Kakaknya bertingkah berbeda dari biasanya. Begitulah Lota mengartikan wajah datar Haiwi, yang kini meninggalkan kewaspadaannya. Hampir di setiap persimpangan jalan, langkahnya tak mengarah sesuai jalan yang seharusnya dituju. Untunglah Lota yang di sampingnya, setia merangkul tangannya, menuntunnya dari kesesatan yang tidak perlu. Pada akhirnya membuat Lota tak bisa mengalihkan pandangan selain padanya.
Genggaman hangat Lota yang selalu dirindu dan disukai Haiwi, pun tak mampu menghentikan benak yang semakin dalam terputus dengan sekelilingnya. Balon-balon percakapan media sosial di ponsel yang terus bermunculan dan mengeluarkan suara-suara memantul pendek, dibiarkannya memenuhi dan berbunyi begitu saja tanpa dibaca. Jarinya tak punya karsa untuk sekadar mematikan notifikasi obrolan. Pun tanpa dilihatnya, televisi-televisi yang menggantung di dinding-dinding rumah sakit dan televisi-televsi besar di jalanan yang menempel tangguh siang-malam di dinding gedung-gedung kota pagi ini telah mengirimkan irama suara-suara ke gendang telinganya dalam susunan kalimat sama. Pasti pun begitu dengan teman-temannya. Akan terus begitu untuk beberapa hari ke depan. Suara-suara yang berceloteh sama. Tentang kehebohan Kota Sin dua malam lalu.
Beberapa malah mengembangkan cerita menjadi versi yang lebih mistis. Ringge, tokoh utama dalam peristiwa dua malam lalu oleh penduduk kota ini dan banyak negara lainnya dikait-kaitkan dengan mitologi vampir dan sejenisnya. Bahwa Ringge—didukung dengan pernyataannya, ialah benar manusia malam, yang dalam pengetahuan awam sebagai makhluk nokturnal bergigi taring dan berkuku panjang, serta diyakini sebagai sosok penghisap darah paling fenomenal. Tentu saja dengan membayangkan itu semua membuatnya menjadi satu diantara makhluk menyeramkan dan menakutkan di muka bumi. Membuat fantasi siapa pun bergidik. Tapi, dibalik berkembangnya cerita, pada kenyataannya, tak ada yang pernah benar-benar tahu tentang manusia malam. Masih misteri. Seperti sebuah rumor, diam-diam dan teratur, tersebar begitu saja, mulut ke mulut, generasi ke generasi. Anehnya, meski tak pernah ada alasan ilmiah akan keberadaannya, bahkan kadang di luar nalar, ada saja yang mempercayainya. Lalu, beberapa malam lalu itu, Ringge seolah meniscayakan rumor itu.
Tapi, demikianlah cerita itu mengalir di luar area radar kesadaran Haiwi. Tak satu pun menjelma hasrat ingin tahu, apalagi ingin mengerti. Melodrama dua malam lalu, mengaburkan pandangannya. Air mata Lota yang membasahi tuniknya, nenek yang berusaha tegar—dua kali tertangkap matanya berakhir di pelukan kakek saat tak tahan melihat putri dan menantunya terbaring di atas tempat tidur dipenuhi perban, serta kakek yang terlihat menahan diri—sebelah tangannya nampak mengepal erat. Dan yang paling menyayat pikirannya adalah luka-luka di tubuh ibu dan ayah. Dua malam lalu, secepat mata mengerjap, retinanya langsung mengenali luka-luka itu. Goresan luka cukup panjang, membentuk lima garis diagonal. Tak mungkinlah lupa disaat ia sendiri memilikinya.
Mulai malam itu, Haiwi tak banyak bicara. Hatinya ikut enggan bertanya peristiwa yang menimpa ibu dan ayah, meskipun keingintahuannya memanggil-manggil. Sebagian hatinya tak ingin mendengar cerita sebenarnya. Karena entah bagaimana, intiusinya telah berjalan lebih dulu menemukan muara cerita dan jawabannya.
Pun bibit kepedulian yang terus dipupuk, memberikan andil dalam menumbuhkan emosi berlawanan dalam dirinya. Ini sangat menyulitkan hatinya. Mestinya, bila ini dulu, tak akan payah bagi dirinya melewati dialog sedih ini. Adalah melodrama terpanjangnya.
Satu hal yang diyakini logikanya yang berputar, ibu dan ayah yang telah mendapatkan kesadarannya enam jam lalu, tak pantas berbaring di ruangan petak serba putih bersama goresan-goresan luka. Dan ya, seharusnya tak satu pun dari mereka perlu merasakan kisah sedih itu.
“… wi! Kak Haiwi!” Seseorang memanggil dari belakang.
Lota yang menyadari nama kakaknya dipanggil, menoleh ke belakang, ke arah suara. Seorang gadis berseragam sama dengan Haiwi tersenyum lebar padanya sembari melambai.
“Hai, aku Malo!” katanya mengenalkan diri.
Lota yang ramah membalas senyum. Sembari terus berjalan, Lota memandangi wajah Malo penuh selidik. Ekspresinya menjelaskan semuanya. Ia baru melihatnya hari ini.
“Lota!” Balas Lota memperkenalkan diri setelah merasakan aura hangat dan ramah yang Malo bawa.
Malo pun berjalan di samping Lota. Lalu, melihat Lota dan Haiwi bergantian. “Kau pasti khawatir dengan kakakmu.”
Lota mengangguk. Terkejut saat tangannya ditarik dan disentuhkan pada kaleng minuman hangat yang dipegang Malo.
“Bagaimana kalau kita kejutkan Kak Haiwi dengan ini?” Malo mengedipkan sebelah matanya.
Lota mengangguk saja meski tak mengerti hubungan antara kaleng hangat itu dan lamunan Haiwi.
Malo yang telah mendapatkan izin Lota, langsung berdiri di depan Haiwi. Menempelkan kaleng hangat miliknya pada pipi kanan Haiwi, sembari tangan kanannya menepuk cukup keras pipi kiri Haiwi. Ajaibnya, cara itu ampuh menyadarkan Haiwi. Malah membuatnya tertegun hingga depan gerbang sekolah Lota. Namun, kali ini pikirannya tak membuatnya lupa pada Lota yang kini melambai padanya. Lalu, dalam diam, Haiwi dan Malo melanjutkan perjalanan ke sekolahnya.
“Ada yang sedang mengganggumu, Kak Haiwi? Kau membuat adikmu khawatir cukup lama. Tangannya tak sekalipun melepaskan genggamannya dari tanganmu. Sebagai kakak, seharusnya kau tak boleh begitu.” Kata Malo tepat sebelum Haiwi masuk ke dalam toilet.
“Aku sedang bermasalah dengan pikiranku.” Hilanglah Haiwi ke dalam toilet.
Dan sebelum benar-benar meninggalkan pintu masuk toilet, Malo sempat mendengar percakapan pelik dari dalam yang membuatnya berhenti. Suara yang juga cukup dikenalinya.
“Kau tahu, apa yang paling kuinginkan saat ini, Haiwi?” kata suara penuh kebencian itu.
Tak ada jawaban dari Haiwi.
“Tidak melihatmu selamanya!”
Berpapasanlah Malo dengan Femi, si pemilik suara itu, di luar toilet. Melewatinya begitu saja bersama kebencian yang masih tersisa di wajah lancipnya.
@_@
“Hari sabtu yang lalu kau tidak masuk sekolah. Apakah kau tak ingin berbagi cerita absenmu, Kak Haiwi?” Kine langsung mengikuti Haiwi pada istirahat pertama, begitu matanya menangkap bayangan Haiwi yang hilang menuju pendopo, tempatnya dulu mengenalkan Haiwi pada Sienna. Keduanya duduk berseberangan.
Haiwi tak memandangnya. Malah membuka halaman baru buku yang sedang dibacanya. Sudah begitu, sama sekali tak ada tanda-tanda gelombang suara akan keluar dari mulutnya.
Kine belum menyerah. “Sebenarnya, sabtu yang lalu aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Ingin menjernihkan cerita tentangmu yang mampir ke telingaku. Aku…”
“Hmmm… ceritaku di sekolah ini sudah sampai padamu. Menarik, kan? Meskipun aku tak pernah tahu siapa yang memulainya. Tapi, kau tahu, tak sepenuhnya cerita yang dirangkai itu bohong. Jika kau mengkhawatirkanku, kurasa tak perlu melakukan itu. Aku sama sekali tak tersakiti di sekolah ini.” Jawab Haiwi dengan wajahnya yang masih menekuk pada halaman buku.
Mungkin saja, dari sudut pandang Haiwi, keduanya belum sedekat yang dibayangkannya hingga dapat menceritakan bagian terdalam sebuah kisah kepada satu sama lain. Kine menggelengkan-gelengkan kepala. “Jika seperti itu, kau hanya akan mendapatkan cerita buruk hingga akhirmu di sekolah menengah atas. Sungguh, Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Kak.”
Haiwi tak memberi respon lagi.
Kine cukup merasa kadar diam Haiwi lebih dari sebelumnya. Ia pun memilih berdamai dengan pikirannya yang tidak mengerti atas sikap santai Haiwi pada Femi dan dua temannya, serta cerita Haiwi yang berkembang ngawur dan sporadis di sekolah.
“Menurutmu, apakah aku akan lulus bila mendaftar SPeN?” Tanya Kine mengubah topik. Kine melirik Haiwi, kalau-kalau ia merespons. Dan ya, nihil reaksi. Kine lanjut saja. “Ini keinginanku sejak lama. Tapi, ada yang mengganggu kepercayaan diriku. Meski tubuhku sedikit lebih besar dan tinggi dari kak Sienna, tapi kemampuan fisikku sama sekali tak mendekatinya. Dia—terlalu hebat.”
“Kak Sienna anggota SPeN.” Haiwi berkata pada dirinya sendiri. Kata-katanya seolah menyiratkan ‘Kenapa harus SPeN?’, dan SPeN lagi.
“Aku... “ Mata Kine menerawang melewati Haiwi yang duduk di depannya. “Aku ingin memahami setiap kali melihat ayah mengerutkan kening di rumah, khususnya beberapa bulan terakhir. Aku juga ingin tahu kegelisahan kak Sienna seminggu terakhir—yang kadang mendapatinya terjaga di malam hari dan kelihatan lelah di pagi hari. Aku ingin menjadi bagian dari kegelisahan yang mereka rasakan. Apalagi, sejak kemunculan Ringge kembali di kota ini. Ayah dan Kak Sienna benar-benar tak memiliki waktu di rumah. Belum lagi, sudah lama rasanya tak pernah berlatih tanding bela diri bersama mereka.” Kine melenguh. Napasnya berat. “Hei, Kak Haiwi, apakah kau juga percaya pada Ringge? Bahwa manusia malam benar-benar ada.”
“Kau sedang menanyakan keyakinanku, Kine.” Akhirnya, Haiwi mengangkat wajahnya juga. Mungkin ranah santunnya telah menegurnya. Atau pertanyaan Kine telah mengaktifkan sistem saraf sadarnya untuk mereaksi. “Aku meyakini bahwa sejak lahir kita membawa keunikan masing-masing dan ingin hidup damai.”
“Orang paling kukagumi—ayah keduaku, yang adalah paman kandungku, banyak menulis tentang manusia malam di kamar rahasianya. Pernah suatu ketika aku diam-diam membacanya.” Bermainlah imajinasi Kine menuju masa lalu. “Saat itu, aku tak mengerti maksud tulisan-tulisan dalam jurnalnya karena seperti cerita fantasi. Lalu, paman mendapati kebiasaanku mencuri jurnalnya. Paman tak memarahiku. Malah, ia menceritakan manusia malam dari mulutnya sendiri seolah mereka bukan tokoh khayalan. Begitu nyata seolah—saat itu aku masih sepuluh tahun, bisa menggapai orang-orang malam yang diceritakannya. Tapi, sebelum sempat menanyakan di mana aku bisa bertemu mereka, terjadi insiden mengerikan yang membuatku kehilangan orang paling cerdas dan dermawan dalam hidupku.” Suaranya tercekat. “Apakah kau pernah melihat manusia malam, Kak Haiwi? Ada saatnya, aku tak ingin mendengar pamanku sedang berfantasi tentang mereka. Apakah Ringge benar-benar mengatakan yang sesungguhnya?” Katanya lagi mengulang nada pertanyaan sama.
Haiwi memerhatikan Kine sangat dalam. Muncul dengan sebuah jawaban. “Kurasa, pamanmu tidak sedang berfantasi.”
“Apakah kau pernah melihatnya?” Ulang Kine kembali.
“Manusia malam, jika sebutannya demikian, mereka tak pernah benar-benar jauh dari jangkauan matamu.” Lantas, mengakhiri dengan pertanyaan awal Kine. “Kau mungkin—ah tidak, kau akan jadi keluarga SPeN. Kau pun pasti akan menemukan jawabannya.”
Kine tersenyum, dalam hati mengamini. Pun mengerti, topik manusia malam sepertinya mengusik Haiwi. “Kau tidak ingin bergabung dengan SPeN, Kak Haiwi?”
“SPeN tak menerimaku seperti mereka nanti menerimamu.”
Kine mengerutkan dahi. Tapi tak meneruskan kebingungannya. Meskipun begitu, tak mengubah fakta bahwa ia merasa begitu nyaman dengan Haiwi—dan ya, meski hari ini nalurinya memberitahu bahwa Haiwi sedang mengambil jarak. Tapi, biarlah jalinan pertemanan ini mengerat pelan-pelan, tak memaksa, dan membuat nyaman akan keberadaan masing-masing. Dalam hati, Kine semakin tak peduli pada cerita tak bertanggung jawab yang didengarnya. Sanubarinya meyakini bahwa Haiwi bukanlah gadis jahat yang akan dengan mudah melemparkan telur busuk ke wajahnya.
Begitulah yang Kine pikirkan hingga istirahat pertamanya bersama Haiwi usai. Sepuluh menit setelahnya, ketika semua siswa menyibukkan diri berkonsentrasi pada mata pelajaran kedua, matanya dihadapkan pada kenyataan yang membuat hatinya gamang.
Disaksikannya tubuh Femi terbaring telentang tak sadarkan diri di toilet perempuan lantai satu—berjarak tiga kelas dari kelasnya, bersama Haiwi yang berdiri di sampingnya dengan tongkat pemukul kasti di tangan dalam ketegunan. Kepalanya bercampur aduk. Melihat Femi—lalu Haiwi. Setidaknya, dua kali ia melakukannya sampai Haiwi memintanya untuk memanggil dokter unit kesehatan sekolah, sekaligus membuatnya sadar bahwa yang dilihatnya bukanlah ilusi.
Dari satu-dua siswa yang masuk ke toilet dan mengetahui kejadian tersebut, kemudian berkembang ke kelas-kelas lain via mulut maupun grup media sosial, dan sampailah pada Hara dan Danne. Tanpa ragu, keduanya lantas berlari menuju toilet tempat Femi terbaring. Pintu sudah dipenuhi oleh kerumunan siswa penasaran daripada peduli. Hara dan Danne memaksa membuka kerumunan dan mendorong dirinya masuk dalam toilet.
PLAK!
Hara langsung menampar Haiwi yang sedang memusatkan matanya pada tongkat pemukul kasti di tangannya. Sementara Danne mengangkat kepala Femi ke atas pangkuannya dan mengusap darah yang mengalir di pelipis Femi dengan tangannya.
Kepala Haiwi yang menoleh ke kanan dengan paksa akibat tamparan Hara, membuat matanya menangkap perhatian Danne yang dirasakannya sangat tulus. Melupakan rasa sakit tamparan yang diterima pipinya.
“Lihat aku!” Bentak Hara. “Apa yang kau lakukan pada Femi?”
“Tak ada gunanya kalau kukatakan sekarang.”
Wali kelas XI-a, Pak Hanse, baru saja tiba dan segera melerai. Melepaskan tangan Hara yang mencengkram kerah Haiwi. Menyusul kemudian konselor sekolah, dokter unit kesehatan sekolah, dan Kine. Pak Hanse pun memercayakan Hara dan Haiwi pada konselor sekolah. Lantas, dengan tubuh besar dan tingginya segera memapah tubuh Femi dari pangkuan Danne menuju ambulans. Setelah itu, tanggung jawab diambil alih dokter unit kesehatan sekolah.
Sementara itu, Haiwi, Hara, Danne, dan Kine berjalan menuju ruang konseling. Dalam sekejap lorong-lorong dipenuhi siswa-siswi yang ingin tahu dengan tatapan yang terus mengarah kepada mereka. Di antaranya ada Gavin dan Balin yang sesaat sempat beradu tatap dengan Haiwi. Seperti biasa, Haiwi acuh.
Tiba di ruang konseling telah duduk kepala sekolah dan kepala kesiswaan. Untuk beberapa saat, ruang konseling terasa hening. Lalu, interogasi pun dimulai setelah pak Hanse bergabung bersama mereka.
“Baiklah, langsung dimulai saja!” Mulai kepala sekolah. “Haiwi, apa yang bisa kau jelaskan tentang peristiwa yang menimpa Femi?”
“Setelah menghabiskan waktu istirahatku bersama Kine, aku mengembalikan buku ke perpustakaan, dan menuju toilet untuk mencuci muka. Di dalam toilet aku melihat tubuh Femi sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan tongkat pemukul kasti di samping kirinya.”
“Bohong! Kaulah yang memukul Femi! Kaulah satu-satunya orang yang menginginkan hal ini terjadi pada Femi.” Teriak Hara.
“Kau yakin hanya aku yang menginginkan Femi terluka?”
“Hara!” Potong kepala sekolah. “Ada saatnya untukmu bicara. Silakan lanjutkan Haiwi!”
“Lalu, aku segera menghubungi Pak Hanse untuk segera ke toilet karena aku tidak mampu mengangkat tubuh Femi sendirian.”
Kepala sekolah, kepala kesiswaan, konselor sekolah, dan Kine menoleh pada Pak Hanse.
Pak Hanse mengangguk. “Ya, Haiwi menghubungi saya. Saya sedang mengajar di di lantai tiga.”
“Kenapa kau tidak meminta bantuan teman lainnya?” Tanya konselor sekolah. Entah kenapa, konselor sekolah merasa Haiwi begitu tenang menghadapi masalah Femi. Biasanya keterkejutan melihat seseorang yang tiba-tiba tak sadarkan diri akan membuat seseorang panik. Tapi, Haiwi sama sekali tak menunjukkan ciri itu.
“Aku sudah melakukannya.” Haiwi menunjuk Kine.
Kine mengangguk. “Kak Haiwi memintaku untuk memanggil dokter unit kesehatan sekolah.” Kemudian, memandangi wajah pucat Haiwi. Tadi, sebelum pertemuan ini dimulai, ia menyangka wajah pucat Haiwi adalah bagian rasa gugup. Namun, wajah pucat yang sedang dipandanginya ini sama sekali tidak berubah, sejak dari toilet hingga di ruangan ini. Ah tidak, bahkan saat di pendopo, atau mungkin jauh sebelum itu. Bahkan, napas Haiwi begitu teratur dan tenang, sangat menguasai emosinya. Gambaran perasaan Kine saat ini tak ubahnya mirip seperti saat susunan puzzle kesukaannya yang berbentuk potongan-potongan kecil dan hampir diselesaikan, namun karena suatu alasan, puzzle-puzzle yang telah tersusun itu terburai dari papannya, dan terpaksa harus dimulai dari awal.
“Boleh aku melanjutkan ceritaku?” Tanya Haiwi ketika menyadari Konselor sekolah memandanginya cukup lama bak tatapan detektif, penuh selidik.
“Oh—Silakan!”
“Setelah menghubungi Pak Hanse, aku memutuskan untuk tetap di sana sampai Pak Hanse datang. Sambil menunggu, aku mengambil tongkat pemukul kasti di samping Femi. Aku sengaja mengambilnya untuk melihat apakah benda itu yang membuatnya tak sadarkan diri. Kukira, disaat itulah Kine melihatku.”
Kine mengangguk.
“Kau hanya sedang mencari alasan masuk akal atas perbuatanmu. Bukan begitu, Haiwi?” Danne yang sedari tadi menahan sakit di hatinya, ikut bicara. “Kau adalah gadis psycho berdarah dingin yang paling merasa bahagia melihat Femi terluka saat ini.”
“Kau sedang memaksakan diri dengan alasanmu, Danne. Ah—tidak, itulah yang ingin kau percayai dari orang yang tidak kau sukai.”
“Lihatlah! Kau memang selalu pandai bicara, Haiwi!” Danne tersenyum kecut.
Haiwi mengabaikannya dan menoleh pada kepala sekolah. “Aku tidak keberatan bila kalian mencurigaiku. Aku yakin, Kepala Sekolah tahu apa yang harus dilakukan. Kalau boleh, lebih baik pisahkan kami dalam ruangan berbeda.”
Kepala sekolah menerima saran Haiwi. Hanya Haiwi yang keluar dari ruangan konseling dengan didampingi kepala sekolah dan pak Hanse dan berpindah ke ruang kepala sekolah. Interogasi pun berjalan terpisah dan lebih damai. Meski, tak menyelesaikan kegelisahan di hati Kine, serta kebencian di hati Danne dan Hara.
Usai interogasi itu, untunglah, guru-guru lainnya telah menertibkan keingintahuan para siswa lainnya dengan menutup pintu kelas dan melanjutkan pembelajaran. Niat Haiwi untuk mengambil tas ke kelas pun terbantu oleh Balin yang sudah menunggu di depan kelas bersama tas ranselnya di kelas. Bahkan, dengan sukarela membawakannya dan menemani Haiwi hingga teras utama sekolah.
Pak Hanse sudah menunggu di teras untuk mengantarkan Haiwi pulang. Namun, Haiwi menolak kebaikan hati wali kelasnya itu dan memintanya untuk memberikan perhatian penuh pada Femi. Cukup beralasan, terakhir kali ia menerima kebaikan pak Hanse, cukup menganggu kesehatan dunia pendidikan di sekolahnya.
Agak lama Haiwi bediri di teras utama sekolah. Sejak bermenit-menit lalu, setelah pak Hanse meninggalkannya bersama Balin, Haiwi hanya diam menatapi halaman sekolahnya yang memiliki warna-warni bunga beragam jenis yang ditata cantik dan pepohonan bertinggi sedang meneduhkan—lalu melepas napas panjang. Saat itu pula dua daun telinganya mendengar dua pasang kaki berlari ke arahnya. Langkah yang dikenalinya milik Kine dan Gavin.
Haiwi mengambil tas ranselnya dari tangan Balin. “Kau selalu baik seperti biasa, Ketua.” Ujarnya pada Balin bersamaan dengan datangnya Kine dan Gavin yang terengah-engah.
“Aku tidak banyak membantumu. Kau selalu diam. Tidak mengatakan apa pun, meski aku sudah bertanya dengan pertanyaan yang benar. Seperti yang pernah kukatakan, jangan pernah sungkan meminta bantuanku. Dan lihatlah, sekarang ada Gavin dan Kine yang peduli padamu. Kami akan membantumu.” Balin melihat pada Gavin dan Kine, lalu pada Haiwi lagi. “Istirahat dan tenangkanlah pikiranmu.”
Haiwi tertawa rendah. Satu per satu, teman di sekolah mendekat padanya. Kine. Gavin. Dan Balin. Sungguh, perjalanan waktu yang sebentar ini telah memberikannya banyak kejutan.
“Kak, aku mengatakan semua yang kutahu dan semua—perasaan raguku tentangmu pada konselor sekolah.” Kata Kine merasa harus menyampaikannya pada Haiwi.
“Aku senang mendengarnya. Kau tak perlu berbohong untukku. Dan sepertinya, aku akan semakin populer di tahun keduaku sekolah.” Haiwi menoleh pada Gavin yang diam. Bahkan, belum menyapa. “Aku tidak berniat menyakiti temanmu, Gavin. Kalau aku berniat melukainya, aku tidak akan menyulitkan diri dengan tetap di toilet bersamanya. Atau kalau benar aku ingin melukainya, kurasa toilet sekolah tidak akan menjadi pilihanku.” Kemudian, mengangkat kelima jari kanan. “Aku akan mengingat kepedulian kalian. Sampai jumpa!”
Balin, Gavin, dan Kine melepaskan kepergian Haiwi dengan pikiran masing-masing. Tapi, menyimpul sama tentang Haiwi. Bahwa ia masih mengambil jarak.
“Apa yang harus kita lakukan, Bang Gavin?” Kine menoleh pada Gavin.
@_@
Di sinilah Gavin berakhir di siang tiga hari berikutnya. Keputusan yang dibuat spontan sekaligus jawabannya atas pertanyaan Kine dan untuk dirinya sendiri. Memperkenankan berlama-lama diam di belakang Haiwi sejak dua puluh menit lalu dari Hutan Kota hingga masuk pintu gerbang Rumah Sakit Aloe.
Sepulangnya Gavin dari menjenguk Femi, matanya langsung saja mengenali Haiwi yang baru keluar dari gerbang Hutan Kota. Haiwi tak melihatnya—tak berusaha menyadari barangkali. Naluri Gavin spontan bak tersedot oleh kehadiran Haiwi, yang sudah tiga hari lamanya tak menghiasi layar matanya di sekolah. Otaknya segera memerintahkan dua kakinya untuk mengikuti dari belakang. Alhasil, membuatnya seperti sedang membuntuti belakang Haiwi.
Pelupuk matanya terpaut pada dua orang yang sedang berjalan menuju area parkir di sisi kirinya. Ia sangat mengenalinya. Bukan orang asing. Satu diantaranya bahkan telah dikenalnya sejak kecil. Komandan Galen dan Letnan Rastha. Keduanya terlihat membicarakan hal serius.
Ah ya, kenapa juga Haiwi mengunjungi rumah sakit ini? Lalu, Gavin segera mengejar Haiwi yang dulu tiba di teras. Pertanyaannya terjawab, ketika pintu kamar rawat kelas atas dibuka. Wajah ayah yang pernah ditemuinya saat di Bukit Bintang menyambutnya hangat seperti malam itu bersama perban di tubuh. Begitu juga ibu. Lalu ada kakek, nenek, dan adik Haiwi.
Kehangatan itu pula lah yang pada akhirnya mengantarkan Gavin sampai di kediaman keluarga Vinaren, sekaligus menjawab harapan ‘suatu hari nanti’ menjadi ‘hari ini’. Setiap gerakan yang begitu bersahabat—sekali lagi kau sebut kehangatan, yang dinampakkan keluarga Haiwi, disaksikan Gavin yang telah lama melupakan rasanya. Membuat Gavin mulai merindu soal darah yang sama mengalir di tubuh yang lainnya.
Begitu menyejukkan ketika melihat kakek dan nenek yang nampak tua membantu putri dan menantunya tiba di kamar dengan kursi roda. Lalu, Haiwi dan Lota yang membawakan tas-tas dari dalam mobil—dan Haiwi yang memaksanya dirinya terlibat. Tanpa ada komando semua bergerak tanpa bimbang.
Suasana mulai menjadi sibuk. Kakek membereskan lantai bawah yang mulai berdebu karena tak ditinggali lebih dari seminggu. Lota naik ke lantai atas. Sembari mengemas dapur, nenek mulai menyiapkan makan malam. Haiwi pun diminta membeli bahan makanan yang dibutuhkan nenek.
Aktivitas keluarga yang terus berjalan itu, membuatnya tak nyaman jika hanya duduk melihati saja dari ruang tamu. Sayangnya, Haiwi pun pergi begitu saja tanpa mengajaknya. Meski kakek telah meyakinkan dirinya untuk tak merasa sungkan, tapi tetap saja ia menjadi sedikit canggung. Untunglah, Lota menyelamatkannya dengan membawa dirinya bersepeda, menyusul Haiwi.
Sayangnya, ini tak seperti yang diharapkannya. Matanya harus melihat adegan yang sore ini belum sepenuhnya disadari telah mencuri pusat perhatiannya, tapi rasa sakitnya telah lebih dulu sampai di hatinya. Hatinya menolak bahwa sesosok pria asing telah dan boleh memeluk Haiwi di halaman parkir swalayan. Lalu, hilanglah rencananya menyusul.
Ia harus melihat dan mendengar dengan telinga dan matanya tentang Haiwi yang belum sepenuhnya disadari telah mencuri pusat perhatiannya. Padahal, niatnya menyusul Haiwi belanja bersama Lota bukan untuk itu.
Kakinya terus mengayuh menjauhi swalayan. Menuruti denyut menyekat di hatinya, dan tak sadar masih ada Lota di kursi belakang sepeda. Lantas, berhenti di sebuah taman bermain. Dan dari celoteh Lota yang tak benar-benar dihiraukannya, ternyata taman bermain ini menjadi tempat bermain Lota bersama temannya dan Haiwi.
Lama-lama, adik kecil di depannya ini mulai menyeret afeksinya. Apalagi, ketika Lota menarik tangannya dan mengajaknya menyusun rumah-rumahan dari pasir-pasir yang telah dibasahi dengan air.
Mulailah mendongeng nyata di depannya. Ceritanya mengalir begitu saja. Tentang masa kanak-kanak, tentang sekolah dasar, tentang teman-teman berharga, hingga cita-cita. Ini seperti mengingatkannya kembali. Merefleksi diri akan dirinya yang sekarang. Dan ya, suara yang renyah dan mimik yang lugu dan suci itu berhasil menenangkannya.
Namun, ada satu bagian, ketika Lota bercerita tentang Haiwi, rautnya menjadi sendu. Dari mulut mungil Lota sore ini, ia mendengar dan mengetahui sesuatu yang mungkin tak akan pernah Haiwi bagi dengannya. Anomali rasa itu dimulai. Mendorongnya dalam pusaran keraguan.
Tak ada yang tahu apa yang menunggu di depan sana, kecuali kau terus melangkah maju. Tiba-tiba, perkataan seseorang yang pernah diabaikan nasihatnya bersuara dalam kepalanya.
@_@
Ini masih tentang Gavin. Ia belum—mungkin tak bisa menepisnya. Tak bisa menjangkau jawaban hakiki atas keraguan yang menggelayut dalam benaknya. Awalnya ingin diabaikan begitu saja seperti yang sering dilakukannya pada gadis ataupun wanita yang pernah dekat atau mendekati. Sayangnya, ini berbeda rasanya. Berapa kali menolak, hatinya tetap saja menggerutu cemas. Hanya mampu tiga hari menahannya. Bertunaslah rencana sederhana yang semula diragukannya. Niatnya diseriusi kemudian. Ini pertama kali dilakukannya. Meminta langsung persetujuan ayah untuk membawa Haiwi pada rencananya. Dan mengirimkan pesan pada Haiwi sesaat izin ayah diberikan.
Dan ketika waktu telah diperkenankan untuknya dan Haiwi, pagi ini dimulainya dengan bersemangat. Dan ya, Rasanya mulai terbiasa dengan kesenyapan yang diciptakan Haiwi setelah Sepuluh menit lamanya dalam diam keduanya mengayuh menuju sungai Kapu dari rumah Haiwi. Anehnya, lagi-lagi, pengabaian Haiwi tak merisaukannya. Untuk suatu alasan, malah membuatnya tenang.
Bergantilah pemandangan komplek perumahan dengan bentangan gelombang kecil sungai Kapu dan hijaunya daun-daun pepohonan yang saling bersentuhan di sepanjang pinggiran sungai. Membuat udara semakin bersahabat untuk rongga-rongga pernapasan. Pagar-pagar pembatas dari kayu setinggi dada orang dewasa siap menjaga, berjajar di sepanjang pinggiran sungai tempat bersantai.
Berjalanlah keduanya di jalur pedestrian tepi sungai setelah meletakkan sepeda di halaman parkir terbuka. Gavin berjalan di depan Haiwi. Sebenarnya ia tak ingin membesar-besarkan canggung dalam dirinya menjadi atmosfer janggal di dekat Haiwi. Tapi, kakinya lebih jujur untuk tidak menatap Haiwi lebih sering yang menyebabkan wajahnya bersemu.
“Kau tahu, kau beruntung memiliki Lota—ya, maksudku, tentu saja juga orang tuamu. Tapi, kurasa tak banyak adik seperti Lota. Dia bercerita bahwa dia ingin jadi dokter. Dokter yang bisa menyembuhkan kakaknya karena tak ingin kehilangan kakaknya lagi.” Gavin melirik Haiwi dari balik bahunya. “Kudengar dari Lota, kau memerlukan terapi kembali untuk menyembuhkan penyakit yang kau derita. Tak inginkah berbagi cerita denganku, Haiwi?”
Banyak hal tentang Haiwi yang seolah tak bisa disentuhnya bersamaan dengan keberadaan Haiwi di sampingnya seperti saat ini. Tiga hari lalu pun, Haiwi sama sekali tidak menyinggung penyebab ayah dan ibu masuk rumah sakit. Mungkinkah terlalu cepat baginya menjadi seseorang yang Haiwi perhatikan kepeduliannya?
“Lota memang adik luar biasa.” Haiwi memasukkan jemarinya ke dalam saku jaket abu-abu hoody-nya. Tuniknya berkibar mengikuti embusan angin. “Terapiku akan dimulai besok. Itu artinya, aku akan jarang bertemu dengannya.”
Besok? Ini lebih cepat dari dugaan Gavin yang baru mendengar tentang ini tiga hari lalu. Tapi, ia tak boleh melihatkan keterkejutannya.
“Kau tahu, Lota bilang padaku, dia berjanji tidak akan sering bersedih atau pun mengeluh, dan akan rajin belajar. Menurutku, itu terdengar dia memilih berpisah denganmu demi kesembuhanmu. Itu luar biasa. Aku saja tak bisa melakukannya untuk kakakku hingga seminggu lalu.”
Gavin mengajak Haiwi ke sebuah tangga panjang yang sengaja dibuat sebagai tempat duduk santai para pengunjung, agar dapat bercengkrama langsung dengan gulungan-gulungan air sungai yang mendamaikan. Haiwi duduk di tangga pertama hingga kakinya dapat menyentuh air sungai. Sementara Gavin duduk di samping Haiwi pada tangga di atasnya.
Lima menit keduanya habiskan dalam diam. Dalam buaian masing-masing. Haiwi terpaku pada bentangan sungai dan bangunan-bangunan persegi nan tinggi berderet rapi di seberang sana, layaknya tuts piano tak beraturan, ditemani tautan pepohonan rindang hampir di sepanjang pinggiran sungai seperti di sini, diramaikan syahdunya nada dan rona keceriaan burung-burung di angkasa. Perahu-perahu bermesin melintas, menghiasi semarak kehidupan sungai Kapu. Menderu ke hulu maupun hilir. Ada yang melaju lamban. Ada pula yang cepat. Membuat ombak sungai berlari ke tepian, menggelitik naik-turun di kaki Haiwi yang sengaja dicelupkan. Begitupun kaki-kai lainnya di samping kanan dan kiri keduanya.
Beda lagi dengan Gavin. Syahdunya alam dan pemandangan di depannya tak mampu mengalihkan pikirannya tentang gadis di depannya. Ia hanyalah gadis sederhana. Hampir seisi sekolah menyetujui keanehan dan cerita buruk tentangnya. Pakaian yang melekat di tubuhnya tak melihatkan pesonanya.
Tak ada yang spesial dari fisiknya. Sepasang mata yang katanya mampu menjadi magnet daya tarik, sama sekali tak dimilikinya. Ia sempurna tenggelam dalam wajah datar tanpa ekspresi. Tak menunjukkan gejolak emosi. Tak mumpuni melihatkan apapun yang diinginkannya. Sedihkah? Bahagiakah? Bosankah?
Tapi, dalam pikiran Gavin, gadis ini lebih berbinar dari gadis-gadis yang dikenalnya. Entahlah, sebab apa yang menahan pandangannya sulit beralih darinya. Dan sebelum benar-benar tenggelam dalam kesimanya, Gavin memaksakan diri menolehkan pandangan dari Haiwi—melihat sekitar. Saat itulah ia melihat sepasang kekasih yang mengingatkan kisah kecil di sore itu.
“Kau memiliki kekasih, Haiwi?”
Agak lama Haiwi menjawab. “Kekasih adalah orang yang dicintai, bukan? Ya, aku mencintai ibu, ayah, dan Lota.”
“Bukan itu maksudku.” Kata Gavin sembari menolehkan kepala Haiwi dengan lembut ke kiri dan kanan.
Hening lagi. Dua pasang mata Haiwi tengah mencermati setiap simbol-simbol romantisme sepasang kekasih—barangkali, di samping kirinya yang sedang beradu canda—saling memercikkan air sungai dari jemari-jemari yang ikut merasakan kesenangan. Tersenyum-senyum malu, melontarkan gurauan hingga lepas sekali tawanya, seraya bergelayut manja si perempuan ke bahu lebar si pria.
“Aku melihatnya. Maksudku—sore tiga hari lalu, aku melihatmu berpelukan dengan seorang pria asing—aku baru melihatnya tentu saja, di halaman parkir sepeda swalayan.” Ucap Gavin yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Haiwi. Ucapannya pun mengisyaratkan sesuatu yang ingin dimengerti olehnya dan Haiwi.
Reaksi Haiwi tak seperti yang diharapkan Gavin. Haiwi sama sekali tak terkejut mendengarnya. Seolah itu sudah wajar dan tak masalah bila yang lain mengetahui. Kecemasan menyusup di hati Gavin pada detik-detik yang dibiarkan tanpa kata.
“Dia bukan pria asing, Tuan Tampan. Kurasa, hubunganku dengannya lebih dari sekadar yang dilihatkan oleh dua pasang kekasih itu.” Jawab Haiwi kemudian.
“Ah, benarkah?”
Hanya itu jawaban yang mampu diucapkan Gavin. Bibirnya tersenyum hampa. Sebuah afeksi yang gagal disembunyikannya. Tak seperti ia dikala berkali-kali dikecewakan oleh orang-orang di sekitarnya, menutupnya dengan keangkuhan akan jati diri konglomerat dan kebanggaan otak pintar berbalut ketampanan yang diidolakan. Dan saat menyadari dirinya termenung cukup lama, Haiwi tengah menatapnya.
Gavin tak dapat menahan kegelisahannya. Berdehem—sekadar melegakan tenggorokan, dan membuang muka. “Tiga detik saja. Jika kau menatapku lebih dari itu, aku tak yakin mampu menahan apa yang terjadi setelahnya.”
Haiwi memercikkan air sungai ke wajah Gavin persis yang dilakukan si perempuan yang dilihatnya tadi. Gavin terkesiap. “Tunggulah di sini! Aku akan segera kembali.” Ujar Haiwi yang telah bangun dari duduknya.
Gavin memaksa ikut.
Keduanya berjalan menuju parkiran sepeda. Haiwi mengambil kantong di keranjang sepedanya. Tiba-tiba saja, Gavin memeluknya dari belakang, melingkarkan kedua tangan ke bahu Haiwi. Kepala Haiwi menempel tepat di dada Gavin hingga gemuruhnya dapat didengarnya jelas.
“Aku… tak tahu kenapa, hatiku benar-benar sakit saat melihatmu berpelukan dengan pria itu.” Napas Gavin memburu. “Bolehkah jika aku memintamu untuk tak melakukannya dengan pria lain. Sungguh, aku tak tahu harus bagaimana mengatasi kecemasan dalam hatiku. Benar-benar sakit. Bisakah kau membantuku melewati ini, Haiwi?”
Seketika saja muncul keinginan kuat dalam diri Gavin untuk tak melepas Haiwi. Ini hanya pernah terjadi ketika bersama ibu dan kakak perempuannya.
Haiwi melepaskan tangan Gavin pelan-pelan. “Ini terlalu intim. Aku tak suka melakukannya denganmu.” Samar, nada tak suka menyelip dalam ujarannya.
Alam bawah sadar Gavin mengambil alih kesadarannya. Ia memundurkan langkah. Wajahnya memerah. Menunduk dan meremas-remas rambut. Malu dan rasa bersalah bercampur aduk. Tak pernah sebelumnya, merasa canggung saat memeluk gadis-gadis kenalannya. Malah kini merasakan getaran hebat dalam tubuhnya. Ini seperti musim panas dan dingin dirasakan tubuhnya dalam waktu bersamaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Ia membutuhkan orang ketiga untuk mengatakan di depan wajahnya bahwa ia telah jatuh dalam cinta pada Haiwi.
Haiwi menyaksikan keanehan Gavin lainnya yang dirasanya muncul akhir-akhir ini. “Untukmu, Tuan Tampan!” Kata Haiwi sembari menyodorkan sebuah kantung merah jambu. Suaranya lebih tenang. “Hadiah ulang tahunmu yang sudah lama lewat. Dariku dan Lota.”
Gavin menatap Haiwi yang juga menatapnya. Tatapan datar yang sangat dikenali. Ragu-ragu disambutnya kantung itu. Di dalamnya ada sebuah kotak berpita. Diambilnya si kotak, dan dibukanya. Isinya sebuah jam tangan buatan Haiwi dan lima permen tangkai kesukaan Lota. Spontan, bibirnya tersenyum. Berangsur getir. “Apakah aku berhak menerima hadiah ini?”
“Tentu.”
“Kau tak marah padaku?”
Haiwi tak menjawab. Alih-alih mengajukan pertanyaan lain. “Apakah kau lupa tentang pesanmu tadi malam, Tuan Tampan. Kabar baik apa yang ingin kau bagikan padaku?”
Gadis di depannya ini—untuk kesekian kali, benar-benar mampu mengontrol emosinya—tak mudah menaklukkannya. Sedangkan jiwanya butuh menenangkan diri sebelum bisa menjawab pertanyaan Haiwi.
“Aku berencana kembali ke SPeN.”
Haiwi mengangguk-angguk. “Baguslah. Kau sudah menemukan yang kau mau.”
Lalu, Gavin menyodorkan ponsel pintarnya pada Haiwi. “Hampir saja aku lupa. Aku diminta Kine untuk membuatmu menelponnya. Berapa kali ia mengirim pesan padamu, sama sekali tak kau balas.”
Disaat bersamaan, Haiwi mendapatkan pesan dari ayah di ponselnya. Kejutan lainnya untuk Gavin. Tapi, ia harus menjawab Kine terlebih dulu.
“Hei, Kine! Aku baik-baik saja. Masih memakan buah-buah kesukaanku seperti biasanya. Tak perlu mencariku selama dua minggu ini.”
“Syukurlah. Kurasa lebih lega mendengarkan kata-kata tanpa basa-basimu daripada mendengarmu tenggelam dalam kesedihan. Dan, ngomong-ngomong apakah kau sudah menjenguk kak Femi?”
“Ya. Aku melihatnya dari kaca pintu kamar rumah sakitnya. Aku tak ingin mengganggu lamunannya. Jadi, kutitipkan saja mawar kuning dariku untuknya. Dan, aku tak bisa berlama-lama berbicara denganmu. Kita lanjutkan… ah, aku harus segera menutup obrolan ini.”
“Baiklah.” Kata Kine terdengar terpaksa. “Dan mohon jawablah pesanku. Ketika masuk nanti, akan kubuatkan bekal untukmu. Sampai bertemu di sekolah.”
Berakhirlah perbincangan Kine dan Haiwi. Pun begitu dengan romansa sungai Kapu. Tapi, hari belum berlalu. Keluarga Vinaren membuatkan kejutan ulang tahun susulan untuk Gavin.
Lota dengan senang hati mempersembahkan alunan piano dalam nada-nada lembut, murni, dan ceria untuk Gavin, sekaligus ungkapan terima kasih kembalinya ayah dan ibu.
Gema syukur yang begitu kental berpadu keharmonisan sebuah keluarga, menyeret Gavin pada obrolan hangat bersama ayah di balkon lantai dua—setelah bersantap. Bercerita keseruan kehidupan lelaki, dan tentu saja babak kehidupan sebagai orang tua yang dianugerahi Tuhan dengan putri-putri unik—menurutnya.
Sosok seorang ayah yang melekat pada ayah Haiwi, seperti ingin dimiliki Gavin—ingin sekali kesempatan itu diberikan. Melihatnya saja tanpa benar-benar memiliki, tak henti-hentinya membuat bibirnya melengkung sukacita. Tenteram dan aman. Sayangnya, malam yang semakin larut, memberitahunya untuk segera pulang ke rumah.
@_@
ns 15.158.61.6da2