-mantul.
Tanganku bergerak tanpa sadar meremasnya. Tubuh Widya sedikit tersentak sebagai respon.
"Ahh Widya ... Widya ... lo cantik banget, seksi banget."
"Eerrgggg ...." Widya masih mengerang kesakitan. "Saaakiiitt ...."
"Cuma sebentar kok, gue janji."
Melihatnya yang kepayahan seperti itu, aku merasa kasihan juga. Kuraih wajahnya yang penuh air mata dengan dua tangan, kuarahkan bibirku ke bibirnya, dan kucium. Bibir kami saling menempel erat dan panas. Dada Widya mendorong dadaku dengan puting mengeras.
Aku melepas ciuman, tapi tanpa menarik muka. Wajah kami berdekatan. "Gue gerak, ya?"
Widya tak menjawab, hanya membuka sedikit mata dan terus merengek.
Kuanggap itu sebagai jawaban "iya". Pinggul kutarik perlahan lalu kudorong lagi pelan-pelan.
"Aaakkhhh!!!"
Daripada disebut desah kenikmatan, itu lebih pantas dibilang erang kesakitan. Widya memejamkan mata lagi, air mata jatuh lebih banyak.
Aku menarik pinggul lagi, mendorongnya lagi.
"Aakkhh!!!"
Masih berupa erang kesakitan.
Kini aku benar-benar merasa kasihan. Tapi tak mungkin nafsu ini lenyap hanya karena kasihan.
"Wid, Widya ...." Kuusap kedua pipinya. "Nikmatin aja, Wid, jangan dipikir sakitnya ... Sstt ...."
"Anjing lo ... Enggh ... sakit banget bangsat!"
Aku menciumnya, mengisap bibirnya. Dia tak melawan, entah tidak mampu atau tidak kuat.
Aku bergerak lagi. Sampai tiga kali sodokan perlahan, Widya masih terus mengerang kesakitan. Akan tetapi makin lama, dia berhenti mengerang, bahkan tubuhnya yang sejak tadi agak meronta pun kini diam. Hanya saja masih kurasakan ototnya yang menegang luar biasa.
Aku melepas ciumanku, dia memandangku dalam-dalam. Bibir sedikit terbuka, mata setengah tertutup, Widya mencoba mengatur pernapasan di tengah sisa-sisa tangisnya.
"Lan ...."
"Lo nggak bakal kesakitan lagi, Wid. Nikmatin aja, nikmatin aja." Aku menggenggam dua tangannya, dengan segera jari-jari kami langsung saling cengkeram.
Genjotanku sedikit lebih cepat. Tubuh Widya terhentak-hentak, dadanya naik turun. Ia kembali memejamkan mata.
"Emhh ... emhh ... ahh ...."
Ia mulai menikmati, aku tahu itu.
Ritme genjotanku tak berubah. Makin lama semakin terdengar suara cabul di bawah sana, menandakan memek Widya makin basah dan pelumasnya bertambah banyak.
"Lo sange juga, Wid." Aku tak bisa menahan senyumku. "Jangan ditahan."
"Anjing ...." Dengan muka merah, ia memalingkan muka. Bibir bawahnya digigit kuat-kuat.
"Gue cepetin, aahh ... ahh ...."
Genjotan kupercepat. Semakin lama, rasanya tidak sesulit itu. Walau gigitan memek Widya jauh lebih ganas dari milik Bu Alvi, tapi aku tetap bisa menggerakkannya.
"Rapet banget punya lo." Aku terus bergerak, berusaha memuji untuk menambah gairah Widya.
"Eerrkk emmhh ...." Dia terus menggigit bibir.
Keringat kami mulai bercucuran, tubuh Widya tampak berkilat tertimpa cahaya lampu. Ini adalah kondisi yang paling kusuka ketika ngentot dengan Bu Alvi. Entah mengapa, tubuh berkilat licin ditambah bau keringat yang menyengat membuatku makin menjadi.
Aku menunduk untuk menjilati keringat di leher Widya.
"Uughh ... Aahhh ...."
"Desah, Wid ... lo harus desah."
Widya tetap menggigit bibirnya. Aku melihatnya menutup mata kuat-kuat.
Aku semakin tergoda untuk menembus "pertahanannya".
"Biar Vino sange, lo harus desah!"
Sambil berkata, kusodok secara mendadak sampai jauh ke dalam. Badan Widya terlonjak, mata dan mulutnya terbuka lebar.
"Ayo teriak aja, Wid!" Kembali aku menyodok tiba-tiba. Widya belum mengeluarkan suara, justru kehabisan napas. "Jangan malu!"
Dalam genjotan ketiga ini, dada Widya membusung dan terdengar suaranya yang merdu.
"Aaahhhh!!!"
"Bagus!" Aku menggenjot lagi.
"Aahhh!!"
"Iya, bagus suaramu!" Lagi.
"Aahhh ... aahhh ...!"
Dan genjotanku makin cepat.
"Aaahhh Nolan ... tung—aahh!!!"
Widya tampak belum siap, tapi aku tetap menggenjot makin cepat. Tangannya menekan-nekan perutku, berusaha menghentikanku atau membuatku sedikit melambat, tapi aku menarik tangannya dan menekan ke kasur.
"Aaahhh sakit ... aahh aahh!!" Widya mendongak, menggeliat. "Sakitt ... sakitt ... Aahh ahhh ... enaaakk ... enaakk, teruuuss aaahhh!!!"
Aku menyeringai tanpa sadar. Widya sudah kehilangan akalnya, tenggelam dalam nafsunya sendiri.
"Widya ... aahh ahhh!" Genjotanku makin berani dan ganas.
Plokk ... Plookk ... Plookk ....
Suara cabul terdengar makin keras diiringi desahan seksi dari mulut Widya. Sesekali kurasakan memeknya mengkerut dan mencengkeram kuat sekali sebelum kembali mengendur. Hal ini membuat rasa sangeku makin tak karuan.
"Aahh croott ... Wid gue ngecrottt!!"
"Aauuhh ... auuhh ... ahh ahhh!!"
Seolah tak mendengarnya, Widya terus mendesah dan mendesah. Dadanya dibusungkan tinggi-tinggi seolah memamerkannnya padaku.
"Nolan ... Teruuuss, teruusss ... Aaghhh!!!"
Kulihat matanya melotot lalu berputar ke atas. Mulutnya terbuka lebar, meneteskan air liur yang bercampur dengan air mata kering.
Namun, spermaku sudah di kepala kontol.
Aku mencabutnya mendadak, membuat Widya terhenyak. Kemudian sambil mengocok keras, kuarahkan kontolku ke perutnya.
"Aakkhh crot!"
Tujuh kali tembakan lebih spermaku mengotori perut indah milik Widya. Teman masa kecilku ini hanya mampu terengah-engah dan memandang takjub.
Perlahan senyum di bibir Widya terbit, aku melihat ada raut kebanggaan di sana. Tentu saja dia merasa bangga karena berhasil membuat seorang lelaki mencapai klimaks. Itu adalah ekspresi yang biasanya ditampilkan Bu Alvi ketika berhasil membuatku crot lebih dari satu kali.
Aku masih mengatur napas saat ia bertanya. "Gimana ... enak? Kira-kira Vino bakal seneng, nggak?"
Aku melihat Widya sama sekali tidak memandang jijik ke arah spermaku. Justru dia meratakan sperma itu ke seluruh perutnya. Ouhh seksi sekali.
"Lo nggak jijik lihat sperma gue?"
"Kenapa harus jijik?" Dia balik bertanya. "Gue pernah nonton di film porno bahkan lebih banyak dari ini."
"Lo nonton porno?"
Widya mengangguk malu-malu. "Tapi gue nggak tahu harus praktek sama siapa."
Kaki Widya masih mengangkang lebar, hal ini membuatku dapat melihat dengan memek merahnya yang berdarah.
"Masih sakit, Wid?"
Ia mengangguk samar. "Iya sih, semoga aja besok udah mendingan."
Dia menarik dirinya, perlahan ia bangkit duduk di hadapanku. Dengan senyum lebar dan tawa pelan, sambil mengusap air mata, ia berkata. "Jadi gitu, ya rasanya ngentot."
"Ternyata nggak serem-serem amat," lanjutnya sambil mengusap kedua puting. Dia mengerang sendiri. "Aww geli, hehe. Tapi enak. Makasih—Lan?"
Dia memandangku dengan bingung.
"Nolan?"
Widya mengusap wajahku, menepuknya pelan. "Lan? Hei, Nolan! Jangan main-main lo! Hei!"
"Wid ...." Entah kenapa tiba-tiba kata itu muncul dengan sendirinya. "Widya ...."
"Kenapa? Lo kenapa?" Wajahnya tampak khawatir.
"Gue ...." Dan tanpa sadar, aku menggerakkan tangan Widya ke kontolku. "Gue ... gue ngaceng lagi."
Widya menurunkan pandangannya perlahan lalu terbelalak. "Bangsat!" Pekiknya kaget. "Lo serius?"
"Wid, tolong ...." Aku mendekatinya, menarik kaosnya ke atas dan meremas-remas toketnya. "Lagi ...."
"Ehh, gila lo—emhh!!"
Aku sudah mencium bibirnya.
Dia memukul dadaku dua kali, tapi akhirnya pasrah dan tak melawan. Saat kulepas, tatapannya memandangku sendu. Ketika itu, aku tak lagi melihat gadis tomboi, yang ada adalah gadis cantik dengan segala kelembutannya.
"Lo belum puas?" ia bertanya lirih, penuh pengertian.
"Gue ... gue ...." Aku merasa tak enak dengan Widya. Tapi nafsuku terus bangkit. "Gue kebiasaan crot lebih dari sekali kalo ngentot."
Widya menatap mataku intens, aku tak berusaha mengalihkan pandangan.
Dia lalu menghela napas panjang dan melepas kaos serta bh nya. Kini, kami benar-benar telanjang.
"Lo ke sini buat ngajarin gue," katanya. "Gue mau lanjut lagi kalo gue dapet ilmu baru."
Tentu saja aku menyambutnya dengan girang. "Lo goyang!"
"Apa?"
Aku langsung merebahkan diri di hadapannya. Kontolku makin membesar.
"Naik ke kontol gue, lo yang goyang. Di film porno sering."
"Eh?" Tiba-tiba wajahnya memerah. Kedua tangannya bergerak menutup dsda. "Gue ... gue malu posisi itu. Lo bisa liatin semua badan gue."
"Hahahaha." Aku tertawa tanpa mampu kutahan. "Sejak tadi gue udah lihat badan lo. Nggak usah malu, Wid. Lo cantik, lo seksi, gue pengen lihat lagi."
Ini mungkin memberi suatu kepercayaan diri. Widya menurunkan tangannya, memperlihatkan dua toket dan perut mengkilat karena spermaku.
"K-kalo elo maksa," katanya.
Perlahan ia mendekati tempatku berbaring, menatap kontol ini penuh takjub. "Gue masih nggak percaya kontol segede itu bisa muat," lanjutnya.
Aku diam dan hanya tersenyum.
Dengan sedikit ragu, Widya mengangkangiku bertumpu pada kedua lutut. Memeknya yang berdarah belum dibersihkan, tapi aku tak masalah, dia pun agaknya tak masalah.
Widya menatapku dalam-dalam. "Ini ... gue malu ...."
Aku mengelus pinggangnya. "Elo cantik, Wid. Percaya sama gue."
"Beneran?"
"Bener."
Widya menahan senyum, pipinya memerah. "Elo ... lo pemaksa anjing ... bangsat lo! Lo perkosa gue malam ini!"
Manis sekali!!
Sikapnya yang malu-malu itu baru pertama kali kulihat seumur hidup! Tak pernah kusangka Widya bisa malu-malu kucing dan bersikap layaknya seorang wanita yang terbang kegirangan karena dipuji.
Walau begitu, dia meraih kontolku dan mengarahkan ke memeknya. Tentu saja agak kesulitan, apalagi dia tak mampu melihat dengan jelas.
"Susah banget ...," keluhnya entah yang kebberapa.
Aku memutuskan untuk memegang kontolku. "Nah, masukin."
Dia memandangku sesaat, menggigit bibirnya. "Lo anjing, pemaksa, udah dibikin crot minta lagi. Anjing, bangsat!"
"Iya ... iya ... cepet masuk." Aku tertawa geli. "Gue nggak sabar pingin rasain memek lo yang ketat itu."
"Ihh!" Pipinya makin merah, senyumnya tak tertahankan lagi.
Widya benar-benar haus akan pujian.
"Emmhhh ...." Ia mengarahkan kontol itu ke memeknya.
Ini jadi lebih mudah.
Tak lama kemudian
Suara merdu kembali terdengar.
"Aahhhh!!!"
Posisi favoritku dengan Bu Alvi. Dari yang aku tahu, ini namanya woman on top. Posisi ketika sang wanita menunggangi si pria dengan desahan seksi dan goyangan mantap.
Dalam posisi ini, aku bisa menikmati entotan dan pemandangan eksotis dari wanita yang ada di hadapanku sepenuhnya. Aku tak perlu keluar tenaga. Cukup menikmati aksi goyangan nikmat dan suara merdu dari desah menggoda.
Kulihat seluruh tubuh Widya dari ujung rambut sampai jembutnya. Ia menatapku sambil meringis. Kedua tangan mencengkeram pahanya sendiri. Kontolku baru masuk setengah.
"Wid ...." Aku tersenyum. "Baru masuk setengah."
"Gue tahu!" katanya sedikit cemberut. "Gue tahu, Nolan bangsat!"
"Ayo, goyang buat gue. Gue pengen lihat goyangan telanjang temen masa kecil gue."
Napas Widya memburu. Mulutnya terbuka perlahan. Kedua alisnya berkerut, matanya menyipit.
Aku sekarang tahu kelemahannya.
Dia tak tahan pujian.
"Bikin gue ngecrot lagi sama kecantikan lo."
Dan secara tiba-tiba, tubuhnya dibanting ke bawah. Suara keras terdengar saat selangkangannya bertemu dengan tubuhku.
"Aaahhhh!!!"
Teriakan yang lebih keras terdengar.
Teriakan dari seorang wanita yang baru saja kehilangan keperawanannya.
Teriakan dari seorang wanita yang merasa kenikmatan.
Teriakan dari Widya, teman masa kecilku.
ns 15.158.61.4da2