Seorang diri, berdiri di hamparan tanah luas dan tandus. Bergeming pada kesunyian yang menemani. Kengerian mulai menguasai. Mentari mengebiri diri, ikut meninggalkannya. Enggan melihatkan keceriaan kuning pelambangan kehangatannya. Hanya cairan kemerahan mengental menyelimuti tubuh beserta tanah yang dipijak. Dan seolah meronta, cairan merah mengental itu, dengan sangat lambat tapi pasti menenggelamkan tubuh bagian bawahnya. Begitu pun sinar dan udaranya, berangsur merah menyendu.
Tak ada kehidupan. Bila pun bernapas, hanyalah jiwa hampa. Sorot matanya mati bersama tubuh-tubuh terbaring tak bernyawa di sekelilingnya. Pun tak ada nyanyian kematian seperti seharusnya. Ia hanya menatapi, sama sekali tak bersuara. Tak ada air mata. Tak merasakan apa-apa. Hingga jiwa yang hampa itu, yang terlalu lama bersanding pada keheningan menyayat, yang dipaksa membungkam saraf-saraf emosi manusianya, memenjarakan nurani, dan menuntunnya pada dosa. Hilang semua yang dimilikinya sebagai manusia.
Rahasia perjalanan waktu membawanya pada episode gembira yang tak satu pun benar-benar dipahaminya. Di tanah hijau yang langitnya membiru sesukanya. Mulai terjebak alurnya. Bagaimanapun, sudah terlanjur terbiasa pada kehidupannya dulu hingga tak benar-benar bisa meninggalkannya. Dan tiba-tiba tubuh-tubuh tak bernyawa itu menuntut, mengikutinya kemana pun melangkah, memaksanya berbagi nafas, sesak. Lama-kelamaan menggerogoti batinnya. Lelah. Putus asa. Menakutkan. Berteriak sejadi-jadinya entah pada siapa. Mungkin, kali pertama menjejakkan permohonannya pada tanah harapan. Sayangnya, hanya tinggal menunggu waktu ia tenggelam pada lembah berlumur cairan merah mengental itu. Tak ada suara ramah yang memanggil. Tak ada tangan suci yang menarik. Tak ada...
“Haiwi! Haiwi!”
Suara itu berulang kali memanggil dan menepuk-nepuk lengan Haiwi. Berusaha membangunkannya. Tidurnya terlalu lelap. Bersusah payah, akhirnya kedua matanya terbuka perlahan. Baru kemudian disadarinya, ia sedang bermimpi. Mimpi buruk. Ya, hanya mimpi buruk. Begitu ia melipur benaknya.
“Tidurmu tenang sekali, Haiwi.” Kata suara itu pada Haiwi sembari memberikan air putih. Ia adalah Ibu Ane, dokter di sekolahnya. Yang dikatakan Ibu Ane sungguh berkebalikan dengan mimpi Haiwi. Tapi ya, tidur Haiwi terlihat demikian—tenang.
Sambil meminum air putih, Haiwi melirik jam dinding yang menempel pada dinding sebelah kanannya. Lima belas menit lagi jam sekolah usai. Separuh hari sekolahnya dihabiskan dalam lelap. Melenguh sesaat dan menyadari rasa kantuknya di pagi hari akhir-akhir ini semakin tak terkendali. Cukup menganggunya.
Ibu Ane sudah berpindah ke tempat tidur lainnya. Ketika tangannya hampir menyentuh tubuh yang terbaring di atasnya, Haiwi mencegahnya. “Aku saja yang membangunkannya.”
Ibu Ane mengangguk dan meninggalkan Haiwi bersama gadis yang berbaring di seberang ranjang Haiwi.
Haiwi beranjak. Dilihatnya tubuh berselimut yang masih tertidur lelap. Danne. Ini kali kedua Haiwi melihat Danne dalam keadaan tidak sehat. Dua hari lalu, bahkan dirinyalah yang tidak sengaja menyangga tubuh Danne yang tumbang saat menunggu Femi dan Hara di depan ruang laboratorium bahasa. Bukannya ucapan terima kasih diterimanya, malah mendapat ocehan marah dan tatapan sinis dari Femi dan Hara. Tapi, hari ini wajah Danne lebih pucat dari dua hari lalu. Menjulurlah tangan Haiwi memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kiri Danne.
Sontak Danne terkesiap. Menarik pergelangan tangannya dari lingkaran jemari Haiwi. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu.”
“Apa yang ingin kau pastikan?” Suara Danne terdengar memaksa dan bergetar. Wajahnya panic. Ia tak pernah seperti ini di depan Haiwi.
“Memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
“Tidak. Bukan itu yang ingin kau pastikan. Sesuatu yang lain. Benar, kan? Dan tanganmu...”
Cepat Haiwi meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Sstt! Tenanglah. Aku tak akan menyakitimu. Ah ya, sama denganmu, akhir-akhir ini aku pun tidak bisa menahan rasa kantukku.” Lalu, meninggalkan Danne begitu saja tanpa pamit.
Di depan pintu unit kesehatan sekolah, dua siswi terlihat menunggu dengan ragu-ragu. Keduanya terkejut, sempat mematung beberapa detik saat Haiwi muncul dari balik pintu.
“Hai-wi!” Panggil dua siswi itu sedikit terbata. Saling berhadapan sebelum sampai pada kalimat berikutnya. “Terima kasih untuk tadi pagi.” Katanya lagi bersamaan. Ini terdengar sengaja direncanakan dalam irama hitungan.
Tadi pagi? Ah, ya, tadi pagi sebelum sekolah dipenuhi para siswa-siswi dan sebelum akhirnya memutuskan diri beristirahat di ruang unit kesehatan sekolah, dua gadis di depannya ini, membuatnya melakukan yang orang sebut dengan kebaikan-kebaikan kecil tak disengaja. Tak banyak, ia hanya membantu siswi berambut sebahu, bermata bulat, dan bertubuh pendek di depannya yang kesulitan menghapus sisa tulisan di papan tulis yang tak terjangkau oleh tangannya sendiri. Sedangkan siswi berambut kepang panjang adalah siswi berbeda kelas yang ditemuinya terjatuh dari anak tangga pagi-pagi sekali. Ia hanya membantu memungut buku-buku berserakan yang terjatuh dari tangan si gadis dan membawakannya ke meja guru di ruang dewan guru.
Ini momen langka, teman di kelasnya—bahkan seorang lagi berbeda kelas, berterima kasih atas bantuan yang diberikannya. Dua siswi itu pun menatap dengan cara berbeda dari yang biasa ditunjukkan. Tatapan kepedulian.
“Istirahatlah yang cukup. Sampai bertemu besok, Haiwi!” Kata siswi berambut pendek sebahu undur diri, dan lambaian tangan dari siswi berambut kepang panjang bersamaan dengan ketua kelas bersama Kine dan dua temannya yang datang menjemput Haiwi.
***
“Kak, benarkah kau baik-baik saja? Kita bisa menunda jalan-jalan kita sampai kau benar-benar sembuh. Kau istirahat dengan tenang di rumah.” Kata Kine saat menunggu di halte sekolah. Ia sangat mengkhawatirkan kesehatan Haiwi.
“Jangan khawatirkan wajah pucatku. Memang sudah seperti ini.”
Kine pun mengalah. Haiwi sama sekali tak melihatkan tanda-tanda akan setuju dengan sarannya. Kemudian, tanpa diminta, terngiang dalam kepala Kine ucapan kakak kelasnya berminggu-minggu lalu. Melompat-lompatlah kata-kata kebencian mereka satu per satu di benaknya.
“Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengannya. Kalau tidak, kau bisa seperti dirinya dan dijauhi teman-temanmu. Jangan kau pikir dengan penampilannya seperti itu dia adalah gadis biasa. Dia adalah gadis aneh. Memiliki dua sisi berlainan. Kepribadian ganda, kau tahu? Ya, semacam itulah.”
“Dia memiliki mata yang licik. Menatapmu dengan pandangan seseorang yang siap menghancurkanmu kapanpun. Dan kudengar, wajah pucatnya itu disebabkan karena penyakit aneh yang dimilikinya. Aku yakin, kau akan berakhir dengan meninggalkannya. Jadi, lebih baik lakukan sekarang sebelum kau menyesal.”
“Apa kau tahu, dia menjalin hubungan terlarang dengan pak Hanse? Dia wali kelasnya saat ini. Bahkan sekolah pernah mengupas masalah mereka. Tapi, mereka diam-diam masih sering bertemu di luar jam sekolah. Menjijikkan! Seperti gadis murahan saja.”
“Kau adik Kak Sienna, bukan? Kak Sienna adalah teladan para siswa di sini. Kami sangat menghormatinya. Jadi, kusarankan, kau jangan dekat-dekat lagi dengannya. Kami mengatakan ini demi kebaikanmu.”
Dan bla bla bla…
Sungguh, di manakah mereka meletakkan hati manusianya? Seenaknya mengumbar keburukan Haiwi yang telah berbaik hati mengajarkannya mengendarai sepeda. Kine menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan bayangan tiga kakak kelas yang bergantian mendongeng tentang Haiwi. Mungkin, jalan-jalan akan menjadi satu diantara cara menghapuskan keraguan yang kadangkala muncul dan sebetulnya tak disukainya.
Akhirnya, dimulailah jalan-jalan mereka mengunjungi Sin Midtown Mall, sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Kota Sin. Sebuah konsep pusat perbelanjaan yang menyelaraskan gaung Kota Sin yang modern untuk hidup berdampingan bersama alam dengan memiliki taman hijau menyejukkan, tertata berbagai rupa dan warna di tengah-tengah bangunan yang disemarakkan dengan kehadiran air mancur.
Begitu banyak jenis tempat yang dapat dikunjungi di dalamnya, mulai dari area permainan, kafe, restoran, pernak-pernik mode terkini, gerai-gerai kecil nan unik, dan sebuah gelanggang es untuk pecinta seluncur es di lantai dasar, serta masih banyak lagi. Atap mal yang bisa dibuka-tutup membuat kesan unik.
Dilihat dari kemegahan dan keramaian yang ditunjukkan bersama kesumringahan yang tercipta, rasanya tidak mungkin Sin Midtown Mall menjadi satu diantara bangunan dengan rusak paling parah akibat pengeboman empat tahun lalu. Kengerian itu seolah telah dilupakan.
“Wow, kita seperti sedang dalam kapsul kaca.” Kata Haiwi saat menaiki lift. Sungguh, ekspresinya bertolak belakang dengan ekspresi kata-katanya.
“Apa yang hebat dari ini? Kau sangat mudah menemukan lift seperti ini di kota ini.” Ujar Kine tertawa.
“Apa ini pertama kalinya untukmu?” Tanya Malo hati-hati. Tampaknya ia menanggapi Haiwi serius
Haiwi mengangguk. Anggukan yang membuat Kine dan Sera terheran-heran.
Penduduk Kota Sin tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa mengunjungi Sin Midtown Mall yang luasnya hampir setara empat puluh lapangan sepak bola, serta menjulang ke atas dengan kemegahan interior dan warna putih tulang dominan ini. Bagaimana tidak, Sin Midtown Mall adalah ikon kemegahan dan kebanggaan penduduk Kota Sin. Selalu menjadi jujukan favorit terutama pada akhir pekan. Lalu, bagaimana bisa Haiwi tidak pernah mengunjungi Sin Midtown Mall?
“Aku dan keluargaku baru genap setahun enam bulan di sini.” Kata Haiwi menjawab. “Ayah dan Ibu terlalu sibuk dan lebih suka menikmati akhir pekan dengan mengajak anak-anaknya ke komunitas sosial yang mereka ikuti.”
Pintu lift terbuka. Mereka turun di lantai lima.
“Sebelum pindah ke sini, keluargamu tinggal di mana, Kak Haiwi?” Kine penasaran.
“Kota Ame.”
Kine tertegun. “A~ah, aku pernah mendengar nama kota itu. Kota kecil negara tetangga yang senasib dengan Kota ini karena pernah mendapat serangan bom dari peneror tak bertanggung jawab.”
“Apakah saat kejadian itu kau juga melihatnya, Kak Haiwi?” Tanya Sera yang juga ikut penasaran.
Haiwi mengangguk.
Suasana tampak tak nyaman. Karena jelas, tragedi itu sungguh memilukan.
“Hei, Hei” Kato Malo memecah keheningan diantara mereka sembari bertepuk tangan. “Kita lupakan hal itu, dan bagaimana kalau kita memesan makanan dan minuman yang menggugah selera di depan kita ini sampai puas? Dan karena Kak Haiwi baru pertama kemari, kita akan menjadi pemandu makanan untuknya.”
Menurut pada saran Malo, mereka pun mulai menjelajahi satu per satu booth makanan di lantai foodcourt ini, dan saling mencomot menu satu sama lain.
Petualangan lainnya pun berlanjut ke manpun mereka mau. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mulai dari menyambangi toko buku untuk sekadar membaca-baca, bermain di pusat permainan, mencoba aksesoris-aksesoris yang membuat mereka terlihat lucu dan feminim—tertawa mengikik, mencoba sepatu-sepatu wanita yang baru dipajang, hingga pergi ke kamar pas untuk mencoba pakaian-pakaian yang sedang tren—tanpa membelinya. Ini hal baru untuk Haiwi. Jadi, tak heran jika terlihat sangat canggung. Ia lebih sering menikmati melihat ketiga teman jalannya itu asyik ke sana kemari, ketimbang ia sendiri yang melakukannya. Tapi, ya, Haiwi mulai terbiasa pada kebiasaan asing ini yang memberikan sensasi mendebarkan atas penghargaan kebisuannya akan arti teman.
Setelah tiga jam berlalu dipenuhi tawa, keseruan, dan obrolan yang membuka pintu awal keakraban—tampaknya demikan, Sera dan Malo pulang lebih dulu dengan membawa sebuah plastik kecil berwarna merah muda berisi cincin, harganya tak lebih dari lima puluh ribu, dengan model sama yang juga dimiliki Haiwi dan Kine. Dan tinggallah Haiwi bersama Kine yang segera memiliki ide baru petualangan keduanya.
Kine mengajak Haiwi menuju tempat baru yang ia sendiri belum pernah melewati kawasannya. Lima menit ditempuh dengan kereta bawah tanah. Sebuah tempat yang menjadi satu diantara kawasan Kota Sin yang menjadi pusat “kehidupan malam” yang terkenal hingga luar kota dan negri. Seperti julukannya, akan sangat ramai bila hari telah jauh meninggalkan senja.
Setiba keduanya di sana, Kine terus terperangah pada kafe, lounge, bar, dan klub dansa malam mewah berderet panjang dan menghiasi di sisi kiri dan kanannya dengan gemerlap lampu yang kadang menyala bergantian seolah sahut-menyahut. Keceriaan lampu-lampu di sini dirasa lebih menggoda dan intim. Kine cengar-cengir sendiri membayangkan bagaimana bola-bola lampu beraneka warna berputar-putar di langit-langit ruang dansa, menemani manusia-manusia pencari kenikmatan dunia dan merayakan kehidupan malam.
Dua tempat klub mewah yang baru dilewati bahkan menyediakan Limosin bagi tamu-tamu berkantung tebal dan membentengi pintu masuk dengan penjaga bertubuh besar-besar berseragam hitam-hitam dengan kaca mata hitamnya, membuatnya semakin kelihatan sangar dan kejam.
Dan ya, meski sering dikatakan sebagai kawasan liarnya Kota Sin, namun tempat-tempat hiburan kehidupan malam yang disaksikan keduanya di sini jauh dari kata ketidakberaturan. Semuanya seolah bersistem dan otomatis. Baik pejalan kaki maupun pengguna mobil-mobil mewah dengan sukarela berbagi kesenangan. Bahkan hanya dengan senyum, kau bisa membawa seseorang yang asing malam itu tanpa memikirkan batas tabu.
Kine setidaknya mengerti alasan Sienna selalu melarang keras dirinya dan Sienna sendiri untuk tak datang kemari. Yang dilihatnya malam ini adalah wujud nyata kefanaan. Meski sempat tersenyum dan tertawa rendah, sejak tadi hatinya bertanya-tanya. Apa yang sesungguhnya dicari di tempat ini? Terobatikah segala kepedihanmu?
“Kak, lihatlah! Mereka terlihat sangat senang bersama pasangannya.” Katanya saat banyak pasangan yang baru saja melintas dengan keceriaan yang dibawa masing-masing.
“Ya, mereka terlihat bersenang-senang.” Jawab Haiwi yang masih asyik menikmati es krim buah yang tinggal dua-tiga suap lagi yang tadi sempat dibelinya sebelum benar-benar masuk kawasan ini.
“Kau tidak ingin pergi ke sini bersama orang yang kau sukai seperti mereka?” Goda Kine.
“Hmmm... kurasa, aku menyukai pasangan seperti ayah dan ibuku.”
“Kak Sienna, dia selalu mencegahku untuk tidak ke sini dan akan menatapku dengan tatapan mata tajamnya.” Kine mencoba menirukan tatapan mata Sienna di depan Haiwi.
“Kalau begitu, mari pulang!”
Kine nampak berpikir. “Benar katamu, Kak Haiwi. Mari kita pulang! Sepertinya aku tidak ingin mengkhianati Kak Sienna lebih lama lagi.” Ia tersenyum. Kemudian, mengubah suasana hati dengan topik lain yang tak berkorelasi. Namun, ini telah lama ingin ditanyakannya pada Haiwi. “Kak, menurutku, iris matamu unik. Iris kananmu coklat dan kiri—sedikit abu-abu. Aku tak begitu yakin. Tapi, aku pernah melihat dan membacanya di buku, kalau dua iris mata unikmu itu disebut, ehm... Hete...” Ia mengetuk-ngetuk dagu, berusaha mengingat dengan keras istilah kelainan pada iris mata itu, “Hetero—Heterokromia, ah ya, Heterokromia Iridium. Apa kau mendapatkannya sejak lahir?”
Haiwi mengerling sejenak. “Mungkin. Karena sejak aku mulai dapat mengingat, aku sudah bersama dua iris mata seperti ini. Dan kau...” ia menyelidik mata Kine yang berjalan di samping dan melihat kepadanya, “kurasa kau punya mata magnetis—berbinar dan hangat.”
Meski tak begitu paham maksudnya, mendengarnya membuat wajah Kine tersipu-sipu. Barangkali pujian pertama untuknya dari Haiwi sejak keduanya mengenal yang terdengar tulus. Lalu, tak sengaja kepalanya menoleh ke belakang. Diputar badannya, menyipitkan kedua mata, memusatkan daya dua pupilnya pada seseorang dari lima-enam muda-mudi yang baru keluar dari sebuah diskotik tak jauh dari tempatnya dan Haiwi.
“Bang Gavin!” Sergah Kine setengah berteriak.
Dan benarlah, Gavin menoleh pada Kine. Begitu pun Haiwi yang ikut menoleh sembari mengulum sendok es krim.
“Kine, Haiwi!” Seru Gavin terkejut. Ia mendekat. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
“Kami hanya berjalan-jalan saja. Sekarang mau pulang. Dan kenapa pula Bang Gavin keluar dari pintu itu?” Tunjuk Kine pada sebuah diskotik di samping kanan depan mereka dengan mulutnya.
“Aku...”
“Gavin! Ayo!” Panggil seorang teman wanita Gavin, berpakaian serba mini dengan riasan berwarna tajam.
Gavin mengangkat tangannya pada wanita yang memanggilnya tanpa menoleh—sebuah isyarat ‘tunggu’. Sorot matanya mengarah pada Haiwi yang berdiri di belakang Kine. “Sebaiknya, kalian pulang sekarang.”
“Kau juga, Bang Gavin. Kau tak boleh berlama-lama di sini.” Balas Kine.
Kaki Gavin sudah melangkah menuju teman-temannya. Namun, tak dapat menahan hatinya yang beringsut merisau. Dengan cepat, ia berbalik. Sebelum hilang kesempatan untuk menyampaikannya. Benar-benar berdiri di depan Haiwi. “Haiwi! Percayalah padaku! Apa yang kau lihat malam ini tidak seperti yang terlihat.”
Haiwi diam. Diamatinya sorot mata penuh harap milik Gavin dan tanpa kebohongan. Lalu, diberikannya anggukan.
Sekali lagi, Gavin merasakan anggukan itu seberharganya seperti saat di lantai atap siang itu. Dan berpisahlah mereka bersama bulan sabit di bibir Gavin.
Melihat segmen cerita yang terlihat hanya untuk Gavin-Haiwi untuk beberapa detik itu, menanamkan benih penasaran dalam diri Kine. “Apa sebenarnya yang terjadi di sini? Bisa kau jelaskan padaku, Kak Haiwi?” Tanya Kine setelah Gavin pergi.
Haiwi menjawabnya hanya dengan menatap Kine sesaat. Lalu, melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti.
Kine menolak diabaikan. “Apa hubunganmu dengan Bang Gavin?”
“Hmmm... anggota kelas XI-a.”
Kine mengernyitkan dahi. Jawaban Haiwi sama sekali tak menjawab keanehan yang dilihatkan Gavin malam ini. “Lalu, apa arti anggukanmu tadi?”
“Pikiranku mengatakan, itulah yang Gavin inginkan dariku.”
Kine mengernyit. “Aku tak mengerti.”
“Kata-katanya tadi adalah yang ingin aku ucapkan pada orang-orang berhargaku. Tapi, tak pernah bisa kulakukan. Dan bila aku melakukannya, aku ingin orang-orang itu mengangguk.”
Lagi-lagi Kine mengernyit tertahan. “Bisa kau jelaskan dengan kata-kata yang kumengerti, Kak Haiwi yang terhormat?”
Tak ada jawaban dari Haiwi.
Kine melenguh. Tapi, ia tak menyerah. Otaknya malah mendatangkan sebuah ide baru yang menurutnya akan menyibak rahasia hubungan Haiwi dan Gavin. “Ah ya, Kak. Kau mau ikut bersamaku lusa sore?”
***
setiba Haiwi di teras pintu rumah—usai jalan-jalannya bersama Kine, ini sudah pukul 09.00 malam, dua orang bersetelan serba hitam baru saja keluar dari rumah dan melewatinya begitu saja. Meluncur dengan mobil hitam pula yang menepi rapi di depan pagar, dan masuklah Haiwi ke dalam rumah.
Di ruang keluarga, ditengoknya ibu sedang duduk diam mematung di sofa, melihati manik-manik yang berserakan di atas meja. Beberapa minggu ini, ibu—sesekali dengannya, menekuni kerajinan manik berbahan kayu. Tapi, pandangan ibu tak benar-benar ke sana.
“Ibu!” Haiwi meletakkan tangan kanannya di bahu ibu. “Aku sudah dua kali melihat dua orang serba hitam itu kemari.”
Ibu menoleh, menengadah pada Haiwi. “Jangan khawatir, Ibu bisa menghadapi mereka dengan baik.” Ibu memegang punggung tangan Haiwi di pundaknya. Mengelusnya lembut.
Haiwi mengangguk tanpa bertanya lagi. Meski tak dikatakan, ia tahu yang sedang dihadapi ibu. Ia pun beranjak ke kamarnya dan mengganti seragam dengan pakaian rumah. Ketika hendak kembali turun ke bawah, pelan-pelan membuka pintu kamar Lota di seberang kamarnya yang terbuka sedikit. Lota sedang serius di depan meja belajarnya. Kemudian, Haiwi turun ke bawah. Ia ingin mengambil buah pisang kesukaannya.
Saat tiba di dapur, ayah baru saja tiba dan langsung memberikan pelukan hangat dan kecupan di atas kepala Haiwi. Disadarinya kemudian perubahan wajah Haiwi. Meskipun dianugerahi berkulit putih bersih, Haiwi lebih pucat dari biasanya. Ayah cukup yakin pada ketajaman penglihatannya. Mungkin inilah efek kebiasaan pekerjaan yang mengharuskan kedua matanya di depan kaca mikroskop. Tapi, ayah diam saja. Hanya memandang istri dan putrinya bergantian. Ayah juga tahu bahwa hari ini orang berbaju serba hitam kembali mendatangi rumah. Bila kondisi Haiwi langsung disinggung, ibu pasti akan panik.
Haiwi pun tampaknya mengacuhkan pandangan ayah. “Ayah, ibu, lusa Kine mengajakku pergi. Bolehkah?”
“Ya, tentu! Kau boleh pergi dan melakukan yang kau mau.” Jawab ayah segera. Mencoba menyingkirkan kekhawatirannya.
Benarkah tak perlu khawatir?
***
Lusa yang dijanjikan. Skenario sebenarnya dibalik ajakan Kine telah dimulai. Sebuah pertemuan untuk Haiwi dan Gavin, dan untuk sebuah pertemuan spesial lainnya yang menunggu. Haiwi adalah umpan, pengalih perhatian Gavin untuk rencana Kine lainnya itu. Sekaligus memastikan hubungan antara kedua teman berharganya.
Gavin telah lebih dulu datang di tempat pertemuan yang dijanjikan Kine. Khusus hari ini, ia bahkan menolak ajakan beberapa teman mainnya dan memilih bersama Kine dan yang lainnya. Pun tak tahu-menahu perihal Haiwi akan bersama mereka sampai beberapa saat lalu Kine mengiriminya sebuah pesan berbunyi, “Bang Gavin, aku tak bisa datang tepat waktu. Gunakanlah waktumu dan kak Haiwi sebaik mungkin. Kesempatan tak datang dua kali ^_^. Ah ya, jangan membawanya dengan motormu. Kau belum cukup dewasa untuk itu.”
Gavin senyum-senyum sendiri membacanya. Tak lama berselang, Haiwi muncul di hadapannya. Tak sedikitpun gerakan Haiwi luput dari mata Gavin. Berbeda dengan gadis-gadis yang biasa menemaninya saat-saat berjalan. Selalu dengan dandanan dan pakaian model kekinian. Haiwi jauh sekali akan kesan itu. Rambutnya, seperti biasa—diikat dua. Kacamata bulat yang selalu menyangkut di hidungnya seperti yang biasanya dikenakan di sekolah. Dan sore ini, Haiwi bertunik merah marun sepanjang betis berlengan panjang. Sejauh yang dapat diingatnya pada pertemuan singkat dan tak sengajanya, Haiwi selalu bertunik, dan berkaos kaki hitam panjang membalut kaki bersama. Ah, ini yang menurut Gavin paling menarik dari Haiwi, sandal jepit. Dan sendal jepit yang dipakai Haiwi sore ini sama persis seperti waktu di Bukit Bintang.
“Hai!” Gavin menyapa dengan canggung. Kaget juga mendapati dirinya bersikap seperti itu. “Ah ya, Kine akan datang terlambat. Sambil menunggu, bagaimana kalau kita berjalan-jalan di sekitar sini. Kau mau kemana?”
Haiwi menggeleng. Memandang Gavin dan menyerahkan keputusan padanya.
Gavin menoleh kanan-kiri, depan-belakang. Akan lebih nyaman bila tempatnya bebas dari lalu-lalang kendaraan. Ada satu kawasan dimana ia dapat mewujudkannya. Ia pun langsung mengajak Haiwi ke sana, sebuah kawasan toko-toko besar ternama dengan selingan kedai dan gerai yang susunannya rapi, menarik, dan klasik.
Keduanya mendaratkan kaki di sebuah tempat yang biasa menjadi favorit perempuan. Sebuah toko besar berinterior mewah dan memajang ribuan sepatu dengan beragam jenis. Kebetulan Gavin sudah beberapa kali ke sana. Dua pegawai di sana bahkan menyambutnya dengan sangat hangat. Lebih dari yang biasanya pegawai lakukan pada pengunjung toko.
“Pilihlah yang kau suka, Haiwi. Aku bisa katakan, toko ini selalu memuaskan pelanggannya. Lihatlah! Gadis-gadis, wanita muda, bahkan paruh baya terlihat sangat senang memilih sepatu dan sandal di sini.”
Memang benar yang disampaikan Gavin. Namun tak terlalu berpengaruh pada Haiwi. Benar, ia terkesima oleh bentuk dan ketinggian sandal-sandal ber-hak yang ditangkap matanya—sesekali menyentuhkan telunjuknya ke sandal-sandal. Sama seperti yang dilakukannya bersama Kine, Sera, dan Malo, ia hanya melihat-lihat tanpa mencoba. Seorang pegawai yang melihatnya mengartikan “melihat-lihat” itu sebagai kebingungan, dan dengan nalurinya segera menghampiri, menawarkan beberapa pilihan sepatu yang cocok untuk kaki Haiwi, serta membantu memakaikannya. Sayangnya, semua sepatu yang dipilihkan sama sekali tak mengetuk hasrat Haiwi untuk memilikinya.
“Aku tidak ingin berlama-lama di sini.” Kata Haiwi kemudian. “Sepatu-sepatu itu bagus. Tapi, aku lebih suka bertelanjang kaki. Dan daripada dibelikan olehmu, aku lebih suka dibelikan oleh ibu atau ayahku.” Ujarnya lagi saat keduanya telah keluar dari toko sepatu.
Seketika Gavin tak enak hati. Ia khawatir Haiwi salah paham akan ajakannya kemari. Rasanya—lagi dan lagi untuk pertama kalinya ia merasakan saat-saat di luar kebiasaannya. Ia pun membiarkan Haiwi memimpin jalan. Ikut berhenti ketika Haiwi menghentikan langkah di depan etalase sebuah toko boneka. Cukup lama Haiwi memandangi boneka bebek kuning berukuran besar dalam etalase. Dan tanpa aba-aba, meninggalkan toko boneka begitu saja—tapi tampaknya menyita perhatian Haiwi.
“Haiwi, kau marah padaku?”
Entahlah. Pertanyaan itu begitu saja terlintas di benak Gavin.
“Tidak.” Haiwi menoleh pada Gavin. Memperhatikannya cukup lama. “Tapi, kalau kau masih ingin membelikan sesuatu untukku, kau bisa membelikan es buah untuk kita berdua.”
Bak robot, Gavin langsung menggangguk cepat. “Sebelum itu, adakah tempat lain yang ingin kau kunjungi?”
Dua mata Haiwi mengitari sekelilingnya. Telunjuknya mengarah ke sebuah toko serba merah muda di seberang. Lalu, ke sanalah langkah keduanya berlabuh. Gavin tersenyum. Tak peduli bagaimana penampilan acuhnya, Haiwi tetaplah seorang gadis.
Di dalam toko serba merah muda itu Haiwi tampak sibuk ke sana kemari. Gavin mengikuti dari belakang, melihati kesibukan Haiwi mencoba-coba aksesori perempuan yang kadang bentuknya aneh dan cara pakai yang tak dimengerti oleh Haiwi maupun dirinya. Apapun yang menarik Haiwi, hampir dituruti Gavin, termasuk mengikuti arah mata Haiwi yang sering melihati keasyikan gadis-gadis lainnya bersama teman gadis lainnya dengan riuh rendah cekikikan. Bahkan, bersedia membiarkan Haiwi beberapa kali menjadikannya objek sasaran cuma-cuma percobaan aksesori, yang membuatnya terlihat lucu dan aneh di depan kaca. Tapi, ini momen yang bisa membuatnya tersenyum—bersama Haiwi. Rasanya, tak masalah bermalu-malu seperti ini.
Gavin pun belajar sesuatu. Ketertarikan Haiwi di toko serba merah muda ini tak jauh beda saat berada di toko sepatu. Sejauh yang diamatinya, antusiasme Haiwi sebatas memuaskan rasa ingin tahunya saja. Bak anak kecil yang baru diberi mainan pertamanya. Tak lebih. Buktinya, hingga keluar toko, tak satu pun benda-benda yang dipegang dan dicoba-coba berakhir dalam kantong belanja.
“Kau baru pertama kali ke tempat seperti ini?”
“Tidak. Tapi ini pertama kalinya aku pergi bersama laki-laki.”
Gavin tersipu. “Dan kau tak membeli satupun benda-benda aneh itu.”
Haiwi tak langsung menjawabnya. “Kurasa, aku tak cocok memakainya.”
Gavin tertawa. “Baiklah, kalau begitu, Kau tunggulah di sana!” Tunjuk Gavin pada sebuah kursi kayu berlengan baja di bawah pohon di depan mereka. “Aku akan segera kembali!”
Lima belas menit kemudian Gavin datang membawa kantung belanja berukuran sedang beserta dua jus buah dan dua roti panggang berlapis daging sapi dan sayuran hijau dipadu bombai, tomat, saus, mayones, dan keju.
Ketika keduanya menyantap, ponsel Gavin dan Haiwi berdering. Kine mengiriminya sebuah pesan, memberitahu bahwa pertemuan akan dialihkan ke tempat baru. Pertemuan itu baru akan terjadi satu jam lagi. Menunggu lagi.
Gavin mengerling pada Haiwi yang nampaknya begitu santai menanggapi pesan Kine dan hanya fokus dengan makanan di tangannya.
Ide baru muncul. Gavin menamakannya jalan-jalan buta. Ia menyilakan Haiwi sebagai navigator—yang dibalas Haiwi dengan anggukan sanggup. Lalu, diserahkan sepenuhnya keputusan kaki-kaki keduanya melangkah kemanapun Haiwi mau. Tapi, baru sepuluh langkah jauhnya, mata Haiwi yang tak sengaja melihat jalan pintas berupa lorong yang diapit gedung-gedung—cukup untuk dilewati dua manusia, menghentikan langkahnya dan menepi ke arah lorong. Matanya telah terfokus pada makhluk kecil berkaki empat berkumis.
Kucing kecil itu sedang kelaparan. Sedang mengais di bak sampah yang terbaring dan mengeluarkan isi di dalamnya. Mungkin, manusia tak sengaja menyenggolnya. Mana mungkin kucing kecil itu mampu menjatuhkan tempat sampah yang berkali-kali lipat bertnya dari tubuh mungilnya. Haiwi melihati si kucing cukup lama sembari bercerita singkat pada Gavin tentang ayahnya yang selalu punya kebiasaan membawa kucing jalanan ke rumah penampung hewan.
Tangan Haiwi baru saja akan mengangkat kucing kecil itu, namun tangan Gavin lebih dulu menahan tangannya. Dengan saputangan miliknya, Gavin mengambil kucing yang nampak lemah itu. Ia sedikit terpengaruh akan cerita Haiwi mengenai ayah. Nalurinya mengatakan bahwa Haiwi pun ingin melakukan hal yang sama. Membantu kucing jalanan menemukan rumahnya. Kemudian, Gavin membawa si kucing menemukan tempat tinggal layak hidup, dan seperti janji keduanya di awal jalan-jalan buta ini, ia membiarkan Haiwi berjalan di depannya, ke satu di antara tempat penampungan hewan di Kota Sin.
Dari langkahnya yang tak nampak ragu, Gavin yakin Haiwi cukup menghapal rute jalan tujuan keduanya. Sampailah keduanya di sebuah pintu berwarna putih di antara gedung-gedung berlantai tiga yang berjajar panjang di tengah kota. Di atas pintu tertulis sebuah nama “Ring” lengkap dengan nomor ponsel pemilik.
“Kenapa tak kau pelihara saja satu-dua diantara mereka?” tanya Gavin ketika telah berada di dalam dan menyerahkan si kucing kepada seorang pegawai di rumah kucing ini, dan melihat Haiwi terpaku lama pada kucing-kucing yang asyik bermain-main di atas lantai, merebutkan bola-bola yang menggelinding ke sana ke mari.
Haiwi menggeleng, “Lota alergi pada bulu mereka. Itulah sebabnya ayah tak bisa membawanya ke rumah meski sangat menginginkannya. Lagipula, kucing besar sepertinya lebih cocok untukku.” Masih melihati dalam-dalam kucing-kucing lucu usia tanggung di depannya. Namun satu yang benar-benar menarik perhatian Haiwi. Kucing berwarna abu-abu bermata kuning berselimut bulu-bulu lebat yang mendekat ke kakinya. “Ironis.” Kata terakhir ini terdengar untuk dirinya sendiri.
“Ya, ironis. Disaat makmurnya kota ini dan orang berlalu-lalang, tapi tak banyak yang peduli.” Timpal Gavin.
Disela-sela percakapan itu, telinga Haiwi menangkap dan mengenali getaran suara melodi merdu. Suara itu berasal dari musik musisi jalanan. Arahnya datang dari alun-alun kota. Rumah kucing itu memang menghadap langsung alun-alun kota. Menyeret lagi kaki-kaki keduanya mendekati suara itu. Seperti tadi, Gavin mengikuti tanpa mengeluh.
Berdiamlah keduanya di hadapan seorang musisi jalanan yang menggesek anggun alat musik senarnya. Alunan bunyi biola sang musisi, membuat bola-bola mata keduanya dan penonton lainnya terhenyak, mendecak kagum, dan membungkam mulut dalam keselarasan alam buatan alun-alun kota.
Gavin melempar koin-koin ke dalam wadah pelindung biola yang terbuka ketika pertunjukan sang musisi selesai. Haiwi meliriknya. Diberikannya tiga koin tersisa miliknya pada Haiwi. Meski tak kentara, Gavin dapat menangkap riak-riak riang merona di wajah Haiwi. Apalagi ketika melihat Haiwi melempar pelan-pelan koin ke dalam wadah pelindung biola. Wajah penuh konsentrasi Haiwi yang bak melempar bola basket ke dalam ring terlihat lucu sekali. Sisi lain yang tak dapat dilihatnya di kelas.
Keduanya sepakat mengakhiri jalan-jalan butanya di taman bermain. Tempatnya berdampingan dengan hutan kota. Tiga blok lagi dari alun-alun kota. Langsung dapat menyeiramakan pilihan menikmati wahana cukup ekstrim, seperti melintasi rel panjang melayang naik turun, kadang beralih pada lintasan lurus pendek dengan kemiringan menegangkan di atas Roller Coaster, dan ayunan raksasa yang memberikan sensasi perasaan sentrifugal yang menggelikan.
Meski tak banyak kata-kata mengalir dalam setiap gerak-geriknya dan Haiwi. Pun seperti tak masalah bila obrolannya bersama Haiwi membuatnya berfilosofi, sungguh jauh dari kebiasaannya. Dan ya, Gavin sungguh menyukai perasaan tenteram yang menggelantung di hatinya akhir-akhir ini. Terutama hari ini. Tak diketahui sebabnya.
Dan di sinilah akhir jalan-jalan buta keduanya. Komedi putar raksasa. Sebuah ruang kotak kaca mirip gondola yang berputar lambat searah jarum jam bersama waktu yang berdetik lembut. Secara mengejutkan, Gavin memberikan sesuatu pada Haiwi yang duduk di hadapannya. Telah disimpannya di balik jaket bomber miliknya cukup lama yang dibeli saat lima belas menit tanpa Haiwi sebelum jalan-jalan buta tercetuskan.
Haiwi menerimanya. Dilihatnya kotak kecil di tangannya dan Gavin bergantian. Apa ini?
***
Cerita keduanya belum berakhir. Waktu yang terus berjalan membawa satu jam masa menunggu terlewati tanpa terasa. Saatnya menuju tempat pertemuan yang Kine janjikan. Berada di lantai atap sebuah hotel berbintang. Hanya lima belas menit dari tempat bermain ini.
Gavin langsung tertegun saat tiba di sana. Pesta kecil telah menanti. Disambut oleh Kine, Sienna, dan Qiyo. Ditatapnya satu per satu, tiga gadis yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Cukup lama. Entah kenapa tatapan Kine nampak paling berbinar—tentu ada maksud yang hanya diketahui oleh Kine sendiri.
Gavin Tak menduganya sama sekali. Bahkan ia lupa dengan hari ulang tahunnya. Menjadi semakin berarti karena kejutan pesta kecil ini disiapkan oleh teman-teman yang dirindukannya. Sudah dua tahun berturut-turut tak pernah merayakannya bersama. Hampir saja menitikkan air mata. Sungguh lengkap rasanya kebahagiaannya malam ini. Apalagi, ada kenangan manis di sini bersama ibunya di waktu ia kecil.
Ah, satu tamu tak terduga hadir di sini. Untuk malam ini, ia akan berdamai dengan ketua kelasnya, Balin, pemuda berambut lurus pendek, berkacamata, setinggi Gavin, dan beraura sangat tegas. Tipe pemuda berkarakter berlawanan dengan Gavin. Sejauh yang bisa diingat Gavin, Balin hanyalah pemuda paling membosankan dalam hidupnya.
Kine, Sienna, dan Qiyo, juga Balin, bergantian memberi kado. Pada titik itu, Haiwi yang hadir di sana, cukup memahaminya. Lalu, sekali lagi, seperti saat di komedi putar, ia menunduk, melihati kotak kecil yang masih dipegangnya dan beralih pada kado-kado yang dibawa mereka untuk Gavin. Melihati dengan saksama. Ia tak memiliki kenangan melakukan hal-hal semacam ini dengan teman-temannya. Meski begitu, dalam hatinya ikut senang menjadi bagian dari pesta kecil yang berakhir lebih cepat dari yang disadarinya.
“Haiwi, apa kau menikmati jalan-jalan kita hari ini?” Tanya Gavin ketika tiba Haiwi di halte, menunggu bis yang akan tiba beberapa saat lagi.
“Aku menikmati waktu yang diberikan untukku saat ini, Tuan Tampan. Aku tak tahu kapan waktuku akan berakhir. Hingga hari itu tiba, aku tidak ingin larut dalam penyesalan—setidaknya pada detik-detik terakhirku sebagai Haiwi.” Jawab Haiwi menutup kebersamaan keduanya malam ini.
Gavin tak sepenuhnya memahami kata-kata yang di telinganya terdengar puitis dari mulut Haiwi. Selain karena Haiwi yang dikenalnya sering mengucapkan kata-kata tak biasa, tentu saja karena ia masih diselimuti kebahagian. Apalagi, Haiwi turut menjadi satu alasan diantara kebahagiaannya malam ini.
***
Ayah duduk menunggu di ruang keluarga saat Haiwi tiba di rumah. Jam tua yang menempel di dinding menunjukkan pukul 22.10. Tanpa banyak berkata-kata, hanya menyambut Haiwi dengan senyum lembut keayahan dan kecupan selamat malam di kening Haiwi, ayah masuk ke kamarnya. Haiwi melihati punggung pria empat puluh tahun itu hingga hilang bayangannya di balik pintu. Kemudian, menuju kamarnya di lantai atas.
Malam yang semakin meninggalkan suara riuh manusia dan mesin, dan menyisakan irama nyanyian binatang malam hari, tak membuat Haiwi larut dalam kesunyiannya. Matanya tak mau terpejam. Peristiwa hari ini pun andil membuatnya terjaga. Akhirnya, ia keluar dari kamarnya menuju balkon. Ini hampir dilakukannya setiap malam bila mulai meresah sembari menatap langit. Satu yang menjadi keterarikannya, bintang. Ia terpesona padanya ketika pertama kali dirinya dapat menikmati dunia luar. Mungkin juga satu-satunya yang mampu menggugah dan menenangkan hatinya di balik kegelapan malam yang panjang. Dulu sekali, saat usianya masih sangat muda, sebelum mengenalnya sebagai bintang, Haiwi menyebutnya titik-titik kecil bercahaya.
“Bagaimana jalan-jalanmu hari ini?” Tanya Ibu di belakangnya.
“Melelahkan… dan menyenangkan.” Jawab Haiwi sembari menoleh pada ibu.
“Syukurlah. Ibu senang mendengarnya.” Ada keheningan sesaat. “Ayah baru saja mengatakan pada ibu. Apakah akhir-akhir ini kau tak bisa tidur?”
“Kurasa aku tak mungkin mengelabui ayah.” Haiwi mengangguk. “Hampir dua bulan ini aku kembali insomnia—jika ibu mengistilahkannya demikian.”
Ibu memutar badan Haiwi hingga berhadapan. Memegang leher, wajah, dan tangan Haiwi bergantian.
Haiwi tertawa rendah. Senang ibu memeriksa suhu tubuhnya. Adalah tanda kepedulian. “Ibu, aku boleh mem…” belum usai ucapannya, ibu sudah lebih dulu menarik tubuh Haiwi ke dalam pelukannya. Memang itulah yang diinginkannya.
“Ibu pasti khawatir. Aku bisa mendengarnya dari detak jantungmu.”
“Maafkan ibu. Harusnya ibu bisa menyadarinya lebih cepat.” Sesaat suara ibu bergetar. “Apakah kembali berhalusinasi?”
Haiwi memejamkan mata, menikmati hangatnya pelukan ibu. Kemudian menggeleng. “Hanya saja, dalam tidurku aku kembali melihat kengerian itu.” Haiwi berhenti sejenak, menarik napas. “Karena sekarang aku memiliki Ibu, ayah, dan Lota di sampingku, aku akan baik-baik saja.” Semakin erat tangannya memeluk ibu. “Aku senang aroma tubuhku saat bersama kalian. Selalu senang saat dipeluk olehmu. Hangat—menenangkan. Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Tentu. Katakanlah!”
Haiwi memejamkan mata. Benar-benar dalam damai. “Aku telah membuat ayah dan ibu berusaha lebih dari seharusnya. Aku ingin kalian tak menangisiku dan menerima jika aku harus kembali. Karena melihat kalian bersedih membuat dadaku sakit.”
Hanya saja di balik ketenangan firasat yang bersemayam dalam dirinya, diam-diam, jauh di dalam hati, kerelaan yang dimintanya pada ibu malam ini, sebenarnya mulai meruntuhkan kepercayaan dirinya. Tangan yang sedang menggenggam tangan orang-orang terkasihnya, yang selama ini menghangatkannya, seolah dipaksa lepas perlahan. Malam gelap yang selalu menemaninya, kali ini benar-benar dirasakan dinginnya. Mengertikah kau akan perasaan itu?
Ibu menitikkan air mata dan segera mengusapnya. Membelai rambut panjang Haiwi yang terurai. “Jangan ucapkan kata-kata itu lagi. Kita adalah keluarga. Kita akan saling melindungi! Kau harus ingat itu!” Sorot mata ibu menyampaikan tekad bulat pada rencananya bersama ayah di hari lusa menuju gerbang utara, tempat kerja baru bagi keduanya selama lima bulan kedepan.
Ibu melepas pelukannya, masih berhadapan. Menyelipkan helaian rambut hitam Haiwi di balik telinga. Menyunggingkan senyum. “Bagaimana dengan sekolahmu?”
Sayangnya, Haiwi tak memiliki daftar kata-kata yang mudah dipahami lawan bicara. Selama perjalanan kehidupan sekolahnya, ia menyimpan sebatas apa yang dilihat mata dan dirasakan oleh hati. Mengolahnya menjadi dokumen pribadi dalam loker hippocampus-nya, dan berharap akan memainkan perannya menyebarkan ingatan itu ketika ingin menghidupkan kembali kenangannya.
Tapi, melahirkannya dalam bentuk kalimat, itu lain lagi ceritanya. Sulit untuk merangkainya. Bila dijelaskan secara singkat, beginilah kira-kira di dalam benaknya. Tujuh jam waktu yang dilewati setiap harinya di sekolah. Selama itu pula ia menghabiskan waktu tanpa banyak bicara, berinteraksi, atau sekadar menyapa teman di kelasnya. Hampir berulang kali demikian. Femi dan dua temannya juga termasuk dalam cerita menarik yang direkamnya.
Saat bel pulang berbunyi, lebih sering memilih keluar kelas paling akhir untuk alasan menghidupkan emosinya dengan mengamati aksi dan ekspresi teman-teman di kelas. Misalnya, seperti kesibukan teman-teman memasukkan buku ke dalam tas, wajah berseri temannya melihat ke arah pintu kelas berharap sahabat atau orang yang disuka menunggu di luar, mereka yang bergerombol tiga-empat orang untuk membahas “petualangan hidup remaja” setelah pulang sekolah atau sekadar bercerita tentang guru yang mengajar hari itu, mereka yang langsung berlari keluar sesaat setelah guru yang mengajar mata pelajaran terakhir keluar dari pintu kelas, atau pun kadang diwarnai dengan aksi tarik menarik tas untuk berlomba keluar kelas.
Harus diakui, ada yang mulai berubah. Mereka yang akhir-akhir ini seperti badai menghantam ketenangan hidupnya di sekolah satu per satu. Bahkan, akhir-akhir ini menyerang hari-harinya di luar sekolah.
“Sekolahku, menyenangkan.” Jawab Haiwi singkat. Seperti yang sudah-sudah, diksinya tak memberikannya banyak pilihan untuk mengutarakan semua yang dirasakannya.
“Bagaimana dengan teman-teman barumu?”
Menatap ibu lekat-lekat, lalu mengalihkan lensa matanya pada gemintang yang mengedip ramah di langit gelap. “Hari demi hari, mereka seperti nyamuk beterbangan dan terus berputar-putar di kepalaku. Vektor yang membuat benakku berhalusinasi pada hal-hal yang tak bisa kumiliki. Kadang-kadang menjelma seperti kunang-kunang yang berkerlap-kerlip di malam hari.” Haiwi diam sejenak. Sampai pada kesimpulan akhirnya. “Lebih tepat bila menyebut mereka polusi cahaya. Menyilaukan. Sungguh tak sehat untuk kepala dan organ-organ tubuhku, Bu.” Haiwi diam lagi. Tentang polusi cahaya yang ia sebutkan, artinya tak harfiah seperti yang dimaksudkan. Hmm... bila ingin memahaminya, hanya perlu membuat otakmu berasosiasi.
Ibu memeluk Haiwi lagi. Meyakinkannya dengan kehangatan dunia kecil yang sekarang Haiwi miliki. Ada ayah, Lota, dan Ibu. Mungkin jika kata “jika” itu diizinkan dan boleh dimilikinya, teman-teman akan menjadi deretan kebahagiaannya.
Jika…
@_@603Please respect copyright.PENANAaceQpHoy4t