Hampir sebulan terakhir, Sistem Pertahanan Negara (SPeN) tidak mengendurkan keseriusannya. Di dalam ruangan berbentuk kubus nan futuristik, yang menjadi saksi bisu pertemuan-pertemuan penting manusia yang memikul tanggung jawab pada keamanan dan integritas negara, di balik meja berbentuk elips itu, para petinggi SPeN terlihat duduk dengan tenang dan percaya diri. Mereka telah menyiapkan amunisi ‘keberhasilan’ dengan kebanggaan yang dibangun atas dasar yang berbeda. Bahkan, aroma ‘keakuan’ di beberapa petinggi itu dapat dan selalu tercium oleh hidung-hidung yang telah tua oleh pengalaman perjalanan martabat manusia.
Satu yang menjadi kesamaan di antara mereka. Dua puluh empat jam waktu yang mereka miliki telah digunakan untuk hilir mudik mencacah kebekuan peristiwa. Mengumpulkan kepingan-kepingan bukti kebenaran meski secuil. Topiknya masih sama. Masih tentang misteri identitas para penyerang Laboratorium Utara, kemunculan tiba-tiba Ringge yang menghebohkan dan lambaiannya yang hilang begitu saja, serta hilangnya warga di tiga pulau terluar Kota Sin (Sigma, Pante, dan Pusu) yang hingga hari ini belum ditemukan.
Apalagi, kasus demi kasus yang ditangani SPeN bergulir menjadi konsumsi khalayak luas. Mata sang pengawas seolah ada di seluruh penjuru negeri. Belum lagi menghadapi dunia maya yang saat ini masih tersita pada kehadiran manusia malam. Beberapa komentar mulai meragukan SPeN. Yang lebih frontal menuding SPeN terlibat kasus hitam lainnya. Menyangkutpautkan mereka dengan ‘dunia bawah’ yang tabu dibicarakan pada dunia berhukum.
Tak bisa dihindari bahwa tekanan itu telah merasuki tubuh SPeN. Meski begitu, belum sampai menggerogoti ketajaman SPeN. Gerak-gerik SPeN yang tengah memburu para pelaku dilakukan penuh kehati-hatian tanpa menggeser keawasannya.
Komandan Losu, dari Diptek, langsung memberikan keterangannya ketika Komandan Besar memberikan kesempatan pertama untuk membuka rapat pada kasus paling menghebohkan SPeN dan juga Kota Sin. Komandan Losu mengatakan bahwa yang dilakukannya di ruang bawah tanah merupakan kesungguhan dan kecintaannya pada SPeN, dan bukti kerja keras bersama Tim pilihannya dibawanya hari ini. Ia menegaskan bahwa ia tak melakukan apapun untuk dapat disangsikan karena ia sangat berdedikasi pada pekerjaannya dan penduduk ber-KTP yang taat pada negara, serta bersedia melindunginya. Menurutnya, ditengah kasus yang dihadapi—khususnya Komandan Galen dan Abila, rasanya lebih bijak bila mengkhawatirkan hal-hal yang berkaitan dengan kasus yang sampai hari ini belum menemukan titik terang. Tapi, ya, ia tak akan menghalangi pikiran-pikiran melenceng tentangnya. Kepercayaan dirinya itu pun didukung oleh pernyataan Komandan Besar SPeN, bahwa tak satu pun aktivitas ilegal di Laboratorium Utara terkait pengembangan jenis senjata baru SpeN. Termasuk senapan berlaras panjang yang biasa berada di tangan penembak jitu yang saat ini berada di tengah mereka. Semuanya dilakukan dengan prosedur dan atas persetujuan Komandan Besar.
Terang-terangan Komandan Galen menyatakan ketidaksetujuannya pada Komandan Besar yang dianggapnya terlalu memanjakan Komandan Losu. Bagaimanapun, bukti ruangan bawah tanah yang dilihatnya bersama Letnan Rastha dan Komaandan Abila itu tak menggambarkan 99% kebenaran akan keberadaannya seperti yang baru saja dikatakan Komandan Losu. Komandan Galen menandaskan, ini bukan tentang siapa mencurigai siapa. Apalagi mengatasnamakan kebencian. Bukankah sudah tugas mereka untuk mencurigai sesuatu yang patut disanksikan—yang ganjil? Bahkan, bila itu rekan kerjamu sendiri.
Komandan Kalif dari dari Divisi Hubungan Dalam dan Luar Negeri (Dihuman) menimpali dengan tenang. Bila memang benar, seharusnya diiringi bukti tak terbantahkan yang dapat membuat Komandan Losu disanksikan. Maka ruang bawah tanah akan sepenuhnya diserahkan pada Dipantas untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. Namun, karena tak satupun bukti kuat itu dapat ditunjukkan, ketidaksetujuan itu untuk sementara berhenti di situ.
Komandan Besar pun menyilakan Komandan Haris dari Divisi Keamanan Kota (Dikota) yang baru dilantik sebulan lalu untuk melanjutkan laporannya. Ia telah membentuk Tim Khusus dua hari lalu. Tim khusus itu bekerja sama dengan anggota pasukan elit Dipaskus 13 Kesatria. Tim ini dibentuk sebagai reformulasi Tim sebelumnya yang menangani kasus Ringge dan Peristiwa empat tahun lalu. Diberi nama TRiT (Tim Reinvestigasi Tragedi). Terkesan mendrama. Tapi, demikianlah penduduk menyebut duka empat tahun lalu yang menimpa keluarga Zen Rahuta Galen. Sebuah tragedi pembantaian sadis pertama kali di Kota Sin yang damai.
Dan ya, selain namanya yang berulang kali disebut, Ringge benar-benar bak hilang ditelan malam itu. Namun, Dikota yang langsung berkoordinasi dengan Divisi Pertahanan dan Keamanan Perbatasan (Dipantas) tak menemukan jejak Ringge melewati perbatasan baik dari gerbang Timur, Barat, Utara, maupun Selatan. Itu artinya, sah-sah saja bila mereka berasumsi bahwa Ringge masih berada di Kota ini, di suatu tempat. Mereka tak boleh lengah lagi.
Komandan Abila dari Dipantas nampaknya paling mencolok atas perkembangan kasusnya. Keterangan para korban yang pada awalnya disangsikan kebenarannya berubah menjadi bukti tak terbantahkan.
Tim investigasi khusus yang dibentuk oleh Komandan Abila, telah menemukan saksi hidup atas keberadaan para penyerang di Laboratorium Utara. Saksi itupun dihadirkan dalam ruangan rapat khusus hari ini. Ia adalah seorang penjaga dermaga di perbatasan. Wajahnya diliputi kecemasan. Selain karena ia adalah orang perbatasan, ia pun harus berhadapan dengan orang-orang penting negara ini. Juga, belum bisa ditepisnya trauma hari itu. Apalagi, ia memaksakan diri memberikan keterangan bersama luka yang telah dipastikan sama dengan para korban Laboratorium Utara oleh dokter ahli, yang dilakukan dengan sengaja oleh satu diantara para penyerang itu. Dengan kengerian tertahan yang tersirat pada emosinya, saksi itu mengatakan dengan mantap bahwa luka yang membentuk empat-lima garis diagonal itu tak berasal dari benda tajam, melainkan hasil ayunan jemari yang sangat cepat dan akurat. Ia menambahkan, secara khusus mereka berpesan untuk mengatakan identitas mereka dengan berani jika SPeN sampai padanya.
Dan sampailah saksi itu pada jawaban yang sudah diwaspadai SPeN jauh sebelum penyerangan itu terjadi. Mereka bukanlah orang asing untuk SPeN. Buruan lama SPeN—barangkali sebut saja begitu. Ialah manusia malam dalam sebutan banyak manusia. Lalu, sebelum meninggalkan ruangan, saksi itu mengatakan dalam kegetiran yang kentara, bahwa mereka bukanlah manusia.
Selain itu, Tim berhasil menemukan mobil yang digunakan para penyerang melarikan diri di dermaga luar gerbang utara. Sayangnya, tak ada bukti lain yang dapat menjelaskan keberadaan mereka. Lalu, terdengar dramatis dan cukup mengancam secara makna bahasa, seseorang dari para penyerang menitip pesan pada SPeN melalui bisikan telinga pada seorang korban Laboratorium Utara, yaitu ayah Haiwi. Beginilah yang dikatakannya dalam nada lirih, “kami mengambil sesuatu yang menjadi milik kami. Dan ini belum selesai sampai semua milik kami yang ada pada kalian berada di genggaman kami.”
Komandan Galen menjadi dalam perkembangan kasusnya belum menampakkan perkembangan signifikan di ketiga pulau. Begitulah pernyataan pembuka komanda Galen. Disambut senyum sinis mengembang di wajah Komandan Losu.
Namun, kebenaran kadang memiliki waktunya sendiri untuk memperlihatkan wujudnya. Beberapa saat lalu, sebelum rapat dimulai, Kapten Pasukan 13 Kesatria mengirimkan angin segar dari Pulau Pusu. Mereka berhasil menangkap seseorang yang dicurigai memiliki hubungan atas serangkaian hilangnya para warga di tiga pulau. Yang mengejutkan, dari mulut seseorang itu keluar pernyataan senada seperti Ringge malam itu. Juga bertemali dengan pernyataan saksi yang dibawa Komandan Abila. Bahkan, akan menjadi kejutan pelengkap akan kewaspadaan dan keraguan mereka. Seseorang yang tertangkap itu mengatakan dirinya adalah manusia malam.
Atmosfer dalam ruangan rapat ini sempat hening dan menyesakkan. Ini tak biasanya hanya karena sebuah pernyataan. Sebenarnya ada apa? Kenapa akhir-akhir ini istilah manusia malam terus disebut? Bahkan, kebekuan yang ditunjuk oleh Petinggi SPeN ini seolah membenarkan yang tak ilmiah.
Menyahut tiba-tiba kemudian Komandan Haris. Ringge baru saja tertangkap kamera pengawas jalanan sedang menuju Gerbang Barat. Tim siaga dari Dikota yang tergabung dalam TriT langsung bergerak. Dibantu pula oleh prajurit Dikota lainnya yang dikerahkan berjaga di beberapa titik kota. Juga langsung berkoordinasi dengan pasukan siaga Dipantas di Gerbang Barat. Komandan Haris pun mendapat pengakuan dari Komandan Besar SPeN atas kecakapannya pada kejadian yang tiba-tiba ini.
Di akhir rapat, Komandan Andi dari Divisi Sumber Daya Manusia (Div. SDM) dan Komandan Kalif, yang pada kasus-kasus ini tak terlibat secara langsung, mengingatkan sekali lagi—sama sekali tak berkaitan kasus yang tengah dihadapi SPeN. Namun, bertaut dengan komitmen dan kepentingan SPeN yang telah dibicarakan berbulan-bulan lalu. Keputusan pun telah diambil dari banyaknya suara setuju dalam rapat saat itu. Akan segera dilaksanakan tak lama lagi. Oleh karenanya, butuh perencanaan matang.
Ya, ini mengenai “mengenalkan Pasukan Bayangan” pada seluruh tingkatan prajurit SPeN. Karena mereka bukan rahasia, pun bukan intelejen rahasia yang sebenarnya yang harus disembunyikan identitasnya. Begitulah alasan pembenaran yang dilakukan oleh banyaknya telunjuk mengangkat saat itu.
Komandan Besar telah memutuskan. Semua divisi harus saling berkoordinasi. Dalam sudut pandangnya, nampaknya Ringge yang tiba-tiba muncul dan serangkaian peristiwa yang tengah dihadapi SPeN, mungkin saja misteri yang saling terkait. Oleh sebab itu, kewajiban SPeN-lah untuk memberikan jawaban benar dan menyelesaikannya dengan bertanggung jawab. Tak terkecuali pada topik terakhir.
“Komandan Galen, aku akan sangat menantikan pasukan elitmu yang lain itu. Sepertinya akan sangat menakjubkan.” Begitulah kata Komandan Losu sebelum akhirnya mereka menuju ruangan masing-masing.
Komandan Galen menanggapinya dengan santai. Ia paham betul. Palu telah diketuk. Tinggal menunggu hari ketika para bayangan berdiri di bawah sinar.
@_@
Sebagaimana yang telah diputuskan pada rapat Petinggi SPeN dua jam lalu, ketegangan membeku diantara Komandan Galen, Letnan Rastha, dan lima anggota 13 Kesatria, yang duduk mengitari meja lonjong di ruangan Komandan Galen di Dipaskus pusat, ketika disampaikan keputusan final mengenai takdir Pasukan Bayangan di SPeN.
Memang benar, sejak awal Pasukan Bayangan tidak dibentuk sebagai bagian dari pasukan rahasia SPeN. Tetapi, mengenalkan mereka pada upacara penerimaan prajurit baru, dirasa berlebihan. Apalagi para petinggi tahu betul kebenarannya—lebih dari siapapun di SPeN.
Sejak awal, Komandan Galen telah menyatakan penentangan gagasan itu. Sayangnya, hanya Komandan Abila yang mengangkat tangan untuknya. Dan ya, keputusan telah dibuat. Secara normatif, mereka berkewajiban menjalankan keputusan.
Anggota pasukan 13 Kesatria yang ada dalam ruangan saat ini, melihat ke arah Pasukan Bayangan yang bak ajudan khusus, duduk berjajar di belakang Komandan Galen. Sejak rapat dimulai, Pasukan Bayangan sama sekali tak bersuara. Seperti yang sudah-sudah, sejak saat mereka dibentuk, mereka tak pernah banyak bicara. Ini seperti mengisyaratkan kehadiran mereka dalam hak dan wujud yang samar-samar. Hanya sesekali terlihat gerakan tubuh tak nyaman dari dua anggotanya yang sepertinya tidak menyukai forum-forum seperti ini. Tapi, ini bukan sesuatu yang asing lagi setelah lima tahun mereka menjadi tiga matra jajaran elit pasukan Dipaskus.
“Apakah ini tidak berlebihan, Komandan Galen? Saya bisa memahami bahwa Pasukan Bayangan bukanlah pasukan rahasia SPeN. Tapi, tetap saja, Dipaskus telah berjuang untuk membuat Dipaskus seperti saat ini. Mengenalkan mereka pada seluruh lapisan prajurit hanya akan menimbulkan masalah lainnya yang—mungkin akan sangat mengkhawatirkan dan akan meluas hingga khalayak di luar SPeN. Anda sendiri paham bagaimana hukum alam berlaku ketika sesuatu itu bukan lagi konsumsi pribadi.” Keluh Kesatria Mira, wakil kapten 13 Kesatria.
Sebetulnya, hal tersebut dirasakan oleh empat Kesatria lainnya yang hadir. Bagi Pasukan 13 Kesatria yang saat ini tengah bertaruh menyelesaikan kasus demi kasus yang dihadapi, dan dalam upaya mengikat kembali kepercayaan masyarakat pada kemampuan SPeN, hal ini hanya akan memperkeruh keadaan dengan hal baru yang seharusnya baik-baik saja tanpa menampakkan Pasukan Bayangan. Bukan mustahil akan menimbulkan kegaduhan. Ini adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sangat hati-hati. Ini menyangkut kepercayaan orang-orang di kota ini yang ingin mereka lindungi.
“Itu murni perasaan pribadimu, Kesatria Mira. Reaksimu—dan beberapa dari kalian—aku yakin, dapat dianggap mengingkari Pasukan Bayangan sebagai sesama pasukan elit Dipaskus. Tapi, ya Aku mengerti perasaanmu karena aku pun—kita merasakan hal yang sama. Tapi, sebagai anggota elit Dipaskus—13 Kesatria, kau harus tetap berpikir jernih dan tenang. Dipaskus adalah bagian dari SPeN. Kita adalah SPeN. Mari kita jawab tantangan itu. Kita bukan ancaman untuk negeri tercinta ini. Kerja keras kita untuk Negara Sin. Lagipula, Pasukan Bayangan tidak akan menggunakan kesempatan yang diberikan dengan gegabah. Bukankah demikian, Pasukan Bayangan?”
Lagi, Pasukan Bayangan hanya diam. Senada dengan cara bekerja mereka. Menjawab hanya dengan aksi tak banyak berkata. Apalagi, menyangkal. Tentu saja, kau pun boleh mengira-ngira, orang-orang yang demikian biasanya bekerja menurut caranya sendiri. Egosentris masa kecil yang terbawa hingga dewasa. Ya, kau sebut saja mereka begitu.
Tak lama mereka tenggelam dalam kegamangan keputusan yang memang tak bisa diubah lagi. Bagaimanapun mereka harus melangkah maju mendahulukan kepentingan SPeN.
Tapi, dalam keteraturan mengatasnamakan kebajikan yang mengalir di bawah SPeN, ada pula yang bergerak atas alasannya sendiri. Ya, seperti tindakan Sienna. Ia berusaha menunjukkan dirinya layak—meski nama elit yang disandangnya telah menggambarkan kemampuannya yang tak diragukan, dengan mengikuti serangkaian tes untuk menjadi satu diantara bagian Tim TriT perwakilan Pasukan 13 Kesatria. Telah disampaikan Sienna pada Komandan Galen saat ulang tahun ke-58nya beberapa waktu lalu bahwa ini adalah caranya tetap waras atas kasus Sin berduka empat tahun lalu. Ini mungkin tentang dirinya. Tapi ia ingin berjalan dalam koridor adil yang benar.
Dan pada keputusan yang mengarah pada masa depan, bergeraklah Dipaskus. Esok pagi, Sienna akan memulai misi barunya bersama TriT. Kesatria Mira, sebagai wakil kapten tetap berjaga dan bertugas di markas besar Dipaskus bersama dua Kesatria. Dua kesatria lainnya dan ‘Merah’—begitulah satu diantara kode nama Pasukan Bayangan, akan pergi bersama Letnan Rastha menuju Pulau Sigma dan Pante. Sementara Komandan Galen bersama dua Pasukan Bayangan lainnya, berkode nama Jingga dan Kuning akan menuju Pulau Pusu menyusul Kapten Pasukan 13 Kestaria dan tim lainnya.
Satu jam lagi mereka akan berangkat. Komandan Galen berpesan, akan sangat berarti bila Pasukan Bayangan yang terlibat dapat bekerja sama dengan 13 Kesatria secara bijaksana.
@_@
Hari ini “Menu Latihan Misi” terakhir Gavin, Balin, dan Qiyo bersama tiga rekan lainnya, Anan, Brina, dan Irina sebelum misi dimulai satu minggu lagi. Mereka pun disatukan oleh ikatan kelompok yang memiliki nama.
Tim Singa Gunung, begitulah Guru Bi, mentor mereka, menamainya. Balin dipercayai sebagai kapten. Hari demi hari latihan yang dilewati membuat mereka mulai memahami satu sama lain. Tidak hanya mengenai kemampuan, namun juga beberapa sifat yang diperlihatkan oleh masing-masing.
Akhirnya pun tiba waktu mereka berkumpul di kantor Dipaskus pusat. Mereka diarahkan untuk memasuki ruangan khusus. Di sanalah masing-masing tim akan menghabiskan waktunya sebelum tiba ujian misi.
Balin datang belakangan dan langsung mengesankan anggota timnya. Sang kapten, datang dengan menjinjing sebuah koper hitam layaknya agen-agen sungguhan.
Masih ada waktu sebelum Guru Bi datang memberikan arahan. Balin pun memanfaatkannya untuk menyingkap isi koper. “Guru Bi telah mengizinkan untuk menggunakan teknologi rakitanku pada anggota timku saat perjalanan misi nanti. Ini mungkin terdengar angkuh. Tapi, aku hanya ingin mengoptimalkan kemampuanku untuk tim. Dan tentu saja, bila rekan timku juga setuju untuk ini.”
Tak ada yang keberatan atas sikap Balin. Kecuali Gavin yang kelihatan acuh. Kepercayaan diri Balin, cukup meyakinkan mereka akan kemampuannya memimpin tim. Dan ya, sepertinya mereka telah sepakat lebih dulu oleh rasa penasaran pada isi dalam koper yang bertransformasi bak harta karun.
Seperti diperintahkan gerakan yang sama, Qiyo, Brina, Irina, dan Anan, diikuti Gavin yang ditarik paksa Qiyo, duduk mendekat pada Balin—menyerupai setengah lingkaran. Balin membuka koper itu dengan memencet empat kombinasi angka. Secara otomatis, koper hitam itu terbuka. Kemudian, satu per satu kotak persegi berwarna ungu metalik berukuran 5x5 sentimeter dikeluarkan dan diberikannya pada semua rekan timnya. Diatas kotak persegi berwarna metalik itu telah berukir nama masing-masing anggotanya.
Mereka langsung membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah perangkat jemala nirkabel berwarna hitam, serta cincin perak bermata ametis keunguan berukuran sesuai satu buku jari tengah masing-masing. Mata cincinnya berukuran kecil.
“Silakan dicoba. Itu semua milik kalian sekarang.” Balin mengambil tablet dari dalam koper hitam dan menutupnya.
Mereka memasang perengkat jemala nirkabel di telinga dan cincin di jari masing-maisng.
“Ketua, boleh kupasang cincin ini di jari manis kananku?” Tanya Brina antusias.
“Jika muat, terserah kau saja. Sekarang, tekan tombol pada perangkat jemala nirkabel.” Pinta Balin kemudian. “Sebutkan nama kalian masing-masing, mulai darimu Brina!”
Disebutkanlah nama masing-masing. Dimulai dari Brina, Irina, Anan, Gavin, Qiyo, dan terakhir Gavin.
“Kalian dapat mendengarnya?” Tanya Balin memastikan.
“Ya!” Jawab Brina dan Irina. Qiyo dan Anan mengangguk. Sementara Gavin—yang tadinya tampak enggan, mulai asyik mengamati cincin.
Berikutnya, Balin menjelaskan perangkat keras yang diciptakanya itu. Perangkat jemala nirkabel itu dibuat sebagaimana fungsi pada umumnya. Ditujukan untuk memudahkan tim dalam berkomunikasi satu sama lain selama menjalani ujian misi dan dapat digunakan selama dua belas jam penuh. Setelahnya, daya diisi kembali selama dua jam. Sementara cicin berukuran satu buku jari tengah yang—menurutnya memang membutuhkan adaptasi agar terasa nyaman karena ukurannya yang tak lazim, memiliki dua fungsi. Pertama, bila ditekan mata cincin, maka dapat merekam gambar dengan mata kamera yang terpasang di dalam mata cincin. Selain itu, dalam setiap cincin dipasang cip yang berguna mendeteksi posisi masing-masing dirancang berbeda warna. Balin menyalakan tablet miliknya. Lalu, ditunjukkannya titik-titik berkumpul berbeda warna pada layar tablet.
“Tak kusangka kau hebat dalam hal seperti ini, Kapten!” Puji Anan.
Balin menyungging senyum, lalu mengangkat cincin yang dipegangnya. “Tapi harus kukatakan bahwa cincin ini hanya akan terdeteksi pada radius tertentu. Akan kukirim aplikasi pendeteksinya dan pasanglah di ponsel kalian.”
“Siap, Kapten!” Jawab mereka serempak dan puas. Kecuali Gavin yang sedari tadi enggan bersuara.
Pesona teknologi ciptaan Balin kemudian dipecahkan oleh kedatangan Guru Bi bersama dua prajurit laki-laki yang bila dilihat dari seragamnya, ia seorang prajurit khusus kelas Beta—satu tingkat di bawah Kelas Alfa sebelum dapat dicalonkan menjadi anggota Pasukan 13 Kesatria. Sama seperti Balin, Guru Bi dan dua prajurit laki-laki datang dengan koper di kedua tangannya. Koper-koper itu berjajar patuh di samping kiri Guru Bi.
Tanpa aba-aba, Tim Singa Gunung membentuk formasi barisan siap berbanjar.
“Kapten, ambillah!” Guru Bi menyodorkan sebuah amplop.
Balin mengambilnya dengan sigap. Lalu, kembali lagi ke barisan.
“Di dalam amplop itu berisi lengkap tugas dan peta wilayah tempat misi kalian. Dan bersama di dalamnya, kartu lisensi perjalanan khusus SPeN. Kalian boleh membukanya setelah pertemuan ini. Cara dan tindakan menjalankan dan menyelesaikan misi sepenuhnya tanggung jawab Tim Singa Gunung.” Tangan Guru Bi beralih menunjuk pada enam di samping kirinya lengkap dengan nama masing-masing anggota Tim Singa Gunung di pegangan koper. “Koper-koper yang kalian lihat ini berisi seragam dan senjata yang akan kalian gunakan. Perlu digarisbawahi, senjata-senjata ini telah dirancang khusus dan didaftarkan atas nama kalian. Jadi, gunakanlah dengan bijaksana.” Lalu, Guru Bi berbisik pada prajurit laki-laki di belakang kanannya. Setelah memberi salam hormat, dua prajurit laki-laki berjalan keluar ruangan.
Dua prajurit laki-laki yang hilang di balik pintu, digantikan kemudian oleh seseorang lain yang melangkah masuk dengan tenang. Seseorang yang pernah Gavin, Balin, dan Qiyo temui saat pertama kali menginjakkan kaki di markas besar Dipaskus. Ia-lah anggota Pasukan Bayangan. Lagi, ketiganya, beserta anggota Tim Singa Gunung lainnya yang baru melihatnya, ikut terkesima. Melihatnya dari dekat—tak lebih dari tiga meter memang memberi sensasi tegang berbeda.
Semua yang dikenakannya hampir serba hitam. Kecuali, topengnya yang biru tua, dengan tudung yang menyempurnakan persembunyian wajahnya. Bersama dirinya aura sunyi menusuk dicelah-celah ketegangan. Menghentikan langkahnya di samping kanan belakang Guru Bi. Berhadapan langsung dengan Qiyo.
“Dia adalah anggota Pasukan Bayangan.” Demikian Guru Bi mengenalkannya. “Dia akan ikut serta dalam misi. Di dalam kopermu, Kapten, disediakan sebuah alat khusus untuk digunakan berkomunikasi dengannya.”
Keterlibatannya membuat permulaan misi ini terdengar spesial. Tapi tak cukup waktu untuk menyibak misteri kehadirannya dalam misi yang tinggal seminggu lagi. Tapi, penting—mungkin, untuk kau tahu siapa orang di dekatmu disaat ia membuntuti ke manapun kau berjalan dan tidur selama seminggu dalam ujian. Paling tidak, nama.
“Bagaimana kami harus memanggilnya?” Tanya Balin.
Guru Bi memandang pada semua anak bimbingannya. “Tak seperti 13 Kesatria, Pasukan Bayangan hanya dikenal melalui kode nama. Dan yang bersama kita di ruangan ini adalah Agen Nila.” Guru Bi menoleh pada Agen Nila. “Agen Nila,” Guru Bi mengarahkan lima jari kirinya pada Balin yang berdiri paling kiri dari arah Guru Bi dan Agen Nila. “Balin sebagai kapten, Anan sebagai wakil kapten, Gavin, Irina, Qiyo, dan terakhir...” Guru Bi menoleh lagi pada Agen Nila.
Saat itu, Agen Nila membuat sebuah gerakan. Semua mata Tim Singa Gunung tertuju pada kedua tangan Agen Nila yang keluar dari balik mantel hitam bersama sebuah jeruk berwarna kuning tua di genggamannya. Dua buah jeruk itu, kemudian dilambungkan tinggi ke atas. Perhatian mereka pun seketika tersergap mengikuti arah jeruk melambung yang membentuk jalur kurva.
Saat si buah mendarat tepat di tangan Balin dan Brina yang spontan menangkupkan kedua telapak tangan, Agen Nila telah berdiri di belakang Brina bersama sebuah pisau yang menghunjam tertahan di leher Brina.
Butuh beberapa detik menyadari Brina yang membeku kemudian. Memukau dalam ketakutan. Tak satu pun dari Tim Singa Gunung menyadari perpindahan gerakan Agen Nila. Bahkan, saat itu, Guru Bi pun meski satu-satunya yang menyadarinya, masih tersihir olehnya. Kegesitan dan kelenturan gerakannya sungguh menakjubkan sekaligus karya yang menakutkan.
Agen Nila menyudahi aksinya, ketika Qiyo, orang paling pertama mendapati wajah ngeri Brina menyeringai padanya.
“Ba-ba-bagaimana ka-kau melaku-kannya?” Ucap Brina terbata-bata. Masih syok. Namun, rasa penasarannya menggugah keberanian mulutnya untuk bertanya.
“Saat kau—kalian, mengarahkan pandangan pada jeruk yang kulempar, itu memberikan cukup waktu untukku menarik pisau dari sarung sepatu nona Qiyo dan mengarahkannya ke lehermu.” Jawabnya dalam suara robot. Menambah deretan anonim yang melekat pada dirinya. Ia mengembalikan pisau kecil di tangannya kepada Qiyo. “Milikmu!” Katanya pada Qiyo.
Qiyo menjulurkan kaki kirinya ke depan dengan hati-hati. Dan benarlah, sarung pisaunya kosong. Agen Nila telah mengusik ketenangan emosi Qiyo. “Sikapmu tidak sopan kepada kami. Apa kau sedang menebarkan intimidasi kepada kami?”
Agen Nila tak menjawab dan kembali pada tempatnya semula.
“Agen Nila!” Panggil Balin. “Adakah yang ingin kau sampaikan pada kami atas tindakanmu itu?”
“Aku hanya merespon raut wajah yang kalian tunjukkan padaku. Aku ada bukan untuk ditakuti, Nona Brina. Kau akan menjadi ksatria. Guru Bi, bolehkah aku aku permisi kembali ke ruanganku?”
“Silakan!”
Lalu, hilanglah Agen Nila di balik pintu.
Guru Bi berdehem. “Hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Gunakan dua hari tersisa untuk menyusun rencana strategi misi dengan baik. Hilangkan arogansi dan bersikaplah sebagai tim. Proses yang kalian jalani dalam misi akan memberikan pelajaran berharga. Seperti yang biasa Komandan Galen dengungkan pada anggota Dipaskus, laksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pantang menyerah.”
“Siap!”
Di wajah Qiyo, kentara raut bingung dan tersinggungnya yang mendominasi. “Guru Bi, bisakah aku mengajukan pertanyaan?”
“Tentang Agen Nila?”
“Ya. Kami sama sekali tidak pernah diberitahu sebelumnya mengenai keterlibatan pasukan elit Dipaskus dalam misi ini.”
“Demikianlah kami disebut Dipaskus, Qiyo. Kami memilih cara yang tidak biasa.” Guru Bi tersenyum. “Ah ya, Ketua, Komandan Besar ingin bertemu denganmu.”
***
“Apa kau sedang bertingkah menjadi anak manja sekarang? Berlagak membawaku sebagai penjaga.”
“Sejak tujuh tahun usiaku, aku sudah terbiasa mandiri. Ini semata-mata agar rivalku mengakui usaha dan kemampuanku. Kerena itulah, aku memintamu pergi menemaniku.”
“Rival?” Gavin tertawa rendah. “Kau serius?”
“Tentu! Kau juga telah mengatakannya waktu itu.”
Ini mengingatkan Gavin kembali. Adalah waktu disaat ia dan Balin sama-sama terdaftar sebagai peserta—bukan karena kemauannya. Ia hanya tak tahan melihat sikap kaku Bali yang selalu terlihat formal dan membosankan. Mengundang sifat jahil mulutnya yang kadang asal sebut itu, dengan menyebut Balin sebagai rival masa depannya. Ucapannya sama sekali tak menyimpan maksud serius.
Gavin geleng-geleng kepala seraya tertawa. “Kau tahu, sampai hari ini, kau masih tetap membosankan. Tapi, baiklah, kita lakukan seperti maumu. Sebaiknya, kau tak membuatku menyesal karena mengikuti kemauanmu, Rivalku!”
“Tentu. Kau boleh memegang janjiku.”
Keduanya melintasi lorong keakraban. Tempat para prajurit berbeda divisi saling bertemu dan menghabiskan jam istirahat bersama. Tersedia pula kafetaria.
Saat itulah Gavin benar-benar menyadari sesuatu. Hampir semua pandangan mata mengikuti langkah Gavin dan Balin. Beberapa tatapan memang kentara mengarah pada Balin. Tatapan itu menjelaskan sesuatu.
Gavin tak perlu memeras otaknya untuk menilai arti tatapan itu. Sebenarnya—dan sejujurnya Gavin tak selalu suka akan ketajaman sensitifitasnya pada emosi orang-orang di sekitarnya. Banyak tatapan-tatapan tak menyenangkan, meski sebagian lainnya menaruh hormat pada Balin.
Sejak awal tergabung dalam satu tim bersama Balin—bahkan, saat di kelas khusus, Gavin cukup menyadarinya. Hanya saja, ia memilih untuk tak merepotkan diri pada rasa yang tak perlu. Tapi, entah kenapa, detik ini agak sedikit menyentuh perhatiannya. Mungkinkah karena tatapan-tatapan itu bercerita padanya bahwa ini hampir mirip seperti yang diterimanya di sekolah? Bahwa tak semua mengakui Balin berada di SPeN karena alasan yang dibuat seenaknya sendiri.
Hanya saja, yang membuat keduanya berbeda adalah keteguhan masing-masing dalam menjelaskan keberadaan dirinya pada orang lain. Itulah yang membuat Gavin sangat yakin, keberadaan Balin di SPeN bukan semata-mata dilahirkan dengan nama Balin Egart. Kegigihan dan keuletan Balinlah yang telah membawanya dan memantaskan dirinya berada di SPeN. Dan sungguh, untuk alasan lain, ia pun tak cukup bodoh untuk tak menyadari andil Balin yang membuat namanya tak terhapus dari daftar kelas khusus. Ini pertama kalinya, meski tak dikatakan, bertunaslah simpati dalam dirinya untuk Balin.
Keduanya sudah berada di lift. Balin terlihat tegang, seperti sedang diuji. Bahkan, Gavin tahu, saat ujian Balin selalu terlihat tenang. Gavin sesekali melirik, mengikuti tingkah Balin yang nampak meregangkan anggota tubuh. Dan akhirnya, pintu lift terbuka.
Pintu kayu berukir berdaun dua telah menunggu di depan keduanya. Besar dan tertutup rapat. Tak sembarang orang dapat melewatinya, bahkan sekadar menyentuh. Uniknya, pintu yang nampaknya tradisional, dijalankan secara otomatis ketika tamu berdiri di depan pintu. Balin masuk lebih dulu, baru diikuti Gavin kemudian. Keduanya memberi salam hormat. Tetap berdiri di depan meja Komandan Besar dengan sikap istirahat prajurit.
Jujur saja, Gavin merasa tak diperlukan di sini. Apalagi jelas-jelas Komandan Besar hanya meminta bertemu Balin saja. Syukurlah tatapan Komandan Besar tak menambah rasa tak nyamannya. Malah kesan “tak masalah bila kau di sini” sampai ke benaknya.
“Aku tak perlu menjelaskan keberhasilan abangmu di usianya yang masih muda. Dia melakukannya dengan sangat baik. Terutama, dia sangat mendengarkanku.” Ujar Komandan Besar, Aga Egart, tanpa basa-basi. “Kau tak ingin mengubah keputusanmu, Balin? Diptek sangat mengharapkanmu. Kesempatanmu masih sangat terbuka. Dan menurutku, kemampuanmu akan sangat berguna di sana. Jika kau peduli pada masa depanmu, maka tak mudah untuk menentukan kepindahanmu sekarang.”
Ada jeda yang nampaknya mengganggu Balin setelah mendengar ucapan Komandan Besar. “Teguh pada pilihan. Itulah yang Anda ajarkan. Seperti yang pernah Anda katakan pula, kekuatan laki-laki terlihat dari pilihan-pilihan hidup yang dibuatnya. Karena itulah, saya tak akan menjalaninya setengah-setengah.”
“Apakah kau masih menganggap pilihan yang kau buat semakin dekat pada kebenaran yang kau cari?”
“Saat ini saya masih sangat meyakininya. Dan bila suatu hari nanti gagal, saya tak akan mengeluhkannya kepada Anda.”
“Sayang sekali. Padahal, komandan Diptek menunggumu. Baiklah, kembali ke tempatmu. Semoga tak gagal dalam ujian misimu.”
Keduanya pun keluar ruangan. Tepat pintu besar berukir tertutup, Balin menghembuskan nafas panjang. “Ya. Seperti inilah seharusnya.” Katanya meyakinkan dirinya sendiri.
“Tawaran Kakekmu sepertinya tak akan membuatmu melewati ujian sulit.”
“Aku tak memandangnya demikian. Ini caraku membuktikan aku di sini bukan karena Kakek. Dan ini cara yang kupilih mengatasi keresahanku tentang anggapan negatif sebagian orang kepadaku.”
“He~ee... ternyata kau pun bisa merasa resah juga.” Sindir Gavin saat keduanya melangkahkan kaki dalam lift.
“Itu manusiawi.” Jawab Balin bersamaan bunyi pintu lift tertutup.
@_@
ns 15.158.61.8da2