
Rumah Widya lumayan besar dengan dua lantai dan halaman tertutup tembok tinggi. Di sebelah kanan ada sepetak tanah kosong sebelum bertemu rumah lain, sedangkan di sebelah kiri berupa tanah luas menurun yang tak ada bangunan apa pun sampai di bawah. Tempat Widya ini berada di desa, bukan perumahan. Aku juga heran mengapa ada tempat seperti ini di tengah kota.
"Ayo masuk," katanya yang membuka pintu gerbang.
Aku memasukkan motor miliknya dan parkir di depan rumah. Halaman rumahnya dipenuhi tetumbuhan yang kelihatan familiar tapi tak kutahu apa namanya.
Pintu gerbang ditutup, Widya bergerak cepat membuka pintu. "Ayo, bawa sendalmu ke dalem sekalian."
Aku menurut saja.
Bagian dalam rumahnya dicat dengan warna putih, senada dengan tembok di luar. Kursi sofa panjang dan pendek terlihat di ruang tempat televisi berada. Sedangkan beberapa kursi panjang menyambutku pertama kali begitu baru masuk. Setelah melewati ruang tamu dan ruang tengah, Wifya berbelok ke kiri menuju tangga. Jika tadi lurus terus, maka akan sampai dapur.
Di atas ada dua pintu dan tangga lagi menuju ke atas, mungkin loteng. Widya membuka salah satu pintunya, dan menyalakan lampu.
"Ini kamar gue." Ia duduk di kasur berseprai merah. "Jangan khawatir kedengeran tetangga. Bahkan kalau ada orang di rumah pun nggak perlu khawatir kecuali mereka masuk."
"Lah, kenapa?"
Widya menunjuk dinding kamar. "Kamar ini ada peredam." Sesaat berikutnya, ia menunduk menyembunyikan wajah kemerahan. "Jadi, kalo elo bisa buat gue teriak-teriak kayak di film porno gitu, nggak usah ragu. Nggak bakal ada yang denger."
"Wid ...."
Hanya berdua di kamar, rasanya gugup juga. Kuletakkan sendal di ujung dekat tembok lantas kututup pintu. "Sekali lagi, lo yakin?"
Widya mengangguk mantap. "Kita bisa mulai sekarang. Atau perlu gue buatin kopi dulu?"
Aku menggeleng. "Nggak perlu, langsung aja."
Widya meneguk ludah, kelihatan gugup. "Jangan kasar-kasar, ya ...." Ia menaikkan kedua kaki.
Kudekati pembaringan dan duduk di pinggirnya. Widya tak berani menatap mataku langsung. Hal ini membuatku sedikit heran, ternyata dia punya sisi malu-malu dan feminis juga.
"Lo pernah ciuman?"
Widya mengangguk.
"Kalo lo pengen buat Vino sange ke elo, lo harus bikin dia sange. Cara paling gampang ciuman."
Widya menatapku penasaran. "Kenapa harus begitu? Hampir tiap hari dia nyiumin gue."
"Ya karena ...." Aku menggaruk kepala. "Kalo ciuman, gue sebagai cowok bakal bisa sange. Gue yakin Vino juga sama." Dalam kepala, aku membayangkan Bu Alvi.
Widya menatapku penuh perhatian. "Yaudah kalo gitu." Dia mendekatiku dan langsung melingkarkan dua tangan. "Ciuman, kan?"
Kini, aku yang seharusnya mengajarinya, justru malah merasa kikuk.
"I-iya ...."
Widya mendekap kepalaku, menempelkan bibirnya ke bibirku tanpa ragu. Dia dengan lihai mengulum sepasang bibirku dan menghisap keras. Aku terkejut akan kemampuannya. Bibirnya lebih lembut dan manis daripada Bu Alvi, walau ciumannya tidak seganas wanita itu, perlakuan Widya ini cukup membuat nafsuku bangkit.
Kubalas mendekap kepalanya, menekannya ke wajahku. Aku membalas ciuman dengan memnghisap bibirnya. Dia mengerang lirih. Kugigit bibit bawahnya, kubuka perlahan, dan lidahku masuk.
"Emmhh!!" Matanya terbuka seketika.
Untuk sesaat kami saling berpandangan dalam jarak dekat, tapi aku segera menenggelamkan diri dalam kenikmatan ini. Bau wangi Widya yang khas membuatku tergila-gila. Aku saat ini sedang melumat lidahnya saat Widya sedikit memberontak.
Tapi tak akan semudah itu.
Aku terus menekan kepala Widya, mencegahnya kabur. Kupaksa lidahnya keluar untuk kuhisap. Napas kami semakin terengah.
"Emhh ... mmhhh ...." Widya mulai menikmati ini. Walau dadanya bergerak naik turun hampir kehabisan napas, tapi dia tak lagi memberontak.
Aku melepas ciuman perlahan. Dia masih membuka mulut, seolah memintaku melakukannya lagi.
"Gue belum pernah ciuman yang kayak gitu," katanya dengan mata setengah terbuka. "Oke, itu bikin Vino sange, gue yakin. Jadi sekarang—emh?!"
Aku kembali menciumnya. Bibir berkilat Widya sangat menggoda. Dengan lipstik merah jambu tipis yang terasa manis, aku ingin kembali merasakannya.
Perlahan kudorong tubuhnya hingga berbaring terlentang, dia tak melawan sama sekali. Ketika kubuka sedikit mataku, Widya hanya terpejam menikmati ciuman panas yang kuberi. Aku semakin senang, semakin percaya diri.
Aku melepas ciumanku kembali.
"Lan ... Nolan ...." Napasnya terengah. "Gue belum tahu apa-apa, lo harus—emhh!!"
Aku benar-benar tak tahan. Kembali kucium mulut manis yang sanga fasih mengumpat ini sembari meraba perut langsung Widya. Saat kusentuh, dia terlonjak sedikit, tangan kirinya bergerak mencegah.
Ciuman kembali kulepas.
"Anjing lo!" Makinya lirih, napasnya terengah. "Jelasin dulu gue musti apa, bangsat. Jangan lo—emh!"
Aku mencium kembali, melumat lidahnya, menghisap bibirnya.
Tangan kananku perlahan membuka kaos Widya. Kini dapat kurasakan kulit perutnya yang lembut. Widya yang tadi sedikit melakukan perlawanan, kini jadi jauh lebih sedikit. Dia mencoba menahan tanganku yang nakal ketika menggelitik pusarnya, tapi seolah tindakan Widya ini hanya formalitas.
Ciuman kulepas.
"Lo ... elo ...." Matanya melotot. "Stop!" Pekiknya sambil menekan wajahku yang kembali mendekat.
Wajah Widya merah sekali, cantik sekali, lucu sekali.
"Ini lo perkosa gue namanya, tai!" Dia memaki. Tapi dalam setiap katanya, ada sedikit getaran. "Gue harus apa? Gue harus apa biar Vino sange?"
Aku menepis tangannya yang menahan mulutku. "Lo sange gue giniin?"
Mata Widya membelalak, napasnya makin memburu. Alih-alih menjawab, dia justru melirik ke samping dengan bibir terkatup.
"Widya." Aku menarik dagunya, mengarahkan mukanya ke mukaku. "Jawab gue."
Widya memejamkan mata, bibirnya masih tertutup.
"Jawab gue, Wid."
"Iya!" Serunya sambil membuka mata lebar-lebar. "Gue jarang banget sange! Gua bahkan nggak pernah colmek selama ini. Sekarang ada cowok kenalan gue dari kecil, ada di kamar berduaan sama gue, ngeraba-raba perut gue, ciumin gue, kalo gue nggak sange, gue nggak normal!"
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. "Vino mungkin bakal lakuin ini juga ke elo. Biar dia sange, lo harus nikmatin semua yang dia lakuin. Tunjukin kalo lo seneng, tunjukin kalo lo juga sange, otomatis dia akan sange."
Aku bicara begitu karena pengalaman dengan Bu Alvi. Jika apa yang kulakukan membuatnya makin binal, otomatis nafsuku selalu meningkat.
"Eh ... begitu?"
"Begitu." Aku mendekatkan wajag dan berbisik. "Jadi, nikmati apa yang gue lakuin."
"Ugh ...." Wajahnya makin merah, tapi kini dia pasrah.
Kucium lehernya, kujilat dan kugigit ringan.
"Mmhh ...." Widya mengerang lirih tanpa ada perlawanan sama sekali.
Kini mudah bagiku untuk menarik kaosnya sampai di atas dada. Dada yang tak sebesar Bu Alvi, tapi bentuknya bulat dan atletis. Saat kulihat perut Widya pun, bentuknya bagus sekali.
Aku memijat-mijat perutnya.
"Eggh ... lo ngapain?" tanyanya.
"Gue penasaran." Aku kini yang sudah duduk dan melihat bagian depan tubuh indahnya dengan leluasa. "Perutmu kenceng banget, lo apain?"
"Olahragalah, bangsat!"
"Kasar banget omongan lo." Aku tersenyum mengejek. "Jangan gitu kalo pas sama Vino, bisa-bisa sangenya ilang."
"Ck." Dia memalingkan muka, kakinya merapat satu sama lain. "Jangan lihatin terus, ah. Malu gue!"
"Hahaha."
Tanganku bergerak menarik bh putih yang menutup kedua toketnya. Napas Widya manin menderu saat kedua puting coklatnya terpampang jelas tanpa pelindung.
Aku menatap ke sana sampai lama. Memamg tidak sebesar Bu Alvi, tapi bentuknya itu, aku sangat menyukainya.
"N-Nolan?" Gumamannya tak kuhiraukan. "Lan?" Dia menepuk kakiku.
Tangannya lantas bergerak, menutup kedua puting. Spontan, aku melihatnya dengan kecewa. Tampak wajah Widya malu-malu. Dia berkata tanpa menatapku. "Malu gue, njing."
"Malu kenapa?" Dengan bodoh, aku bertanya.
"Gue belum pernah seterbuka ini sama orang ...," lirihnya tanpa umpatan. "Dan elo ... elo yang bakal lihat pertama, lihat pertama gue tanpa baju, malam ini."
"Lo cantik banget."
"Eh?" Ia menoleh cepat menatapku. "Apa lo bilang?"
Aku mendekatkan bibir ke leher putihnya. "Lo cantik banget, Wid. Gue sange beneran ...."
Aku mencium lehernya lembut.
"Lan ...." Ia menggeliat, tangannya membuka membiarkan kedua putingnya kembali terlihat.
Kujilat perlahan ke bawah sambil mulai meremas kedua toket Widya. Tak mau terlalu lama, aku mencium puting kirinya, menjilatnya, dan menggigit.
"Aww sakit!"
Kuhiraukan. Aku terus melumat puting itu dan menghisapnya keras.
"Geli, Lan!" Dengan tangan kanan, ia berusaha mendorong kepalaku tapi tak mampu.
Selesai di toket kiri, aku berpindah ke toket kanan, lalu ke kiri lagi dan ke kanan lagi. Aku benar-benar sange sekarang, dan Widya menyerahkan diri secara cuma-cuma.
"Emmh ... Nolan."
Aku menghentikan hisapanku tiba-tiba. Tubuh Widya tersentak dan ia membuka mata. Ada sedikit sinar kecewa di matanya.
"Kenapa?" tanyanya lirih.
Aku membuka sabuk celananya dan menarik paksa. "Desah, Wid." Terlihat celana dalamnya yang putih pula. "Lo harus desah biar bikin gue tambah sange, biar bikin Vino sange."
"Ehh!!" Widya menutup selangkangannya. "Lan? Nolan, gue belum siap!"
Aku tak peduli. Kedua tangannya kusingkirkan lantas kupaksa kedua kakinya terpentang lebar. "Memek lo bakal gue jilatin dan lo harus desah."
"Nolan, jangan dulu."
"Jangan lupa desah."
"Nolan—aahh!!"
Aku mengecup klitorisnya yang sudah tampak mengeras. Lantas kujilat bibir memek Widya yang sudah basah entah sejak kapan. Mampu kurasakan tubuh gadis itu menggeliat hebat karena mendapst sensasi baru ini, tapi taku tak peduli dan terus menjilat.
"Nolan ... Nolan ... pelan-pelan ahh ahh."
"Bagus!" kataku di tengah-tengah jilatan. "Desah kayak gitu, jerit aja, Wid."
"Babi!!" Dia memaki. "Gue belum siap—aahhh!!"
Setelah kurasa cukup membasahi memeknya dengan jilatanku, aku menarik kepala dan menggosok memeknya cepat sembari menatap wajahnya.
Tubuhnya menggeliat makin hebat, toketnya memantul manja. Widya mendongakkan kepala sambil terus melotot.
"Aaahhh ... Nolaaann!" Desahannya sudah mulai manja dan seksi, inilah desahan nikmat.
Mungkin karena malu, masih dengan dada membusung karena menagan nikmat di selangkangan, Widya menutup muka.
Sebenarnya aku ingin membuatnya crot satu kali dulu sebelum kusodok. Namun, melihat tubuh Widya yang masih seumuran, melihat nafsunya yang juga bangkit, aku jadi seperti mabuk.
Cepat-cepat kubuka baju dan celanaku. Widya masih menutup muka dengan napas terengah-engah.
Kukocok kontolku selama beberapa saat sebelum kuletakkan di atas perutnya.
Widya agak kaget dan mengintip dari sela-sela jari.
Dia tersentak. Tangannya terbuka perlahan, Widya menatapku tak percaya.
"Lo ... lo seriusan?"
Aku menatap matanya tanpa berkedip. "Gue nggak tahan banget, Wid. Lo cantik banget, seksi banget, gue pengen ngentot sama lo."
"Gue tahu, maksud gue—" suaranya tercekar. Widya meneguk ludah susah payah. "I-itu ... punya lo ... emang muat?"
"Muat," kataku yakin. "Pasti muat."
Widya menatapku tak percaya. Dia kembali melihat kontolku yang kuletakkan di perutnya.
"Sampai pusar gue, bahkan lebih dikit." Dia meneguk ludah ketakutan. "Lan, seriusan, gue takut."
"Percaya sama gue." Aku menarik kontol dan mulai mengarahkannya ke memek perawan Widya. "Katanya waktu pertama kali, cewek bakal ngerasa sakit. Tapi lama-lama enak, kok."
"Enak pala, lo!" Widya mundur ketakutan. "Itu nggak muat, Lan. Sumpah itu nggak muat."
"Ini previlege gue, kayak kata lo." Aku menarik kakinya agar tidak kabur. "Gue ajarin lo ngentot, gue boleh ngentotin lo, nikmatin badan lo."
"Ya tapi gue pikir nggak segede ini."
"Sayangnya segede ini, Wid."
"Lan, serius, gue—"
"Gua mau masuk, Wid."
Aku menyodok beberapa kali dan selalu gagal. Widya terus-terusan berusaha lari dan selalu kutahan.
"Lan, tolong ... gue—"
"Diem, Wid!" kataku sedikit keras. Gairah ini membuatku hampir gila.
Aku menekan perutnya, Widya semakin panik.
Tangan kiriku memegang kontol untuk kuarahkan ke memeknya. Kakinya menendang-nendang pinggulku putus asa.
"Nolan ... pliss, gue takut ...." Dia mulai menangis. "Nolan, lo temen gue, kan, setidaknya, setidaknya—"
"Setidaknya lo ngerasain rasanya ngentot malam ini." Hampir bersamaan dengan ini, kepalaku mampu menemukan lubangnya dan masuk. "Aahhhh ... masuk, Wid."
Widya terbelalak lebar, tubuhnya menegang. Tangannya mencengkeram sprei kuat-kuat. Karena baru masuk sedikit sekali, aku belum menembus selaput perawan dan itu belum menyakitkannya.
Dia menggeleng keras-keras. "Jangan, Lan ... jangan ... jangan ...."
Aku menekan pinggangnya tanpa sadar. Perlahan tapi pasti, kudorong pinggangku hingga setengah kontolku terbenam ke memeknya.
Lengkingan keras terdengar.
"Aaaaaaaa Nolaaaannnn!!!"
Widya meremas tanganku kuat sekali sampai terasa sakit.
Aku memandang wajah kesakitannya yang penuh air mata. Dia menatapku seraya meringis dan menggeleng keras. Memohon untuk berhenti.
Kulihat darah mengalir dari memeknya. Kemudian kutatap lagi wajahnya. "Sorry, Wid, berhenti di sini nanggung."
Matanya membulat tak percaya.
Aku menekan sedikit keras, ketika suara hentakan terdengar, kontolku tenggelam sepenuhnya.
"Akh ... hakh ... No-lan ...."
Bola mata Widya memutar ke atas, tubuhnya kejang-kejang, air mata terus mengalir.
________
Hehehe, fyi, author seneng banget di momen ini. Akhirnya cewek tomboi galak bermulut kasar bisa ditembus juga🤣
Cuma kasih sedikit kabar kepada kalian semua. Sebelumnya tentu saya ucapin banyak terima kasih buat yang udah meluangkan waktu untuk baca dan juga berkomentar. Saya nggak pernah nyangka cerita ini bakal banyak yg suka.
Nah, kabar yg saya maksud itu, karena mau bulan puasa, author libur dulu bro🤣
Tapi, author mau coba tamatin cerita ini. Dan kelanjutannya mungkin nanti habis puasa. Kayaknya harem si Nolan di novel ini cuma Bu Alvi sama Widya.
TAPI!!
Heheh, kemarin ada yg komen kalo anak Bu Alvi cewek bisa join pula😂
Tentu saya tak lupa.
Niatnya cewek-cewek lain yg belum kelihatan akan muncul di season berikutnya. Jadi cerita "Ibu Kos Penggoda" ini cuma season satunya. Kalo diterusin, rasanya agak gak nyambung bro. Judulnya "Ibu Kos Penggoda" tapi mainnya nggak cuma sama ibu kos🤔
Kayak kurang pas gitu, iya nggak sih.
Jadi, saya mikir cerita "Ibu Kos Penggoda" cukup dilanjutkan beberapa bab lagi dengan pemeran utama Bu Alvi, Nolan, dan Widya. Dengan Bu Alvi sebagai "guru" Nolan (guru apaan tuh😋) dan Nolan sebagai "murid" sedangkan Widya sebagai tempat tujuan praktik ilmu dari bu guru Alvi. Anggaplah dua wanita itu merupakan tokoh penting dalam petualangan bang Nolan yang perkasa, jadi udah tampil sejak season satu.
Season berikutnya mungkin bakal lebih explore lagi baik di kampus atau di tempat lain. Nggak cuma kos doang. Biar bisa ketemu cewek-cewek cakep lain dan bang Nolan bisa menerapkan ilmu tingkat tingginya dari bu guru Alvi, wkwkwk.
Btw, kalo ada yg tau tempat cari foto cewek-cewek cakep, komen ya bro. Saya kesulitan cari🤣.
Tapi foto ilustrasi Bu Nolan dan mbak Widya cakep bro, sesuai banget sama imajinasi saya wkwkwk.
Buat mbaknya yg diilustrasikan jadi Widya dan tante yg diilustrasikan jadi Bu Alvi, minta fotonya ya, kalian seksi dan banyak yg suka kok🙏
Dah, gitu dulu bro. Selamat berfantasi😁
ns 15.158.61.12da2