Aku termenung memangku paket yang baru saja kuterima, sebuah undangan bikini party yang akan diadakan teman-teman kantorku. Aturan gila yang harus dipatuhi oleh setiap peserta party adalah harus mengenakan apapun model bikini yang diterima dari paket. Sebetulnya tak menjadi masalah, karena party ini diadakan oleh teman-teman wanita saja, sebuah party seru-seruan yang seminim mungkin melibatkan laki-laki, party ini bukanlah sex party.
Yang membuatku termenung adalah surat yang dilampirkan dalam paket ini, sebuah surat permohonan izin semi formal yang ditujukan pada pasangan masing-masing peserta party yang sudah bersuami. Ada ganjalan tersendiri yang kurasakan, walaupun tak begitu menyakitkan, karena aku tak butuh surat itu. Mas Adit, suamiku, sudah meninggal.
Pikiranku melayang pada peristiwa sebulan lalu, saat aku menyadari bahwa aku sesungguhnya sudah tak mencintai Mas Adit lagi. Tak kusangka aku akan menyadarinya kini, justru setelah kematian Mas Adit. Tak ada tangis yang pecah, tak ada kesedihan yang membebaniku, saat perlahan peti mati yang membungkus jasad Mas Adit mulai ditimbun tanah sedikit demi sedikit. Hanya gerung tangis Nyonya Agustin, perempuan berusia 80an itu, yang masih terdengar. Sementara Yesi, kakak perempuan Mas Adit, beserta suami dan kedua anaknya tak banyak bicara, tak bisa kutebak apa yang ada dalam pikiran perempuan cantik itu.
Lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengan Mas Adit, mungkin hanya di tahun pertama saja kami menjalaninya dengan cinta. Selanjutnya Mas Adit sangat fokus pada bisnisnya, ia jarang di rumah. Sementara aku, ia mengizinkan untuk bekerja di sebuah perusahaan, sehingga aku tak terlalu memikirkan kesepianku jika ia sedang tak di rumah. Imbas dari keuletan Mas Adit, bisnisnya maju pesat hingga menjadi perusahaan yang besar dalam sekejap.
Namun Mas Adit harus pergi juga dalam sekejap. Tak kusangka selama ini dia menggunakan sejenis obat, yang aku tak tahu apa, untuk menunjang staminanya agar tetap bugar bekerja. Ternyata obat itu dikategorikan narkoba. Entahlah dia tahu atau tidak, namun yang pasti obat itu merenggut nyawanya karena over dosis. Ia tewas meninggalkan kami sebagai ahli waris kekayaan yang sangat melimpah, Aku, Yesi dan Nyonya Agustin.
Di antara kami bertiga, hanya Yesilah yang paling memungkinkan menerima limpahan harta Mas Adit. Nyonya Agustin tentu tak akan mampu lagi meneruskan perusahaan yang sedang maju pesat peninggalan Mas Adit. Sementara aku tak memiliki jiwa kepemimpinan sama sekali, di samping aku juga bekerja pada perusahaan lain. Sedangkan Yesi, saat ini ia kebetulan hendak merintis sebuah bisnis setelah anak bungsunya Dino sudah kelas 2 SMP. Dia sangat tepat mewarisi perusahaan Mas Adit, aku cukup puas hanya memiliki saham di perusahaan itu.
Kubuka paket yang baru saja kuterima, mengambil dua potong kain yang tersimpan di dalamnya. Ketika kurentangkan, aku terhenyak menyaksikan model bikini yang dikirimkan padaku, begitu tipis dan terbuka. Kedua kain itu hanya akan mampu menutup puting dan garis kemaluanku saja. Untuk atasan aku tak begitu merisaukannya, karena kurasa bagian kain itu akan mampu menutup puting susuku. Namun kain penutup bawah membuatku menggelengkan kepala, sama sekali terlalu kecil untuk untuk kemaluanku yang berbulu lebat karena tak pernah kucukur. Aku tak pernah melakukan waxing pada vaginaku lagi sejak menikahi Mas Adit.
Kulihat kalender untuk melihat waktu penyelenggaraan party. Ya, hebat sekali, waktunya hari Sabtu minggu ini, sementara sekarang sudah Kamis. Kubanting paket tadi di bangku sofa dan melangkah ke kamarku mencari gunting. Aku ragu untuk mencukur dengan alat cukur karena selalu ada saja luka yang disisakan. Sementara menggunakan krim dan spatula tak kujadikan pilihan karena selalu meninggalkan iritasi walaupun akan sembuh sendiri dalam beberapa jam.
Kuambil gunting di laci meja hiasku yang biasa kugunakan untuk merapikan ujung rambutku yang suka bercabang jika terlalu panjang. Cermin kecil yang biasa kugunakan untuk memperbaiki riasan kuambil dari tas kerjaku. Namun sialnya, pencahayaan di kamarku tak begitu bagus. Lampu dari atas ruangan tak bisa menyinari bagian selangkanganku dengan baik. Sementara lampu riasan di dekat cermin tak mungkin aku pindahkan dengan mudah. Mengharapkan bias cahaya dari jendela pun tak berguna, karena kamarku menghadap ke timur, cahaya dengan baik akan masuk jika di pagi hari, sementara di sore hari tak begitu baik, belum lagi ditambah pohon perdu yang menutupi jendelaku.
Terpikir mencari pencahayaan yang baik, aku hendak melakukannya di ruang tamu saja. Jendela kaca yang lebar di ruang tamu tepat menghadap ke barat, cahaya matahari sore akan sangat membantu.
Di ruang tamu, segera kubuka celanaku dan melemparkannya ke dekat paket berisi bikini yang tadi kuterima. Tirai jendela kaca kubuka selebar-lebarnya hingga bias cahaya matahari memenuhi ruangan. Kuambil selembar tisu dan duduk di sudut yang terang. Kubuka celana dalamku dan meletakkannya di samping lembaran tissu yang telah kuhamparkan sebelumnya. Kuletakkan cermin kecil tepat di hadapan kemaluanku, memudahkan aku melihat dengan jelas letak bulu-bulu yang begitu lebat menutupi bibir-bibir vaginaku. Sejumput demi sejumput kuraih bulu-bulu yang lebat memanjang itu, kupangkas dengan gunting, kemudian kuletakkan di lembaran tissu agar lekat dan tak beterbangan jika kuletakkan di lantai ubin.
Lumayan lama aku berkutat membersihkan bulu-bulu di tengah-tengah selangkanganku itu. Namun seperti yang kuduga, membersihkannya dengan gunting tak membrikan hasil yang kuharapkan. Bukannya menghasilkan bibir vagina yang mulus, malah bulu-bulu sisa guntingan tampak bopak sana-sini, seperti hasil tukang cukur yang tidak profesional. Menggigit bibir kuletakkan gunting di dekat celana dalamku. Aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Seperti kuduga sebelumnya, aku memang seharusnya memakai krim dan spatula. Walaupun akan iritasi beberapa jam, namun hasilnya sempurna.
Di kamar mandi, kutanggalkan baju kaos dan BH, pakaian terakhir yang masih kukenakan saat mencukur di ruang tamu tadi. Sukurlah kamar mandiku masih menyisakan ventilasi yang menghadap ke barat, hingga cahaya masih masuk membantu cahaya lampu yang kunyalakan. Lagipula aku tak terlalu membutuhkannya. Menggunakan krim dan spatula tak butuh pencahayaan yang terlalu banyak.
Aku duduk telanjang di lantai kamar mandi, merenggangkan kedua pahaku selebar-lebarnya. Kububuhkan krim di jari tangan kananku, sementara jari tangan kiriku kugunakan untuk menutup liang vagina dan clitorisku, tentu saja aku tak ingin bagian-bagian ini terkena krim. Dengan hati-hati kubalurkan seluruh bibir vaginaku yang ditumbuhi bulu dengan krim hingga tertutup seluruhnya.
Rasa hangat membakar kurasakan, sementara pegangan jari pada liang vagina dan clitorisku tak berani kulepaskan, tak ingin tiba-tiba krim nyasar ke sana. Bibir vagina yang tak begitu sensitif saja rasa membakarnya begitu panas, bagaiman lagi jika bagian tersensitif itu terkena krim. Namun begitu, bagian sensitif itu justru mendapat pengaruh lain, tak urung sensasi akibat jari yang kutahan di area itu mengalirkan rasa geli yang nikmat di kelaminku.
Setelah waktu menunggu cukup, kekerik krim dengan spatula, hingga bulu-bulu di bibir vaginaku ikut luruh bersama krim yang tergerus spatula, meninggalkan bibir vagina yang kini mulus tanpa bulu, mengkilat memantulkan bekas krim yang belum dibersihkan.
Dengan telaten dan pelan kuselesaikan pekerjaanku. Namun semakin banyak aku bergerak menyelesaikan aktivitasku, semakin intens pula gerakan-gerakan menekan dan menggoyang tak sengaja jari-jariku di clitori dan liang vaginaku. Di antara rasa hangat akbiat krim di bibir vaginaku, menyeruak rasa nikmat di tengah-tengahnya, menggugah birahiku yang telah lama tak disentuh lelaki.
Semua krim telah kukerik, seluruh bulu-bulu kemaluanku juga telah licin tandas, aku tinggal membilas sisa-sisa krim, namun aku masih bertahan pada posisi mengangkang, masih menekan jariku di celah vaginaku, meresapi kenikmatan dan membayangkannya sebagai tekanan penis lelaki, membayangkan.... Mas Adit?
Oh... tak kusangka pada saat bergairah seperti ini aku teringat Mas Adit. Kuakui, selama ini, sejak Mas Adit mulai sibuk dengan bisnisnya, kami jarang bercinta. Namun kami saling memahami kebutuhan biologis kami masing-masing. Tanpa diberitahu Mas Adit, aku tahu affairnya dengan perempuan-perempuan yang mudah dijangkaunya saat berbisnis, entah sekretarisnya atau partner bisnisnya. Aku rasa Mas Adit juga tahu, kalau di saat-saat sepiku, aku juga kadang mengumbar kemesraan dengan beberapa teman kantorku. Namun kami tak pernah mempermasalahkannya. Sedangkan aku, tetap saja sex terbaikku adalah Mas Adit. Bercinta dengan Mas Adit, walau dalam frekuensi yang jarang, adalah saat-saat paling menggairahkan dalam kehidupan sexku.
"Auhh..." Aku mengejang memuncaki ledakan orgasmeku, walaupun hanya dengan menekan-nekankan jariku ke clitorisku. Rasa hangat membakar bekas krim, berbaur dengan rasa hangat nikmat aliran orgasme yang makin menghangatkan celah kemaluanku.
Kubersihkan sisa krim yang telah tercampur dengan lendir gairah dan lendir orgameku. Sekalian saja aku mandi dengan perasaan sedikit lega telah memuaskan hasratku walaupun hanya dengan sentuhan jari.
Dengan berbalut selembar handuk tak begitu lebar yang kuikat sesenti di atas puting payudaraku dan hanya menutup seadanya kemaluanku, aku melangkah keluar kamar mandi. Alangkah terkejutnya aku ketika menemukan di ruang tengah, tempatku tadi mencukur kemaluanku, Dino tengah duduk dengan wajah tepat di hadapan bulu-bulu kemaluanku yang lekat di lembaran tisu.
"Dino?" panggilku.
"Hah!!" kagetnya terlonjak. Kemudian tanpa kata ia langsung kabur ke pintu. Sempat kulihat gelembung di celananya saat bangkit berdiri tadi.
Kuurungkan niatku mengejar anak itu, mengingat keadaanku yang hanya berbusanakan handuk. Aku sebetulnya ingin mengatakan ia tak perlu takut, karena aku tak marah. Ini semua sepenuhnya adalah keteledoranku.
Memang semenjak kematian Mas Adit, entah mengapa Dino hampir setiap hari ke rumahku. Jarak rumah kami memang hanya beberapa blok. Dino biasanya mengantarkan apa saja, entah itu makanan, entah itu keperluan sehari-hari. Aku rasa Yesi ingin berterima kasih padaku yang tak menuntut perusahaan warisan Mas Adit. Saking seringnya Dino datang, kadang aku kasihan jika ia datang saat aku tak ada di rumah, ia akan setia menunggu di depan pintu. Aku kemudian memberikan sebuah kunci padanya agar bisa masuk jika aku tak ada di rumah. Mungkin tadi aku tak mendengar ia mengetuk pintu hingga ia masuk sendiri dengan kunci yang ia bawa hingga menyaksikan segalanya. Aku yakin anak seusia Dino sudah memahami arti semua yang dilihatnya di sana, jika satu set bikini teronggok di sofa, kemudian celana beserta celana dalam yang berserakan begitu saja, ditambah lagi tissu yang dipenuhi bulu-bulu di atas lembarannya.
Aku ke kamarku, melepaskan handuk yang merupakan satunya penutup tubuhku saat itu. Kuambil antiseptik dan mengoleskannya di bibir vaginaku yang terasa iritasi setelah dikerik krim tadi. Kukangkangkan selangkanganku agar cairan antiseptik tak terlalu perih dengan diangin-anginkan. Sejuk kurasakan mengurangi perih di kelaminku. Hmm... aku siap menghadapi bikini party di hari Sabtu.
Hari Sabtu, segala pengorbananku mengikis seluruh bulu di vaginaku memperlihatkan hasil memuaskan. Aku dengan percaya diri memamerkan lekuk-lekuk tubuhku berbalut bikini super sexy yang dikirmkan padaku. Aku puas menyaksikan tatapan iri teman-teman sekantorku. Sangat menggelikan ketika melihat Lilis tak mencukur kemaluannya, sehingga rumbai-rumbai bulu terlihat mengintip sana-sini di sela-sela bikininya. Kumaklumi karena Lilis tengah memiliki anak kecil, mungkin terlalu sibuk baginya memperhatikan dirinya.
Senja sudah cukup tua ketika party berakhir. Setelah membilas tubuhku bekas air kolam renang, aku berkemas pulang. Bikini yang kukenakan hendak kubilas di rumah saja karena tak membawa detergen. Saat akan memasuki bis rombongan, ponselku berdering, Yesi menelepon.
"Hallo...," sapaku.
"Dian...," Suara di seberang sana biasa selalu bersemangat. "Gimana weekend kamu? Denger-denger kantor kamu adain bikini party? Gila-gilaan enggak?"
"Ih. Mbak Yesi ada-ada aja. Pesertanya cewek semua kali," jelasku
"Oo... kirain," katanya
"Ada apa, Mbak. Dian ini lagi mau jalan pulang."
"Iya... kebetulan, Dian. Tadi sore aku suruh Dino ke rumahmu. Barusan kutelepon dia bilang sendirian di sana. Heran tuh anak, dua hari ini kayaknya ogah-ogahan kusuruh ke rumahmu."
Aku teringat peristiwa Kamis kemarin. Pasti itu penyebab Dino enggan ke rumahku lagi.
"Dian..., masih di sana kan?" Yesi mengira hubungan terputus.
"Iya, Mbak."
"Aku suruh Dino malam ini nginap di rumahmu. Nggak ngerepotin kan? Lagian Si Dino kan sudah gede gini."
"Nggak apa-apa, Mbak. Dino malah suka bantu-bantu di rumah," kataku tak keberatan.
"Emang ada acara apa di rumah, Mbak Yesi?"
"Ah, kamu. Beneran mau tahu?" timpalnya. "Ini... kemarin sore kan Yolanda kakak Dino hangout, mau nginep di puncak sama temen-temennya katanya. Nah, Si Dino perlu Mbak ungsikan dulu, udah lama Mbak nggak gila-gilaan sama Mas Bram. Tuh obatnya udah diminum, ntar malem pasti udah bereaksi. Kira-kira abis berapa ronde ya?" Panjang lebar Yesi menjelaskan.
"Mbak mabuk, ya?" Aku menahan senyum.
"Hmmm... entahlah, Dian. Perasaan baru segelas deh wine yang Mbak minum. Udah dulu yaaa... mau bersih-bersih dulu... daaaah. Titip Dino ya."
Aku mendesah menahan senyum menutup ponsel, menikmati semilir sejuknya AC bis yang mengantar kami ke alamat masing-masing.
Aku sampai di rumah sudah jam sembilan lewat. Sunyi keadaan rumahku seperti tak berpenghuni. Jika saja Yesi tadi tak menelepon, aku tak akan tahu kehadiran Dino di rumahku. Saat memasuki rumah, keadaan tak kalah sunyi. Kupikir Dino sudah tidur. Anak lugu dan rajin sepertinya biasanya tidur cepat. Apalagi rumah sesepi rumahku.
Kulepaskan seluruh pakaian yang kugunakan bepergian tadi, digantikan hanya selembar daster tanpa dalaman. Setelah banyak bergerak di party tadi, aku ingin membebaskan pori-poriku malam ini, tak ingin terhalang oleh ketatnya BH dan celana dalam. Kubilas set bikini yang tadi kukenakan. Tak butuh waktu lama karena memang begitu minim kain yang digunakan untuk membuatnya. Aku ke halaman belakang menjemurnya. Keadaan rumah yang sunyi, dengan tembok tinggi mengelilinginya, aku merasa aman melakukan beberapa gerakan peregangan.
"Eh, Dino!" kagetku ketika melihat Dino sudah berdiri di dekat kursi taman.
"Belum tidur?" tanyaku mendekatinya.
"Enggak bisa tidur, Tante," katanya malu-malu.
"Ya sudah. Ayo duduk di sini sama Tante." Kutarik tangannya untuk duduk di sampingku yang telah lebih dahulu duduk.
"Tante kemarin enggak marah kok." Sengaja kudahului menyinggung peristiwa di ruang tamu itu, karena kuyakin anak ini tak akan bisa memulainya. "Itu salah tante kok sembarangan naruh barang-barang. Dino lari kenapa emangnya?"
"Anu... itu... Pas liat celana dalam sama BH tante... Dino... eee..."
"Tititnya tegang ya," potongku melanjutkan dengan menghadiahkan senyum yang paling manis padanya.
"He he..." Dino memaksakan tawanya.
"Itu wajar kok. Lagian itu bukan celana dalam sama BH, itu namanya bikini, pakaian renang."
"Pakaian renang kok sekecil itu, apanya yang ditutupin?" Dino menatap lurus pada bikini yang kini terjemur.
"Memang dibuat sekecil itu, Dino. Hanya untuk menutup puting sama garis kemaluan saja. Makanya Tante kemarin cukur bulu-bulu kemaluan Tante."
"Hah!?" Aku geli melihat wajah Dino melongo mendengar kata-kataku yang tanpa tedeng aling-aling itu.
"Jj...jj... jadi yang Dino liat kemarin itu benar-benar bulu anu Tante?"
"Iya. Emang kenapa, Dino?"
Dino tak langsung menjawab, namun menunduk malu-malu.
"Ayo, cerita aja. Tante nggak marah ini."
"Gini, Tante. Dino pernah liat gambar cewek bugil. Tapi sumpah, Tante. Bukan punya Dino, punya teman. Dino cuma liat."
"Iya.. iya... udah dibilang Tante enggak marah kok."
"Terus..." Dino mulai nyaman bercerita. "Dino rasanya gimanaaa gitu liat...eee... itunya....eee... anunya cewek yang berbulu..."
"Liat memeknya," tegasku menghilangkan keraguan Dino.
"Kalo sudah dewasa emang memeknya berbulu, Dino. Kamu juga ntar ada bulunya."
"Iya, sih. Kalo itu Dino udah tau... tapi..."
"Tapi apa, Dino?" tanyaku lembut melihat dia kembali ragu.
"Kalo... mmm kalo dicukur.... Ntar kayak memek anak-anak dong," lanjutnya polos.
"Ha, ha, ha," Aku tak dapat menahan tawaku mendengarnya. "Ya bedalah, Dino," lanjutku di sela-sela tawaku.
"Ih, dulu Dino liat memeknya Yolanda pas nggak ada bulu, Dino nggak apa-apa. Sekarang..." Dino menutup mulutnya seperti orang keceplosan.
"Kamu udah pernah liat memek Yolanda kakakmu ya?" Aku berusaha seceria mungkin mengatakannya agar Dino tak malu mengakui bahwa ia pernah melihat kemaluan kakaknya. "Kamu liatnya sampe tititnya tegang yaaa...."
"I...ii... iya. Tapi enggak sengaja kok. Yolandanya aja yang sembarangan ganti baju nggak nutup pintu."
"Ya... kan sekarang Yolanda udah dewasa, sebentar lagi tamat SMA. Beda lah sama pas anak-anak."
"Emang tetap beda biar bulunya dicukur?" tanyanya.
"Iya lah."
"Bedanya gimana?" tanyanya lagi.
"Ya beda lah pokoknya." Aku tak tahu lagi menjelaskannya. "Yang namanya udah dewasa pasti bedalah sama punya anak-anak."
Dino diam saja, namun aku masih melihat sejenis ketidak mengertian di wajahnya. Saat itulah tiba-tiba aku merasa ada dorongan gila dari hatiku.
"Gini, Dino," kataku pelan menjelaskan. "Perbedaannya hanya bisa dimengerti saat kamu sudah liat langsung. Itu pun kamu yang bisa bedakan. Gini... bedanya cewek anak-anak sama cewek dewasa cuma bisa diliat cowok, trus bedanya cowok anak-anak sama cowok dewasa cuma bisa diliat cewek."
"Dino makin nggak ngerti," timpalnya mulai frustasi.
Aku menarik nafas sekejap sebelum melanjutkan.
"OK... sekarang coba Dino liat sendiri."
Aku akhirnya nekat. Berdiri di hadapannya yang duduk di kursi taman, kuraih tepian bawah daster yang kupakai dan mengangkatnya, memperlihatkan kemaluanku yang tempo hari kucukur plontos, yang sebetulnya persis punya anak kecil.
Dino menatap lekat pada selangkanganku, melongo seperti terhipnotis, tak menduga akan mendapat pemandangan itu pada jarak tak sampai semeter.
"Gimana? Udah tahu bedanya?" tanyaku lembut, mencoba menekan gemuruh jantungku juga.
Aku turunkan lagi dasterku setelah melihat anggukan Dino. Duduk di samping Dino, aku berusaha mengatur nafasku yang mulai memburu setelah melakukan hal yang sangat erotis tadi. Tak dapat kutahan mataku berkali-kali melirik tepat pada gembung di balik celana tidur Dino,yang setengah mati ditutupi oleh pemiliknya.
"Dino...," panggilku. Tak pelak suaraku serak menahan gemuruh hatiku.
"Ya, Tante," jawabnya tak kalah serak.
"Mmm... Tante yakin kamu sudah dewasa... jadi... mmm kan kalo cewek, yang tau bedanya cowok. Truss....mmm kalo cowok, tentu yang tau bedanya cewek.... nah Tante nanti yang tau bedanya kalo titit Dino udah dewasa ato masih anak-anak." Lidahku terasa kelu menyampaikannya pada Dino.
"Dino nggak ngerti, Tante." Wajah polos anak ini malah membuatku frustasi.
Kutarik nafas dan menarik tangan Dino, menuntunya agar berdiri di depanku yang duduk di kursi taman. Kuraih karet celana tidurnya dan menatap wajahnya yang tampak bernafas memburu.
"Tante pengen tahu titit kamu dewasa atau belum," bisikku.
"Tapi belum ada bulunya, Tante," bisiknya pula.
"Biar tante yang liat bedanya," kataku seraya melorotkan celana tidurnya. Serta merta penis yang tadi terpenjara melonjak mengacung di hadapanku. Hatiku makin berdebar menyaksikan penis yang begitu muda namun penuh gairah, seakan penis itu sedang menatap tajam pada binalnya perilaku yang kutunjukkan saat itu.
"Hah!!!" pekikku kaget ketika tanpa kuduga Dino mendorong tubuhku hingga jatuh terlentang di kursi taman. Secepat kilat Dino telah melepaskan celananya dan naik ke kursi taman. Detik berikutnya ia sudah menindihku, sementara dasterku telah disingkap hingga ke perut, memamerkan kembali belahan segitiga plontos di selangkanganku.
Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tak secepat ini. Dino sudah di ujung nafsunya hendak melampiaskannya. Aku tak memberikan perlawanan apa-apa di bawah tindihannya. Saat kurasakan penisnya menusuk-nusuk di selangkanganku, aku sebetulnya hendak memberi jalan pada anak yang sudah tak terkendali ini dengan merenggangkan pahaku, namun tak bisa kulakukan karena kedua paha Dino yang menunggangiku mengapit kedua pahaku.
"Khhkkhh..." Dino menggeram ketika mendorongkan pinggangnya ke depan. Kurasakan penisnya menusuk ke bibir vaginaku. Namun posisi pahaku yang rapat menyebabkan penis itu salah alamat malah berbelok menerobos ke jepitan selangkanganku.
"Dino..." Aku mencoba mendorong tubuh anak ini, hendak memberitahu bahwa ia salah melakukannya. Namun ia malah memeluk erat tubuhku dalam tindihannya dan mendorong lebih dalam hingga kurasakan ujung penisnya mencapai paha belakangku, dekat belahan pantatku.
"Aaakkkhhh..." erangan keras Dino mengiringi saat kurasakan penisnya mengembang dan berdenyut-denyut di jepitan selangkanganku, diiringi rasa basah pada luberan sperma di bagian belakang dasterku dan belahan pantatku. Anak itu rubuh setelah ejakulasi di atas tubuhku.
"Dino...," panggilku selembut mungkin agar tak membuat anak ini takut. Namun yang terjadi tak kalah mengejutkanku. Ia seperti tersadar sesuatu dan terkaget, bangkit secara tiba-tiba dan berlari kencang ke dalam rumah setelah memungut celananya.
Aku bangkit setelah kepergiannya, menyaksikan dengan geleng-geleng kepala pada sperma yang membasahi daster dan selangkanganku. Aku berjalan ke kamarku dengan paha lengket-lengket sperma. Di kamar, kulepaskan dasterku dan menggantinya dengan daster lain setelah kubersihkan bekas sperma Dino di badanku. Aku telah berbaring di ranjang ketika kudengar ketukan pintu. Dino menghambur memeluk lututku ketika kubuka pintu.
"Ampun, Tante... Dino tadi enggak bisa nahan diri.... Jangan bilangin Mama... Dino nggak mau dipenjara... hu hu hu..." Dino tersedu-sedu.
"Shhh... sudah, sudah.... ayo, sini." Kuraih tangan anak ini dan menuntunnya ke tempat tidur.
"Sudah, diam. Siapa yang bilang kalo Tante mau bilangin ke Mamamu, hm?" Kubelai pipinya menenangkannya.
"Tante enggak marah." Dino masih sesenggukan.
Aku menggeleng.
"Tapi kan, tadi Dino perkosa Tante. Nanti Dino dipenjara, ditangkap sama polisi."
"Idih, siapa yang bakal masuk penjara sih. Ngaco kamu ah." Aku merangkak ke tengah tempat tidur dan membaringkan diri.
"Daripada ngaco gitu, mending kamu tidur dah sini sama Tante." Aku menepuk tempat kosong di sampingku. "Sini..., kamu cerita aja sama Tante sini..."
Dino beringsut dan berbaring di sampingku.
"Maafin Dino, ya, Tante... soalnya... sejak liat bulu memek Tante tempo hari, Dino jadi terus kepikiran," cerita Dino. Ia mulai santai saat berbaring.
"Sampai-sampai kebawa mimpi," lanjutnya. "Dino jadi mimpiin masukin titit ke memek Tante." Dino menutup mukanya malu. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
"Gara-gara itu Dino mimpi sampe keluar sperma," katanya.
"Kok Dino tau itu sperma?"
"Kan ada di pelajaran, Tante."
"Ooo." Aku ber oo panjang menyadari kebodohanku. Tentu saja ini sudah diajarkan disekolah. Aku menguap dan hampir terlelap ketika Dino menggenggam tanganku.
"Maafin Dino, ya, Tante...."
"Hmmm," balasku malas karena mengantuk.
"Abis enak sih, Tante."
Aku geli mendengar kepolosan anak ini, namun aku terlalu mengantuk hingga hanya mencubit lembut lengannya sebelum terlelap.
Tengah malam aku, entah jam berapa, aku terjaga ketiga merasakan geli di selangkanganku. Ketika membuka mata, kutemukan diriku dalam posisi memeluk Dino seperti guling, lututku naik begitu tinggi di pinggangnya yang tengah terlentang hingga membuat dasterku tersingkap sampai ke pinggulku, memamerkan pantatku yang terasa dingin ditiup hawa malam. Geli yang kurasakan ternyata bersumber dari tangan Dino yang gelisah karena tertindih tepat di vaginaku. Terasa di betisku celana anak itu mengeras di bagian kelaminnya. Kaget dengan posisi ini, segera kutarik lututku.
"Maaf, Tante. Dino nggak berani bergerak. Tadi Tante tiba-tiba sudah meluk Dino." Dino bangkit duduk menyamping bertumpu tangan kanannya, berusaha meminta maaf lagi.
"Udah.... nggak apa-apa. Salah Tante juga kok." Kudorong lembut tubuhnya agar kembali berbaring. "Lama ya Tante posisi gitu?"
Dino mengangguk membenarkan. Ketika kulihat tonjolan di celananya setelah ia kembali terlentang, hatiku berdesir. Suasana sejak tadi yang terkesan mesum membuatku sedikit bergairah. Apalagi tadi aku sempat merasakan penis itu di selangkanganku walaupun tak sempat memasuki ragaku.
"Tante enggak marah?" Wajah anak itu masih saja khawatir. Aku beringsut mendekatinya, berbaring miring menghadapnya bertumpu pada sikuku. Kupandang wajahnya dengan senyumku dan menggelengkan kepala lembut. Kemudian kucium kening anak itu menenangkannya, namun yang kurasakan justru ciuman penggugah gairah. Tak dapat kukontrol ciumanku malah berpindah ke bibirnya. Saat aku hendak mengulumnya, anak itu menarik wajahnya.
"Kenapa?" bisikku.
"Ciuman Tante kok beda dari ciuman Mama?" herannya.
"Kamu nyaman, nggak?" Kutahan nafasku yang memburu. Saat kulihat anggukan kecilnya, kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Pelan kumulai memainkan bibirku, mengulumnya, memainkan lidahku. Aku senang sekali ketika menyadari anak ini belajar dengan cepat, ia ikuti semua yang kulakukan hingga tanpa sadar kami sudah hanyut dalam ciuman yang panas.
"Suka?" tanyaku dengan nafas terengah penuh gairah ketika melepaskan ciuman. Ia lagi-lagi mengangguk.
"Tante akan kasih kamu hadiah kalo kamu janji enggak main tubruk kayak di taman tadi. Mau?"
"Hadiah apa, Tante?" Ada getar yang kudengar pada suara Dino.
"Kamu janji dulu," kataku seraya bangkit duduk. Ketika aku menoleh Dino tersenyum.
"Iya... janji," katanya mantap.
Aku tersenyum dan meraih pinggiran bawah dasterku. Saat kutarik keatas, kuangkat sedikit pantatku, kemudian kuloloskan keatas semuanya.
"Ttt...Tante..." gagap Dino saat kulemparkan begitu saja daster di ranjang, meninggalkan tubuhku yang kini polos sepolos wajah anak yang langsung bangkit duduk di sampingku.
"Eit..., ingat janjimu," tangkisku ketika ia hendak memelukku. Kemudian kudekatkan lagi wajahku ke wajahnya, mencium lembut bibirnya kemudian mulai mengulumnya seperti tadi lagi.
"Hmm....mch.... aahh." Ciuman kami terlepas dengan dengusan nafas memburu.
"Ttante.., boleh Dino pegang?"
Aku mengangguk dan meraih tangannya, menuntunnya menuju dadaku.
"Auh...pelan-pelan, Dino," pekikku lembut ketika Dino meremasnya. Sukurnya anak itu segera tanggap dan tak meremasnya lagi. Kutelusupkan tanganku dari bawah kaos yang dikenakan anak itu, merabai putingnya dan memelintirnya.
"Ah, Tante.... uhmmm." Kukulum bibir anak itu meredam erangannya. Detik selanjutnya kurasakan jemari anak itu melakukan hal yang sama pada puting payudaraku. Secara naluriah ia melakukannya lebih baik karena putingku tentu lebih besar dari putingnya.
"Hmmhh... mmh.. mmh..." Erangan kami saling teredam dalam kuluman yang semakin panas.
"Mmmh... ahhh.." Kulepaskan kuluman bibirku dan mendorong kepala anak itu ke dadaku, mengarahkan mulutnya pada puting sebelah kiriku. Bukannnya mendapat jilatan dan kuluman seperti yang kuharapkan, Dino malah mencaplok dan menghisap putingku seperti anak kecil menyusu, dasar amatir. Kubiarkan anak itu memuaskan dirinya menyusu tanpa ASI sebelum akhirnya kudorong kepalanya dan mengarahkannya duduk tegak di hadapanku. Kuangkat pinggiran bawah kaosnya untuk meloloskannya. Tak kusangka anak itu malah meloloskan juga celananya, hingga kini kami berdua sudah duduk berhadapan bugil.
Aku tersenyum dan membelai dada Dino. Kuelus dan kupelintir lembut puting kirinya, sementara wajahku mendekati dada kanannya. Kujulurkan lidah dan menjilat-jilat puting yang begitu kecil itu mengeras, kukulum lembut, kuhisap-hisap, kemudian kembali kujilati. Dino mengerang nikmat dan melampiaskannya meremas payudaraku. Untunglah ia sudah tahu batas antara remasan nikmat dan remasan yang menyakitkan.
Ketika kulihat ke bawah, batang kemaluan Dino yang duduk mencuat ke atas, tegang sempurna menatapku yang tengah mengulum puting susu tuannya. Kuraih batang penis itu, kubelai lembut dan kukocok-kocok tanpa menghentikan aktifitasku di dadanya.
"Auhhh..., Tante!!!" Kuhentikan kocokanku dan kujepit erat leher penis Dino dengan jari telunjuk dan jempolku saat ia hampir saja meledak ejakulasi. Penis itu mengembang dan berkedut-kedut tanpa memuntahkan isinya yang kusumbat erat.
Kulepaskan penis itu dan mengangkat wajahku dari dada Dino, menatap lembut dan memberikan senyum padanya yang baru saja menggapai puncak walau baru setengah rasa.
"Enak?" tanyaku menggoda.
"I... iyahhh..." jawabnya menderu.
"Lihat," kataku memegang kembali penisnya yang masih tegang. "Kamu bisa menikmatinya lebih lama, tanpa menghentikannya terlalu cepat seperti tadi... Kamu suka kan kalo enaknya lebih lama?"
Dino mengangguk dan menyentuh dada kiriku, membelainya menirukan tingkahku padanya beberapa saat lalu, memelintir putingnya membuatku mendesah tak tertahan. Ia julurkan kepalanya ke payudara kananku dan mencucupnya, menjilatnya, mengulumnya, menghisapnya pelan. Gila... anak ini cepat belajar.
Tangannya menjulur ke selangkanganku, tampaknya ingin menirukan aku tadi yang mengocok penisnya. Ditusukkannya satu jari pada sedikti sisa garis belahan vaginaku. Pasti ia mengira menemukan lubang vaginaku, padahal hanya menari-nari di ujung atas clitorisku.
"Ahh..., Dino," erangku, tak tahu rangsangan yang mana yang menstimulasi aku lebih kuat, hisapan dan jilatan di putingku atau tusukan jemari di clitorisku. Kurapatkan pahaku menahan geli nikmat di sana, menyebabkan tangan Dino terjepit tak bisa bergerak. Kuangkat wajah Dino dan menciumnya dengan gemas.
"Dino, jangan cepat-cepat berhenti ya. Tahan yang lama," bisikku sebelum menggelosorkan kepalaku, mencaplok penis yang sejak tadi mengacung tegak ke atas, menghisap-hisap dan memainkan lidahku pada ujung penisnya.
"Akhh, Tante." Dino menarik kepalaku ingin melesakkan penisnya sedalam-dalamnya di mulutku.
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat membuat penis itu terlepas dari mulutku, secepatnya menjepit leher penis itu lagi sebelum menyemburkan isinya, membuatnya berkedut-kedut tanpa daya melepaskan sperma yang kusumbat.
"Nah... kan..." kataku sambil tetap menjepit leher penisnya, membuat Dino meringis sedikit kesakitan. "Apa Tante bilang tadi? Jangan hentikan secepat itu. Emangnya kamu enggak kepengen masuk ke sini?" tanyaku melepaskan penisnya dan menunjuk vaginaku sendiri.
"Mem... memangnya bb... boleh, Tante?" Dino surprise seperti tak percaya.
"Asal kamu janji, tidak bakal cepet-cepet selesai, ditahan sampai Tante izinkan. Gimana?"
"Tt.. tapi, Tante..." Dino tampak ragu. Aku sebetulnya maklum karena masih tak ada pengalaman sama sekali.
"Nggak apa-apa. Kamu pasti bisa. Mmmh," ciumku sebelum aku menelentangkan diri di sampingnya.
Dino menjulurkan tangannya pada vagina plontos yang tempo hari kucukur. Saat ia hendak menusukkan jarinya pada garis vaginaku, secara tiba-tiba kurenggangkan pahaku selebar-lebarnya, memperlihatkan letak lubang yang sebenarnya pada anak ingusan ini.
"Hah..." Dino melongo menemukan kenyataan indah yang berbeda dari yang ia tahu, matanya tak lekat menatap lubang vagina yang kini merekah. Wajahnya mendekat hingga hanya beberapa senti di depan liang vaginaku, mengeksplorasi bagian terindah wanita yang telah terekspose dari tempat persembunyiannya.
"Ahhh..." Aku hampir tak mempercayai yang terjadi, entah belajar dari mana Dino tiba-tiba menjilat vaginaku, menghisap-hisapnya.
"Ahh...." Sekali lagi aku terkejut saat sebuah jarinya menusuk tepat pada lubang vagina licinku. Aku hampir percaya dia sudah memahami segalanya, jika saja tak menyadari bahwa jilatan dan hisapannya tak terfokus pada clitorisku, bahkan terkesan ia mengabaikan bagian itu. Rupanya dia hanya meniru apa yang kulakukan padanya, tak mengerti sesungguhnya letak ternikmat kelamin wanita.
"Dino...," panggilku, membuat ia menghentikan kegiatannya dan mendongak menatapku.
Dengan kedua tanganku kurekahkan bibir vaginaku bagian atas, sementara satu jariku menunjukk ke tonjolan di tengah-tengah ujung belahan vaginaku. "Di sini," lanjutku.
"Akhkhkh...." Begitu cepat Dino memahami keinginanku membuatku menggelinjang tak berdaya ketika ia mulai menjilat, mencucup, menghisap dan mengulum kacangku itu, sementara jarinya secara naluriah tetap mengocok-ngocok lubang vaginaku.
"Hupp..." Kutangkap tangan Dino yang mengocok vaginaku dengan satu tanganku dan mendorong kepalanya dengan tanganku yang lain. Ia mengangkat kepalanya dari vaginaku dan menatap wajahku.
"Kok disuruh berhenti, Tante?" katanya heran.
Aku tersenyum dan meraih tubuhnya yang dalam posisi duduk di sampingku. Kugiring tubuhnya ke tengah-tengah pahaku yang kubuka seleber-lebarnya lagi.
"Ttt... Tante..." Dino menatap tak percaya pada dua kelamin kami yang kini berhadapan, ujung penisnya hanya beberapa senti dari lubang vaginaku. Ia menatapku masih tak percaya pada kesempatan yang akan kuberikan padanya. Aku mengangguk menghilangkan keraguannya.
Dino beringsut mendekatkan penisnya ke mulut vaginaku. Hatiku berdebar kencang ketika merasakan kepala penisnya menempel tepat di lubangnya.
"Sini..." kataku menarik tubuhnya menindihku saat ia kesulitan memasukkan penisnya dengan posisi duduk karena tak ada ganjalan di pinggangku. Penisnya meleset dari lubang vaginaku karena berubah posisi. Kuraih batang penis yang ada di antara selangkangan kami itu.
"Dino," bisikku, "Coba kamu kenali rasanya, biar kamu bisa temukan lubangnya tanpa melihat."
Dino mengangguk ketika dengan perlahan kugeserkan batang penisnya. Sengaja kutekan-tekan ujung penisnya di permukaan kulitku agar ia bisa mengenali rasanya. Terus kugeser hingga ujung penisnya kembali menemukan lubang dengan tepat.
"Dor.....ooohhhhhnngggg.... ohhhhh." Tak dapat kuselesaikan kata-kataku dengan sempurna ketika Dino inisiatif sendiri mendorong, melesakkan penisnya, menyesaki dinding-dinding vaginaku.
"Aukhkh!!!" pekikku kaget ketika Dino tiba-tiba menarik penisnya saat aku sedang meresapi kenikmatan yang baru kurasakan. Berlutut di antara pahaku, Dino menegakkan tubuhnya menjepitkan jari jempol dan telunjuknya pada leher penisnya sendiri. Aku tersenyum sendiri melihat penis itu berkedut-kedut tanpa ejakulasi.
"Tante...?" Dino menatapku dengan pandangan berat. Rupanya kenikmatan yang baru sekali ia rasakan ini terlalu banyak.
"Nggak apa-apa," kataku menenangkannya.
"OK, sekarang kamu tarik nafas panjang beberapa kali..." lanjutku mengarahkan. Dino nurut hingga ia tampak mulai agak tenang setelah beberapa kali mengatur nafasnya.
"Kamu bisa lanjutkan saat kamu benar-benar siap lagi. Jangan buru-buru. Oke?" Kugosok-gosok sendiri clitorisku, mempercepat rangsanganku sendiri, tak ingin terlalu berharap pada kemampuan anak ini.
"Oh..." Aku sedikit kaget ketika Dino kembali menindihku karena saat itu aku tengah menikmati gesekan jariku sendiri di clitorisku. Tanpa kuarahkan dia bisa mencari sendiri lubang yang tepat dan melesakkan kembali penisnya.
"Ahhh...," desah kami bersamaan. Kupejamkan mata meresapi kembali persenggamaan kami ini. Namun beberapa saat kemudian waktu untuk meresapinya terasa terlalu lama dalam diam. Kubuka mata dan menatap wajah Dino di atasku yang juga tengah menatap wajahku.
"Kok belum digoyang?" tanyaku dalam bisikan birahi.
"Digoyang?" Dino balik bertanya.
Aku tersenyum mendapati begitu polosnya anak ini. Tanpa banyak kata kuraih kedua belah pinggannya kemdian menggoyangkannya depan belakang hingga penisnya mengocok-ngocok liang vaginaku menimbulkan kenikmatan. Mengerti apa yang harus dilakukan, Dino menggoyangkan sendiri tubuhnya, merojok memberi kenikmatan dalam gesekan-gesekan tautan kelamin kami.
"Auuu!!!!" Saat aku tengah menikmati goyangan persetubuhan kami, tiba-tiba Dino kembali menarik penisnya dari vaginaku, menegakkan badannya dan menjepit leher penisnya kembali. Tanpa dapat kucegah otomatis tanganku segera menggantikan penis itu, menggosok-gosok clitorisku sendiri agar tak terhenti kenikmatan ini.
"Ah..." Kembali Dino menusukkan penisnya dan bergoyang, namun tak berapa lama ia mencabutnya kembali, membetot penisnya sendiri dan menarik nafas panjang-panjang.
"Tunggu..." cegahku ketika ia hendak menusukkan kembali penisnya setelah tusuk cabut yang kesekian. Tak kuhiraukan wajah keheranan Dino saat aku menggosok clitorisku semakin intens mengejar orgasmeku sendiri. Aku kasihan melihat usaha anak ini. Sebagai perjaka ia sudah menunjukkan kualitas pejantan sempurna.
"Dino...," panggilku saat orgasmeku menjelang. Tanpa menghentikan gosokan di clitorisku, kukaitkan kedua kakiku di pinggangnya.
"Sekarang Tante izinkan kamu masukkan sampai selesai. Tapi, kamu jangan cabut, jangan berhenti goyang, sampai Tante suruh." Kuberikan instruksi tanpa menghentikan aktifitasku. Saat Dino menganggukkan kepalanya, barulah tanganku meraih penisnya cepat dan menusukkannya ke vaginaku. Kutarik tubuhnya menindihku dan menggoyang sendiri pinggulku di bawah, mengimbangi goyangan Dino mengocok-ngocok vaginaku.
Semakin lama goyangan Dino semakin cepat. Nyata sekali ia ingin mencapai orgasmenya sendiri. Dengan kalap aku pun menggesek-gesekkan sendiri clitorisku di tulang pubis pangkal kelaminnya, ingin pula segera mencapai orgasmeku.
“Ahhh….” Tak dapat kuresapi saat Dino tampaknya sudah orgasme. Ia begitu taat tak menghentikan goyangannya walaupun ia sedang ejakulasi. Ingin rasanya berhenti sejenak meresapi semprotan hangat di rahimku, namun itu akan menghilangkan kesempatanku meraih orgasme dari sisa-sisa ketegangan penis Dino setelah ia ejakulasi.
“Goyang yang cepat, Dinooo!!!” perintahku makin kalap, takut penis itu menciut sebelum aku orgasme. Untungnya Dino menurutinya. Goyangan cepatnya yang meninggalkan suara ketepok segera menghadiahkan orgasme padaku, yang sukurnya terjadi sebelum penis itu melemas.
“Ahh….” Akhirnya kulepaskan segala rasaku. Kukepit erat pinggang Dino yang hendak melanjutkan goyangannya karena mulutku tak mampu berucap untuk menyuruhnya berhenti. Mengunci Dino dalam belitan kakiku, kupejamkan mata saat dinding-dinding vaginaku berkedutan, berlomba menarikan puncak orgasme.
“Ih… titit Dino kayak dihisap-hisap.” Kucubit punggung Dino yang sempat-sempatnya mengeluarkan kata-kata polosnya saat aku tengah diombang-ambing orgasme. Kulonggarkan belitan kakiku saat orgasmeku mereda. Dapat kurasakan penisnya melemah dan terlepas dari vaginaku. Ia bangkit duduk berlutut di antara kedua pahaku yang masih menganga, menyaksikan vagina yang baru saja ia puaskan memuntahkan sisa-sisa sperma yang begitu banyak ia semprotkan di dalamnya.
Masih dimabuk orgasme, kurapatkan pahaku, berbaring menyamping membiarkannya masih duduk di dekat pantatku. Kupejamkan mata menikmati rasa lega setelah persetubuhan kami tadi. Kurasakan ranjang bergerak dan kurasakan selanjutnya Dino membaringkan diri di belakangku
Aku sudah sedikit terlena dalam lelap ketika kurasakan Dino memelukku dari belakang.
“Tante,” bisiknya memanggilku. Kusadari malam ini akan menjadi malam yang panjang ketika kurasakan tegang penisnya di pantatku. Aku menoleh padanya dengan senyum yang dibalut berahi yang pelan-pelan mulai menyala lagi.
ns 15.158.61.48da2