“Hei!” Panggil seorang gadis. Nafasnya terengah-engah. Tangannya memegangi dada, “turunlah!” dari engahan nafasnya, pastilah ia begitu tergesa-gesa berlari dari lantai bawah menuju lantai atap paling atas ini bersama denyut khawatir di setiap pijakan anak tangga. Lihatlah, bola matanya membesar dan hampir seluruh tubuhnya bergetar melihat gadis di depannya, berdiri di atas sebuah pagar beton pembatas setinggi dada—membelakanginya, tengah menengadah dan membentangkan kedua tangannya seakan menantang mentari, pun angin yang mendesir cukup kencang ikut menggoyangkan tubuhnya.
Melihatnya masih bergeming di atas pagar pembatas, gadis bertubuh mungil yang dipenuhi kekhawatiran itu perlahan mendekati. Dalam kepalanya terlanjur berputar-putar pikiran buruk. Ia tak ingin hal itu terjadi di depan matanya ketika banyak hal belum tersampaikan dan tak semestinya terjadi. Kali ini, meski sekali ini saja, ia tak boleh berputus asa. Harus berani. Mencoba bernegosiasi dengan tulus.
“Kumohon, turunlah!” Ia mencoba menemukan posisi yang tepat melihat wajah gadis itu. “Haiwi, kamu mendengarku? Turunlah!” Katanya lagi sedikit meninggikan suaranya.
“Dopamin dan serotoninku bekerja sama dengan baik akhir-akhir ini.” Kata gadis di pagar pembatas dengan tenangnya. Setenang rambut hitam lurus panjang berkucir dua, mengurai mengikuti keramahan semilir angin sore ini. “Aku tak akan menjatuhkan diriku ke bawah sana hanya karena mereka, bila itu yang kau pikirkan saat ini, Airin Anro.” Katanya masih menengadah. “Aku hanya sedang menyapa langit biru dan memberikan kehidupan pada otakku. Jadi, berhentilah khawatir!”
“Aku akan berhenti khawatir hanya bila kau turun dari pagar.”
Haiwi, si gadis di atas pagar pembatas, memutar tubuh ke samping kanannya—masih membentangkan kedua tangan, berjalan tujuh langkah di atas pagar pembatas selebar telapak kaki dengan mudahnya, lalu berhenti. Tubuhnya kembali membelakangi Airin, kemudian membengkokkan lutut, menjingkat dengan cepat—menolakkan kedua kaki dari pagar sembari melemparkan kedua tangan ke belakang dengan lincahnya, membuat tubuhnya membusur—melentur di udara, dan mendarat di lantai semen cokelat kehitaman—berlumut, dengan kedua tangan. Berhenti sesaat, lantas melompat, dan berdiri tegak kembali. Bertemulah wajah keduanya.
Ini seperti mendapat tontonan sirkus secara tiba-tiba. Sebuah pertunjukan Flik Flak di udara. Elegan dan gemulai. Berlangsung tak lebih dua puluh detik. Sempat membuat darah Airin berdesir cemas—masih. Tubuhnya lemas. Seketika tergeletak duduk di lantai.
Sekolah yang sepi, berdiri di atas pagar pembatas, dan seorang diri. Tentu saja mengundang siapapun untuk berpikiran sama. Menurut pengalaman Airin, adalah waktu yang tepat jika seseorang ingin mewujudkan niat tak terpuji itu. “Apapun alasanmu, yang kamu lakukan itu sangat berbahaya. Kamu membuatku takut.” Kenyataan alasan Haiwi berdiri di atas pagar, dirasanya konyol. “Jangan ulangi lagi! Bagaimanapun alasannya, tidak semua orang akan berpikiran sama denganmu.” Wajahnya berubah tegas melihat Haiwi tak menjawab keseriusannya. “Aku bersungguh-sungguh!” wajah tegasnya berangsur kendur saat wajah datar di depannya sama sekali tak mereaksi, lantas tertawa rendah—untuk dirinya sendiri. “Ah, tidak. Mungkin saja, aku merasa lega. Seharusnya, aku tak menyamakanmu denganku. Kamu lebih baik dan tegar, itu sudah pasti, bukan? Hanya saja…” Airin terdiam.
Disela waktu menunggu Airin melanjutkan ceritanya, Haiwi memungut tas ranselnya di lantai, tak jauh dari tempatnya berdiri. Mengeluarkan dua buah pisang dari dalam tas dan memberikan sebuah pada Airin.
Airin menerimanya sedikit canggung. Mengupas kulit pisang perlahan dan berhenti pada kupasan ketiga. “Aku melihatnya. Sore itu, seminggu lalu, sehari sebelum kita libur kenaikan kelas, aku melihatmu basah kuyup,” Airin menggeleng-gelengkan kepala, “tidak, aku bahkan menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Kamu—kamu…” Airin tak sanggup menggambarkan kejadian yang disaksikannya sore itu karena sama saja membuka luka lamanya kembali. Tapi, tentu saja ia mengingatnya sangat jelas.
Seminggu lalu, di dalam sebuah toilet, Airin yang belum sempat masuk ke dalam bilik toilet, langsung berhenti dari balik dinding pembatas toilet dalam perempuan. Mematung di lorong toilet yang di depannya ada sebuah cermin besar. Cermin besar itu mempertontonkan sebuah adegan lengkap yang pernah dialaminya—dan masih menyisakan trauma hingga hari ini. Seorang gadis dipenuhi amarah bersama dua gadis lainnya memegang kerah Haiwi, mendorongnya ke sudut dinding dengan berangas. Seolah pipi Haiwi bantalan tinju, entah berapa kali gadis yang tampaknya pemimpin itu mendaratkan tamparan di pipi kanan dan kiri Haiwi dengan umpatan-umpatan kasar. Tak hanya itu, rambut hitam panjang berkucir Haiwi pun dijambak dengan kasar. Tak cukup puas dan tanpa pikir panjang, gadis itu menarik dan mendorong Haiwi hingga tersungkur ke lantai. Lantas mengangkat ember berisikan air berwarna coklat di dekat kakinya dan menyiramkannya ke tubuh Haiwi. Benar-benar hilang kontrol emosinya. Untung dua temannya tak ikut lepas kendali, dan dapat menahan amarah si gadis dengan menariknya keluar dari toilet.
“Ya, aku melihatmu Haiwi. Aku melihat semuanya. Tapi, aku tidak berbuat apa-apa. Parahnya lagi, aku memilih bersembunyi tepat setelah mereka meninggalkanmu, dan hanya menonton saja saat Harum berlari, datang menolongmu.” Airin tampak menyesali kepengecutannya saat itu. Ia memilih berlari dan bersembunyi sembarangan ke dalam kelas yang pintunya terbuka dan hanya mendengar Harum berlari sembari memanggil-manggil Haiwi.
“Aku bisa mengerti mengapa Femi dan yang lainnya membenci ayahku.” Lanjut Airin. Femi adalah dalang yang mengganggu Haiwi dan dirinya. “Tapi, aku bukan ayah. Bahkan, kamu sama sekali tak terlibat. Berulang kali melakukan hal buruk itu padaku dan kamu, seolah kita ini… kita…” Airin menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian menatap Haiwi yang duduk bertimpuh di depannya dengan sebuah pertanyaan. “Apakah kau tak ingin ini berakhir?”
Haiwi telah menghabiskan buah pisangnya. Menyisakan kulit pisang yang dipilin-pilinnya di udara dengan jari telunjuk dan jempolnya. “Di dunia—di kota damai ini, kenapa masih saja ada manusia yang ingin menyakiti manusia lain. Yang kuat menindas yang lemah. Teman atau bukan teman. Kadang kau menemukan menjadi berbeda di mata orang lain seperti baik-baik saja bila dikucilkan. Apa sebenarnya makhluk berakal budi itu?” Sejenak Haiwi menghentikan kalimatnya, menarik nafas. “Baik dulu maupun sekarang, aku sulit memahaminya dengan benar.” Ia berbicara lebih kepada dirinya. “Tapi, ayah dan ibu, menunjukkanku cara hidup makhluk berakal budi. Bahwa tidak salah berbuat baik pada teman ataupun bukan.”
Airin mencoba memahami kalimat Haiwi yang bak filsuf. Cukup membuat logikanya berputar untuk memahami setiap katanya. Alih-laih, Airin mendongakkan kepala. “Kamu tahu, ada saat aku menyerah dan ingin bunuh diri. Memiliki ayah seorang pembunuh. Otakku mulai berpikir, wajar saja jika orang-orang membenciku dan ibuku. Siapa pula yang mau berteman dengan keluarga pembunuh?” Ya, Empat tahun lalu, media-media daring dan luring, grup kelas yang disukainya, laman-laman web yang digemarinya, mengabarkan kengerian beruntun yang terjadi saat itu—semuanya. Ayah Airin menjadi bagian penting dari kengerian itu dan kini telah menjadi rahasia umum di kota ini. “Tapi, diwaktu lain, aku merasa diperlakukan tidak adil. Ayahku, bahkan telah direnggut nyawanya secara biadab, tapi kenapa aku dan ibuku masih dibenci? Entah itu karma atau aku yang tak memiliki keberanian.” Airin menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, mengalihkan pandangannya pada bibir terkatup Haiwi. Menyadari akan kesunyian yang dibuat oleh cerita pilunya. “Maaf, malah membawakan cerita tak menyenangkan untukmu.” Katanya tak nyaman.
Wajah datar di depannya ini pun mengingatkannya akan sesuatu. “Kamu tahu, alasan kamu menggantikanku, ya—kamu tahu maksudku. Sejujurnya, masih tidak kumengerti hingga saat ini. Kamu satu-satunya gadis yang mengatakan hal tidak masuk akal itu.” Kenang Airin pada ucapan Haiwi enam bulan lalu. “Jujur saja, saat kamu datang ke rumahku, lalu mengatakannya di depan pintu rumahku, ‘aku akan menggantikan tempatmu’—dengan nada santai dan wajah datar—dingin, itu kuanggap seperti cara lain darimu untuk menghinaku. Ingin rasanya kulampiaskan semua kemarahanku.”
“Seingatku, kau memang menampar dan memakiku.” Jawab Haiwi.
Airin tertawa. Lantas, menatap dalam mata Haiwi yang berkacamata. Memegang bahu Haiwi cukup erat. “Harusnya sudah kukatakan sejak beberapa bulan lalu. Terima kasih telah menjadi teman yang bersedia menyapa disaat yang lain memilih menghindariku.”
Sekilas Haiwi terlihat menyunggingkan senyum. Mungkin itu bentuk jawabannya atas pernyataan Airin barusan. Ia bangun dari duduknya dan berjalan ke pagar pembatas. “Kudengar kau akan pindah.”
“Dari mana kamu tahu?” Airin cukup terkejut. Soal kepindahannya, tak banyak yang tahu. Tak pernah pula disinggungnya di kelas, dan hanya beberapa sanak saudara ibu yang masih peduli padanya yang mengetahui hal ini.
“Aku mendengarnya.”
“Kamu menguping?”
“Tidak. Tapi—ya, aku memiliki kuping yang tajam.”
Pastilah Haiwi mendengar percakapannya bersama kepala sekolah di ruang guru sesaat sebelum ia pergi ke atap sekolah. Begitulah duga Airin. Kemudian, menyusul Haiwi, merapat ke pagar pembatas. Di saat itulah dua bola mata sendunya memotret sketsa bangunan-bangunan berpetak berlantai tiga di depan, samping kiri, dan kanan dengan jelas. Satu diantara ruangan di tengah-tengah gedung lantai satu di depannya—ruang tempat belajar, kau sebut kelas, setahun ini telah menjadi tempatnya bernaung menghabiskan separuh harinya dalam kotak persegi. Berharap mendapatkan ilmu dan teman. Sayangnya, belum sesuai imajinasi yang menyarang di bagian kanan otaknya.
“Ya. Aku akan pindah. Menyedihkan, bukan? Aku baru berani mengajakmu bicara seperti ini. Haiwi, menurutmu, keputusanku ini jalan seorang pengecut yang melarikan diri? ”
“Kurasa, ini cukup sebagai salam perpisahan.”
Airin tertawa rendah. Haiwi tampaknya tak suka menghakimi keputusan seseorang. Lagipula, ada hal lainnya yang membuatnya penasaran. “Kenapa di hari libur seperti ini kamu ke sekolah? Tak mungkin hanya karena alasan konyolmu tadi, kan?”
“Hmm… anggaplah aku menemui orang-orang penting di sini.”
Bersamaan jawaban Haiwi, Airin dikejutkan oleh panggilan masuk ibunya yang sudah menunggu di halaman parkir. Berat hati melepas kebersamaan yang terjalin singkat ini. Dipeluknya Haiwi seolah pertemanan mereka sudah berlangsung lama. Juga menjadi yang pertama untuk Haiwi mendapatkan pelukan seorang teman di sekolahnya.
“Ternyata kamu bukan teman bicara yang buruk.” Tatapan Airin kembali sedih. Khawatir akan hari-hari sekolah Haiwi. Tidakkah Haiwi yang ia tatap saat ini sedang menutupi perasaan sebenarnya hanya untuk menenangkan dirinya? Tidakkah…
Haiwi menepuk bahu gadis yang menurutnya berhati lembut. “Aku tidak seperti yang terlihat, Airin. Masa mudaku tidak berakhir di pagar pembatas ini. Satu-satunya kekhawatiranku hanyalah bagaimana aku bisa mendapatkan kehidupan otakku yang tenang setelah besok pagar pembatas ini akan dibangun lebih tinggi dengan jaring-jaring kawat.”
Airin tertawa—lebih lepas. Lagi-lagi Haiwi dapat menebak isi kepalanya. “Jaga dirimu baik-baik, Haiwi! Kuharap kita dapat berjumpa lagi! Jangan lupa pakai sepatumu!” katanya sembari menunjuk sepasang sepatu tergeletak asal-asalan di dekat pintu penghubung. “Selamat menikmati sisa hari libur!” Bayangan Airin dan lambaian tangannya kemudian hilang di balik pintu.
“Kau akan menulisnya juga, Diari?” kata Haiwi sembari mendongak.
Kemudian, melayanglah pandangan Haiwi pada langit luas di atas sana. Hari ini terjadi mungkin karena sebenarnya baik dirinya maupun Airin telah dihubungkan sejak lama. Pun belum lupa, ia bukan satu-satunya tokoh utama yang boleh egois menggerakkan cerita sesuai keinginannya. Tapi, diam-diam, benaknya membisikkan harapan. Meski sebentar—hanya berhitung detik, izinkan ia menggores cerita hidup layaknya gadis seusianya di kota ini.
Dan Sebelum langkahnya benar-benar meninggalkan gerbang sekolah, satpam sekolah memberitahunya bahwa kalung yang ditemukannya di toilet seminggu lalu telah kembali pada pemiliknya.
Syukurlah. Hati Haiwi sungguh senang mendengarnya. Satu lagi kejutan untuknya di kota ini.
***
Haiwi tidak langsung pulang. Dengan menggunakan sebuah bus hibrida, Haiwi menembus terowongan bawah tanah dan berhenti di sebuah stasiun untuk melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan jalur kereta bawah tanah.
Ini pertama kalinya Haiwi menggunakan kereta bawah tanah seorang diri di kota ini. Canggung-canggung ia membaca peta jalur kereta yang dibedakan atas warna. Telunjuknya menyusuri nama tempat yang akan dituju. Berakhir dengan anggukan kepala dan telunjuk yang mengikuti alur garis hijau jalur kereta, sekaligus mengingat nama, serta kode kereta yang akan membawanya ke tempat tujuan. Dengan anggukan terakhir penuh kemantapan, ia ikut berbaris, berdiri rapi bersama calon penumpang lainnya di belakang garis tunggu pada peron yang terbentang panjang.
Saat kereta tiba dan berhenti sempurna, beberapa penumpang keluar dari dalam gerbong dengan terburu-buru. Orang bertubuh besar dan tinggi tak sengaja menyenggol bahu Haiwi cukup keras, hampir saja terjatuh, dan tak ada yang benar-benar memperhatikan kejadian itu karena disibukkan urusan masing-masing. Saat itulah matanya yang tertoleh ke kanan beradu dengan sebuah benda di lantai peron. Baru saja terjatuh dari pergelangan tangan seseorang yang tak sengaja bersinggungan bahu—sama seperti dirinya, dengan seorang wanita paruh baya bertas selempang bertali rantai, dan sama-sama baru keluar gerbong, satu pintu darinya.
Bergantian, kedua mata Haiwi melihat gelang dan gerbong di depannya. Seharusnya, ia segera masuk ke dalam gerbong yang pintunya sebentar lagi tertutup. Namun, nuraninya tergugah pada benda yang tergeletak terpisah dari tuannya.
Untunglah, matanya sempat melihat si pemilik benda. Ia segera memungut dan mempercepat langkah kaki. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuatnya harus berjingkat ke atas, kiri, atau kanan dalam keramaian penumpang kereta yang berjalan ke arah luar jalur kereta bawah tanah ini agar tak kehilangan jejak si pemilik.
Tak menyangka perjuangannya mengejar si pemilik cukup melelahkan. Sekitar dua puluh meter di depannya, pintu masuk subway di permukaan tanah—di tangga paling atas, si pemilik itu berbelok ke kiri. Haiwi memaksa tubuhnya untuk menerobos celah-celah pejalan kaki, memiringkan badan, berjalan zig-zag, dan pertama kali baginya mengambil jalur kiri yang diperuntukkan kepada mereka yang terburu-buru. Ia pun berhasil muncul ke permukaan. Berganti pemandangannya pada keramaian bulevar dengan deretan pohon di kiri kanannya, gedung-gedung tinggi megah yang saking tingginya seolah leher bisa memanjang bagai jerapah karena tertarik-tarik melihat ujungnya yang seperti ingin menggapai langit, dan hiruk pikuk kehidupan kota bersama bunyi klakson dan aliran pejalan kaki seperti sedang berlomba-lomba menyeberang dari satu perempatan ke perempatan berikutnya. Tapi, tak banyak waktu untuk merenungi ini.
Nyaris, tapi matanya tak cukup terlambat melihat si pemilik yang berjalan di arah kirinya, menghilang di sebuah jalan kecil di sisi kiri pula—di antara jajaran gedung-gedung setinggi tak lebih lima lantai, bernuansa tua yang didominasi gaya vintage, namun beberapa menonjolkan kesan retro—agak kontras dengan gedung-gedung di seberangnya yang menjulang sangat tinggi bergaya modern dan futuristik. Ya, tampaknya sengaja melengkapi kemegahan kota modern tanpa menepikan kesan tua.
Tiba di jalan kecil, jalan yang ditelusuri si pemilik, cukup remang, dan hanya cukup satu jalur mobil saja, si pemilik itu baru saja masuk ke sebuah pintu gedung tiga lantai.
Haiwi berhenti sejenak di depan gedung itu. Dari depan pintu berkaca bening, ia dapat langsung melihat tangga utama menyambut tak jauh dari pintu masuk di lantai lobi utama. Di sanalah si pemilik berada. Menaiki anak tangga sembari melambai pada seorang pegawai wanita di meja resepsionis di samping kanannya. Dan ya, tak banyak waktu untuk mengenali gedung selain warnanya didominasi coklat pudar di luarnya—Haiwi menerobos masuk—berlari pelan, langsung saja kakinya ikut menaiki tangga tanpa mengindahkan panggilan setengah teriak wanita dari meja resepsionis, dan menyadari segera warna ruangan yang didominasi merah hati—hampir senada dengan parka yang dikenakannya. Telinganya pun telah menyesuaikan diri. Bahwa dirinya sekarang tengah berada di sebuah tempat karaoke.
Haiwi menarik nafas cukup dalam. “Hei! Tunggu!”
Menoleh pada Haiwi, tangan si pemilik—seorang pemuda, spontan berhenti meraih gagang pintu. Lalu, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Memastikan yang dipanggil gadis berparka merah hati ber-hoody yang berjalan ke arahnya, Haiwi, adalah dirinya. Dan ya, hanya ia seorang di lorong ruang-ruang berpintu rapat di kanan-kiri, dan berlampu remang ini. Si Pemilik yang mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan putih—dibiarkan terbuka, dan memperlihatkan kaos oblong putih bergambar kota tua, tinggi dan gagah, serta rambutnya yang seperti dibiarkan acak-acakkan—malah menjadi selaras dengan rambut bergelombangnya, kemudian menatapnya tanpa antusias seperti langkah cepatnya di anak tangga.
Haiwi menghentikan kakinya lima jengkal dari si pemuda. Baru saja tangannya ingin menunjukkan benda yang dipungutnya, pintu di di depan si pemilik itu terbuka. Sontak si pemilik melangkah ke belakang, menjauhi pintu. Seorang pemuda—usia sebaya, muncul dari balik pintu.
“Hai, kau! Sudah selesai urusanmu de...” Ucapan pemuda yang baru muncul dari balik pintu itu berhenti seketika saat melihat Haiwi. Alih-alih tertawa. “Pacar barumu?” Ia mengamati Haiwi dari kepala hingga kaki. “Aha! berkacamata dan lugu.” Ia menggeleng-geleng bercanda.” Nakal Kau, Bung. Bosan, kah? Beralih selera? Ingin mencoba sesuatu yang baru, ha?” Katanya bernada meledek pada si pemilik.
“Kau melihat keserasian kami?” Jawab si pemilik tak suka. “Aku baru melihatnya hari ini.”
“Ah! Aku mengerti. Seperti penggemarmu yang sudah-sudah.” Kata pemuda berambut ke atas itu mengangguk-angguk. “Sebaiknya kau tak menyia-nyiakan ketampananmu, Gavin. Masih banyak antrian gadis cantik dan bisa kau pilih sesuka hati.” Ujarnya sembari menepuk bahu Gavin, si pemilik benda di tangan Haiwi. “Ah ya, Femi sedang pergi keluar, mungkin sebentar lagi kembali dan bersiaplah dengan omelannya karena terlalu lama menunggumu.” Masih dengan wajah meremehkan Haiwi, pemuda itu menghilang di sebuah pintu kamar kecil di ujung lorong.
Haiwi diam saja sedari tadi. Hampir tanpa emosi meski disinggung tak sopan soal penampilannya. Segera setelah mata Gavin menatapnya kembali, seraya mendongakkan kepala pada Gavin, Haiwi mengarahkan benda di tangannya di antara jari telunjuk dan ibu jarinya, membuat benda berbentuk gelang itu menjuntai tepat di depan mata Gavin.
“Tuan tampan, gadis berkacamata dan lugu ini hanya ingin mengembalikan gelang yang terjatuh darimu.”
Gavin menyambar cepat gelang itu dari tangan Haiwi. Tak lagi memikirkan etika pada seorang yang berbaik hati mengembalikan barang pada si empunya. Namun, Haiwi tak nampak kecewa akan hal itu.
Tanpa berlama menunggu, Haiwi meninggalkan Gavin yang masih terpaku pada gelangnya begitu saja. Sebelum menuruni anak tangga, Haiwi sempat menoleh ke belakang dan melihat seorang laki-laki pelayan karaoke tak sengaja menabrak dan menumpahkan segelas air ke lengan Gavin. Mendengar selintas percakapan mereka.
Setibanya di luar gedung karaoke, terngiang kembali di benak Haiwi ekspresi terpaku Gavin ketika gelang itu kembali padanya. Gelang yang nampaknya tak menjadi daftar kepedulian setiap orang saat tergeletak di lantai dan mungkin bermakna “hanya” bagi kebanyakan orang, pastilah sesuatu berharga bagi Gavin. Seperti kata seorang nenek tua yang dikenalnya di kota ini pernah berkata padanya, “setiap orang memiliki sesuatu berharganya masing-masing bukan karena besar dan kecilnya sesuatu itu, dan kadang tak mudah untuk kita mengerti”.
***
Sungguh, hari ini sesuatu yang tak diduga datang silih berganti. Mengayun-ayun indra perasaan Haiwi. Padahal, belum lewat lima belas menit dari saat ia meninggalkan gedung karaoke. Tak jauh lagi menginjakkan kakinya pada bangunan berpintu besar menjorok ke bawah menuju kereta bawah tanah, matanya telah lebih dulu teralihkan pada sesuatu yang lain. Mungkin tak akan menyapa perhatiannya bila tak saling mengenal.
Kali ini, disaksikannya cerita pilu tak utuh di bawah awan mendung di jalur pedestrian di seberangnya. Seorang gadis, hampir setengah tahun ini rajin menemuinya untuk sebuah alasan, berdiri mematung, menatap mobil yang dimasuki pria paruh baya yang baru saja menampar pipi kanannya. Tentu saja mengundang penasaran orang-orang yang ikut menyaksikan. Hanya saja si gadis terlanjur abai pada tatapan sejenis yang mengarah padanya. Pengalamannya telah menanamkan simpulan bahwa itu hanyalah tatapan egois nihil peduli. Jadilah ia masa bodoh dan terus saja memandangi mobil yang dikendarai si pria paruh baya tadi hingga hilang di sebuah tikungan perempatan gedung-gedung pencakar langit di depannya.
Tetesan lembut air yang menyentuh kulitnya pun hanya mampu menggerakkan kepalanya untuk mendongak. Tak menggugah kakinya melangkah ke tepian teras kedai-kedai di belakangnya untuk berteduh dari pasukan rintik yang mulai melaju pelan dari awan mengabu di langit. Emosinya sedang memahat kesal, kecewa, dan marah. Seolah terbiasa, pergolakan emosinya hanya meredam dalam rongga-rongga raganya. Alih-alih meluapkannya dalam ekspresi fisik yang senada, ia memilih tertawa. Barangkali menertawakan dirinya sendiri.
Haiwi sudah di belakang gadis itu saat rintik hujan merapat. Memayungkan payung kuning miliknya pada gadis itu tanpa diminta.
Si gadis yang menyadari tubuhnya dilindungi payung kuning oleh seseorang, membalikkan badannya perlahan. Seketika berubah raut wajahnya. Ekspresi emosi tertahan, serta merta membuncah. “Kau?!”
“Hai!” Haiwi mengangkat tangan kirinya, memberi salam. Sebenarnya Haiwi terlihat lucu dibalik jas mantel yang sewarna dengan payung dipadu kacamata bulatnya. Tapi, tak memberikan efek apa-apa di depan gadis yang sedang dipayunginya selain tatapan benci.
“Aku tak memerlukan belas kasihanmu!” Kata gadis itu sembari menepis kasar payung kuning milik Haiwi. Tubuh si gadis terguyur hujan lagi.
Tak ambil hati, Haiwi memayunginya kembali. “Kau salah paham, Femi. Aku tak sedang berbelas kasihan. Ibu memberikan payung ini padaku untuk melindungiku dari hujan. Aku hanya melakukan hal sama seperti yang ibu lakukan untukku.”
“Masa bodoh dengan alasanmu! Aku tidak membutuhkannya!” Femi menarik kerah mantel Haiwi dan mendorongnya.
Kali ini, tubuh Haiwi cukup siaga merespon, tak sampai terjatuh. Samar-samar, ia menyadari bulir hangat di tepian mata Femi ikut meramaikan hujan yang menetes deras. Bisikan intuisinya menerjemahkan bulir-bulir itu sebagai ungkapan kemarahan Femi yang bukan ditujukan padanya. Ia tahu, kata-kata dari mulutnya tak pernah didengar Femi dengan benar. Setidaknya hingga detik ini. Sengaja ia letakkan payung kuning di samping Femi tanpa berkata apapun. Mempercayakan payung kuning pemberian ibu pada Femi. Hanya berharap angin yang menemani hujan deras tak cukup kuat untuk menerbangkannya. Lalu, berjalan melewati Femi, menyeberang kembali ke tempat seharusnya ia berada. Jalur kereta bawah tanah. Menuju mereka, tempat kehangatan pertama yang dimilikinya.
***
Tiba di tempat tujuan. Saat-saat paling dinantinya tak lagi bisa diulang. Kontes adiknya kategori piano solo bebas usia 9-10 tahun yang seharusnya dihadiri olehnya telah berakhir. Dilihatnya ibu, adik, dan ayah sedang berdiri menanti kedatangannya di depan pintu masuk gedung musik berlantai enam. Tak terlihat lagi keramaian kontes. Hanya sisa tiga-empat keluarga kecil peserta kontes lainnya yang juga bersiap meninggalkan gedung.
Haiwi menghampiri keluarganya dalam langkah lambat-lambat bersama jas hujan kuning tersampir di tangannya. Ah, ia telah mengecewakan Lota, adiknya. Begitulah ia merenungi wajah lesu adiknya. Adik yang biasa menyambutnya ceria sama sekali tak melengkungkan bibir untuknya. Bahkan, kebiasaannya duduk bersama Haiwi di kursi tengah mobil, dielakkannya. Langsung membuka pintu depan mobil begitu ayah menyalakan mobil di lahan parkir. Diam seribu bahasa. Melipatkan tangan di depan dada dan menekukkan kepalanya. Posisi sempurna mengekspresikan kekecewaan. Kemudian terlelap hingga perjalanan mereka selanjutnya. Berlibur ke bukit Bintang.
Mengisi keheningan perjalanan, ibu bercerita tentang jalannya kontes. Kata ibu, Lota tak henti-hentinya menanyakan dirinya yang tak kunjung datang. Setelah tampil dipanggung, tak seperti biasanya selalu menyuarakan kelegaan, kegembiraan, dan menunggu-nunggu kata pujian, alih-alih Lota diam saja. Ia tak beraksi apa-apa, bahkan ketika namanya tak lolos pada sesi terakhir penentuan pemenang.
Lota benar-benar terpukul karenanya. Meski sebenarnya tak ingin menyalahkan kebaikan yang dilakukannya tadi, dan meski tak menjanjikan tepat waktu pada Lota, Haiwi menyesali keterlambatannya.
Kemudian, dengan antusias yang disuramkan oleh penyesalannya, Haiwi mengklik simbol “mainkan” pada ponsel ayah dengan pelantang telinga. Bersyukur ayah merekam saat-saat Lota memainkan piano dari kursi penonton melalui lensa kamera ponselnya. Jemari-jemari ramping Lota begitu anggun nan lincah di atas tuts-tuts piano. Meski tak lebih dari lima menit permainan piano Lota, seperti biasa, selalu membuatnya kagum dan terpesona. Dan ya, kendatipun Lota tak menjadi satu diantara kontestan penerima piala, baginya, Lota tetap pemenang. Denting piano dari jemari adiknya selalu berhasil menyihir indranya dan hanyut dalam kehangatan melodi yang diciptakannya.
Lantas, kesunyian itu, mengilhami Ayah yang sedari tadi diam untuk memutar radio. Mengalihkan frekuensi satu ke frekuensi lainnya. Suara tawa beralih cepat menjadi lagu, lalu beralih lagi pada keriuhan suara lainnya. Saat suara wanita dalam radio frekuensi 88,9 FM mengucapkan “sekilas berita”, tangan ayah spontan berhenti mengetuk tombol frekuensi radio.
“Beberapa saat lalu, sekitar pukul 17.04, kembali dikabarkan orang hilang di pulau Thoma. Hingga hari ini telah tercatat 205 warga hilang. Pihak berwajib di pulau Thoma masih mendalami motif tersebut. SPeN yang ikut andil kali ini pun belum dapat memberikan keterangan pasti perihal misteri ini. Namun, ada indikasi bahwa ini adalah tindakan kriminal yang terorganisasi. SPeN berjanji akan terus melakukan investigasi untuk segera menemukan dan menyelamatkan para warga Thoma yang hilang.”
“Kasus orang hilang lagi. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankan ini mirip seperti kejadian beberapa tahun lalu di pulau Pante?” Tanya ibu.
Sesaat ayah menoleh pada Haiwi yang sedang tenggelam memperhatikan video Lota berulang kali. Lalu, beralih pada ibu. “Sampai kita tahu pelaku dan penyebabnya, kita belum dapat memastikannya.”
@_@
ns 15.158.61.6da2