Tak banyak yang tahu. Namanya tak banyak dikenal. Sebuah pulau besar, tepat di tengahnya, berdiri sebuah bangunan tua, besar dan kokoh. Sebuah kastil. Tersusun dari batu bata apik, abu-abu kehitaman dan sangat artistik. Seperti kastil tua pada umumnya, berbenteng tinggi, di luarnya dikelilingi parit cukup lebar. Pintu gerbang menyambut megah paling depan dan di atasnya berdiri dua pos penjaga.
Kastil bak bangunan kerajaan tua itu memetakkan diri menjadi bagian-bagian khusus yang saling mengisi satu sama lain atas keberadaannya. Kastil tengah, menjadi aula pertemuan besar dan penting. Bangunan barat kastil menjadi tempat bersamayamnya para penghuni rumah. Sementara bangunan timur kastil, ajeg berjajar ruang-ruang kerja yang juga menyimpan rahasia setiap penghuni.
Ruang-ruang besar dalam kastil dialiri cahaya-cahaya lilin yang berdiri melekat pada lampu-lampu gantung. Sementara api jingga kekuningan menyembul pada barisan rapi obor-obor di pinggiran lorong penghubung bangunan kastil satu dengan lainnya. Lalu, di sudut-sudut kamar, pelita-pelita kuno dari tembaga ikut menerangi. Ya, kastil tua ini jauh dari pijaran panas cahaya listrik. Menambah kesan eksotik dan mistik sebuah bangunan tua.
Untuk suatu alasan, si pemilik kastil senang berada di ruang paling sudut, yang menjadi muara akhir lorong gelap panjang di sayap timur kastil berpintu U terbalik. Ia sering menghabiskan separuh harinya di situ. Ruang paling sakralnya. Hanya orang terpercaya boleh ke sana.
“Kau sudah datang Profesor Yose!” Sapa si pemilik pada pria bersetelan jas putih panjang bernama Yose—yang baru saja membuka pintu. Si pemilik tengah duduk di kursi balkon, duo sorot matanya yang telah nampak sedikit garis keriput disisiannya, melayapi pemandangan danau hitam luas nan tenang di depannya yang diselimuti kabut.
“Ya, Tuan Kala! Dan tentu saja membawakan pesanan yang Anda minta.”
“Letakkan di meja dan kemarilah!” Si pemilik, Tuan Kala namanya, menoleh pada Prof. Yose sembari mengangkat jemari menunjuk kursi di samping kirinya sembari menyingkirkan tongkat yang disandarkan di kursi itu. Tapi, sungguh, tongkat dan wajah putihnya yang bertulang tegas—dan tak banyak dihiasi keriput, tak menggambarkan usianya yang sudah tujuh puluhan. “Apa ramalanmu untuk dua malam ke depan, Prof. Yose?” Katanya lagi ketika Prof. Yose telah duduk dengan santai di sampingnya. Lantas, menuangkan minuman ke dalam gelas kecil dari botol berwarna gelap.
“Akan menjadi malam yang indah dari malam-malam biasanya.”
Tuan Kala tersenyum. “Kau pun pasti telah menunggunya dalam waktu yang lama.”
“Ah—tentu. Anak-anak yang dibesarkan oleh putramu dengan jerih payah, anak-anakku juga—tentu saja, dua malam lagi akan membuktikan dirinya. Tak mungkin aku tak menantikan kabar terbaik mereka.”
“Kau orang tua yang buruk, Profesor Yose. Disaat yang kau pedulikan hanyalah hasil, pantaskah untukmu menyebut mereka sebagai anak-anakmu?“
“Haha... bagaimana aku harus menjawabnya? Daripada buruk, aku lebih suka menggunakan istilah mencintai, Tuan Kala. Sungguh, aku mencintai mereka. Dan ya, kurasa kita memiliki cara berbeda dalam mencinta.”
Tuan Kala tertawa rendah. Prof. Yose selalu pandai bersilat kata.
“Dua malam lagi, Kota Sin akan mendapatkan hadiah tak terlupakan setelah perjumpaan kita empat tahun lalu, bukan begitu, Tuan Kala? Seperti kata Anda dulu, mereka bertanggung jawab untuk mengingat kembali orang-orang yang dilupakan.”
Lagi, Tuan Kala tertawa rendah. Tiba-tiba teringat kali pertama, lebih dari sepuluh tahun lalu, mendengar istilah “orang-orang yang dilupakan” itu keluar dari mulut seorang anak laki-laki kecil yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun, yang bahkan saat itu tak saling mengenal, dan hanya terlibat pembicaraan ringan di antara dua manusia asing yang sama-sama duduk menunggu di sebuah kedai susu di sebuah kota berjuluk Kota Tak Berwarna.
“Aku akan sangat kecewa bila mereka tak segera menyadarinya secepat mereka mencipta tuturan indah menyesatkan. Bahwa rencana kita sebenarnya lebih dari ini. Dua malam lagi, itu hanyalah kehebohan kecil untuk mengusik segelintir orang-orang di Kota Sin sebagai tanda salam perjumpaan.”
“Penantian tiga puluh tahun Anda sepertinya akan segera terwujud, Tuan Kala.”
Tuan Kala tersenyum simpul. “Ah ya, bagaimana dengan anak perempuanmu itu—bila kau menyebutnya begitu, yang telah lari darimu? ”
“Lebih tepat jika kukatakan, aku sengaja membukakan gerbang rumah untuknya bermain. Tentu saja, diam-diam aku memberinya bekal agar ketika diluar sana dia tak kelaparan. Dan suatu saat, dia pasti kembali padaku bersama seseorang yang istri Anda sayangi.”
“Ucapan dan tindakanmu selalu datang dengan sesuatu tak terduga, Prof. Yose. Kuharap... kesetiaanmu pun masih seperti dulu saat pertama kita bertemu.”
Profesor Yose tersenyum. “Kesetiaanku saat ini tak perlu Anda ragukan. Tapi, harus kukatakan, ada yang mengkhawatirkan jika tak segera mengakhiri ini.”
“Ya, sudah saatnya kau bersiap. Panggungmu harus segera dinyalakan kembali.”
Tak lama kemudian, Prof. Yose undur diri, meninggalkan Tuan Kala yang masih nyaman berlama-lama di balkon. Saat menutup pintu, indra penciumannya menghirup bau yang dikenalinya milik penghuni lain bangunan ini. Ia yakin, seseorang—mungkin juga dua, sempat berdiri lama di depan pintu ini, dan baru saja pergi.
Bau yang ditinggalkan menunjukkan bukti tak terlihat dan cukup untuk mempercayainya. Prof.Yose tersenyum senang untuk alasan yang disimpannya sendiri. Umpannya yang lain telah terkail dengan sendirinya. Tentu saja ia juga tahu, Tuan Kala yang duduk tenang di balkon telah menyadari jauh lebih dulu darinya. Itulah kenapa ia menyukai keluarga besar di kastil ini. Hampir selalu, diam dan tahu berlaku kembar di sini. Sama-sama tak disuarakan.
@_@
Profesor Yose benar. Seseorang—mungkin juga dua itu, dan tepatnya dua, memutuskan segera berlari setelah mendengar percakapan Prof. Yose dan Tuan Kala usai. Kedua orang itu berlari bukan karena takut tertangkap basah telah mencuri dengar karena sadar betul itu perasaan yang sia-sia. Apalagi bila ada hukuman atas tindakan kuping nakalnya, itu sama sekali tak mengkhawatirkan keduanya. Alasannya sederhana, hanya mencari tempat nyaman keduanya untuk leluasa berbicara.
Lalu, di sinilah keduanya berada, duduk di sebuah batu besar di puncak tertinggi di pulau besar. Pandangan mata keduanya menyeberang jauh dari pulau. Menyeberangi hamparan lautan luas, menerobos lurus horizon seolah arah pandangan itu langsung tertuju pada orang yang keduanya pikirkan sekarang.
“Kita tidak salah mendengarnya, kan?” Kata si gadis sedang meyakinkan hatinya yang gelisah seketika mendengar perbincangan Prof. Yose dan Tuan Kala tadi.
“Hmm.” Gumam pemuda berwajah datar di sampingnya.
Keduanya saling tatap.
“Ringge ada di Kota Sin, kan?” Tanya si gadis lagi.
“Hmm.”
“Apa dia akan baik-baik saja?”
“Tentu!” Jawab si pemuda yakin. “Tak perlu khawatir, Lokka. Dari perbincangan ayah dan Profesor, aku yakin tak akan menyentuh Ringge sedikit pun.”
“Ya, kuharap itu benar, Talla. Lagi pula, Ringge jauh lebih kuat dari kita berdua. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa berhenti khawatir.” Lokka menyandarkan kepalanya di bahu Talla. “Padahal aku mendengar kabarnya terakhir kali dari Kakak Menjengkelkan, Ringge sudah bisa tersenyum lagi dan memiliki kehidupan yang pernah kita impikan bersama.”
Dalam diamnya, Talla ikut membenarkan. “Kau merindukannya?”
“Tentu.”
“Aku sangat merindukannya. Aku ingin melihat dunia yang dilihat Ringge sekarang.” Tiba-tiba ide yang sejak lama hanya disimpan di benaknya ingin sekali disampaikannya. “Bagaimana kalau kita berdua andil dalam rencana ayah?”
Terkejut mendengarnya, Lokka mengangkat kepalanya dari bahu Talla. Menatap Talla dalam-dalam. “Ayah dan Kakak-Kakak kita tak akan setuju.”
“Akan berhasil bila dengan bantuan Kakak Menjengkelkan.”
“Sama sepertinya, kalau sudah soal Ringge, kau pasti akan melakukan apapun. Kuharap, kau akan seperti itu juga bila keadaanku seperti Ringge.”
“Tentu!”
“Ringge! Tunggu kami!” Teriak Lokka pada lengkung langit bergemintang.
“Ya, tunggu kami!” Sambung Talla lirih, penuh harap, dan hati berdebar.
@_@
Lalu, di hari yang seperti diperbincangkan dua orang di pulau besar sana, di sini, di kota Sin, di hari yang mulai menggelap, di sebuah hotel termewah, di tengah kemeriahan pesta sebagai tamu istimewa, seseorang pun telah mengetahui—ah bukan, hanya sebuah firasat. Firasat yang dipertajam oleh kebersamaan, pengalaman, dan pemahaman akan hal-hal didekatnya. Firasat yang kemudian mengasah kemampuannya melahirkan skenario. Skenario yang hampir senada dengan dua orang di pulau besar. Seperti yang malam ini ia tuturkan pada dua tamu istimewa yang tampak tertarik pada ceritanya, sebuah alur tragedi yang mungkin akan terjadi malam ini, di satu sudut Kota Sin. Dan mungkin, telah dimulainya jauh sebelum malam ini.
Ia-lah Ruwi.
“Selalu memegang dan mengangkatnya dengan bangga, apakah aku masih berpura-pura bersahabat dengan minuman ini? Aku sendiri pun mulai sulit membedakannya.” Ruwi mengangkat gelas berisi minuman anggur di tangannya ke udara, menggoyang-goyangkan pelan, lalu diletakkannya begitu saja di tepian pagar balkon ruangan pesta. Kemudian menoleh ke arah belakang, tempat berkumpulnya para taipan berbaju mewah dengan segala keriuhannya, “Kau tahu apa yang akan terjadi di satu sudut Kota Sin ini, Lintar? Akan sangat kontras dengan kesenangan dalam ruangan pesta di sini.”
“Anda merencanakan sesuatu di belakang saya, Kak Ruwi?” Tanya Ruwi di sampingnya.
“Aku tidak merencanakan sesuatu di belakangmu. Tapi, tentu saja aku tidak memberitahu semua isi pikiranku padamu.”
“Tentang kota Sin? Berbahayakah?”
“Mungkin. Dan—mungkin, hanya akan menjadi cerita sebagian dari mereka yang mengetahui dan menjadi rahasia di bawah langit malam ini. Mungkin pertanda sebuah pergerakan kecil dari orang-orang yang dilupakan. Lalu, Aku yang akan menyempurnakannya dengan drama lainnya. Mereka harus bersiap untuk menyisakan malam ini menjelma mimpi buruk.”
Lintar mulai mengerti ucapan Ruwi. “Lalu, apa yang Anda rencanakan dengan kemungkinan itu?”
“Kita tidak akan mencampuri urusan mereka, Lintar.” Ruwi tersenyum. Mengedipkan sebelah mata pada seorang wanita yang baru tiba di balkon yang tak sengaja tertangkap mata sedang melihat ke arahnya. “Kita hanya perlu menikmati bagian kue dari pesta kecil kita sendiri di tengah kemegahan kota ini.” Katanya lagi seraya masuk kembali ke dalam ruangan pesta.
Dan dalam ruangan luas menuju pintu keluar, Ruwi pun terseret pada arus basa-basi normatif tatanan sosial. Bersama senyum menawan melengkung di bibirnya yang tak berhenti menarik mata para kaum hawa untuk tak melepaskan pandangan darinya. Ia menembus perayaan suka ria yang oleh komunitas dinamai Asosiasi kedermawanan—tapi didalamnya sama sekali tak menampakkan makna sebenranya. Tapi ya, ia masih menyempatkan diri melambaikan tangan sekenanya, sekadar membalas lambaian beberapa tamu pesta baik wanita maupun pria kepadanya. Menggeleng ramah pada tamu yang mengajak bergabung kembali menikmati pesta. Begitulah psikologi sosial yang dipelajarinya untuk tak dibenci orang lain meski sebenarnya tak ingin.
“A~ah, betapa fananya...” Ucap Ruwi sesaat ketika meninggalkan pintu ruangan pesta.
Kedatangannya bersama Lintar di pesta malam ini hanyalah untuk menemui dua tamu istimewa rahasia. Bagian dari pekerjaan yang diperankannya. Urusannya telah usai. Tak ada lagi alasan baginya untuk berlama-lama dalam pesta. Pesta sesungguhnya yang ingin dinikmatinya bukanlah di ruangan pesta ini.
“Ah ya, di hari terakhirku di kota ini, aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke sebuah tempat paling hening di kota Sin. Sebaiknya, kau bersiap pada hal tak terduga yang akan kita hadapi.” Ujarnya sebelum menghilang di balik pintu kamar hotel. Meninggalkan Lintar di depan pintu yang tak lama setelahnya beranjak pula ke kamarnya.
Di dalam kamar, Ruwi tak langsung tidur. Menurut jam biologis tubuhnya, ini bukanlah waktu istirahat untuk memejamkan mata. Ia berdiri di depan kaca jendela lebar bening yang langsung mengarahkan mata pada gemerlap kemegahan Kota Sin. Merogoh ponsel dari balik saku jas merah marunnya. Menyentuh dua kali dan menarik layar ke atas, mengetuk simbol kontak. Mengetuk sebuah nama yang tertera dalam panggilan terakhir.
“Menarilah malam ini sesuka hatimu. Ikutilah iramanya. Namun, jangan sampai terlena. ” Katanya pada orang di seberang ponsel. “Mari, kita suguhkan kemeriahan pada kota penyumbang polusi cahaya terbesar di dunia ini. Biarkan Kota Sin mengingat dalam ketundukan sempurna!” Lanjutnya dan mengakhiri obrolan dengan wajah meraut senyum penuh arti.
Tok Tok Tok!
Bunyi ketukan dari luar pintu. Seorang pelayan hotel. “Saya membawa pesanan Anda, Tuan!”
@_@
Masih di bawah langit malam yang sama. Satu diantara empat laboratorium SPeN di gerbang utara berjalan aktivitas seperti biasanya. Tak ada kejanggalan yang dirasakan sampai aliran arus listrik terputus tanpa diketahui oleh petugas bagian listrik laboratorium. Para pekerja dalam laboratorium menduga hanya pemadaman sementara. Secara otomatis lampu cadangan mengambil alih penerangan. Aktivitas terus berlanjut sesuai bagiannya masing-masing.
Keadaan mulai berubah dengan cepat. Sangat mengejutkan. Orang-orang bertopeng bermantel kuning berlambang burung gagak hitam di belakangnya, menyusup dari arah barat laboratorium, satu per satu masuk ke setiap ruangan, menyerang dengan tenang dan gerakan cepat di luar batas normal manusia hingga tak lagi bisa dihindari. Bahkan, untuk sekadar mengarahkan tinju ke muka, tak sempat dilakukan. Perlawanan yang sempat diberikan seperti kapas tertiup angin karena perbedaan kekuatan. Padahal tak satu pun senjata digunakan oleh orang-orang bermantel kuning. Semua dilakukan dengan tangan kosong.
Teriakan minta tolong sahut menyahut seirama dengan jeritan mengaduh. Meramaikan seisi ruangan lab. Mengirimkan kepanikan ke ruangan-ruangan lain yang belum sempat diserang. Namun, gerakan perpindahan mereka dari satu ruang ke ruang lainnya sama cepatnya dengan gerakan serangan mereka. Tak ada yang lolos dari mata mereka. Hanya satu-dua orang yang dibiarkan menyelamatkan diri.
Serangan itu berhenti kemudian saat satu diantara orang bermantel kuning, tampaknya berperan sebagai pemimpin, berhenti di depan pintu ruangan paling sudut di timur bangunan lab. Dibukanya pintu dengan paksa. Tiga orang ikut bersamanya. Dan tangga yang menjorok ke bawah menyambut, dan ketiganya pun masuk ke dalamnya dalam langkah yang sangat yakin.
Sementara sisanya kembali ke ruangan-ruangan yang diserang tadi, melemparkan benda bulat putih. Hanya berhitung detik, benda-benda bulat putih itu mengedarkan asap putih. Sebuah gas yang kemudian melumpuhkan kesadaran para pekerja yang kesakitan. Suara-suara mengaduh pun ikut menghening.
Ketika si pemimpin dan tiga orang bermantel kuning muncul kembali, ia bersiul merangkai isyarat siulan bermelodi indah yang entah bagaimana sampai ke telinga orang bermantel kuning lainnya, padahal mereka berada cukup jauh.
Mereka berkumpul kembali. Tangan si pemimpin bergerak dalam bahasa isyarat yang dimengerti satu sama lain. Saling mengangguk. Entah apa yang dimaksudkan. Tapi, fakta yang diperlihatkan sangat jelas, mereka keluar tak seperti mereka datang. Kali ini ikut serta bersama kepergian mereka, sebuah benda bertutupkan tirai hitam berbentuk kubus setinggi orang dewasa.
Di saat itu, di ruangan yang tak jauh dari ruang bawah tanah yang dimasuki si pemimpin dan tiga orang bermantel kuning tadi, seorang pekerja yang tampak belum sepenuhnya hilang kesadarannya, tergeletak di pintu dengan menahan rasa sakitnya. Ayah Haiwi. Ia mencoba bersuara. Sayangnya, suaranya tak keluar seperti yang diinginkan. Saat si pemimpin menyadari keberadaan ayah, ia menghampiri dan membisikkan sesuatu di telinga ayah. Tak lama setelahnya, ayah benar-benar hilang kesadarannya dan orang-orang bermantel kuning itu pun meninggalkan lab secepat kedatangan mereka.
@_@
Peristiwa yang baru saja terjadi di laboratorium utara sampai ke telinga komandan Galen. Ia diminta untuk datang ke tempat kejadian oleh rekannya, Komandan Abila dari Divisi Pertahanan dan Keamanan Perbatasan (Dipantas).
Komandan Galen tiba di sana bersama Letnan Rastha menggunakan helikopter. Komandan Galen masih dapat melihat kesibukan para petugas medis yang menangani para korban. Ia pun sempat memeriksa sebentar luka-luka yang menggores di tubuh seorang pekerja laboratorium. Menurutnya, luka-luka itu terlihat janggal.
Ternyata, begitu pula yang dirasakan Komandan Abila yang segera membawa Komandan Galen, Letnan Rastha, dan seorang pekerja lab yang selamat, menyusuri ruangan dalam laboratorium. Mereka mengenakan masker khusus. Waspada pada kemungkinan sisa gas tidur yang masih bercokol di dalam lab.
Ruangan yang berserakan—tidak karuan, dan bercak darah hampir ditemui di setiap ruangan, mengantarkan sketsa imajinasi pergerakan-pergerakan yang berputar seperti rol film di dalam benak masing-masing. Memutarkan reka adegan penyerangan dan perlawanan yang sempat dilakukan oleh para pekerja lab sebelum hilang kesadarannya.
Langkah mereka berhenti tepat di sebuah pintu ruangan paling sudut, tempat yang sama seperti orang-orang bermantel kuning itu berhenti. Pintu yang tampak tertutup itu masih melihatkan jejak bahwa ia telah dibuka secara paksa.
Pekerja lab yang turut serta sempat menahan komandan Galen ketika hendak mendorong pintu dengan alasan tidak memiliki akses masuk ruangan tersebut. Namun, karena otoritas komandan Abila, akhirnya pekerja lab dengan kecemasannya yang kentara mengawal masuk ke dalam ruangan itu.
Tak begitu heran melihat tangga yang menjorok ke bawah tanah. Setidaknya, para komandan divisi di SpeN, berpengalaman akan ruang-ruang seperti ini yang menjadi rahasia umum diantara para petinggi. Lalu, diujung tangga, sebuah lift telah menanti. Mereka masuk dengan sebuah keyakinan bahwa jawaban sebenarnya, menunggu mereka di bawah sana.
Lift berhenti dan mengantarkan mereka pada ruang bawah tanah sangat luas bercahaya putih senada dinding-dinding ruangan. Dilihat dari berbagai peralatan medis dan perlengkapan kebutuhan penelitian lainnya yang terpasang dan tertata di dalam sana, ini bukanlah gambaran ruangan yang telah lama ditinggalkan.
Dua ruangan mencolok menarik perhatian mereka. Di sebelah kanan mereka, sebuah ruangan berkaca yang di dalamnya terdapat meja pembaringan seperti kamar-kamar ruang operasi, menyiratkan sekilas ihwal keberadaannya. Satu lagi, di sudut sebelah kiri dari pintu masuk, paling sudut, terdapat ruangan berteralis besi putih. Gembok teralis yang menyangkut dilubang kuncinya menganga. Gembok berukuran besar itu telah dibuka secara paksa pula seperti pintu masuk di atas sana.
Komandan Galen dan Komandan Abila masuk ke dalam ruangan berkaca, mencaritahu lebih dalam peranan kamar berkaca itu. Menjelajahi dan mencoba menganalisa apa yang dilakukan pekerja lab dalam ruangan cukup besar bersama alat-alat medis di dalamnya.
Sementara Letnan Rastha menuju kamar berteralis. Seketika berjongkok menyapukan jemarinya ketika menyadari goresan hitam hasil gesekan benda keras di lantai. Hasil gesekan itu seolah meceritakan bahwa sesuatu yang tampaknya berat dan disimpan hati-hati, serta terkungkung dalam teralis besi ini mungkin telah digeser atau berpindah. Atau mungkin hilang karena tak satupun benda berat di dalam ruangan, dan tampaknya muat melewati pintu teralis selebar kurang lebih tujuh puluh sentimeter memenuhi deskripsi dalam kepala Letnan Rastha.
Mereka berharap mulut bungkam si pekerja lab mau terbuka. Namun, mata pekerja lab tak berani menatap mereka. Tubuhnya gemetaran. Mulutnya menggumam tak jelas. Syok yang dihadapi si pekerja lab mungkin saja berkali-kali lipat dari yang terlihat. Tak dibenarkan pula memaksanya menjawab keingintahuan mereka. Pun ada yang lebih berhak untuk menjelaskan tentang ini. Ya, orang paling berhak menjawab kebenaran tentang keberadaan ruangan bawah tanah ini, dan mengaitkan semua bukti-bukti pada peristiwa ini, Komandan Bai, Komandan Divisi Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Diptek), yang membawahi langsung seluruh aktivitas di lab utara dan tiga lab lainnya, baru akan tiba sekitar satu jam lagi karena ia sedang bertugas di lab selatan.
Pada akhirnya, Komandan Galen yang dimintai bantuan oleh Komandan Abila yang mencurigai kemungkinan keterkaitan kasus yang tengah ditanganinya pun tak dapat menyimpulkan peristiwa ini. Namun, Komandan Galen menyampaikan deduksi sementara dari bukti yang diperoleh malam ini. Bahwa memang benar waktu kejadiannya dilakukan pada malam hari seperti dalam kasusnya. Namun, untuk mengatakan dilakukan oleh pelaku yang sama, ini membutuhkan investigasi mendalam. Selain itu, lumpuhnya alaram keamanan yang menghubungkannya langsung dengan prajurit penjaga di perbatasan, serta para penyusup yang dapat melewati gerbang Kota Sin tanpa terdeteksi juga perlu diinvestigasi segera. Termasuklah ruangan bawah tanah itu.
Ponsel Komandan Galen bordering kemudian. Kabar penculikan baru terjadi lagi di timur Negara Sin, pulau Agera. Kali ini benar-benar tanggung jawabnya. Setelah memerintahkan Letnan Rastha menghubungi pasukan khusus terdekat dengan pulau Agera untuk segera menuju ke sana, ia berpamitan pada Komandan Abila. Dan bersama Letnan Rastha, ia meninggalkan lab utara.
Naluri Komandan Galen berbicara sesuatu dalam kehati-hatian benaknya, bahwa serangkaian kejadian malam ini bukanlah sebuah kebetulan dan memiliki benang merah. Hanya saja, masih kusut untuk diuraikan.
@_@
Di selimuti langit malam yang sama, Haiwi dan Lota yang dua hari ini menginap di rumah kakek dan nenek, belum mengetehuinya. Tentang ibu dan ayahnya.
Lota sudah terpejam di atas tempat tidur. Sementara Haiwi masih harus mengurusi kewajibannya di setiap malam. Ia mengambil kotak obat persegi panjang berukuran 25 x 15 sentimeter dari dalam koper. Mengeluarkan jarum suntik dan botol berisi cairan berwarna bening. Sudah hampir dua tahun ini, cairan bening itu selalu menemani malam-malamnya. Awalnya ayah atau ibu yang akan melakukan untuknya. Sekarang, ia sudah terbiasa melakukannya sendiri.
“Pasti sakit kan, Kak?” Kata Lota tiba-tiba pada Haiwi yang duduk bersimpuh dan baru saja usai menyuntikkan cairan bening ke pergelangan tangannya.
“Tidak.” Haiwi menoleh pada adiknya yang duduk berjuntai di tepian tempat tidur dengan wajah sedih. Lalu, mengemasi peralatannya tadi dan mengembalikannya ke koper.
Lota mendekat pada Haiwi. Dengan bertumpu lutut, ia melingkarkan tangannya ke leher Haiwi. “Lota selalu berharap Kakak ada di samping Lota seperti sekarang.” Lota melepas pelukan. Duduk bersimpuh di lantai, berhadap-hadapan dengan Haiwi. “Ah ya, Lota sudah tidak sabaran lagi menunggu sabtu. Karena itu artinya, kita bersama ibu dan ayah akan pergi ke acara amal.” Kata Lota begitu sumringah.
Haiwi mengangguk sembari menyentuh pipi Lota dengan kedua tangannya. Keceriaan, ketulusan, dan kebaikan Lota membuatnya iri. Sungguh senang berada di dekatnya. Seharusnya, kata-kata Lota itu keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba, memecah kesunyian malam, telpon rumah berdering. Ini jarang sekali. Seingat Haiwi, ini kali pertamanya mendengar telpon rumah nenek berdering selarut ini. Haiwi dan Lota keluar kamar. Nenek yang mengangkat. Kakek menyusul nenek kemudian.
Nenek tak berlama-lama di telpon. Segera setelah menutup telpon, nenek meminta kakek, Haiwi, dan Lota mengganti pakaian. Mereka harus bergegas ke rumah sakit.
Dan setelah menghabiskan dua puluh menit perjalanan penuh keheningan dalam mobil yang dikemudikan kakek, dan nenek yang menarik Lota dan Haiwi dalam pelukannya, akhirnya mereka dapat melihatnya.
Terbaring di sana. Di atas dua tempat tidur berseprai putih. Berdampingan, ayah dan ibu. Mata Lota baru benar-benar menyadarinya sepuluh detik kemudian. Ia menghambur dalam pelukan Haiwi, menangis sejadi-jadinya.
Pelan-pelan, Haiwi mengajak Lota mendekat, berdiri di antara tempat tidur ayah dan ibu. Lota masih melingkarkan tangannya ke pinggang Haiwi sembari melihat ayah dan ibu penuh kehati-hatian. Haiwi mengambil kursi di bawah tempat tidur dan mengangkat Lota di pangkuannya. Di saat itu, ponsel Haiwi berbunyi sesaat. Tanda sebuah pesan masuk. Ia mengabaikannya. Pikirannya kini hanya tertuju pada ayah dan ibu. Ia terus menatapi kedua orang terkasihnya yang tertidur lelap. Perban yang melingkar di tangan serta kaki ayah dan ibu memberitahunya bahwa keduanya dalam lelap kesakitan.
Matanya tak bisa berpaling. Sudah lama rasanya hati yang bersamayam dalam tubuhnya tak bergejolak seperti ini. Meski ia masih bisa tenang, amarahnya berkecamuk dan menusuk-nusuk hingga jantung. Rasa perih tertahan menyekat tenggorokannya. Padahal, akhir-akhir ini, ia merasakan cahaya tampak bersinar lebih terang dari sebelumnya.
Haiwi memeluk Lota erat. Gerik tubuhnya itu seolah memberitahu, tak boleh lagi ada yang lepas dari dekapannya. Matanya yang biasa datar, memainkan emosi sendu, meneteskan bulir harapan. Tak boleh lagi ada yang tersakiti.
@_@
Seolah sahutan kepiluan yang menggelantung pada langit malam di Kota Sin belum ingin meninggalkan dan ingin melengkapi ceritanya, kehebohan melanda pusat Kota Sin tak lama berselang dari tragedi di lab utara.
Seseorang dari empat tahun lalu, pencipta duka Kota Sin dan masuk dalam daftar buronan paling dicari SPeN muncul tiba-tiba di hampir seluruh papan televisi besar bersuara gedung-gedung pusat Kota Sin. Melihatkan sosok yang berdiri di atas sebuah atap gedung tinggi. Rambutnya yang panjang tergerai tertiup angin. Dan malam ini masih banyak manusia berlalu lalang.
“Baa! Hai! Ringge kembali!” Katanya menyapa.
Tak salah lagi, ia adalah gadis berciri-ciri sama seperti empat tahun silam. Ringge. Penduduk Kota Sin yang menjadi saksi kemunculannya empat tahun lalu di sini, tidak mungkin bisa melupakan penampilannya. Rambut panjangnya dengan warna tak lazim—abu-abu tua, serta wajah yang ditutupi topeng berukir bibir tersenyum dengan warna putih di kanan dan hitam di kiri.
SPeN segera bergerak. Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki, ditemukan titik lokasi Ringge. Di sebuah lantai atap gedung perusahaan bernama Aruna. Tim-tim terbaik telah dikerahkan di jalur darat maupun udara. Tiga helikopter mengudara menuju titik lokasi Ringge. Sementara tim-tim lainnya menyebar ke beberapa titik lokasi. Ada yang mengepung gedung, menyiagakan pasukan di tengah kota, dan bersiaga di beberapa titik lokasi yang diduga akan menjadi jalur pelarian Ringge. Jalannya operasi ini dipimpin langsung oleh Komandan Divisi Keamanan Dalam Kota (Dikota), Komandan Alven.
Sementara SPeN bergerak, tayangan dalam papan televisi besar terus berjalan. Ringge dalam video itu sedang menyanyikan penggalan lagu kebangsaan Sin sembari berputar-putar menari seolah menikmati irama. Usai melantunkan lagu, ia mendekatkan wajah ke kamera.
“Sebagai hadiah perjumpaan kita akan kuberitahu sebuah rahasia. Kami, yang kalian—para filantropis sebut manusia malam, dengan stereotip yang kalian karang sendiri, benar-benar ada dan memiliki kehidupan. Ah, terkejutkah kalian? Bukankah ini yang ingin didengar telinga kalian. Kami, nyata.” Diletakkannya jari telunjuk ke bibir topeng. “Karena sudah terlanjur, bagaimana kalu kita lanjutkan kejutan lainnya?”
Visual Ringge dalam papan televisi besar itu digantikan oleh peristiwa pengeboman berantai empat tahun lalu. Sebuah repetisi masa lalu. Dimulai dari pengeboman di sebuah perusahaan besar bernama Anro Grup, serta diikuti oleh pengeboman di dua bangunan lainnya, rumah sakit SPeN dan pusat perbelanjaan Sin Midtown Mall. Mereka masih mengingat peristiwa itu dengan sangat jelas.
Atmosfer di tengah Kota Sin seketika bercampur. Tangisan, teriakan histeris dan meminta bantuan mulai terdengar dari mereka yang masih trauma. Aroma masa lalu pun mulai terhirup. Petugas SPeN yang sudah berada di beberapa titik kegaduhan dan ketakutan mencoba mengatasinya. Sayangnya, itu tak cukup menafikan ingatan mereka yang bergerak menjelelajah ke masa lalu, di tahun kengerian yang menghantui kedamaian Kota ini.
Satu diantara yang paling diingat dari serangkaian peristiwa empat tahun lalu ialah pengeboman yang bermula meledak di gedung Anro Grup. Karena saat itulah identitas Ringge diketahui publik. Namun, berbicara kemunculan pertamanya di Kota Sin sebenarnya—seperti yang dituturkan SPeN, dimulai tiga hari sebelum peristiwa Anro Grup.
Ringge dan kawanannya muncul dan bertamu tanpa undangan di kediaman keluarga Zen Rahuta Galen di pemukiman klasik ala bangsawan, di kaki Bukit Kayangan, sebelah timur kawasan pusat Kota Sin. Saat itu, si empunya rumah sedang merayakan ulang tahun pernikahan.
Puluhan berita mengabarkan Ringge dan kawanannya telah menyelakai pemilik rumah dan seisi tamu dengan ganas. Tapi, tak ada yang mampu menjelaskannya secara detil karena lampu rumah mewah itu tiba-tiba mati sebelum semuanya terjadi dan kejadiannya begitu cepat. Naasnya, pasangan suami istri empunya rumah yang malam itu tengah berbahagia ditemukan tak bernyawa bersama delapan tamunya.
Para tamu selamat tak dapat memberikan keterangan yang membantu tetang para penyusup. Namun, seorang penghuni rumah lainnya yang selamat sempat memberikan kesaksian, bahwa seseorang yang hampir menyerangnya dan siap menghunuskan pedang kepadanya, mengenakan topeng hitam-putih tersenyum.
Dan untungnya, sebuah kamera pengawas di pintu masuk, dipasang tersembunyi, sempat merekam kedatangan dan kepergian mereka, membantu keterangan penghuni selamat itu. Tiga bertopeng dan tiga lainnya mengenakan masker hitam. Rekaman yang kemudian dianalisis dengan intelektual komputasi, membantu SPeN mengenali satu diantaranya sebagai Ringge. Namanya sudah tak asing di dunia bawah. Meski wajahnya tak pernah terpublikasi, namun tak sulit untuk mengakses visualnya oleh teknologi canggih pemindai fisik yang dikembangkan SpeN—akurat 99 persen. Tapi, beberapa petinggi SPeN, meski mengetahui tentangnya, tak menduga kemunculannya di sini karena mereka yang terlibat dengan dunia bawah tak akan mudah masuk ke negara dengan pertahanan dan keamanan terbaik di dunia.
Atas peristiwa yang menimpa keluarga Galen, keluarga yang turun temurun setia pada perannya sebagai penggerak kegiatan sosial dan amal terbesar di Kota Sin bernama “Rumah” yang membuatnya dikenal baik oleh penduduk Kota Sin, membuat beberapa media pun menaruh simpati dan empati. Menunjukkan rasa belasungkawa dengan berjanji bekerja sama mencari identitas para kawanan pembunuh.
SPeN tentu yang paling bertanggung jawab terus berusaha tak kenal lelah untuk mendapatkan petunjuk dan segera menyelesaikannya dalam timbangan hukum. Kecakapan yang dimiliki petugas SPeN dalam menjalankan mandat pun membuahkan hasil. Dua hari penuh untuk memecahkan misteri di balik penyerangan disertai pembunuhan itu. Hasil investigasi mengarahkan mereka pada seorang pria empat puluhan, pendiri perusahaan besar Anro Grup bernama Awali Anro. Tuan Anro diduga dalang dari penyerangan dan pembunuhan di kediaman Zen Rahuta Galen dengan menyewa Ringge beserta kawanannya untuk meneruskan niatan tak bernurani itu. Tim lainnya mencari keberadaan Ringge yang tak berjejak di Kota ini.
Tibalah saat penangkapan Tuan Anro dengan menunjukkan bukti-bukti cukup untuk menggiringnya dengan borgol di tangan. Tak seperti Ringge dan kawanannya yang menghilang dengan mudah setelah melaksanakan aksinya, Tuan Anro dapat dengan mudah ditemui di ruangan kantor perusahaan miliknya. Bahkan, ia membuka tangan lebar-lebar bekerja sama dengan para petugas SPeN.
Mengejutkan, Ringge dan dua kawanannya muncul dari sebuah mobil van putih di depan gedung perusahaan Anro Grup sesaat setelah Tuan Anro dan petugas SPeN keluar dari pintu gedung. Saat itu, bersarang dugaan paling masuk akal di pikiran para petugas SpeN yang berusaha berani, bahwa kemunculan Ringge dan dua kawanan bertopengnya untuk tujuan menyelamatkan Tuan Anro karena hubungan Tuan dan Pelayan.
Secepat kedatangan mereka, Ringge dan dua kawanannya telah menarik pelatuk pistol di tangan mereka, mengarahkannya pada petugas SpeN untuk membukakan jalan pada Ringge menuju Tuan Anro. Satu mengatasi petugas SpeN yang berjaga, satunya lagi membuat gerakan sangat cepat menuju petugas SpeN yang mengawal Tuan Anro. Gerakannya terorganisasi, tenang, cepat, dan tanpa ragu. Sangat efisien. Satu peluru untuk satu petugas SPeN. Dalam sekejap petugas SPEN pun tersungkur. Saat itu pula, kehebohan para pejalan kaki yang melintas tak terelakkan.
Terbukalah jalan Ringge untuk mendekat pada Tuan Anro dengan pedang panjang berbilah dua. Sontak, mata yang melihat terbelalak—histeris. Tanpa basa-basi dan kata minta ampun terucap mulut Tuan Anro, tak sampai sedetik, ditebasnya tubuh Tuan Anro yang seketika darah segarnya menyembur ke tubuh Ringge dan bercucuran ke lantai. Mematahkan dugaan “kesetiaan” para petugas SpeN yang tak sadarkan diri.
Lalu, secara mengejutkan, sebuah mobil van hitam lainnya dengan kecepatan tinggi berhenti tiba-tiba di depan gedung sampai terdengar decitan keras menggema dari ban mobil yang menggesek aspal. Dua orang dari dalam mobil keluar, menarik tubuh Ringge ke dalam mobil, diikuti dua kawanannya. Saat itulah bom meledak dari lantai lima gedung Anro Grup. Lantas, sahut menyahut suara ledakan dahsyat dua bangunan lainnya, Rumah Sakit SPeN dan Sin Midtown Mall. Asap abu-abu tebal pun memenuhi udara Kota Sin. Lagi, SPeN tidak dapat menangkap Ringge dan kawanannya yang meninggalkan misteri.
Sehari berselang, tiga mayat laki-laki ditemukan di pelabuhan Kota Sin. Ketiganya adalah bagian dari kawanan Ringge yang terekam tak bertopeng. Pada tubuh mayat ketiganya ditemukan luka tebasan mirip seperti luka tebasan di tubuh Tuan Anro. Rumor yang kemudian beredar, Ringgelah yang membunuh mereka dengan alasan yang tidak diketahui pasti hingga sekarang.
Tak ingin mengulang lagi seperti kegagalan empat tahun lalu itu, SPeN sangat berkonsentrasi pada operasi penangkapan Ringge malam ini. Mengalir tekad yang sama dalam diri masing-masing petugas SPeN. Ringge harus ditangkap dan diadili.
Perusahaan Aruna ramai di kelilingi kendaraan SPeN beserta pasukan, dan kerumunan orang-orang yang diwarnai penasaran dan ketakutan. Prajurit SPeN yang bertugas di luar gedung telah menyebar untuk melihat sekitar gedung dan di kerumunan untuk menemukan kejanggalan. Sementara tim yang bergerak di jalur udara, hanya bisa melaporkan temuan peralatan kamera yang ditinggalkan di lantai atap gedung. Tak ada Ringge. Padahal, tayangan masih berjalan. Markas pusat pun masih harus bekerja keras menemukan kemungkinan keterlibatan seorang peretas handal yang mengontrol tayangan pada papan televisi besar. Mereka harus menemukan peretas itu.
Sementara itu, tim yang bergerak di dalam gedung masih menjalankan tugasnya. Ada yang mendatangi ruang kendali kamera pengawas, memeriksa tangga darurat, dan menyisiri ruangan-ruangan dalam gedung. Beberapanya lagi mengumpulkan orang-orang ke dalam aula di gedung itu. Dipersempit jumlahnya dengan menyesuaikan perkiraan tinggi gadis dalam video. Menahan orang yang cukup mencurigakan gerak-geriknya. Kemudian dilakukan investigasi secara khusus di ruang berbeda di sisi lain aula. Kemungkinannya sangat besar bahwa Ringge masih di gedung ini mengingat tayangannya disiarkan secara langsung. Untungnya pula, perwakilan perusahaan tampak mudah dimintai kerja sama.
Sayangnya, jejak yang ditinggalkan Ringge tak cukup kuat untuk mendeteksi keberadaannya. Bahkan kini, Ringge yang melambai, memberikan salam perjumpaan dalam video itu seperti tak pernah ada. Lagi, Ringge hilang dari genggaman. SPeN seolah dibuat hilang kewaspadaannya lagi.
Namun, tak seperti malam itu, hingga kemunculannya dalam video, belum ada tanda-tanda kejahatan yang sengaja dilakukannya. Mungkinkah setelahnya? Tapi, kehadirannya yang tiba-tiba telah menjelaskan bahwa ia datang ke kota ini bukan sekadar menyapa teman lama. Ada maksud tersembunyi yang mungkin dimengerti oleh segelintir orang yang mungkin tengah duduk atau berdiri gusar di ruang-ruang masing-masing. Beberapa pasang mata di gedung-gedung pencakar langit dan di tempat-tempat nyaman lainnya yang telah mendengar kabar tentang kehebohan ini melalui ponsel, bergerak menuju emosi yang sama. Ketenangan mereka mulai dihantui.
Di sisi lain, senyum puas mengembang, menghiasi bibir si pemilik rencana di bawah topi fedora hitamnya dalam balutan jas berompi berwarna hitam. Ia ikut berdiri di antara kerumunan, ikut menyaksikan kehebohan malam ini. Diakuinya, SPeN dapat bergerak cepat. Hanya saja ini masih dalam jangkauan skenario yang diinginkannya. Sebaiknya mereka tak lambat menyadari, gedung tinggi tak bergerak itu ikut andil menyimpan jawabannya.
Satu persatu kehebohan-kehebohan beruntun malam ini sedang menggerogoti kepercayaan diri dan kehormatan SPeN. Segera setelah kejadian di pusat Kota Sin, Jendral Besar SPeN mengadakan rapat darurat. SPeN tidak ingin dianggap gagal melindungi kota dan negaranya sendiri. Harus segera menangkap dalang dari semua rentetan peristiwa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Seperti yang dikatakan naluri komandan Galen, mungkin serangkaian kejadian malam ini memiliki benang merah. Hanya saja masih kusut.
Hujan yang mulai turun pun seperti sedang memihak, ikut membersihkan jejak Ringge di Kota Sin. Melengkapi kekusutan teka-teki tentangnya.
“Akulah tokoh utama dalam ceritaku. Biarkan aku berkompromi tentang takdirku pada Penciptaku, hei Tuan-Tuan bertahta kebenaran. Sebaiknya kalian tak melupakan Ringge!”
Begitulah pesan video singkat itu terkirim otomatis di layar ponsel penduduk Kota Sin dan ponsel pribadi para petinggi SpeN sesaat setelah rintik hujan terakhir mereda. Bahwa Ringge masih di sini, di Kota Sin.
Lalu, di bawah langit Kota Sin malam ini, mereka yang dicerca web murahan dan surat kabar picisan karena menyinggung manusia malam yang seolah fiksi, bergerilya kembali menyambut momen. Menjelmalah mereka menjadi dimensi-dimensi yang seakan menjawab keputusasaan dan keingintahuan orang-orang di kota modern ini. Barangkali, awal bagi alam metafisis yang akan menunjukkan fisiknya suatu hari nanti.
Tanpa disadari, memberikan ruang untuk membawa dan menyebarluaskan perihal manusia malam. Membangun hipotesa-hipotesa bergaya bebas yang dulu diragukan menjadi layak diuji kebenarannya oleh segelintir yang mulai terpengaruh. Belum lagi, di beberapa situs web mendukung cerita ‘fiksi’ manusia malam dengan foto-foto dan perkampungan—meski tak menyorot gamblang wajah mereka. Di situs web lainnya, malah berani menyinggung tentang klan-klan manusia malam.
Bagaimanapun SPeN menyangkalnya, cerita yang dinafikkan itu kini menancapkan keberadaannya dalam dunia maya, dan menampakkan diri sedikit demi sedikit pada surat kabar-surat kabar tak bergengsi yang mulai dicari. Tak tahulah sampai kapan akan bertahan.
Ah, sebenarnya apa yang disembunyikan Kota Sin yang metropolitan dan adidaya ini? Apakah sesuatu yang sangat rahasia? Ataukah benar hanyalah cerita bohong?
@_@
ns 15.158.11.151da2