Yogyakarta, 03 Januari 2019
Hampir tiga tahun berada dan bertahan di tanah rantau, bersama mereka yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Bertahan dengan sikap dingin dan tak peduli dengan sesama, perlahan membuatku merasa tercekik di tanah yang tak pernah ku kenali sebelumnya. Kehidupan tanpa keluarga ternyata bukan hal yang mudah untuk bertahan dengan berbagai macam goncangan kehidupan perkuliahan. Mulai dari masalah organisasi yang karena diriku sendiri tak konsisten menjalaninya, masalah perkuliahan yang hampir semua jenis tugas harus dikerjakan secara berkelompok membuatku harus melawan ego sendiri, belum lagi dengan pelbagai masalah pertemanan.
Lima semester kulalui, ternyata hanya segelintir saja yang bertahan untuk terus bersama dan menemani disaat aku benar – benar butuh bantuan. Bukan perkara mudah membuka hati untuk pertemanan. Memang dasarnya sejak lulus SMP aku sedikit menutup diri untuk menjalin pertemanan karena masalah di masa lalu yang akhirnya membuat takut untuk menganggap seseorang menjadi teman. Yah, ku pikir beberapa dari kalian juga merasakan hal yang sama. Kembali ke masalah karena bertahan hidup sendiri di kota rantau tidak mudah, perlahan aku belajar untuk membuka kembali pintu pertemanan. Menerima setiap orang yang ku kenal dan jumpai setiap harinya untuk saling berbagi, baik cerita atau lainnya.
Walaupun aku cuma punya beberapa teman saja yang kuanggap mereka paham dengan karakter, sikap dan aku nyaman bercerita dengan mereka. Bersyukur sekali punya mereka di tanah rantau ini. Mungkin mereka muak dengan segala tingkah dan sikap tak acuhku. Ya setidaknya ada rangkaian cerita demi cerita yang bisa diceritakan ketika pulang ke kampung halaman. Ntah mereka menganggapku sama seperti aku mengaggap mereka atau tidak, bukan masalah. Disini, aku belajar banyak soal menyayangi dan mengerti karakter satu sama lain. Belajar sopan santun, menghargai dan masih banyak lagi. Intinya, ingat kembali nasihat Bapak jika seseorang tidak memukulmu maka jangan memukul , karena dipukul itu sakit.
Terlalu panjang ternyata intro dariku. Baiklah sudah waktunya aku bercerita yang sesuai judul.-
Semester lalu, Aku, Mukti dan Ayun berlibur ke Purwokerto. Kami bermalam di rumah Ayun yang kebetulan dia berasal dari kota tersebut. Dua hari berada di Purwokerto tapi kami hanya berkunjung di satu destinasi wisata yaitu di The Village Purwokerto. Hari pertama setelah sampai di Purwokerto kami tidak keluar sama sekali, hanya menghabiskan waktu di dalam rumah dengan berbagai masakan rumah yang disajikan oleh mamahnya Ayun. Sampai hampir meledak rasanya perutku. Hari kedua barulah kami keluar sangkar. Keluar setelah Dzuhur, dan pulang ba’da magrib.
Pergi ke destinasi seperti yang sudah ku katakan tadi dan pulangnya kami menyangkut di salah satu mall besar yang ada di Purwokerto yakni Rita Supermall dan tak lupa sebagai kenang-kenangan yang merupakan identityshoot kalo kata anak pemberitaan, kami mampir juga ke alun-alun Purwokerto untuk sekedar mengisi perut akibat kelaparan yang melanda. Alun-alun Purwokerto hanya bersebrangan dengan mall yang kami jajaki tadi. Aku membeli jagung bakar waktu itu, dan yang lain mencicipi jajanan lainnya. Kami menikmati senja dengan menyantap jajanan masing-masing dan menunaikan ibadah sholat magrib di Masjid Baitussalam Purwokerto.
Perjalanan pulang kami tempuh dengan waktu kurang lebih satu jam. Cukup jauh sih, tapi karena jalanan yang kami lewati bagus dan dinikmati, waktu tempuh sejam tidak terasa. Cerita itu kami lewati di semester empat. Lanjut ke semester lima, kami bertiga kembali memiliki agenda liburan bersama ke Semarang. Lain dari semester lalu, kali ini kami bertambah personil, yakni dengan Saka yang juga teman sekelas yang masih bertahan di bangku kuliah sampe sekarang.
Perjalanan ke Semarang kami lewati dengan mengendarai sepeda motor. Jarak yang jauh membutuhkan waktu yang lama pula untuk sampai ke lokasi. Pukul 08.00 kami berangkat dari Kampus tercintah MMTC Yogyakarta. Menyebalkan sekali perjalanan pagi itu, kalau bukan sudah kuniati untuk berlibur sebelum bencana Ujian Akhir Semester melanda, rasanya aku ingin pulang berbalik arah ke Jogja. Mukti, yang merupakan pencetus liburan kali ini menyebalkan sekali. Sudah waktu berangkat molor karena menunggu dia dan di jalan dia tidak mau bergantian menggunaka handphonenya untuk googlemaps. Perkaranya karena handphoneku hampir mati karena tidak di cas sampai penuh sebelum berangkat.
Mengumpat perasaan yang sama, aku yang posisi digonceng oleh ayun, rasanya kami berbicara menggunakan batin ingin marah karena sikap Mukti. Sampai akhirnya kami terpisah karena lampu merah. Aku dan ayun berada di posisi depan sedangkan Mukti dan Saka berada di belakang. Berkat terpisah tersebut akhirnya Mukti mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi kami.
Aku dan ayun sampai di Pagoda Avalokitesvara sembari menunggu mukti dan saka kami menepi ke jalan untuk berteduh. Menatap wajah yang sudah berselimut debu, keputusan selanjutnya adalah mengunjungi Pagoda tersebut sebagai destinasi wisata pertama kami. Tujuannya sih agar bisa cuci muka dulu karena sudah tidak betah dengan wajah yang begitu tebal dengan bedak debu berwarna beige. Langkah kaki ku menuju kamar kecil, bersama dua wanita lainnya, sedangkan Saka menunggu. Selesai bersih bersih dari kamar kecil, sesuai misi awal kami yakni mendokumentasikan moment disana. Kami memotret beberapa pose dari masing-masing pribadi dan bersama. Sesekali kami berganti kamera DSLR dan handphone.
Usai dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Agung Jawa Tengah yang berada di Semarang. Kebetulan sudah masuk waktu Dzuhur, jadi kami sekalian menunaikan sembahyang disana. Masjid tersebut luas dan megah sekali, ditambah dengan cuaca yang terik. Usai sholat Saka sudah terlebih dahulu tidur, Mukti menemui temannya yang kulaih di PGRI Semarang, aku dan Ayun ngadem dulu ceritanya di bawah kipas. Sesekali kami memotret moment yang terjadi di dalam masjid. Ayun dengan hobi fotografinya menggunakan handphone yang kualitasnya lebih bagus dari handphone ku memotret bagian-bagian masjid.
Sejam berlalu dan mentari juga tidak segarang tadi, kami melanjutkan berjalanan menuju destinasi selanjutnya yaitu Lawang Sewu. Lokasi tidak jauh dari Masjid Agung tersebut, hanya memerlukan waktu 10 kami sampai. Oiya aku hampir lupa untuk menceritakan kendala apa yang kami alami di jalan menuju Masjid Agung Jateng tadi. Jadi, menuju ke Masjid kami sempat tawaf beberapa putaran di Terminal Terboyo sampai bencana kelaparan melanda kami dan akhirnya makan siang terlebih dahulu masuk ke timetable selanjutnya. Makan siang yang diharga cukup menguras kantong anak kos, tapi rasanya sesuailah dengan harganya. Enak kok, mengenyangkan juga. Recommend sih untuk mampir kalo sesekali teman teman berkunjung ke Semarang. Lokasinya di seberang terminal Terboyo dan aku lupa nama warung makannya. Harga seporsi dihargai sekitar 15 sampai 50 ribu rupiah, lumayankan untuk kamu yang ingin berkunjung ke Semarnag dengan budget minim bisa banget mampir kesini. Udah ya kita lanjut ke perjalanan selanjutnya, disangka iklan lagi.
Jadi destinasi selanjutnya adalah Lawang Sewu. Cuaca yang panas sembari keringat menetes, mata kami menyapu sekeliling bangunan yang mirip dengan Benteng Vredeberg kalo di Yogyakarta. Ku temukan asinan mangga yang kelihatannya suwegeeeeer banget untuk cuaca terik di siang hari. Merogoh kantong celana dan ku temukan selembar uang 10.000 rupiah. Cukup untuk seporsi asinan yang dibungkus plastik berukuran setengah kiloan. Kami habiskan seporsi asinan itu beberapa langkah saja dari sang penjual. Lezat sekali.
Di pintu masuk kami dapati loket pembelian karcis seharga 6.000 rupiah/orang. Masuk ke dalam, kami berisitirahat sejenak. Kebetulan di bawah pohon bringin disediakan beberapa kursi untuk para pengunjung rehat sembari menyucupi asinan yang tersisa beberapa potong, cukup untuk dibagi berempat. Ku pandangi bangunan yang baru pertama kali ku kunjungi dengan sesekali menghitung jumlah pintu bangunan bertingkat yang ada tepat di hadapan. “Apa bener jumlahnya pintunya ada seribu” gumamku. Konon, arti kata Lawang Sewu dalam bahasa jawa artinya Pintu Seribu. Tapi, tidak mungkinkan aku menghitung semua jumlah pintu bangunan luas tersebut. Habis waktu berliburku dan tidak akan kunjung selesai pula menghitung pintunya.
Sebagai destinasi wisata terakhir, kami menghabiskan waktu cukup lama dan memotret hampir setengah memori kamera termakan untuk take gambar disana. Dari perorangan sampai bergerombol. Dari halaman depan hingga kebagian belakang. Kira-kira lebih dari dua jam kita disana, sembari menunggu waktu sore untuk bergegas pulang. Sialnya handphone kami semua low dan harus mencari tempat pengecasan darurat terdekat yang menyediakan 3-4 colokan dengan biaya sewa cukup mahal dan sesak oleh gerumunan manusia. Damn! Ada pun tempatnya hanya tersisa satu colokan. Sudah lelah, lapar, tidak hapal jalan pulang, ditambah kami pulang dengan berbeda tujuan. Merenungi rentetan kesedihan yang melanda, kami memutuskan untuk sholat Ashar dulu lalu memikirkan jalan keluarnya kembali seusai itu.
Selesai sholat, laangkah kaki kami perlahan mengantar menuju tempat parkir. Sambil berceloteh tidak jelas tentang perjalanan kita hari itu, salah satu dari kami- Ayun- melihat penjual koran tua dan memiliki kekurang.
“Kasihane, mbok beli buat tugas bu Susi. Aku mau beli tapi uangnya di motor,” Katanya dengan langkah terhenti dan mata melihat ke penjual koran.
Aku, Saka, dan Mukti pun ikut terhenti. Berdiam beberapa saat dan akhirnya kami memutuskan untuk membeli satu koran dari penjual malang itu. Kembali menyusuri jalan, akhirnya kami nekad untuk tetap pulang tanpa petujuk arah dari googlemaps.
“Sek penting yakin,” kataku sembali melempar senyuman ke mereka.
Saka dan Mukti pulang ke Batang, aku dan Ayun balik ke Yogyakarta. Perjalanan pulang yang terasa lama sekali, kira kira 4 sampai 5 jam pokoknya. Adzan Magrib berkumandang, aku dan Ayun baru sampai Ambarawa, Semarang. Jalanan macet dan kami terjebak selama kurang lebih sejam. Perjalanan berliku dan ramai, yaaa... kalo di Sumatera jalanan itu bisaku andaikan sebagai Jalan Lintas Sumatera. Bedanya Jalan Lintas Sumatera tidak semacet jalan di Ambarawa sore itu. Kami menunaikan ibadah sholat magrib di Masjid Agung Kauman Payaman dan makan malam disana. Suhu dingin, membuat perutku merasa dilanda longsor. Cacing-cacing diperut mulai berdemo sudah.
Masjid unik dengan Pondok Pesanteran Lansia tersebut, di depannya ada satu angkringan yang masakannya lumayanlah untuk mengisi perut kosong. Mungkin bagi kalian pecinta masakan tidak pedas atau penghuni ponpes yang notabenenya adalah orangtua, angkringan tersebut cocok sekali untuk santapan sehari-hari. Aku paling suka teh anget dan gorengan yang dijual oleh ibu pedagang. Aku lupa berkenalan dengannya, sangking laparnya lupa berkenalan dan hanya sempat memuji gorengan yang lezat buatan tangannya. Selanjutnya kami kembali berjalan pulang.
Berkesan atau tidak liburan diakhir semester lima kemarin? Jelas, jawabannya berkesan. Dengan berbagai masalah pemecah mood dan alasan untuk tetap sumringan agar liburannya berkah. Yah, pokoknya seru deh. Oiya aku baru sadar kenapa Mukti awalnya tidak mau gantian membuka handphonenya untuk googlemaps, karena dia tidak seberapa paham membaca peta. Akhirnya rasa marah yang awalnya memuncak, perlahan menjadi gelak tawaku bersama Ayun saat perjalanan. Akhir kalimat aku Cuma mau kasih beberapa kalimat semabagi penutup, jangan su’udzon dulu sama perbuatan seseorang, luangin waktu walau hanya semester sekali untuk orang terdekat, berlibur itu penting sebagai pemenuhan hak diri pribadi atas kejenuhan dan kepenatan beberapa bulan terakhir karena badan punya hak atas kesenangan.
Penulis : Arum Safitri
ns 15.158.61.6da2