Haiwi. Dua lensa matanya akan sibuk memotret sana-sini sepanjang yang bisa dilihat bagaikan lensa kamera di tangan seorang pembidik foto. Pagi ini sekolah akan diwarnai oleh wajah-wajah baru siswa kelas sepuluh. Mungkin empat-lima siswa baru akan malu-malu menyapanya santun. Itu artinya harus bersiap membalas senyum hangat berwibawa agar terlihat sebagai kakak kelas. Dan menyiapkan ‘akan’ sebagai teman imajinasi indahnya hanyalah permulaannya, dan bukan itu tujuan sebenarnya. Ia hanya ingin menikmati rumah kedua dengan segala hiruk-pikuknya. Itu saja.
Sayangnya, baru lima langkah jauhnya dari pintu gerbang sekolah bersama senyum merekah samar-samar, dua gadis berseragam sama sepertinya telah siap berdiri di hadapannya dengan semburat wajah senang berbalut licik. Cerminan rubah berwujud manusia.
“Ah, sang pahlawan datang!” Seru satu diantara kedua gadis berwajah oval dengan rambut kucir kuda berponi rata. Ia menarik tali tas punggung Haiwi, menjauh dari gerbang dan menyandarkannya ke sebuah pohon cukup rindang yang ikut berjajar bersama pohon-pohom lainnya di sepanjang jalan menuju pintu teras masuk utama. “Kau sedang bahagia, Haiwi?” Lanjutnya dengan senyum tak suka. Lalu, melemparkan tiga tas ke tangan Haiwi. “Kami tak perlu lagi menjelaskannya, bukan?”
“Belikan kudapan senin kami seperti biasa tanpa terlambat!” Imbuh gadis yang berdiri di samping gadis berkucir kuda, berambut sanggul dengan poni-poni kecil melengkung selaras dengan wajah bulatnya. “Oh ya, Hara, apakah kau tahu bahwa Airin telah pindah sekolah?” Katanya lagi dengan nada dibuat-buat.
“Ah, benarkah, Danne?” Hara, si gadis berkucir kuda berpura-pura terkejut. Lalu, berdecak. “Kami turut berdukacita, Haiwi. Sudah dikhianati, sekarang ditinggalkan pula.” Hara tertawa, begitupun Danne, si gadis berambut sanggul.
“Itulah buah yang kau dapatkan karena berlakon sebagai pahlawan Airin, si gadis yang ayahnya seorang kriminal.” Cemooh Danne. Kemudian, terputus oleh dering ponsel dari dalam saku rok. “Hai, Fem!” Danne mengangguk, bukan pada Hara, apalagi Haiwi. Tapi, pada suara di seberang ponsel. “Kami segera ke sana!” Dimasukkannya ponselnya kembali ke dalam saku. Lalu, mendekatkan wajahnya pada wajah Haiwi hingga hidung Haiwi dapat mencium aroma permen mint yang dikulumnya. “Sebaiknya kau bergegas. Sebelum Femi benar-benar terbangun dari tidurnya. Roar!” Danne membentuk kedua tangannya seperti cakar, diakhiri dengan seringai.
Berlalulah keduanya dibarengi cekikikan. Barangkali, sebuah ekspresi puas. Sementara Haiwi hanya bergeming melihat perlakuan kedua gadis yang seharusnya dapat dipanggilnya teman sekolah.
Dan selalu saja, bahwa ceritamu bukan milikmu saja. Seorang gadis lainnya telah memperhatikan Haiwi semenit lalu bersama pemahaman kedua bola matanya, dan mencuri dengar tanpa sengaja pada kalimat terakhir. “Apa-apaan dengan bahasa kedua kakak itu. Bahkan, tidak ada kata tolong pada orang yang dimintai tolong.” Katanya di samping Haiwi dengan bernada kesal.
Haiwi melirik gadis di sampingnya. Adalah gadis yang dikenalnya di taman sepeda. Kine. Tinggi semampai, berambut ikal sebahu, berwajah bulat dengan matanya yang selalu berbinar-binar seperti Lota dalam versi dewasa.
“Hai, Kak Haiwi! Pagi!” Sapanya riang. Menyingkirkan ketidaksenangannya pada dua orang yang berbuat semena pada Haiwi.
Haiwi tidak membalasnya. Menyampirkan tiga tas selempang di tangannya ke bahu kiri dan kanannya seperti tak menghiraukan Kine.
Sebaliknya, tatapan simpati terpantul sempurna di mata Kine. “Apa mereka sering melakukan ini padamu?” Dilihatnya sekeliling, khususnya siswa-siswi berdasi biru gelap—khusus kelas sebelas. Tatapan-tatapan mereka sama. Acuh. “Seharusnya kau tak perlu menuruti mereka!” Lanjutnya lagi pada Haiwi.
Sayangnya, Haiwi sudah berjalan menjauhinya. Sebagai gantinya, dijawab oleh lambaian tangan kiri Haiwi. Kine yang ingin segera menyusul tertahan karena disibukkan oleh teman-teman kenalannya yang baru saja datang dan mengajaknya mengobrol. Padahal, banyak yang ingin disampaikannya pada Haiwi. Termasuk kenyataan keduanya bersekolah di tempat yang sama.
Sebetulnya, Haiwi tidak berniat mengabaikan. Ia hanya ingin segera menuju papan informasi untuk melihat pembagian kelas. Pun karena ia tahu di mana tempat seharusnya berada.
Kemudian, terus bergerak sebuah adegan yang telah memiliki skenario. Kebetulan demi kebetulan yang memperelok jalan cerita. Sepatutnya dan telah diniscayakan oleh Sang Penggerak Takdir.
“Pagi, Tuan Tampan!” Sapa Haiwi datar dan melintasi Gavin begitu saja.
“Kau?” Seru Gavin tak percaya saat matanya beradu pada rupa sempurna yang tak ingin dikenalnya di lobi sekolah. Gavin tertawa lepas. Karena telanjur tak percaya untuk kesekian kalinya. Seolah yang dilihatnya ini sandiwara jenaka. Benaknya mungkin tergelitik. Entahlah, tak ada alasan masuk akal untuk menjelaskan tawanya yang begitu lepas. Tapi, Hei, Gavin, Haiwi yang kau lihat dengan kedua matamu pagi ini bukanlah mimpi di pagi hari apalagi di siang bolong. Ketertegunannya pun belum berhenti saat perhatian matanya mengarah pada tas-tas yang tersampir di bahu Haiwi. Matanya sangat mengenali masing-masing pemiliknya.
Hingga saat otak Gavin mengirimkan sinyal “ini nyata”, Haiwi sudah membaur bersama kerumunan di depan mading besar. Ini masih tentang dirinya.
Saat itu belum ada yang menyadari bahwa serangkaian kebetulan itulah yang kemudian membawa ‘keanehan’ lainnya pada masing-masing pemilik raga di esok dan kemudian hari. Perubahan dan keinginan yang mulai merayap perlahan seperti akar yang terus mencari mata air. Begitulah romansa samar hari pertama sekolah di tahun ajaran baru ini dimulai.
Ah, esok dan kemudian hari?
***
Belum banyak berubah. Pagi ini pun ketika ibu dan ayah menanyakan tentang kelas barunya, Haiwi menjawabnya dengan jawaban sama, ‘Merasakan emosi bergeliat di dekatku, dan aku menikmatinya’. Namun, Ibu dan ayah tahu, ia tidak baik-baik saja.
Dan beginilah yang sering dilakukannya untuk menghabiskan waktunya sendiri di kelas ketika di hari rabu—sering disebut ‘Melodi Rabu’ oleh siswa klub seni musik piano, dilekatkannya wajah di atas meja—bermalas-malasan, memasang radar telinganya pada audio yang terpasang di sudut kiri atas depan kelas, menikmati alunan piano yang dimainkan oleh pianis muda, yang juga penghuni kelasnya. Harum, begitu panggilan si pemain Piano, akan melentingkan jemarinya di atas tuts-tuts persegi panjang, mengalunkan musik dengan beragam melodi dengan apik.
Kali ini, Harum memilih alunan nostalgia. Haiwi tak mengenal nama musik-musik indah itu. Seperti awam lainnya, hanya berbekal rasa. Dan alunan piano Harum telah membawa dan melengkapi benak-benak lamunan, melayang pada masa lalu. Merenggut dunia nyata dan bergerilyalah imajinasi. Alunannya sangat berbeda dengan yang dimainkan Lota. Musik Harum menciptakan kemurnian seorang yang sedang tumbuh dewasa.
Pada durasi menit ke-5, Haiwi teringat akan sesuatu dan cepat-cepat mengangkat wajahnya. Ia harus menuntaskan pesanan Lota. Tadi, pagi-pagi sekali, dengan piyama dan masih mengucek-ngucek mata kantuknya, Lota membuka kamarnya, menghampiri tas sekolahnya di atas meja belajarnya, dan tanpa izin memasukkan buku harian milik Lota ke dalam tasnya. Lota beralasan, tak ingin kakaknya lupa lagi.
“Dor! Kena kau sekarang!” Kejut Kine, menepuk bahu kanan Haiwi sebelum sempat meninggalkan tempat duduk. Sayangnya, yang dikejutkan malah membalasnya hanya dengan tolehan dan tatapan datar. “Ah, kau tidak asyik, Kak. Aku berusaha mengejutkanmu, kau tahu? Bahkan saat di gerbang sekolah pun kau meninggalkanku begitu saja.” Katanya lagi memasang wajah kecewa dan duduk pada kursi kosong di depan meja Haiwi.
“Aku terkejut!” Wajah Haiwi berlagak terkejut. Meski gagal dilakukannya.
“Kau berusaha menghiburku?”
“Kau tidak senang?”
Kine tertawa. Berangsur-angsur serius. “Kau tahu, satu minggu ini aku terus mencarimu.” Kine menggeleng-geleng. “Padahal, kita sekolah di sekolah yang sama, dan aku sudah berusaha mendatangimu disela-sela istirahat. Bahkan bayanganmu pun sulit kukejar. Kak Qiyo, selalu menjawabnya dengan gelengan karena tak menyadari kepergianmu.”
“Kau mencariku?”
“Ya, tentu. Aku ini temanmu.”
Haiwi tak berkedip melihat Kine. Gadis berdagu bulat di depannya, berambut coklat ikal sebahu yang selalu mengingatkannya pada Lota, juga mengingatkannya akan rambut-rambut boneka yang berjejer di lemari tangga kamar Lota, tampaknya belum memahami bahwa kalimat itu langka di telinganya.
“Dan kau tahu, harusnya kau menyambutku di pintu gerbang dengan suka cita di hari pertama kita sekolah, dan mengejutkanku karena sengaja merahasiakan bahwa kita satu sekolah.”
“Haruskah aku begitu?”
Kine melenguh. Menggeleng-gelengkan kepala. “Ya, baiklah, Lupakan! Kali ini, aku memaafkanmu. Dan tolong, jangan abaikan aku lagi!” Kine meregangkan badannya sembari milirik kantung bekal di pinggir meja Haiwi, dekat jendela. “Kebetulan, bagaimana kalau kita habiskan bekal makan siang bersama-sama Kak Sienna dan Kak Qiyo?”
Haiwi langsung mengangguk. Langsung berdiri meraih bekal siangnya, serta meletakkan buku bergambar karakter-karakater stroberi nan imut dengan mata besar dan senyum riang—buku harian Lota di atasnya.
Kine tersenyum hangat. Ia sempat berpikir Haiwi akan menolaknya. Dan dengan mengabaikan tatapan menusuk yang belum sepenuhnya diyakini dan belum layak membenarkan prasangkanya, lebih tepatnya—mungkin, memutuskan untuk diam sementara, Kine menuntun Haiwi dengan semangat menuju halaman belakang gedung tiga, tempat para pendopo sekolah ajeg berjajar.
Kine langsung mengenalkan Haiwi begitu mereka tiba di pendopo. Keduanya disambut senyum wibawa Sienna. Ia anggun dalam ketegasan wajahnya yang selaras dengan mata tajamnya. Rambutnya panjang bergelombang, dikepang ala ekor ikan, dan poni panjangnya diberi penjepit rambut warna hitam. Menyempurnakan paras kakak kelas yang menjadi teladan sekolah ini. Sementara Qiyo, gadis yang memiliki rambut lurus, dikucir kuda ke samping, dan poni panjangnya yang disampirkan ke telinga, duduk di sebelah Sienna, menyapa Haiwi dengan anggukan sembari menyedot minuman dari lengkungan mulut pipet. Meski Haiwi dan Qiyo berada di kelas yang sama sejak semester dimulai, keduanya tak pernah terlibat obrolan hangat. Ya, hanya teman satu kelas.
Sienna menjabat tangan Haiwi. Menyilakan Haiwi duduk di depannya. “Dan aku harus segera mengatakannya. Terima kasih telah menemukan kalung berhargaku ini, Haiwi.” Katanya sembari mengangkat kalung di leher dengan tangan kirinya. “Terima kasih juga telah mengajarkan adik manjaku ini bersepeda. Berkatmu, dia jadi sering berbelanja sendiri dengan sepedanya tanpa harus merepotkanku.”
“Ya, ya, Kak Haiwi lebih baik daripada kakak yang kutunggu-tunggu tak kunjung mengajarkanku. Dan rasanya aku tak sering merepotkanmu karena kau selalu sibuk di luar ketimbang bersamaku.”
Sienna mengacuhkan Kine. “Kuharap kau sedikit memaklumi sifat berisiknya.”
Haiwi mengangguk. Memandang Sienna lekat-lekat. “Dilihat dari dekat, kau memang cantik.”
“Hei Kak Haiwi, Aku juga cantik. Dan ah ya, anggukanmu berarti membenarkan anggapan aku berisik?” Kine memanyunkan bibirnya.
“Kine tidak pernah suka mengakui kakaknya lebih cantik ketimbang dirinya.” Imbuh Sienna. “Dan tentu saja tak sadar sifat berisiknya.”
Kine semakin manyun. Qiyo tertawa rendah. Namun, itu semua hanya kelakar hangat di antara mereka. Menit-menit berikutnya, Kine, Sienna, dan Qiyo terlibat pembicaraan yang Haiwi tidak dapat berperan di dalamnya. Kecuali saat nama Gavin disebut dalam percakapan itu.
“Gavin tak bisa kemari. Dia bersama Femi—ah, maksudku dia sudah memiliki janji dengan Femi hari ini. Mungkin juga tak bisa ikut dengan kita nanti sore.” Kata Qiyo terdengar kesal.
“Femi? Saat liburan bersama kita beberapa waktu lalu juga Bang Gavin tiba-tiba pergi karena dia. Apakah Bang Gavin dan Femi sepasang kekasih?” Kine penasaran.
“Mungkin.” Jawab Qiyo seraya mengangkat bahu.
“Bukankah sejak kecil Bang Gavin menyukai Kak Sienna?” Tanya Kine separuh berbisik. Mengabaikan tatapan Sienna padanya.
“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Aku tidak mengerti dengan perasaannya. Aku juga tidak tahu siapa gadis yang sekarang ada di hatinya. Entahlah, sudah lama aku merasa seperti tidak mengenalnya lagi.”
“Kak Qiyo selalu saja terlihat kesal kalau sudah soal bang Gavin. Kau cemburu ya, Kak?” Goda Kine.
“Ha? Aku? Cemburu? Tidak akan pernah. Aku... aku hanya kesal dengan sikapnya yang tidak tegas pada dirinya sendiri.”
“Ya, aku bisa mengerti maksudmu, Qiyo.” Sienna menengahi kekesalan yang tampak di wajah Qiyo. “Tapi, ada yang patut kita syukuri. Gavin sudah cukup sering menyempatkan waktu bersama kita dua bulan ini.” Sienna melihat pada Haiwi yang menyantap buah-buahan di depannya sendirian. Nampak terabaikan. “Dan Kine, kita melupakan teman baru kita, bukan?”
“Jangan khawatir. Aku menyukai percakapan kalian.” Jawab Haiwi.
“Sebaiknya segera habiskan bekal siang kita sebelum hilang selera. Kau mau mencoba bekalku, Haiwi?” Tanya Sienna saat melihat bekal Haiwi yang hanya berisi potongan dadu buah-buahan.
Kine langsung meletakkan dua lauk udang dan separuh ayamnya ke tempat bekal Haiwi. Mungkin juga bentuk permintaan maaf karena sempat melalaikan keberadaan Haiwi dalam pembicaraannya bersama Qiyo dan Sienna.
“Kau sedang diet, Haiwi?” Qiyo penasaran.
“Tidak. Aku sangat menyukai buah.”
Sembari menghabiskan sisa bekal, Qiyo dan Sienna, serta jawaban sesekali dari Haiwi, menceritakan hal-hal menarik seputar sekolah. Alur ceritanya melompat-lompat mana suka. Mulai dari mata pelajaran, guru-guru, acara-acara di sekolah, cerita misteri, dan kenakalan-kenakalan yang terjadi sepanjang bersekolah.
Di tengah-tengah cerita, Haiwi menyela, dan undur diri. Sungguh, ia menikmati cerita-cerita yang dituturkan. Hanya saja, lagi-lagi, tiba-tiba diingatkan sesuatu oleh buku Lota di sampingnya. Ia belum menunaikan janjinya untuk Lota.
Kine mengikuti langkah lambat Haiwi, dan berjalan bersisian. Wajahnya lesu. Beberapa kali menggeleng. Sesekali melirik Haiwi. Apalagi, belum ada sepatah kata pun keluar dari mulut Haiwi hingga tiba di depan pintu XI-a. Tapi, kalau dipikir-pikir memang sejak pertama kali mengenalnya, Haiwi mampu diam untuk waktu yang lama. Adalah wujud misteri berjalan.
“Kau tak perlu minta maaf. Terima kasih telah mengajakku.” Haiwi mengangkat buku Lota yang sedari tadi dibawa bersamanya pada Kine sesaat sebelum hilang di balik pintu kelas. “Sampai jumpa, Nona Kine yang cantik! Aku harus segera menepati janjiku pada Lota.” Haiwi sedikitnya paham dengan sikap tak nyaman Kine. Dulu, seseorang yang sangat dekat dengannya beberapa kali menunjukkan hal demikian. Haiwi memahaminya sebagai ekspresi bersalah dan ingin meminta maaf.
Mendengar ucapan Haiwi, Kine cukup terkejut. Dibalik diamnya, Haiwi lebih peka dari yang dikiranya. Begitulah kira-kira ekspresinya memberitahu. Kegelisahannya berhasil dijawab Haiwi dengan baik. “Kau memang tidak biasa, Kak Haiwi!” Ujar Kine pelan setelah Haiwi hilang di balik pintu kelas.
Kemudian, tiga kakak kelas perempuan mendekati Kine. Kakinya baru akan menginjak tangga pertama di samping XI-a menuju lantai satu untuk kembali ke kelasnya. Menyampaikan “kepedulian” mereka dengan menguraikan cerita tentang Haiwi secara sukarela tanpa menunggu setuju dari Kine. Hari itu pun Kine sedikit demi sedikit mulai membangun arti dari setiap hunusan tatapan kakak kelas yang tertuju padanya dan Haiwi saat di kelas maupun lorong-lorong kelas sepanjang menuju pendopo.
Ah, jadi inikah tatapan aneh yang tadi berusaha diabaikannya? Ternyata bukan prasangka belaka. Sering terngiang kemudian. Hingga hari-hari berikutnya. Namun, beberapa kali berhasil dijawabnya dengan pengabaian sementara.
Semakin gencar mendatangi Haiwi untuk meruntuhkan prasangkanya. Bahkan, dua teman dekatnya, Sera dan Malo, dikenalkannya pada Haiwi. Pun beberapa kali berhasil mengajak Haiwi menghabiskan bekal siang bersama dua temannya itu. Dan tentu selalu ada saat-saat kehilangan jejak Haiwi seperti yang sudah-sudah. Bagaimanapun, Kine ingin menghalau rasa tidak percayanya pada kata-kata tak bertanggung jawab itu.
***
“Hampir tiga minggu ini aku belum melihatmu meninggalkan kelas.” Ujar Qiyo pada Gavin saat berjalan menuju perpustakaan.
Keduanya sama-sama membawa setumpuk buku. Tadi digunakan saat jam kedua, mata pelajaran sejarah. Tak ayal, Keduanya menarik perhatian beberapa siswa yang berpapasan atau berdiri di lorong-lorong kelas. Banyak dari mereka tidak mengetahui kebenaran tentang persahabatan keduanya yang terjalin sejak dalam kandungan karena persahabatan orang tua. Dikiranya keduanya sepasang kekasih ketimbang bersahabat. Lima-enam gerombolan berbisik-bisik. Sasaran buruk tentu ditujukan Gavin yang terlanjur melekat julukan pangeran tampan tapi buaya darat. Sedangkan Qiyo yang termasuk jajaran siswi teladan hanyalah sasaran Gavin ke sekian.
“Kau lebih suka melihatku membolos?”
“Tidak. Hanya saja kalau yang kau lakukan ini untuk menarik perhatian adik kelas, sebaiknya buang jauh-jauh pikiran itu. Aku akan senang hati membeberkan keburukanmu.”
“Kurasa aku tak perlu melakukan hal semacam itu. Lihatlah, mereka tersenyum malu-malu padaku. Pesonaku telah lebih dulu sampai tanpa bersusah payah.” Katanya sembari tersenyum dari balik tumpukan buku setinggi dada pada tiga siswi yang baru saja berpapasan.
Qiyo menghadiahinya tendangan betis sekenanya.
“Ah ya, siswi bernama Haiwi di kelas kita, apakah dia pindahan?” Tanya Gavin.
“Tidak. Dia bersekolah di sini sejak tahun pertama. Tapi, ya, dia cukup pendiam.” Qiyo mulai menyimpulkan dalam benak. Haiwilah alasan Gavin yang dilihatnya akhir-akhir ini sering curi-curi pandang ke arah jendela saat jam pelajaran.
“Berarti dia tidak berbohong.” Ujar Gavin meyakinkan lubuk hati.
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang Haiwi?”
“Kurasa ada sesuatu yang unik tentangnya.”
“Ingin menjadikannya mainanmu yang baru?”
“Mainanku? Bahkan aku harus mendengar kata menghibur itu darimu.”
“Kau tidak mengenalnya. Kalau bukan mainan, lalu?”
“Oh, ayolah, Qiyo! Merayu kak Sienna, mencintai banyak wanita, dan apalagi?” Gavin mengingat-ingat sindiran Qiyo saat keduanya menghabiskan waktu liburan sekolah yang lalu bersama Sienna dan Kine. “Kau masih saja berpikir buruk tentangku. Kau tak percaya padaku?”
Qiyo melangkah lebih cepat untuk mendahului Gavin. “Aku bukan tidak mempercayaimu, Gavin.” Katanya bersuara sangat rendah hingga Gavin tak mendengarnya.
Gavin mengejar langkah Qiyo. “Kau membenciku?”
“Kau lupa dengan semua perbuatan dan ucapanmu?”
“Perbuatanku?” Gavin meletakkan jari telunjuk dan jempol kanannya ke dagu. Mulai berpikir. “Ah, masalah dengan teman perempuanmu waktu itu! Aku sudah menjelaskannya padamu, bukan? Itu hanya salah paham. Bahkan aku tidak pernah secara khusus mengajaknya jalan berdua. Apalagi melakukan hal lain lebih dari itu seperti yang dituduhkan. Aku hanya mengantarkannya sampai ke rumah karena saat itu kebetulan melihatnya berada di tempat sepi sendirian dan terjebak hujan. Aku tak melakukannya untuk sengaja menyakitinya.”
Qiyo diam saja.
Gavin merasa Qiyo mengacuhkan penjelasannya. “Kenapa kau berubah seperti ini? Aku lebih menyukai Qiyo kecil berambut panjang, manis—dan cengeng. Miss cengeng, ya benar, kau itu Miss Cengeng! Hanya hadiah dalam makanan ringan jatuh ke dalam selokan saja, kau bisa menangis begitu keras.” Gavin tertawa.
Qiyo membelalakkan mata pada Gavin. “Ah, ya, ya, kurasa jauh lebih baik, karena Miss Cengeng selalu membantumu menghadapi teman-teman nakal yang merundungmu.”
“Ya, ya, baiklah. Untuk yang satu itu, kau benar. Dan hei, Qiyo!” Panggil Gavin rendah, mempercepat langkah, menyejajarkan dirinya kembali dengan Qiyo. “Kenapa kau memintaku menemanimu ke perpustakaan? Seharusnya bocah kaku dan berkacamata itu akan dengan senang hati menemanimu.”
“Anggap saja ini hukumanmu karena kemarin untuk ketiga kalinya tak ikut mengunjungi makam keluarga Kak Sienna. Padahal, Kak Sienna tak sedikitpun melalaikan waktu berkunjung ke makam ibumu.”
Gavin menghentikan langkah. Setengah wajah melamun. Tapi, tak benar-benar melamun. Ah, seperti seseorang yang baru disentak lembut. Sedang merenungi kealpaannya.
“Merasa bersalah?” Qiyo ikut berhenti. Memasang wajah tak bersalah. Dilakukannya dengan sengaja. “Ah ya, Gavin, cobalah untuk terbiasa! bocah kaku dan berkacamata itu memiliki nama. Dan... sudahlah, lupakan!” Qiyo menatap Gavin, memukul ringan kepala Gavin dengan sebuah buku. “Cobalah untuk menghormatinya, bagaimanapun Balin adalah ketua kelasmu sekarang.”
Gavin tidak membalas ucapan Qiyo. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Lalu berjalan di belakang Qiyo sembari merenung. Semakin dalam dan meluas. Mungkin, semua cerita yang kemudian menjadi citra buruk dirinya adalah kesalahan yang berawal dari dirinya sendiri. Anak orang kaya yang memanfaatkan haknya untuk membolos seenak hati, berteman dengan anak-anak yang dianggap badung di sekolah, bermain di tempat-tempat terlarang untuk anak sekolah, dan belum lagi kelakuan yang dianggap buruk karena hampir selalu terlihat bersama dan berganti-ganti teman gadis-wanita. Sederet cerita itu mengalir begitu saja tanpa dipedulikannya hingga beberapa hari lalu saat bagian dirinya yang lain menyadari tidak menginginkan kesalahpahaman itu berlanjut. Sayangnya, kehidupan ini tidak memiliki ikon hapus permanen layaknya sistem dalam operasi komputer untuk dapat menghapus dokumen lama yang tak diperlukan lagi. Dan, ah, kenapa perjalanan ke perpustakaan jadi selama ini.
“Diari, namamu unik.” Kata Gavin setiba keduanya di meja penjaga perpustakaan. Meski dilakoninya sangat natural, ini jelas terlihat ia berusaha mengalihkan renungannya yang belum berujung pada jawaban benar. Tapi, tetap saja berhasil mengundang kemarahan Qiyo.
Qiyo melotot tajam pada Gavin. Kakinya pun ikut beraksi. Membuat Gavin merintih rendah. “Gavin, tunjukkan santunmu. Dia kakak kelasmu. Teman sekalas Kak Sienna.” Lantas membuat gerakan dengan kedua jemarinya, yang dipahami sebagai bahasa isyarat. “Maafkan laki-laki rambang mata ini, Kak Diari.”
Dibalas permintaan maaf itu dengan senyum sangat manis dengan isyarat bahasa dalam gerakan jemari dan eksperesi bersahaja.
Qiyo menerjemahkannya dengan berat hati. “Dia adik kelas yang lucu. Aku tidak apa-apa.”
Gavin tersipu malu.
“Dia sama sekali tidak lucu.” Jawab Qiyo segera dengan wajah jengkel.
Gavin baru menyadarinya lagi, Qiyo menguasai bahasa isyarat dengan sangat baik. Tentu. Sedari kecil ia sudah terbiasa dengan itu karena ibunya seorang yang bisu. Bahkan, Qiyo pernah mengajarkannya agar dapat berkomunikasi dengan ibu Qiyo. Sayangnya, ia sudah melupakan sebagian yang pernah diajarkan.
Mengakhiri perjumpaanya bersama kakak kelas itu, Gavin meminta maaf. Tulus. Si kakak kelas semakin tersenyum lebar.
“Kau sedang menertawaiku, kan?” Ucap Gavin saat keduanya keluar dari perpustakaan.
Qiyo tertawa lagi. “Aku jadi teringat dulu saat...” kalimat Qiyo tertahan. Femi, Hara dan Danne berdiri di depan keduanya.
Femi menatap tidak suka pada Qiyo, lalu beralih pada Gavin. “Aku ingin berbicara denganmu. Selesaikan saja dulu urusanmu. Aku akan menunggumu di tempat biasa.” Ia meletakkan jari telunjuknya tepat di dada Gavin. Tak lupa memberikan senyum termanis. Sengaja dilakukannya di depan Qiyo.
Saat waktu telah kembali menjadi milik Qiyo dan Gavin, kalimat Qiyo yang sempat terhenti, tak lagi ingin diteruskan. Cerita lain yang ingin dibicarakan dengan Gavin pun menjadi urung. Meski Gavin sempat memaksanya.
“Pergilah kau sana! Hampiri kekasih yang menunggumu. Sebelum dia jauh.” Kata Qiyo sembari meninggalkan tinjuan ringan ke dada Gavin.
Sesuatu telah lama menyelinap di hati Qiyo. Sekarang semakin memperlihatkan ketidaknyamanan. Seperti gambaran kekhawatiran pada kekuatan tak kasat mata yang akan mengambil benda yang amat kau sayangi tanpa permisi.
***
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Gavin setibanya di lantai atap gedung dua. Menyejajarkan dirinya di samping Femi. Menyandarkan punggung ke pagar yang kini semakin menjulang tinggi bersama kawat-kawat harmonika.
Femi melangkah tepat di depan Gavin. “Aku... telah mengambil keputusan. Aku akan bergabung dengan SPeN.”
“Baguslah. Kau sudah membuat keputusan yang berani.”
“Bagaimana denganmu?”
Gavin menggeleng.
“Kau tak ingin kembali ke SPeN?”
Gavin mengangkat bahu. Mengalihkan pandangannya. “Entahlah.”
“Kita berdua memiliki rasa sakit yang sama, Gavin. Kita telah lama saling memahami. Kau pasti tahu, aku ada di sampingmu.” Femi berjingkat, mendekatkan bibirnya ke bibir Gavin, namun jemari kanan Gavin menghalau lembut bibir Femi.
Femi pun urung, alih-alih tertawa rendah. “Ada apa dengan kau, Gavin? Tak biasanya kau seperti ini.”
“Aku hanya tak ingin kau dan aku terbiasa melakukannya. Bahkan kita bukan sepasang kekasih.”
“Ini bukan tabu untukmu. Malah, kau sendiri sering melakukannya, bahkan dengan yang baru kau kenal. Inikah hasil perenunganmu selama seminggu ketika tak bersama kami? Menjadi manusia suci? Hah!” Femi Membuang muka.
Gavin diam.
“Kau kembali dekat dengan Qiyo?” Tanya Femi. Suaranya merendah tak suka.
Bibir Gavin menyungging senyum. Ucapan Femi ada benarnya. “Ya, mungkin inilah yang orang sebut dengan merindukan masa lalu.”
Femi tersenyum kecut. Kembali ke tempat berdirinya semula. “Di kelas, kau lebih sering terlihat bersamanya dibanding denganku. Di depannya kau bisa melihatkan sifat manja yang tak pernah kau nampakkan padaku. Apa kau akan mencampakkanku sekarang?”
Gavin tertawa rendah. “Mencampakkanmu? Kau membuatku semakin keji.”
“Lalu, kenapa akhir-akhir ini kau juga tak membalas pesanku. Kau seolah sengaja menghindar dariku dan yang lainnya.”
“Baru seminggu kita tak keluar bersama. Bahkan, aku masih berbicara padamu dan yang lainnya saat di sekolah. Dan ya, tentu saja aku membutuhkan waktu untuk sendiri.”
Keduanya diam beberapa saat. Hanya desingan angin yang mampir di telinga. Lalu, Gavin memberanikan dirinya melompat topik yang seharusnya tak perlu dilakukan saat ini juga dan baru disadari setelahnya.
“Kau mungkin tak ingin mendengarnya. Tapi, berhentilah mengganggu Haiwi. Aku bisa mengerti sikapmu padanya. Tapi, cerita itu harusnya sudah kau sebut masa lalu.”
“Haiwi?” Femi tertegun seketika mendengar nama itu keluar dari mulut Gavin. Benaknya bercampur aduk. Padahal belum tuntas ceritanya tentang Qiyo. Lantas tertawa meninggi. Tawa sakit yang terdengar dari seseorang yang baru saja dikhianati oleh orang paling disayangi. “Kenapa tiba-tiba seolah dunia peduli pada gadis aneh itu. Wah, beruntungnya dia. Atau aku harus menjadi seperti dia lagi?” Tawa Femi tersekat. “Tadi pagi Kak Sienna tiba-tiba mendatangi dan menceramahiku soal Haiwi. Dan sekarang, kau! Haha... terima kasih atas kepedulianmu, Gavin! Aku tak pernah mengira kalimat itu akan keluar dari mulutmu.” Femi berjalan menuju pintu. Tangannya meremas gagang pintu, memutarnya hingga pintu terbuka, dan menutupnya kembali dengan bunyi debam kasar bagai teriakan amarah.
Tak sedikitpun Gavin berniat menyinggung perasaan Femi. Apakah waktu mengatakannya yang salah?
Slurrp slurrp slurrp!
Terdengar bunyi seseorang menyeruput sisa minuman kemasan dari bibir pipet.
Suara yang tiba-tiba itu mengejutkan Gavin. Menyentil rasa penasarannya. Dilangkahkan kakinya panjang-panjang ke kiri. Tiga langkah. Bersualah ia pada sumber suara. Seseorang itu sedang duduk selonjor dan mendongakkan kepalanya ke langit sembari menyuapkan bekal siangnya dengan santai, di pojokan dinding luar pintu penghubung. Sisi buta dari tempatnya berdiri tadi bersama Femi. Wajar bila tak disadari keberadaannya. Tapi yang paling mengejutkannya lagi adalah…
“Haiwi, Kau!”
“Siang, Tuan Tampan!”
“Sejak kapan kau di sana?”
“Aku bukan hantu yang bisa menembus dinding. Tentu saja aku tiba lebih dulu dari Femi.”
“Kau mendengar—ehm, melihat semuanya?”
Haiwi mengangguk sembari mengemasi tempat bekalnya yang telah kosong ke dalam kantung bekal buatan ibu. Kemudian bangun dari duduknya sembari tangan kiri membersihkan bagian belakang rok. Setelahnya, membuang wadah minuman kemasan ke tempat sampah tak jauh di sampingnya dengan gerakan ala-ala menembak bola basket ke jaring.
“Bagian mana yang kau lihat?” Suara Gavin terdengar khawatir.
Telunjuk kiri Haiwi menunjuk tempat sampah dua meter darinya yang baru saja menjadi pendaratan minuman kemasannya. “Saat aku ingin membuang kulit pisang ke tempat sampah itu, kalian memberikanku tontonan.” Haiwi memperagakan gerakan Femi dalam versi yang lebih lucu. Bibirnya dimonyongkannya, lalu diikuti dengan gerakan tangan Haiwi—beserta tempat bekalnya, persis mengikuti halauan tangan Gavin tadi. “Dan, aku mendengar semuanya.”
Wajah Gavin memerah. Tak mengira kejadiannya bila dideskripsikan oleh Haiwi akan membuatnya malu. Ah, tapi kenapa malu? Bukankah seharusnya ia sudah terbiasa.
“Kalian terlalu asyik berdua-duaan sampai-sampai tidak menyadariku.” Lanjut Haiwi lagi. “Tenanglah. Aku tahu yang disebut dengan ra-ha-si-a.” Lanjut Haiwi lagi, kemudian mendekati pintu.
“Haiwi!” Sergah Gavin. “Maukah kau menemaniku sebentar di sini?” Agak ragu Gavin mengutarakannya. Ini jarang terjadi. Cerita yang beredar mengenai dirinya di sekolah, sudah pasti sampai ke telinga Haiwi. Mustahil melihat anggukan Haiwi.
Haiwi menghentikan langkah. Tampak berpikir. Mengangguk kemudian. Lalu, bersandar di pagar, tempat Femi tadi.
Begitu bahagia hati Gavin melihat anggukan Haiwi siang ini. Padahal, ia sering mendapatkan anggukan dari banyak rupa gadis. Entah mengapa, ia merasa bersemangat—dalam arti positif. “Kurasa, aku masih berhutang terima kasih,” Gavin mengangkat pergelangan tangan kirinya, “untuk gelang ini, untuk tas obat, dan pisang pengganjal perut laparku waktu itu di Bukit Bintang.”
“Ah ya, kau melupakan terima kasihmu. Ya, ya, kuterima terima kasihmu.”
Gavin tertawa mendengarnya. Padahal, beberapa waktu lalu, saat kedua kalinya bertemu Haiwi di Bukit Bintang, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi melihat wajah Haiwi.
Lagi, sesuatu yang tak bisa dijelaskannya, membuat hatinya meluas. Seolah sedang membangun samudera di dalamnya. Adalah pergerakan emosi yang berjalan perlahan. Belum disadari penuh si pemilik hati.
Gavin melirik pada Haiwi. “Tiga hari lalu, aku tak sengaja melihatmu bersama nenek dan empat anak kecil di Hutan Kota. Diakah nenek arif yang kau bicarakan waktu itu?” Tanya Gavin yang masih mengingat percakapan keduanya malam itu. Lagi-lagi, ini berkat memori pengingatnya yang luar biasa. Kali ini, ia sangat berterima kasih atas kelebihannya itu.
“Kau menguntitku?” Tanya Haiwi seolah membalikkan kalimat Gavin ketika di Bukit Bintang.
“Kurasa, aku hanya memenuhi rasa penasaranku yang tak sengaja melihatmu memasuki hutan wisata seorang diri sebelum akhirnya bersama nenek itu.” Kilah Gavin.
“Itu menjelaskan bahwa kau menguntitku.”
“Baiklah. Kita impas sekarang.”
“Tidak. Mengikutimu dan bertemu denganmu, tidak kulakukan dengan sengaja.”
“Baiklah, aku menguntitmu.” Akhirnya Gavin menyerah. Lalu, tiba-tiba saja terbersit pertanyaan paling menggantung dalam otaknya untuk diteruskannya pada gadis yang baru dikenalnya ini. Belakangan ini, pertanyaan ini sering dipikirkan dan terus mengganggunya, namun tak mampu dijawabnya sendiri. “Haiwi, menurutmu, apa yang harus dilakukan agar kau tetap melangkah maju disaat dirimu merasa tak ada pilihan yang dapat membuatmu maju dari tempatmu berdiri saat ini?”
Haiwi tak langsung menjawab. Sejujurnya, ia sendiri tak memiliki jawaban yang dapat diberikan pada Gavin. Dipandangnya Gavin yang tertunduk seolah akan muncul deretan jawaban dari balik lantai.
“Haha... lupakan sajalah!” Kata Gavin yang merasa tak enak pada Haiwi yang sempat tak disukanya.” Tiba-tiba bertanya demikian, pasti mengganggumu. Ini masalah yang harus aku temukan sendiri jawabannya, bukan begitu, Haiwi?” Senyum lemah menggantung di wajah ovalnya.
Haiwi memahami makna sebenarnya dari ucapan Gavin barusan. Ini terdengar Gavin berharap mendapatkan jawaban dari lawan bicaranya. “Kau yakin tak diberikan pilihan?”
Gavin menatap Haiwi sesaat. Lalu, menunduk lagi. “Entahlah.”
“SpeN, kau tak tertarik?” Tanya Haiwi. Dua hari terakhir ia sering mendengar siswa-siswi di sekolah berbicara soal pendaftaran SPeN. Tadi, juga disinggung oleh Femi.
Wajah Gavin terlihat sendu. Kontras dengan raut Gavin beberapa menit lalu. Ini sedikit menjelaskan kekhawatiran yang disembunyikannya dibalik ‘wajah penggoda’ alaminya.
“Aku sudah menjadi bagian dari SPeN. Tapi, aku meninggalkannya. Dan aku ragu, waktu tiga bulan yang kutinggalkan itu masih menyisakan kesempatan untukku kembali atau...” Gavin mengangkat bahu pertanda keraguannya.
“Hmmm... kurasa jawabanmu sangat jelas.”
Gavin diam.
“Buatlah kesempatan meski sekecil apapun untuk dirimu sendiri karena menyerah bukan pilihan.” Haiwi diam sejenak. “Itu yang ayah katakan padaku. Aku hanya pandai mengulang kalimatnya saja.”
“Apa yang membuatmu terus maju?”
Haiwi dan Gavin berpandangan cukup lama. Mungkin yang terlama. “Aku juga sedang mencarinya.”
Bel sekolah berbunyi. Haiwi berjalan lebih dulu menuju kelas. Kali ini, perpisahan keduanya lebih bersahabat dari saat terakhir ketika di Bukit Bintang. Membentuk warna demi warna harap dalam ragam kemelutnya.
Juga, waktu sebentar yang keduanya habiskan di lantai atap telah menyulut api baru. Titik-titik panas dalam hati yang pantas kau sebut cemburu. Karena sesungguhnya, Femi belum benar-benar pergi saat keduanya berbicara.
Sekali lagi, di sore akhir pekan sekolah, membuat Haiwi terjebak pada perundungan yang Femi ciptakan karena termakan emosi liarnya hanya karena dialog di lantai atap siang ini. Dan sekali lagi membuat yang lainnya tak mengerti. Ya, Kine tak mengerti keputusan diam Haiwi. Jawaban Haiwi semakin mengaburkan pemahaman Kine.
Kata Haiwi, ia hanya ingin menikmati cerita sekolahnya. Pun tak perlu khawatir. Beberapa orang cenderung menundukkan kepala saat mengetahui ada yang lebih kuat dan berkuasa dibanding dirinya. Suatu hari nanti, pasti akan melihat saat mereka bungkam.
Seperti halnya Kine, mungkin kau sedikit tak percaya mengapa ada orang yang memperlihatkan hal sebaliknya ketika dunia kecil yang dimilikinya memberikan rasa tidak adil terhadap dirinya. Dijejali pula berbagai alasan yang tak dimengerti rasio. Tapi, lain halnya bila kau memahami dunia kecil itu begitu berharga. Dan jawaban Haiwi, kau tak perlu mengerti untuk saat ini.
Inilah kehidupan sekolah Haiwi, teman. Dialog yang membuatnya wajar untuk sebuah rasa kasih yang diberikan imbuhan –an di belakangnya.
*** 548Please respect copyright.PENANAJhQoYdN9Es