Ini adalah tempat kedua. Masih di sisi barat Kota Sin. Seperti dijanjikan Ruwi pada Lintar. Berbeda tempat, bernuansa sama. Kesunyian menyergap. Merayapi setiap sela pembaringan terakhir manusia di dunia. Menyempurnakan kekhusyukkan. Nisan-nisan tertata rapi di atas rumput hijau terawat dengan kepatuhan, menandakan ketiadaan. Kesepian yang tak satu pun makhluk bernyawa dapat menjelaskannya.
Ruwi meninggalkan Lintar di gerbang pemakaman, sama seperti saat di pemakaman pertama. Meski janjinya mengajak Lintar berkeliling, kehadiran Lintar hanya tak lebih kameo. Cukup memancing penasaran Lintar tentang siapa dibalik nisan-nisan itu.
Tepat lurus dari arah gerbang—sekitar lima puluh meter, Ruwi berdiri di depan tiga nisan saling berhimpit—milik sebuah keluarga barangkali. Sudah ada karangan bunga di atas tiga nisan itu sebelum kedatangannya. Karangan bunga masih segar dan mungkin baru saja ditinggalkan oleh si pengunjung. Ruwi meletakkan ketiga karangan bunga miliknya bersebelahan dengan karangan bunga sebelumnya. Lalu, tenggelam dalam pejam, dan membenamkan pikirannya pada cerita dan doa dalam bisu. Tak ingin angin mengendus dan menguak rahasianya tanpa seizinnya.
“Kenapa tiba-tiba mengunjungi pemakaman? Selama ini, Anda selalu memiliki alasan ketika diundang ke acara pemakaman.” Tanya Lintar ketika Ruwi telah berdiri di sampingnya. Sejauh yang dapat diingatnya—dan ingatannya jarang diragukan, ini kali pertama Ruwi mengajaknya dengan sadar ke tempat-tempat hikmat seperti ini. Bahkan lebih dari satu tempat.
“Kau salah. Aku tak mencari-cari alasan untuk menghindar. Kau tak perlu melakukannya di depan orang banyak atas belasungkawamu, bukan? Dan kau tahu Lintar, aku pernah mendengar, ada negara yang sengaja membuat hari libur khusus untuk menghargai arwah leluhur mereka.” Ruwi menyunggingkan senyum. “Dalam beberapa hal, dapat mendorong membulatkan tekadmu. Dan tak salah bukan, memanjatkan kebahagiaan untuk mereka yang sudah meninggalkan kehidupan fana ini?”
Lintar mengernyitkan dahi. Bila memang ini benar menyangkut leluhur, ia belum pernah mendengar soal Ruwi yang memiliki leluhur di kota ini. “Lalu, siapa orang-orang yang kita kunjungi di pemakaman pertama dan kedua ini?”
Ruwi menarik nafas panjang—yang dalam catatan lobus temporal Lintar, jarang dilakukan Ruwi. Kadang, sikap yang jarang terlihat itu, kita menemukan sosok sebenarnya seseorang. Tentu saja, helaan nafas itu membuatnya terlihat seperti manusia normal lainnya.
“Mereka adalah bagian dari sejarah yang tak banyak diketahui orang.” Ruwi menoleh pada Lintar yang memperlihatkan keingintahuannya. “Akan lebih baik bila saat ini kau tak banyak tahu tentang ‘siapa’ mereka di pembaringan terakhir ini.”
Lintar tidak bertanya lebih jauh. Seperti yang sudah-sudah, meski kelihatannya Ruwi selalu menjawab, sebenarnya hanya sedikit yang benar-benar sesuai dengan pertanyaannya. Ya, Ruwi hanya menjawab pertanyaan yang ingin dijawabnya. Dan sejujurnya, Lintar tidak pernah benar-benar memahami tentang tuannya sendiri selain ketertarikannya pada informasi-informasi penting yang menguntungkan karena itulah yang selalu ditunjukkannya. Ruwi tidak pernah menunjukkan atau mengatakan apa yang disukai dan tidak disukai secara benar seperti orang pada umumnya. Seperti misalnya tuannya tidak akan mengatakan jeruk muda itu kecut dan hanya akan memberikan senyum yang normal sekali, tapi dilain waktu ia akan mengatakannya dengan sangat jelas bahwa ia membenci rasanya. Pernah suatu hari terlihat memakan kue manis dengan lahapnya, namun dilain waktu saat diberikan kue yang sama oleh orang berbeda, ia sama sekali tak menyentuhnya untuk alasan-alasan berbeda pula.
Lintar dan orang-orang yang terlibat intim harus mengakui bahwa Ruwi adalah aktor terbaik dalam drama kehidupan nyata. Sulit membedakan antara dirinya yang sebenarnya dengan peran yang dimainkannya. Meski begitu, Lintar harus dan akan bertahan untuk alasannya sendiri. Sebuah kebenaran yang harusnya dilihat secara adil. Tak peduli bagaimana pendapat orang-orang yang ‘mengatasnamakan keadilan’ memandangnya sebagai pengkhianat. Toh, ‘merekalah’ yang lebih dulu menodai kebenaran. Di sisi lain ketika banyak mata orang berkuasa memandang jijik pada Ruwi yang licik, setidaknya masih bisa dirasakan oleh Lintar ketulusan dalam diri Ruwi pada kebaikan-kebaikan sengaja yang dilakukan olehnya.
Keduanya berhenti di anak tangga paling bawah. Angkasa biru bersama titik-titik air halus putih memadat di depan sana sedang bernyanyi bersama penghuni bumi lainnya. Deburan gulungan ombak tiada henti bertemali dengan suara sahut-menyahut sekawanan burung yang menceritakan kehidupannya di birai-birai tebing berbatu, yang bertetangga dengan dermaga yang tampak ramah.
“Lihatlah, pemandangan di depan sana membuat tempat ini menjadi peristirahatan terakhir yang menentramkan.” Ruwi menghela nafas panjang lagi. Lega, nampaknya.
Keduanya pun kembali menuju mobil yang terparkir di sebelah kiri tangga. Kira-kira setelah sepuluh menit mobil berjalan, ponsel Ruwi berdering.
“Tenang! Sudah kupastikan, dia baik-baik saja. Bersabarlah! Dia akan kembali pada tempatnya—ah tidak, pada rumahnya.” Sahut Ruwi pada si penelpon. Kemudian, telpon ditutup.
“Apakah gadis malam itu lagi?” Tanya Lintar.
Ruwi mengangguk.
“Sepertinya Anda menaruh perhatian padanya.”
“Begitu, kah? Haha! Aku hanya tidak ingin mengurangi keberuntunganku, Lintar.” Ruwi memejamkan mata. “Bangunkan aku bila tiba di rumah Tuan Galen. Dan sepertinya kita harus mengucapkan salam perpisahan pada orang-orang bermobil hitam itu. Aku serahkan semuanya padamu!”
Ruwi dan Lintar telah dibuntuti orang-orang bermobil hitam itu sejak kemarin. Ruwi tidak ambil pusing akan hal itu. Dibiarkannya mereka mengikuti tanpa berusaha bersembunyi atau melarikan diri.
Perintah Ruwi pun menjadi pelatuk bagi Lintar menunjukkan pengalaman dan kecerdikannya untuk mengelabui secara cerdas orang-orang serba hitam itu. Bahkan, telah dilakukan Lintar jauh sebelum mereka diam-diam membuntuti. Disadarinya betul, pekerjaan Ruwi dan yang dilakoninya saat ini bertaruh pada kemungkinan-kemungkinan jalan pintas yang dapat membuat keduanya keluar dari jaring-jaring terali besi, dan lebih buruk lagi—kematian tak berjejak.
Saat Lintar mulai menjalankan rencananya, Ruwi telah memejamkan mata untuk sejenak melepas lelah. Akhir-akhir ini, Ruwi mengurangi jam tidurnya. Tak salah bila membuat tuannya istirahat dengan nyaman dan membuat pelarian ini setenang dan semulus mungkin.
@_@545Please respect copyright.PENANAbK1J4uXkC9
Lintar membangunkan Ruwi Tiga jam kemudian. Saat mata Ruwi telah mencapai titik kesadarannya, keduanya telah benar-benar tiba di depan rumah komandan Galen. Kemudian, persis seperti malam itu, Ruwi duduk tepat di depan komandan Galen. Tak lagi terlihat gelayut kantuk di kantung mata Ruwi. Namun, kali ini sedikit berbeda, Letnan Rastha berdiri di samping Komandan Galen bersama tatapan selidik, namun santai.
“Untung saja, aku belum pergi dari kota ini. Secepat inikah Anda merindukanku, Tuan Galen?” Kata Ruwi.
“Kau selalu memiliki cara menyapa yang tidak biasa.”
Ruwi tertawa rendah, lalu duduk di kursi depan meja komandan Galen. “Kali ini informasi apa yang harus kucarikan untukmu?”
“Malam ini, mari kita sedikit bersikap lebih hangat.”
“Hmm… apakah kita harus bermain ‘kehangatan’ di sini? Ini akan mengurangi arti keberadaan Ruwi, Tuan Galen.”
“Apa kau lupa, aku juga pencari informasi—untuk tujuan yang berbeda darimu. Harusnya, kau pun menyadari, informasi yang kucari itu bahkan sedang duduk di depanku. Dan aku tak perlu mengajukan pertanyaan formal apapun. Bukan begitu, Ruwi?”
Ruwi tersenyum. “Ah, kau mencurigaiku?”
“Mari kita buat basa-basi menarik. Gerbang utara, kau mengetahuinya, bukan?”
Lagi, Ruwi tersenyum. “Aku tak yakin bila yang akan kukatakan adalah benar ‘mengetahui’. Tapi ya, aku memang telah berfirasat akan terjadi sesuatu di suatu tempat di Kota Sin ini.” Ruwi menjentikkan jari.” Dan... ah, ternyata benar terjadi—pernyataanmu tentang gerbang utara telah mengubah firasatku menjadi benar. Apakah firasatku yang lalu menjadi bagian dari kata ‘mengetahui’ yang kau maksudkan, Tuan Galen?”
“Kau pasti dapat mendeskripsikan pendapatmu—deduksi barangkali.”
“Wow, sepertinya aku dibuat berbicara lebih dari yang biasanya. Kuharap Anda tak sedang dalam putus asa hingga memintaku yang mengatakannya. Karena bila iya, ini tak akan menjadi basa-basi menarik.”
Komandan Galen diam. Menunggu jawaban Ruwi. Sorot matanya sama sekali tak sesuai yang Ruwi tuduhkan karena yang terlihat hanyalah keteguhan. Seolah ingin menjinakkan Ruwi. Butuh kerja keras untuk menaklukan tatapan itu.
“Ya, baiklah. Aku akan berbaik hati malam ini. Tapi, mari kita ringkas melodrama Kota Sin ini.” Ruwi memandangi komandan Galen dan Letnan Rastha bergantian. “Aku meyakini bahwa kedatangan mereka memiliki arti penting. Sesuatu yang seharusnya tidak berada di gerbang utara. Dan Anda, mungkin saja, sebenarnya mulai mencurigai sesuatu yang sejak lama telah memiliki ikatan dengan kota yang Anda tinggali ini, bukan begitu Tuan Galen?”
Komandan Galen tak langsung menjawab. “Ya, aku telah sampai pada hal itu.” Jawabnya kemudian sembari menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Seolah lega mendengar seseorang telah bersimpulan sama dengannya. “Lalu, di balik kemunculan gadis bertopeng berambut abu-abu itu, apa yang sebenarnya sutradara itu inginkan? Dimataku, dia terlalu asyik bermain-main.”
Ruwi tertawa rendah. “Sayangnya, tak ada yang bisa kukatakan lebih dari ini, Tuan Galen. Tapi, yang bisa kukatakan, Anda tak perlu melihat sutradara atau siapa wajah di balik topeng. Lihatlah mengapa topeng itu dikenakan lagi. Kenapa? Tentu saja karena sedikitnya Anda tahu kebenarannya. Dan ya, izinkan aku memberitahumu, Tuan Galen. Sutradara itu tak bermain-main tanpa tujuan.”
Komandan Galen diam. Ruwi pun menuangkan teh dalam poci ke dalam gelas kosong pada nampan di sampingnya yang masih telungkup. Lalu, menghirup aromanya, memenuhi rongga hidungnya dengan bau melati.
“Sepertinya, kau tidak terbiasa berterima kasih pada orang sepertiku, Tuan Galen. Padahal aku telah menjalani peranku dengan sangat bertanggung jawab.”
“Terima kasih.”
Ruwi—dan tentu saja Lintar, serta Letnan Rastha, terkejut mendengarnya. Gelak tawa Ruwi memenuhi ruang kerja komandan Galen.
“Di saat seperti ini, kuharap Anda tidak melunak hanya karena aku memintanya.”
“Perlu kau ingat, aku tidak melunak pada siapa pun, Ruwi.” Komandan Galen mengambil sesuatu dari dalam lacinya. Sebuah amplop coklat kecil. Disorongkannya pada Ruwi. “Ini bonus untukmu karena telah datang malam ini.”
Ruwi bersitatap dengan komandan Galen. Mengambil amplop coklat kecil di atas meja tanpa bertanya lagi. Lalu, bangkit dari duduknya. Otak kirinya memberitahu, sudah tak ada untungnya berlama-lama di ruangan ini. “Saranku, sebaiknya Anda segera menemukan A04 seperti yang pernah kukatakan dulu.” Sesampainya di pintu, ia memutar badannya lagi. “Mengambil yang menjadi miliknya dan mengembalikan yang seharusnya pada ditempatnya. Kurasa, itu menjadi alasan mereka kembali dan beberapa pergerakan lainnya yang mengikuti. Ada pula yang memanfaatkan pergerakan itu yang membuatnya semakin buruk. Terlihat mirip, tapi bila diamati dengan jeli akan ditemukan kepala-kepala berbeda dibaliknya.”
Ruwi dan Lintar meninggalkan ruang komandan Galen. Ruang yang dipenuhi dengan bau sedap malam selalu memberikan nuansa lekat yang ingin dihindari Ruwi.
“Tidak seperti biasanya—padahal komandan Galen tak sedang mengancammu, malam ini Anda berbicara lebih banyak pada komandan Galen.” Ucap Lintar saat berada di luar rumah komandan Galen.
Ruwi menoleh ke belakang. Menatap hikmat rumah komandan Galen, rumah bertingkat dua, bergaya victoria, tersusun dari batu-bata warna coklat muda dengan jendela-jendela kaca menjulur keluar. Satu ruang yang menjadi fokus retinanya. Satu ruang di lantai dua, bangunan yang tampak mencolok dari luar, nampak seperti kastil kecil beratap meruncing ke atas, di kelilingi empat jendela kaca bertirai kain berserat tebal berwarna merah, sebutlah singgasana komandan Galen, dan menjadi tempat menjamu dirinya.
“Anggaplah sebagai hadiah dariku dihari spesialnya. Tak perlu serius menanggapinya. Yang lebih penting, Lintar, ini adalah tanda kita bergerak pada tahap berikutnya.”
“Anda berada di pihak mereka sekarang?” Tanya Lintar sedikit menyimpan curiga.
“Kau memanjakan imajinasi manusia putihku dalam otakmu. Sebaiknya, kau tidak lupa pada siapa aku bekerja, Lintar.” Ruwi menengadah ke langit malam berbintang. Menghirup oksigen-oksigen bersahabat di halaman nan hijau rumah komandan Galen. “Langit yang segera malam telah berbisik padaku, sudah saatnya aku kembali ke kampung halamanku, menemui ayah-ibuku, dan saudara-saudaraku yang mungkin merindukanku.”
“Apakah Anda tidak bisa membawaku kali ini saja?”
“Tidak seperti kau dan banyak penduduk di kota ini, tak banyak tempat yang mau menerima kami.” Ruwi mengedipkan sebelah matanya, membuka pintu taksi yang baru saja tiba. “Sambil menungguku kembali, kau selesaikan tugas-tugas yang telah kita rencanakan.”
Berpisahlah keduanya. Lintar memacu mobil ke suatu tempat yang tak bisa disebutkan. Sementara Ruwi kembali menikmati kesendiriannya di dalam taksi.
Sebelum jauh meninggalkan rumah komandan Galen, ia sempat melihat Sienna dan Kine membawa kue dalam bungkusan mika dengan hati-hati dan wajah gembira. Ia ikut terbawa suasana. Bibirnya membentuk bulan sabit—terlihat tulus.
Ruwi tersenyum simpul. “Menuju rumah!” Perintahnya kemudian pada supir taksi “Sebelum itu, mari jalan-jalan ke Kota More!”.
@_@ 545Please respect copyright.PENANAwLgWrWxkEP
Disela ketegangan SPeN menghadapi rumor manusia malam yang disebarkan tak bertanggung jawab oleh Ringge malam itu, serta didukung oleh cuap-cuap berita “picisan” oleh media yang tak “bergengsi” hingga hari ini, SPeN tetap harus tegap dalam mengatur barisan tunas prajurit yang tengah menata tujuan masa depan—barangkali secara halus kau bisa menyebutnya demikian.
Kurang lebih, enam bulan lalu, kelas khusus telah dibuka bagi prajurit yang terbukti memiliki potensi yang dibutuhkan SPeN. Hak istimewa yang dimiliki dari program seleksi khusus itu memungkinkan mereka mengikuti ujian pada divisi yang diinginkan tanpa harus mengikuti kelas paling bawah pada sebuah divisi. Kelas khusus ini diikuti oleh Balin, Qiyo, dan Gavin. Balin dan Qiyo yang memiliki tingkat disiplin dan kemampuan di atas rata-rata tak mendapatkan kendala berarti. Sebaliknya, upaya lebih harus diperjuangkan Gavin agar kesempatan yang hampir nol persen itu bisa diraih. Ya, Seperti yang pernah disinggung Gavin pada Haiwi, ia telah meninggalkan kelas khusus itu hampir tiga bulan lamanya. Sebulan sebelum pengumuman hari kemarin, ia harus berlatih lebih keras untuk mengejar ketertinggalan, serta membuktikan diri bahwa ia layak berada bersama prajurit lainnya di kelas khusus—dan atas konsekuensi pelarian diri tak bertanggung jawab.
Entahlah, kau setuju atau tidak dengan pernyataan ini, “proses tak mengkhianati hasil”, tapi sepertinya Gavin berhasil membuktikannya. Hari ini, ia berbangga dapat berjalan beriringan bersama Kine, dan tentu saja, Balin—laki-laki yang menurut otaknya selalu membosankan tapi selalu saja memacu hormon rival dalam dirinya.
Dan hari ini, hari penting pertama di SPeN telah dimulai. Langkah ketiganya cukup mantap menuju gedung pusat Dipaskus. Tak ada yang menduga, orang terdekat dan telah lebih dulu berada di SPeN—Sienna, telah berdiri di depan pintu masuk gedung Dipaskus. Ia memang ditugaskan menyambut kedatangan prajurit-prajurit baru kelas khusus yang memilih bergabung dengan Dipaskus.
Qiyo, Gavin, dan Balin benar-benar terkejut melihatnya. Bukannya membawa mereka ke dalam gedung dan sekadar menjawab keterkejutan yang jelas terlihat, Sienna langsung mengajak mereka berjalan ke luar gedung divisi pasukan khusus menuju sebuah mobil berlapis baja yang terparkir di depan gedung Dipaskus yang tadi sempat mengundang kagum ketiganya. Mereka pun mulai mendapat gambaran di benak masing-masing bahwa mobil ini akan menuju markas besar Dipaskus, di selatan Kota Sin. Anehnya, di dalam mobil, hanya ada mereka bertiga sebagai prajurit baru tanpa prajurit lainnya yang dinyatakan lulus. Padahal, ketiganya telah datang bahkan lima belas menit sebelum waktu yang ditetapkan. Ah, bolehlah menerka-nerka, bahwa ini cara merekrut tak biasa dari sebuah divisi yang disematkan kata “khsusus” pada namanya.
Satu jam kemudian dengan diliputi penasaran, mereka mulai merasakan energi markas besar Dipaskus. Bangunannya tak setinggi bangunan-bangunan di markas pusat. Berlantai lima, tersusun persegi, dan memiliki empat gedung utama.
Saat kaki mereka menginjakkan langkah pertamanya di pintu masuk, terasa seperti ada hantaman aura dahsyat menabrak tubuh mereka. Secara naluriah, tubuh ketiganya telah lebih dulu merespon gedung seperti apa yang dimasuki ini sebelum akhirnya Sienna memberitahu. Gedung ini, disebut dengan gedung tiga, tempat para kelas kesatria.
Tak lama berselang setelah Qiyo, Gavin, dan Balin mendapatkan tanda pengenal khusus di meja resepsionis di samping pintu lift dan menggantungkannya di depan dada sebelah kiri, lima prajurit berseragam serba putih, lengkap dengan lencana kesatuan yang menandakan tingkatan berbeda, tergabung dalam pasukan elit Dipaskus yang disebut pasukan 13 kesatria keluar dari pintu lift dalam kebersahajaan, langkah gagah, dan penuh percaya diri. Siapa pun yang melihat akan terkesima dibuatnya. Seperti gerakan yang dikomando, Qiyo, Gavin, dan Balin serempak menoleh pada Sienna, mengamatinya dari kepala hingga kaki. Seragam yang dikenakan 13 kesatria sama persis yang dikenakan Sienna saat ini. Ah, kenapa bisa terlambat menyadari hal yang begitu nampak di depan mata?
Kesima itu belum mau beranjak dari pelupuk mata ketiganya. Dari arah berlawanan—pintu masuk yang ketiganya lewati, berjalan masuk lima orang bertopeng, bermantel dan bertudung. Warnanya serba hitam. Kecuali, topengnya yang keabuan. Kedua pasukan yang dikatakan sama-sama kelas wahid berbeda nama itu berpapasan. Membawa kebanggaan di pundak masing-masing dengan kepala tegak, namun tak saling sapa.
Di mata yang melihatnya, seolah sedang dipersembahkan pancaran aura putih 13 Kesatria dan hitam pada lima prajurit bertopeng bermantel hitam bertudung yang saling bersinggungan—bertabrakan dalam debam sunyi yang sama hebatnya. Namun, tameng harga diri pada diri kedua pasukan itu cukup kuat, tak membuat dua warna aura itu bercampur, bersinar dengan warnanya masing-masing tanpa saling memengaruhi. Dua aura yang sangat berbeda reaksinya. Si Putih yang menusuk dengan karamahan yang tegas, sementara Si Hitam menusuk dengan keramahan yang menakutkan. Kesamaannya hanyalah, sama-sama membuat bulu roma bergidik.
Spontan saja, ketiganya jadi membanding-bandingkan dua pasukan itu di dalam benak. Pasukan 13 Kesatria adalah mereka yang memiliki aura terang dengan gambaran seperti panglima perang, berdiri di depan dengan pedang dan gagah berani, serta berjuang sekuat tenaga hingga titik darah penghabisan. Sementara lima prajurit bertopeng bermantel hitam, sebaliknya. Aura gelap yang didukung oleh seragam serba gelap itu seolah menunjukkan orang-orang seperti apa di dalamnya. Ketiganya seolah dapat merasakan kengerian yang sama. Mereka layaknya “prajurit abu-abu”. Datang dengan sendirinya, atau mendadak tanpa disadari telah bersama belati kecil di belakang punggung teman maupun mangsa sesuai keinginannya. Mirip seperti suara langkah mereka yang sunyi, mereka sulit diprediksi.
Seorang dari pasukan bertopeng itu, sempat menoleh ke arah Qiyo, Gavin, dan Balin sebelum hilang di balik pintu lift. Bersamaan dengan itu, Sienna mengajak ketiganya menuju pintu lift lainnya, di sudut ruangan.
“Jadi, merekakah pasukan bayangan itu?” Tanya Qiyo, perlu meyakinkan matanya melihat langsung pasukan yang keberadaannya tak banyak diperbincangkan, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai tingkatan prajurit tertentu. Saat Qiyo menghabiskan banyak waktunya di kelas khusus bersama Balin—dan juga Gavin, ia sempat mendengar rumor tentang pasukan bayangan. Tapi, tak benar-benar jelas dan dapat meyakinkannya. Jadi, saat melihat langsung seperti ini, dengan penampilan serba hitam yang menonjolkan keberadaan mereka, dan meski masih misteri dan rahasia, sensasinya sangat mendebarkan meskipun karena tak sengaja dan singkat.
Sienna mengangguk. “Kalian beruntung. Tak banyak yang langsung dapat melihat mereka di hari pertama bergabung dengan Dipaskus.”
Pintu lift terbuka. Sienna masuk lebih dulu. Di dalam lift tak terjadi obrolan berarti seperti kebersamaan mereka biasanya. Sangat kaku dan formal. Suasana gedung yang sunyi seolah mendukung untuk itu. Sienna pun tahu, perhatian ketiganya masih tersita pada Pasukan 13 Kesatria dan Bayangan.
Barulah ketika lift berhenti pada angka dua dan memasuki ruangan baru yang terletak tepat berhadapan dengan pintu lift, Sienna mengalihkan lamunan mereka dengan kejutan lain. Saat ini juga, ketiganya harus menunjukkan keterampilan menggunakan senjata menurut pilihan masing-masing. Tak hanya mereka, tapi juga mereka yang berada di dalam ruangan-ruangan berbeda di lantai yang sama tempat ketiganya menjalani serangkaian tes untuk menentukan tempat di divisi ini. Tujuan lainnya, tentu untuk menganalisa dan menyesuaikan senjata dengan penggunanya. Oleh karena itu, di dalam setiap ruangan, telah berjajar dua teknisi senjata Dipaskus.
Dihari ini pula, di penghujung hari, Qiyo, Gavin, dan Balin mendapat rekan baru yang akan saling mengisi hari-hari latihan dan ujian bersama dalam sebuah tim. Pun mendapat mentor baru. Bahkan, jadwal pun telah disiapkan. Tak ada waktu banyak di hari pertama ini untuk saling mengenal rekan setim. Selain perkenalan singkat dengan hanya menyebut nama. Sisa waktu berikutnya mereka gunakan untuk memahami jadwal menu latihan yang beberapa daftar kegiatan latihan sengaja dirancang untuk meningkatkan keahlian masing-masing. Tak ada waktu untuk menanyakan jumlah peserta yang mengikuti ujian untuk kelas kesatria.
Ini hanyalah Langkah awal yang akan menentukan sejauh mana keinginan mereka dan tekad yang kemudian menyatu dengan divisi yang dipilih. Proses yang dilewati akan lebih berat dan butuh saling pengertian satu sama lain.
Sebelum benar-benar berpisah, Sienna sengaja menghampiri mereka. “Aku selalu yakin, bahwa kalian akan berhasil dan berada di sini.” Kata Sienna sembari memukul ringan bahu ketiganya, dan pergi kemudian menuju ruang yang menjadi tempatnya di divisi ini—Pasukan 13 Kesatria.
@_@545Please respect copyright.PENANAfFhOF2v3E3
Dua minggu setelah penetapan calon kelas Kesatria, Tekad masih saling sahut menyahut. Lorong-lorong di gedung SPeN dipenuhi oleh calon-calon prajurit baru pada jalur seleksi normal. Tes tertulis akan berlangsung selama tiga hari. Satu minggu kemudian seleksi kecakapan fisik. Lalu, penentuan akhir calon prajurit adalah hasil akumulasi keduanya. Tahun ini, antusias calon prajurit sangat tinggi. Tiga puluh persen diikuti oleh siswa SMA yang telah memasuki lima belas hingga sembilan belas tahun. Sisanya, di atas sembilan belas dan di bawah dua puluh lima tahun.
Tes pada hari ini baru akan dimulai sekitar lima belas menit lagi dan akan dilaksanakan di balik pintu-pintu ruang yang masih tertutup di hadapan mereka. Sembari mengisi kekosongan waktu menunggu, ada yang bergerombol tiga sampai empat orang untuk berdiskusi tentang kemungkinan soal-soal yang akan keluar dalam tes. Ada pula yang menikmati degupan jantung dalam kesendirian, berkomat-kamit seolah materi yang dirapalnya akan menyulap soal-soal seperti kehendaknya. Beberapa lagi, terlihat tenang dan siap menghadapi tes.
Di antara gerombolan itu, terlihat Femi bersama Danne dan Hara. Ada pula Kine yang tengah asyik berdiskusi dengan Sera dan Malo. Mereka sempat berpapasan. Kine, mencoba menyapa dengan ramah. Namun, tak ada balasan. Tak hanya pada Kine, sikap Femi pun terlihat acuh saat pesan Gavin muncul dilayar ponsel pintarnya. Femi tampak tidak terlalu tertarik—memaksakan diri demikian, sama seperti keadaannya saat ini yang kepalanya masih dibaluti perban.
Pengeras suara memberitahukan kepada para peserta untuk masuk ke ruangan tes. Sebelum hilang di balik pintu masing-masing, Danne dan Hara sempat melihat Femi yang berjalan menuju toilet seorang diri. Ini jarang sekali terjadi ketika mereka bersama. Apalagi, mengingat peristiwa terakhir yang menimpa Femi, membuat mereka lebih khawatir. Bahkan, keputusan keduanya masuk SPeN pun karena mengikuti Femi. Namun, mengingat pesan Femi yang meminta keduanya untuk berhenti terlalu mengkhawatirkannya, akhirnya dengan sangat terpaksa memilih percaya bahwa Femi akan baik-baik saja.
Dan ya, Femi tampak baik-baik saja dengan urusannya yang damai di dalam toilet, hingga tangannya hendak meraih gagang pintu ruangan tesnya, kepalanya tiba-tiba berdenyut, pandangannya mengabur. Samar-samar, dapat ditangkapnya bayangan seseorang—terlihat serba hitam di sampingnya, menahan tubuhnya yang hampir jatuh ke lantai, dan sempat terhirup aroma segar dari tubuh seseorang itu.
“Hei, Gege! Kita salah melewati lorong! Tinggalkan saja dia di sini. Akan ada...”
Hanya itu yang sempat didengar Femi. Lima detik kemudian, semuanya menjadi gelap. Hilang kesadarannya.
Saat terbangun, pusing di kepalanya belum hilang, dan telah mendapati tubuhnya terbaring di ranjang ruang kesehatan yang dipersiapkan SPeN untuk peserta tes hari ini. Danne dan Hara telah duduk menunggu di kursi dekat tempat tidur. Tes telah usai dilaksanakan. Lalu, datang lah dokter yang menanganinya.
“Kau masih boleh mengikuti tes. Datanglah ke sini pada hari ketiga. Tenangkan pikiran dan minumlah obat yang telah diberikan padamu dengan teratur. Jika memang kau serius ingin menjadi prajurit SPeN.” Ujar dokter yang sengaja mencari tahu kondisi Femi dari rumah sakit yang merawat sebelumnya. Wajahnya ketus, tak seramah dokter yang pernah ditemui Femi.
Danne dan Hara lega mendengarnya.
“Dokter, siapa yang membawaku ke sini?”
Danne dan Hara menautkan kedua alis. Bingung. Bukankah petugas yang bertanggung jawab di ruangan Femi yang membawanya?
“Seorang prajurit SPeN. Kalau ingin berterima kasih padanya, cukup berusahalah pada ujianmu.” Jawab Dokter itu, kemudian meninggalkan ketiganya tanpa basa-basi pamit.
Sayangnya, jawaban itu tak menjawab pertanyaan Femi sebenarnya. Antara penting dan tidak penting mengetahuinya. Keyakinannya akan aroma itu cukup mengusik penasarannya. Aromanya tak asing di indra penciumannya. Namun, untuk waktu yang tak diketahui, Femi harus menunda keingintahuannya. Kesempatan tes di hari ketiga nanti, lebih penting untuk diurusi.
Benar. Urusi saja urusanmu. Bukankah langkah berikutnya adalah yang kau cari? Kadang, pada waktunya, kau akan mengetahuinya tanpa sengaja, dan mungkin saja disaat kau mulai melupakannya.
@_@545Please respect copyright.PENANAnPwZazdI8P