Yogyakarta, 4 Januari 2019
Kuliah lagi, kuliah mulu, kuliah terus membosankan juga ternyata. Belajar dari kecil sampe setua ini sering banget nemuin titik jenuh. Sepertinya setiap jenjang pendidikan aku pernah ngalami masa jenuh dan jangka waktunya lumayan lama pula. Harus nangis-nangis dulu, dapat nilai buruk dulu, banyak deh pokon ya sampe akhirnya sadar dan mulai mikir lagi tuh “Elah kenapa kok begini, buruk banget dampaknya. Apa yang salah?” seringnya gitu gumam dalam hati. Apalagi masa-masa kuliah. Gila! 4 tahun, 8 semester, jamuran rasanya kalo cuma belajar dan nugas doang. Mana pergaulan mulai membutuhkan BUDGET yang gak sedikit. Dulu tinggal dikampung, sekarang dikota. Dulu di asrama sekarang ngekos. Dulu hapalan ini itu, sekarang nahan belanja ini itu. Subhannallah banget rasanya. Godaan bejibun tapi kantong penyakitan, haus segala bentuk nafsu deh di kota rantau ini.
Liburan tiba, waktunya pulang kampung buat mereka yang pulang dan punya ongkos. Biasanya kalo anak perantauan dari pulau seberang jarang sih yang liburan pulang, Kebanyakan dari mereka ngerem di kos sampe hampir bertelor tuh. Mungkin aku salah satu dari kaum papa yang fakir ongkos untuk pulkam itu atau para calon jutawan yang giat menabung untuk kesuksesan di masa depan. Kalo udah masanya libur panjang, suka banget tuh menyakit gabutnya kambuh. Ada banyak gejala pula kalonya mau kambuh, mulai dari homesick yang gak kenal waktu, gak ada kawan maen, ngehabisin waktu malem buat nongkrong sendirian sampe pagi, dan yang paling sering adalah nyangkut di perpus kota seharian. Mana jauh pula dari kos tapi itu tempat pelarian terasik sih buat ngusir gabut jadi berfaedah.
***
Pagi itu aku bangun kesiangan dengan bonus paket libur sembahyang dari Tuhan, bangun setelat apapun adalah nikmat tiada tara ketika bonus istimewa itu datang. Iseng-iseng tuh buka home akun instagram @jogja_lowker dan ada lowongan pekerjaan buat jadi penulis di majalah Jogja Kini. Liburan dua bulan lumayan kali ya buat cari uang, itung itung bisa buat biaya tambahan untuk bayaran semester. Hari itu juga aku masukan lamaran ke alamat email yang tertera. Dua hari setelah itu, aku mendapatkan balasan perihal panggilan pekerjaan. Aku inget banget, interview pekerjaan dilakukan pada hari Jum’at di awal Juli 2018 lalu, tapi aku lupa spesifik tanggalnya. Wawancara yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit itu membuahkan senyum diakhir perjumpaan.
***
Disambut ramah oleh pemilik CV.Cakrawala Media merupakan suatu kehormatan sendiri bagiku. Seseorang yang belum pernah ku kenal dan temui sebelumnya yang memberikan wejangan dan segepok pengalaman berharga untukku hingga kini. Ya memang nggak lama aku bekerja, cuma dua bulan pokoknya. Sesuai dengan waktu liburan yang ada saja. Tuhan memang maha mengetahui apa isi hati setiap hambanya dan akan mengabulkan sesuai permintaan hambanya yang baik-baik. Dan itu terbukti.
Benar-benar terjun di lapangan nyatanya sangat berbeda dengan praktik yang diajarkan ketika di kampus. Kalau di kampus aku diajarkan untuk memproduksi karya berita televisi dan radio, sedangkan di dunia nyata dengan kesempatan yang pernah ku alami, sejauh ini selalu di media cetak. Sama sama media sih, tapi sistem penerapannya beda. Aku bilang beda berdasarkan pengalaman kuliah dan kerja di media cetak ya, misal temen-temen pembaca ada yang sudah pernah bekerja di kedua bidang tersebut dan ternyata pernyataan aku salah boleh banget loh dikomen dan diluruskan. So, jangan lanjut masalah tersebut, mari lanjut ke alur ceritanya.
Aku mendapatkan kesempatan untuk penjadi penulis di edisi Agustus dengan total 7 tulisan yang harus disetor dengan masing-masing berbeda rubrik. Senang sekali bisa bekerja di bidang yang aku sukai. Kebetulan aku masuk dalam klasifikasi penikmat budaya dan mendapat wadah untuk menerapkan ilmu yang ku dapat selama kuliah di bidang budaya. Majalah Jogja Kini merupakan media cetak yang memfokuskan sajiannya di bidang budaya, jadi selama proses liputan aku nggak merasa terbebani sama sekali. Senang malah. Aku lupa urutan liputan mulai dari berita yang mana, tapi aku bakalan ceritain proses liputanku untuk edisi bulan Agustus tersebut berdasarkan yang paling berkesan saja ya.
Liputan pertama adalah 23rd Yogyakarta Festival Gamelan yang berlangsung di Gedung PKKH UGM, Juli 2018. Liputan perdana tanpa id card sebagai jurnalist karena memang aku belum pantas mendapatkannya. Padahal motivasi pertama melamar pekerjaan itu karena sangking pengennya punya id card seorang jurnalis. Bukan untuk apa, seperti suatu kebanggan sendiri gitu sebagai mahasiswa yang katanya penempuh pendidikan di bidang pemberitaan memicu keinginan buat punya id card itu sebelum lulus, tapi Tuhan lebih tahu waktu yang tepat untuk itu kapan. Manusia cuma bisa berharap dan berjuang, tapi hasil akhir kembali ditangan Tuhan. Dengan pedenya aku datang seorang diri dong kesana.
***
Pukul 19.00 WIB aku sudah sampai di laman depan PKKH UGM. Langkah kakiku menuju pintu masuk dan langsung berjalan ke bagian media center. Mengisi formulir yang menuliskan keterangan asal media, aku mendapatkan kemudahan ternyata untuk liputan. Aku menikmati kesenian yang disajikan. Saat menikmati terlintas dipikiranku tentang tawaran yang pernah ku tolak di awal masuk kuliah dulu untuk tinggal dan mempelajari musik gamelan di rumah Ayah angkatku yang berada di Bantul, Yogyakarta. Alasannya bukan karena aku tidak mau belajar gamelan atau aku tidak suka belajar kesenian tradisional melainkan jaraknya yang jauh dari kampus membuat ku langsung menolak begitu saja tanpa bertanya waktu berlatih setiap hari apa atau mungkin bisa saat weekend saja belajarnya. Ah sudahlah penyesalan memang selalu adanya di akhir.
Para pelaku kesenian tersebut rata-rata masih berusia remaja. Bangga rasanya memiliki kesenian sekaligus warisan leluhur terdahulu yang diakui dunia Internasional, terlebih melihat semangat anak muda yang sudi memainkan dan ikut melestarikan kebudayaan tersebut.
“Kalo jaman sekarangkan kebanyakan anak-anak sibuk maen sama handphonenya, mereka nggak tau kalo bermain gamelan juga seru. Lebih asik malah karena mainnya ramean,” kata salah satu pelajar yang juga merupakan peserta YGF saat ditanya oleh pembawa acara usai pementasan.
Selain menyajikan sebuah informasi untuk pembaca, senangnya menjalani ibadah liputan adalah mendapatkan hal baru di lapangan. Aku memang hanya seorang penikmati budaya, tapi dengan mengetahui sedikit demi sedikit tentang budaya yang Bangsa ini miliki akan menumbuhkan kecintaan pada tanah yang menjadi saksi proses kehidupanku selama ini. Aku pernah dengar perkataan seorang temanku karibku beberapa waktu lalu, katanya kita akan cinta dan bangga terhadap sesuatu jikalau kita tahu dan paham tentang suatu itu.
Sembari menikmati pementasan, sesekali aku mengeluarkan kamera untuk mengabadikan moment tersebut, karena sajian berita di media cetak membutuhkan data pendukung berupa foto. Saat memotret sedikit ada rasa minder karena disana banyak sekali wartawan yang datang untuk meliput dan lensa kamera yang mereka pakai super duper bagus. Dengan berbekal kamera dengan lensa standar terlebih pencahayaan di ruangan yang kurang karena artistik dari penyajian kebudayaan berbeda dengan penyajian dance modern atau saat fashionshow membuat mentalku mendadak turun drastis.
Mereka, para wartawan sungguhan dengan lensa ajaib ditangan maju saja kedepan, mendekat ke panggung pementasan. Tidak ada keraguan atau pun ketakutan terdengar dari derap langkah mereka. Dengan penuh percaya diri mencari angle terbaik untuk menghasilkan sebuh dokumentasi yang memukau. Berbeda denganku yang sama sekali tidak berani maju mendekat ke panggung pementasan. Nyaliku ciut. Otakku secara langsung mendoktrin diri bahwa sedekat apapun jarakku tidak akan membuahkan hasil yang lebih bagus dari mereka. Akhirnya aku naik ke lantai dua dan menemukan angle terbaik untuk memotret tanpa rasa minder atau pun takut. Lantai dua sepi, berasa pementasan disajikan untuk pribadi.
Aku sempat membuat instagramstory saat liputan dan mendapat beberapa respon dari teman di media sosial. Salah satunya adik tingkatku dari Lampung, satu kampus dan memiliki hobi fotografi. Sempat aku mengundangnya untuk datang ke YFG untuk mengambil gambar. Menurutku objeknya bagus dan hasil fotonya juga pasti akan bercerita. Namanya hobi, walaupun berbeda bisa jadi saling membantu untuk menciptakan sebuah ide suatu karya. Jadi jangan sungkan untuk berbagi informasi jika ditanya. Kalau tidak ditanya ya sudah, sekadar berbagi lewat instagramstory barangkali ada yang membutuhkan.
Liputan hari itu ku akhiri sampai pukul 10 malam. Ku tancapkan gas untuk bergegas pulang dan beristirahat. Mempersiapkan energi untuk menulis naskah dan liputan selanjutnya.
***
Liputan kedua yaitu Musik Akustik Gejog Lesung. Tau nggak apaan itu? Itu loh alat yang digunakan buat numbuk padi jaman dulu. Hampir termakan dengan kemajuan teknologi, alat yang dipakai sebagai penumbuk padi oleh leluhur terdahulu kini beralih fungsi menjadi alat musik akustik tradisional. Keberadaannya yang sekarang mulai dicari oleh para pecinta budaya untuk dijadikan barang antik dijual dengan harga yang mahal loh.
Awalnya aku sendiri nggak tau apaan itu gejog lesung. Karena ditugaskan oleh pemimpin redaksi untuk meliput itu, mau tidak mau akhirnya aku mencari tahu. Sebenernya itu bukan peliputan kedua, melainkan liputan terakhir yang menjadi beban sendiri untuk pertama kalinya mengisi rubrik majalah edisi Agustus lalu. Muak dengan segala penjelasan yang ada di internet tetapi tidak kutemukan narasumber yang bisa diwawancarai dan dengan gratis bisa menyaksikannya, di akhir bulan Juli Tuhan memberikan kemudahan. Aku mendapatkan informasi tentang festival Gejog Lesung yang diadakan oleh dinas pariwisata dan kebudayaan Bantul melalui akun instagram yang aku lupa ana nama akunnya.
Untuk liputan sendiri dilaksanakan pada malam hari, jadi aku tidak berani pergi sendirian karena jaraknya lumayan jauh. Kurang lebih setengah jam perjalanan. Aku mengajak Dona sebagai partner liputan malam itu. Walaupun sekadar menyaksikan dan menjadi ojekku pada malam itu, ku pikir dia tidak merasa keberatan meski tidak tau isi hatinya bagaimana. Setidaknya berusaha berpikir positif itu penting untuk kelangsungan suatu komunikasi yang harmonis.
Hal yang aku dapati saat di lapangan untuk liputan gejog lesung sendiri adalah warisan leluhur yang mulai tidak dikenal oleh generasi muda. Aku sempat melakuan wawancara dengan kalangan mahasiswa dan tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu tentang Gejog Lesung. Selain digunakan sebagai alat menutu padi, dulunya alat ini juga digunakan sebagai wujud keriangan para petani dalam wujud penghormatan kepada Dewi Sri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Padi. Gegara liputan ini nih, tugas membuat Proposal Tugas Akhir di penghujung semester lima dan bingung mau mengambil topik apa, akhirnya ku mengangkat topik Gejog Lesung sebagai judulnya. Belum lagi tugas News Magazine juga mengangkat topik ini nih.
Senang rasanya karena tugas-tugas tersebut aku bisa bertemu dengan para penggiat kesenian gejog lesung yang teramat sangat ramah dan lebih dalam mengetahui keseniat gejog lesung sendiri. Ah sukak deh pokoknya. Nggak ada kendala sih sejauh ini, cuma naskahku revisi dua kali dong sebelum akhirnya di up sama pimred.
Ketiga, liputan Nobar Piala Dunia di Rich Hotel dan kampung Tegalrejo tengah malem sendirian. Mayoritas pengunjung dan penontonnya adalah kaum adam yang notabenenya taulah gimana kalau sudah main ke hotel. Sebenernya aku bukan pecinta olahraga, malah awam banget. Selama sekolah bodoh banget tuh masalah olahraga. Dulu pas Ujian Akhir Semester SMP pernah dong dapet nilai urutan nomor satu dari bawah untuk mapel olahraga. Pinter bangetkan? Aib sendiri buka sendiri, nggak papa deh sebelum keduluan oranglain yang buka mending diri sendiri yang buka daripada sakit hati denger dari oranglain. Iyaiya...sesi curhat dia.
Untuk pertama kalinya selama kuliah di pemberitaan, belum pernah rasanya liputan tengah malam sendirian. Sekalipun pernah itu ada temannya nggak sendirian banget juga. Tapi tidak apa, pasti ada hikmahnya kok.
Kedua liputan itu berkesan, tapi disini aku lebih ingin ceritain yang di kampung Tegalrejonya. Jadi, kampung Tegalrejo sendiri khususnya RT 15 dinobatkan sebagai Kampung Piala Dunia 2018 untuk kota Yogyakarta. Tegalrejo berhasil menyabet 10 besar dan mendapatkan hadiah 10 juta rupiah pada lomba hias yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia Juli lalu.
Memasuki gerbang RT 15, aku menemui banyak banget hiasan-hiasan yang dibuat oleh warganya. Kekompakan warganya pun tercermin saat nobar lalu. Tidak hanya laki-laki, ibu-ibu pun ikut andil meramaikan. Disediakan cemilan dan minuman hangat seperti teh di tengah-tengah mereka yang sumber dananya berasal dari iuran jimpitan warga. Ketika aku membutuhkan seseorang untuk dijadikan narasumber pun warganya sangan ramah dan terbuka. Senang deh rasanya mendapatkan respon positif dari tempat kejadian peristiwa saat liputan.
***
Nah, untuk liputan selanjutnya adalah Jogja Fashion Week yang berlangsung di Hartono Mall Yogyakarta, Juli lalu. Ini nih liputan menantang selanjutnya. Enak sih, Cuma fokus kepengambilan gambarnya aja. Cuma pegelnya dan gak ngerti dengan apa yang akan kutuangin dalam bentuk tulisan. Aku juga bodoh banget ni untuk masalah fashion dan modelling. Mana peduli aku dengan hal seperti itu, pakaian keseharian saja yang penting nyaman dipakai yasudah gas untuk dipakai. Tidak memikirkan tuh yang namanya serasi atau nggak, cocok atau tidak, sesuai situasi dan kondisi atau tidak. Tapi, berkat mengampu tugas tersebut akhirnya aku mulai sedikit memberikan perhatian untuk melihat-lihat video terkait fashion, style, dan modelling. Setidaknya ada asupan ilmu yang bisa ku ambil untuk stok di otak.
Ngomongi capek, jelas capek banget liputan fashion. Selama pengambilan gambar, aku harus pasang muka tembok buat nyusup ke bagian dokumentasi acaranya. Biar dapat angle yang bagus dan sesuai, mau tidak mau aku harus ada di tengah tengah panggung bagian depan. Padahal sudah banyak para fotografer lainnya yang juga berjubel disana dan hampir semua laki-laki. Lebih dari sejam aku berdiri, berlari kesana-kemari untuk mengubah angle. Pokoknye liputan fashion itu capek, enaknya dapet goodiebag yang isinya jajanan. Lumayan buat mengganti energi selama pemotretan. But, terima kasih liputan fashion, berkatmu tugas praktik televisiku terselamatkan.
Sebenernya masih ada beberapa poin liputan yang belum aku jabarin. Tapi, kalo aku jabarin satu persatu bakalan panjang banget dan pasti bosan. So, untuk cerita yang berjudul “Kuliah Nyicil Kerja” sampai disini aja. Iya nyicil, nyicil pengalamannya dan recehannya selama liburan semester datang. Kuliah itu nomor satu, tapi pengalam juga perlu. Jadi, pandai-pandailah mencari peluang. Agar lulus tidak hanya ijazah saja sebagai modal. Setidaknya setetes pengalam asal kamu benar-benar menekuti walaupun sebentar, kamu sudah selangkah lebih maju dari mereka yang belum sama sekali punya modal pengalaman kerja. Biar tahu rasanya jadi bawahan itu gimana, biar kalo sudah jadi atasan tidak semena-mena. Agar bisa lebih menghargai oranglain dalam bekerja. Nggak ada kerja yang enak, semuanya butuh tenaga, waktu, dan otak. Tapi kalo kita jalaninnya senang dan ikhlas, insyaAllah seberat apapun pekerjaannya tetap maju terus.
Penulis : Arum Safitri
ns 15.158.61.48da2