“Ma, siapin air buat ngopi ya. Pak Soleh mau dateng. Dia lagi tutup tokonya dulu," seru Daniel suamiku yang baru masuk rumah sepulang kerja.
"Ih, si Papa. Pulang-pulang langsung main perintah aja. Lagian tumben-tumben Pak Soleh disiapin air segala. Emang mau lama di sini?" balasku.
"Iya. Tadi Papa ajak main ke sini. Kasian dia kesepian. Rumahnya yang ditempati dituntut istrinya di sidang cerai. Istrinya pengen rumah, Pak Soleh dapet ruko. Dia udah gak pulang-pulang dari tokonya sekarang." Panjang lebar suamiku menjelaskan.
Sembari menyiapkan air dan menjerangnya di kompor, pikiranku menerawang melihat perubahan suamiku yang mulai dekat dengan Pak Soleh sejak proses perceraian Pak Soleh dengan istrinya. Aku takut menduga-duga, namun jika kuamati, perubahan suamiku terjadi setelah peristiwa malam itu.
Waktu itu aku sedang menunggu suamiku pulang hingga malam di ruang TV, berbaring di karpet mengisi waktu menonton TV. Namun rasa kantuk membuai aku hingga terlelap di hamparan karpet. Dan anehnya, yang hadir dalam mimpiku justru Pak Soleh. Kusaksikan dalam mimpiku Pak Soleh tengah mencium celana dalamku seraya mengocok penisnya. Ia tak menyadari keberadaanku, sibuk dengan aktifitasnya, menyiksa dengan nikmat penis dalam genggamananya, sementara sebelah tangannya mengusap-usap celana dalamku di wajahnya. Hatiku bergetar melihat palkon penis yang kemerahan, tampak membengkak dengan merdeka karena disunat, mengkilat dalam siksaan tangan yang meremas dan mengocok-ngocoknya.
"Ohh..., Bu Wien. Aku mencintaimu." Dengan cara yang aneh aku tahu ucapan Pak Soleh dalam mimpiku, namun yang tertangkap di telingaku justru kata, "Ma, tidurmu posisinya hot banget, bikin Papa ngaceng."
Aku bingung dengan keanehan mimpiku, namun palkon penis Pak Soleh yang mengkilat kemerahan membius pandanganku hingga kurasakan ketelanjangan di tubuh bagian bawahku. Mimpiku tak mengizinkanku melihat tubuhku sendiri, hanya kurasakan usapan-usapan lembut di kewanitaanku. Aku semakin bingung, dalam mimpiku aku bisa merasakan tanganku walaupun tak bisa kulihat, dan bukan tanganku yang mengusapku di bawah sana.
Seiring kocokan Pak Soleh pada penisnya, lidahnya menjilat-jilat bagian tengah celana dalamku di tangannya, yang anehnya kurasakan jilatan-jilatan pula di permukaan vaginaku, mengirimkan sinyal kenikmatan pada tubuhku, membuatnya menggelinjang dan basah.
"Oh, Pak Soleh! Kok begini?" Aku terkejut ketika mulai kurasakan mulut vaginaku terbelah dan terasa sesak penuh, sementara Pak Soleh tak bergeming dari tempatnya. Dalam kebingungan aku merasakan kocokan nikmat di vagina basahku seiring kocokan Pak Soleh di penisnya yang pernah dimutilasi.
"Oh, Bu Wien. Kamu cantik sekali." Aku bisa memahami ucapan yang tak terdengar dari mulut Pak Soleh, namun lagi-lagi dengan anehnya yang terdengar justru, "Ma..., Papa mau keluar. Ohhh!"
Dan kurasakan kocokan makin kencang di lorong vaginaku, mengantarkan orgasme teraneh yang untungnya terjadi dalam mimpiku. Seiring dengan rasa plong setelah orgasme, perlahan bayangan Pak Soleh dalam mimpiku juga meredup hingga gelap kurasakan dalam lelap penuh. Aku tersadar ketika silau matahari pagi membelai wajahku, menyaksikan Daniel sudah berpakaian lengkap hendak kerja.
"Waduh, Pa. Mama telat bangun!" seruku kaget.
"Sudah. Gak apa-apa. Aku sudah siap kok. Tinggal Selly tuh yang perlu dibangunin," ucap Daniel lembut.
"Maaf, ya, Ma. Semalem nggak bangunin Mama. Abis nafsu banget, udah ke ubun-ubun, sementara Mama pules banget kayaknya," lanjutnya kemudian.
Saat itulah aku memahami keanehan mimpiku semalam. Rupanya saat aku memimpikan Pak Soleh, Daniel menggarapku diam-diam. Sejak saat itulah Daniel berubah menjadi akrab dengan Pak Soleh, sering pergi belanja ke sana, sering menyuruh-nyuruhku pergi membeli sesuatu ke toko Pak Soleh padahal aku rasa sudah cukup dengan belanja mingguanku. Yang anehnya, tiap disuruh pergi membeli sesuatu, Daniel mencegah ketika aku hendak salin dulu, alasannya agar cepat, padahal aku tak selalu memakai pakaian layak kalau di rumah, tanktop dengan celana pendek atau daster adalah pakaian keseharianku.
"Ding, Dong!" Suara bel pintu membuyarkan lamunanku. Kuberanjak dari meja dapur setelah mematikan kompor dari air mendidih yang baru saja kujerang. Kuurungkan niatku yang hendak mengambil mantel kasual di kamarku untuk menutupi tanktop dan hotpants yang membalut tubuhku.
"Selamat sore, Bu Wien," sapa Pak Soleh ketika kubuka pintu.
"Eh, Pak Soleh sudah datang. Suruh masuk aja, Ma. Bikinin kopi, yak." Suara Daniel di belakangku membungkam niatku untuk berucap. Tanpa kata aku menyingkir dari pintu dan kembali ke dapur, sekilas kulihat kilatan di mata Pak Soleh kedua pahaku yang telanjang hingga hampir selangkanganku.
Kedua laki-laki itu kemudian terlibat obrolan yang seru. Kemampuan Daniel yang sesungguhnya supel hingga membuatnya menjadi manajer di kantornya tampak mumpuni. Kutinggalkan mereka berdua dan menemani Selly putri kami satu-satunya.
Daniel tetap menahan Pak Soleh yang hendak pamit dan mengajaknya makan malam di rumah kami. Setelah makan malam, ia setengah memaksa ditemani menyaksikan siaran olahraga di TV. Alasannya karena kami, aku dan Selly tak suka olahraga. Karena memang sesungguhnya tak suka menyaksikan siaran olahraga, kutinggalkan mereka dan mengganti baju dengan baju tidur untuk tidur lebih awal.
Berbaring di tempat tidur, aku mendesah mengingat kenyataan sesungguhnya hubunganku dengan Pak Soleh. Selama ini, hanya akulah yang tahu sebab perceraian Pak Soleh. Itu karena istrinya bersikeras tidak mau membantu Pak Soleh lagi di tokonya dan hendak menjadi karyawan di sebuah kantor. Itu kuketahui saat aku tak sengaja mendengar pertengkaran mereka suatu pagi ketika aku hendak belanja mingguan. Hanya aku pula yang pernah memergoki istri Pak Soleh, yang tetap bekerja tanpa izin suaminya, tengah digenjot oleh teman kerjanya, di rumah pribadi mereka. Di sela-sela persetubuhan mereka, sempat kudengar istri Pak Soleh yang penuh nafsu karena tak pernah digauli oleh suaminya. Sebuah alasan konyol, menurutku, mengingat mereka sedang cekcok, bagaimana bisa mereka bercinta. Aku tak pernah berani mengadukan perbuatan mereka pada Pak Soleh karena Pak Soleh tampaknya begitu mencintai istrinya itu.
Sebagai pelanggan tetap yang selalu belanja tiap minggu, Pak Soleh sering membawakan belanjaanku ke rumah. Namun sejak percekcokan yang berujung pada tuntutan cerai istri Pak Soleh, tiap mengantar belanjaan selalu minta izin menggunakan kamar mandi. Awalnya aku tak curiga apapun, namun lama-kelamaan kudasari bahwa Pak Soleh ke kamar mandi pasti lama. Suatu hari, saat Pak Soleh berhenti memakai kamar mandi, aku segera masuk kamar mandi karena kebelet. Saat itulah aku menyadari bahwa tak ada tanda-tanda kalau kamar mandi ini habis dipakai, baik untuk buang air kecil atau besar, tak ada aroma pembuangan manusia sama sekali. Yang ada malah lamat-lamat kulihat sesuatu menempel di tembok, putih, lengket dan kental, percikan air sperma.
Perbuatan Pak Soleh jika di kamar mandiku kuketahui dengan nyata ketika suatu hari, tepat saat aku hendak ke toilet karena kebelet, Daniel memaksaku membelikannya rokok, tak peduli padaku yang sudah kebelet dia memaksa aku segera ke toko Pak Soleh. Kesal, hanya berbalut daster pendek aku ke toko Pak Soleh. Karena memang sangat kebelet, aku minta izin dulu pada Pak Soleh menggunakan kamar mandi tokonya. Sialnya, air kamar mandi Pak Soleh macet. Beruntung ada tissu di kamar mandi itu, hanya saja aku tak bisa mengguyur bekas kencing di toilet. Pak Soleh memaklumi ketika kuberitahu dan mengatakan bahwa memang bahwa hari itu ia belum sempat mengganti salah satu pipa paralon yang patah. Saat itulah aku menyadari tak membawa uang karena tadi dipaksa buru-buru oleh Daniel. Beruntung Pak Soleh baik hati menghutangi.
Karena hanya sekedar rokok, aku takut terlupakan jika tak kubayar segera. Maka begitu kembali ke rumah, aku segera mengambil uang untuk membayar. Saat di toko, tak kulihat keberadaan Pak Soleh. Aku hampir saja berbalik jika saja tak mendengar seorang di kamar mandi.
"Bu Wien, biarlah seperti ini aku mengagumimu. Cintaku padamu tak mungkin menyatu."
Perlahan kumendekati kamar mandi yang pintunya sedikit terkuak itu. Aroma pesing dari toilet yang tadi kukencingi menyeruak ketika aku mendekat. Aku shock ketika mengintip ke dalam. Pak Sholeh tampak bersimpuh di depan toilet duduk yang tadi kupakai, merebahkan kepalanya di dudukan toilet, sementara wajahnya tampak ditutupi tissu bekas yang kuyakini tadi kupakai untuk cebok.
"Oh..., Bu Wien. Aku mencintaimu," ucapnya pelan. Dan kulihat ia mulai membuka kancing celananya. Saat itulah aku melihat alat vital pribadi Pak Soleh secara langsung. Tegak mengacung, penis itu begitu membius pandanganku, karena itulah pertama kali aku melihat penis yang disunat untuk pertama kalinya. Palkon yang telah dikupas itu begitu merona kemerah-merahan mulai dikocok oleh pemiliknya.
"Gooolll!!!!" Pekikan kecil kedua lelaki itu sedikit mengagetkanku. Meringkuk mengerutkan badan kutinggalkan mereka berdua dalam lelap sendiri.
Tengah malam aku terjaga. Tak terdengar lagi pekik seru mereka menonton olah raga. Heran aku tak menemukan Daniel di sampingku, apa Pak Soleh belum pulang. Aku bangkit dan beranjak dari tempat tidurku. Saat di ruang tengah, aku sedikit terkejut menyaksikan TV kini menayangkan adegan film porno salah satu koleksi Daniel, sementara Daniel tertidur di karpet, Pak Soleh tengkurap di sampingnya, tengah memelototi adegan di video, tak menyadari kedatanganku.
"Eh, Bu Wien!" kaget Pak Soleh ketika aku sudah berdiri di sampingnya yang tengah tengkurap. Bankit dan duduk dengan cepat, ia berusaha menjangkau remote yang berada tak jauh dari tangan Daniel yang mendengkur.
"Udah. Biarin aja, Pak," kataku duduk di samping Pak Soleh. Bertumpu pada kedua tangaku di belakang punggung, aku selonjoran melipat kaki menghadap TV.
"Maaf, Bu Wien. Tadi Pak Daniel yang setelin, tapi malah tidur."
"Iya, Pak. Biasa kok Daniel kayak gitu."
Melihat Pak Soleh beberapa kali salah tingkah saat menatapku, barulah kusadari jika gaun tidur yang kupakai begitu pendek. Selonjoran di samping Pak Soleh membuat kedua pahaku terekspose karena kakiku yang menyilang. Ada sensasi tersendiri menyaksikan laki-laki kesepian ini begitu tersiksa mendapat dua tontonan yang menggugah birahi, satu dari layar TV dan satu lagi pertunjukan live show dariku.
"Daniel ada-ada aja, ngajak orang nonton bokep. Ntar kalo kepengen gimana coba?" candaku mencairkan suasana.
"He he, iya ya, Bu Wien." Pak Soleh terkekeh mulai santai.
Selanjutnya aku menemani Pak Soleh nonton bokep. Banyak hal yang kami obrolkan sambil nonton, mulai dari masalah toko Pak Soleh hingga masalah perceraiannya dengan istrinya. Desiran dalam hatiku seperti perasaan seorang yang hendak ditembak. Bagaimana tidak, duduk menyaksikan film porno di samping seorang yang kuketahui sangat mencintaiku, belum lagi obrolan yang menunjukkan kualitas ketabahan seorang laki-laki. Adegan-adegan romantis erotis dalam film kami tingkahi dengan deru nafas birahi yang kami tahan hingga film itu berakhir.
"Pak Soleh mau nonton lagi?" tanyaku ketika layar TV telah pada posisi stand by untuk mengganti dvd.
"Ee.. enggak, Bu Wien." Serak kudengar suara Pak Soleh.
Selanjutnya tak ada di antara kami yang bergerak. Layar TV kami biarkan menyala dalam kebisuan. Yang terdengar jelas adalah suara dengkur Daniel yang memenuhi ruangan dan degup jantungku yang bertalu tergugah birahi. Aku yakin, laki-laki di samping kiriku inipun pasti dilanda birahi akibat tontonan tadi, namun ia hanya duduk saja, selonjoran juga di sampingku dengan bertumpu pada kedua tangan di belakang punggung.
Dalam diam, perlahan tangan kananku hinggap tepat di tengah-tengah selangkangan Pak Soleh, menemukan tonjolan yang mengeras membuat gundukan di celananya.
"Bu, Wien!" kaget Pak Soleh menoleh memandang wajahku.
"Kasihan, Pak. Nggak ada pelampiasan. Udah keras gini," bisikku.
Pak Soleh meraih tanganku dan melepaskannya dari sentuhan di atas kelaminnya tadi.
"Udah biasa, Bu Wien. Namanya juga duda," keluhnya tabah.
"Trus, gimana nuntasinnya?" tanyaku menggoda.
Pak Soleh tersenyum pahit. "Yah, saya masih punya tangan kok, Bu Wien."
"Bagaimana kalo sekarang tangan Pak Soleh istirahat, biar tangan saya yang kerja." Tanganku kembali hinggap di selangkangan Pak Soleh.
"Jangan, Bu Wien." Kembali tangannya memindahkan tanganku dari selangkangannya. "Saya tidak mau mengkhianati istri saya. Vonis cerai belum dibacakan, saya masih suami orang. Lagipula Bu Wien kan istri Pak Daniel."
Aku gemas dengan kenaifan laki-laki di sampingku ini. Ingin rasanya membongkar pengkhianatan istrinya yang pernah kupergoki beberapa waktu lalu. Namun semua itu tak terucap dari bibirku, hanya tanganku yang dengan nakal kembali hinggap di atas tonjolan celana Pak Soleh. Kutepis tangannya yang hendak memindahkan tanganku.
"Kumohon, Bu Wien. Jangan..." lirihnya.
"Apa aku seperti seorang yang hendak meluluskan permohonanmu, Pak Soleh?" kataku ngeyel, meraih kancing celana Pak Soleh, terus-menerus menepis tangannya yang hendak mencegahku, hingga berhasil menguak celananya.
"Tolong hentikan, Bu Wien. Atau Pak Daniel saya bangunkan." Frustasi terdengar suara Pak Soleh yang tak berhasil mencegahku hingga mengeluarkan ancaman.
"Silakan saja, Pak Soleh," kataku melirik matanya. "Kondisi tidak menguntungkan Pak Soleh. Daniel tentu lebih percaya padaku saat mengatakan bahwa Pak Solehlah yang ingin memperkosaku."
Pak Soleh terdiam mendengar ancaman balikku. Tak berkutik ketika kupelorotkan celananya, melewati paksa pantatnya, membebaskan batang yang kini tegak mengacung, palkonnya yang memerah mengkilat ditimpa cahaya remang dari lampu teras yang menembus masuk. Sambil melirik penuh kemenangan pada kondisi yang telah kukuasai, aku mulai kocokan lembut pada kelamin lelaki ini.
"Oh, Bu Rien," desah Pak Soleh tertahan, menerima rangsangan awal dariku.
Menuruti rasa penasaranku, mulutku segera meluncur ke bawah, ingin segera merasakan penis yang disunat itu, ingin memasukkan palkon yang telah dikupas dari kulupnya itu. Kuawali dengan jilatan di kepala penis itu, sensasi lain dari biasanya kurasakan. Benar apa yang kudengar dari beberapa teman yang pernah mengoral penis yang disunat, ternyata memang beda, tak ada rasa asin sisa kotoran yang tertinggal di kulup, palkon penis itu terasa bersih, namun tak dapat kurasakan kelemputan lapisan kulup yang biasanya memberikan sensasi empuk di lidahku saat kujilat. Puas menjilati lolipop erotis ini, segera kumasukkan dalam kulumanku, kukocok dengan mulutku, sesekali mentong ke pangkal mulutku.
"Ahhh...., Bu Wien. Stop," ceracau Pak Soleh dalam bisikan. "Kalo... dittt....terrussin... Aku bisa kelllluarrr!"
Tak kupedulikan rengekan lirih Pak Soleh, terus mengulum-ngulum, mengocok penisnya, tak ingin berhenti menikmati mainan baruku ini.
"Ohhh, Bu Rien!" Pak Soleh mencoba mendorong kepalaku untuk melepas penisnya, namun kutetap bertahan, hingga akhirnya penis itu membengkak dan berkedut-kedut di dalam mulutku, menyemprotkan spermanya ke pangkal tenggorokanku.
"Uhuk, huk, huk." Aku terbatuk tersedak hingga sperma itu bermuncratan ke mana-mana dari mulutku, berlerean di daguku. Kulepaskan batang penis itu, menarik nafas dengan mata berkaca tak tertahan.
"Maaf, Bu Rien. Keluar gak bisa kutahan."
"Gak apa-apa kok, Pak Soleh. Aku juga kepengen gitu kok," kataku menenangkannya. Kebingungan tak menemukan apa-apa, kuloloskan celana dalamku untuk mengelap mulutku.
"Pak Soleh udah keluar," ucapku sambil membersihkan mulut. "Aku yang belum nih," lanjutku sambil menunjukk selangkanganku dengan dagu.
"Bu Wien...?" raut kebingungan di wajah Pak Soleh. Sementara kulihat penisnya kini mengendor setelah kumanjakan dengan oralku tadi.
Kulemparkan sembarang celana dalam yang tadi kugunakan mengelap sperma di mulut dan daguku kemudian membaringkan diri di samping Pak Soleh, melebarkan pahaku, membuat gaun tidurku otomatis tersingkap hingga pinggangku, memamerkan bibir kemaluanku yang kucukur setiap minggu.
"Plis, Pak Soleh. Kurasa sentuhan tangan masih belum melanggar batas pengkhiantanmu, kan?" kataku meraih tangannya dan meletakkanya di atas permukaan kelaminku.
Pak Soleh beringsut hingga duduk menghadapku yang berbaring terlentang. Bersimpuh dengan celana melorot ia mulai membelai bibir vaginaku.
"Tolonglah, Pak Soleh. Aku hanya butuh penyelesaian," lirihku berucap sambil menjangkau pipinya dari posisi terlentang, mengusapnya mencoba menghilangkan keraguan di wajah yang masih saja terlihat bingung itu.
Selanjutnya kurasakan jemari Pak Soleh mulai intens memberikan usapan lembut di belahan vaginaku, menekan dan memelintir pada clitoris di ujung atas belahan vaginaku, rasa geli nikmat segera merajai ragaku, mengirimku ke surga seksualitas yang sepenuhnya kureguk dan nikmati. Jemari Pak Soleh begitu giat mengusap, menekan, memilin, memberikan kenikmatan yang perlahan membuatku terlena. Tanpa sadar tanganku menelusup ke belahan gaunku, menelusup ke dalam BHku, menambah rangsangan pada diriku saat kutemukan putingku yang telah mengeras, kuremas dan kumainkan dengan jariku.
Vaginaku membanjir dari rangsangan yang diberikan Pak Soleh, membasahi jemari yang tengah memainkan kelaminku tanpa henti, tak dapat kutahan meraih tangan itu, menekan-nekan tak sabaran agar lebih intens merangsangku, bahkan sebuah jari Pak Soleh terasa menelusup ke lorong vaginaku, entah jari apa itu, yang pasti kurasakan vaginaku merasakan rangsngan jari luar dan dalam.
Merasa begitu nikmat, kuraih kepala Pak Soleh, ingin kutarik ke bawah, mendamba pada jilatan-jilatan lidah yang tentu akan terasa lebih lembut dan lebih intens daripada belaian jari tangan. Namun Pak Soleh sekuat tenaga menahan kepalanya. Aku heran, apa ia jijik? Bukankah tempo hari dia malah bersimpuh di toilet bekas kencingku?
"Kenapa? Pak Soleh jijik?" keluhku merasa sedikit terhina.
"Bukan begitu, Bu Wien." Tak lagi kudengar kebingungan dalam suara Pak Soleh. "Aku sebetulnya sangat ingin memuaskan Bu Wien sebagaimana yang Bu Wien lakukan tadi, tapi mulutku sariawan. Aku takut nanti Bu Wien infeksi kalo pake mulut saya," jelasnya lagi.
Aku menarik nafas dan melirik pada penis yang masih saja istirahat setelah tadi mengeluarkan isinya sekali.
"Pake ini," kataku meraih penis itu dalam genggamanku dan bangkit dari posisi terlentang tadi.
"Maaf, Bu Wien. Itu terlalu jauh, apa kita harus bersenggama? Apa tanganku tak cukup?"
Kuraih lagi pipi Pak Soleh, mencoba meredakan ketegangannya.
"Pak Soleh, aku sangat menginginkannya. Tanganmu sudah cukup bagus, tapi salahkah jika aku ingin kenikmatan yang lebih lembut dari sekedar tangan bertulang?"
"Tapi bersenggama terlalu jauh, Bu Wien. Ini saja sudah mengkhianati pernikahan kita," debat Pak Soleh.
"OK, Pak Soleh. Berbaringlah," ucapku tegas, tak sabaran dengan kecerewetan laki-laki ini.
"Bu!" ucapnya panik ketika aku mulai mengangkangi tubuhnya yang sudah berbaring.
"Hmmhhhh." Kutarik nafas bersabar menghadapi orang ini.
1016Please respect copyright.PENANAQ3tqxLIp15
"Baiklah, Pak Soleh. Kalo memang Bapak keberatan, Bapak boleh pegang ujung penis Bapak agar tak masuk. OK?" Mengalah pada keadaan akhirnya aku menawarkan petting saja pada Pak Soleh.
1016Please respect copyright.PENANAKriUNfVD5Q
1016Please respect copyright.PENANASqOdYGcGms
"Bu Wien..." Pak Soleh tercekat, tak memiliki pilihan lain selain menuruti kata-kataku ketika aku mulai menurunkan pantatku, mendekatkan belahan bibir vaginaku makin dekat ke batang penisnya. Belahan kemaluanku menindih penis itu melintang, menyelimuti dengan basah batang kemaluan yang terasa kenyal di ujung lorong vaginaku itu.
Aku mulai menggerakkan pinggulku depan belakang, menggesekkan bagian-bagian sensitif kelaminku pada penis yang dengan erat dibelenggu kepalanya oleh si empunya.
"Auhkkh... mmmmhhhh..." Aku mendesah lirih, tak ingin membangunkan Daniel yang tidur pulas di samping kami, terus bergerak menggesek-gesek penis itu. Rasa nikmat yang menderaku tiba-tiba terasa makin meningkat, kala kurasakan penis itu mulai membengkak dalam selimut belahan vaginaku, semakin bengkak dan akhirnya tegang sempurna. Menahan rangsangan dari licinnya vaginaku, sekuat tenaga Pak Soleh menjaga kepala penisnya tetap terpegang, agar tak bangkit dan menerobos liang vaginaku.
Akan halnya diriku, ketika menggiling penis yang tadinya lembek di permukaan vaginaku, kini harus kelojotan sendiri ketika penis itu telah berubah menjadi tegang. Ganjalan yang tadinya kenyal lembek, kini mengeras namun tetap kenyal dengan nikmatnya. Rasa nikmat yang kurasakan membuat lututku bergetar, tak mampu lagi tegak bergoyang, aku ambruk di dada Pak Soleh. Ingin rasanya bergoyang dengan posisi ini, terasa sulit, ingin bangkit dan bergoyang seperti tadi lututku sudah colaps.
"Pak Soleh di atas," bisikku seraya menghempaskan diriku terlentang di samping Pak Soleh.
Pak Soleh bangkit dari posisinya, melorotkan celananya semakin ke bawah. Aku merenggangkan pahaku selebar-lebarnya, memberikan akses seluas-luasnya pada Pak Soleh. Beringsut Pak Soleh memposisikan dirinya di selangkanganku, meletakkan batang penisnya membujur searah belahan vaginaku, tampaknya ia sudah nyaman dengan perselingkuhan macam ini, petting sepertinya sudah menjadi pilihan tepat kami.
Pak Soleh mulai menggoyangkan pinggulnya, menggesek-gesek batang penis itu di belahan kelaminku, bergerak dalam kehangatan selimut bibir-bibir vaginaku. Minimnya keseimbangan karena kakinya terbelenggu celana yang hanya dipelorotkan, Pak Soleh bertumpu dengan kedua tangannya di kedua sisi tubuhku, hal itu menyebabkan kehilangan pegangan pada penisnya, ia terus bergoyang berusaha mengasah birahi.
"Oh, Bu!!!" kagetnya ketika aku mencoba meraih ujung penisnya dan menekannya pada clitorisku, untuk menambah kenikmatan.
"Tak apa, Pak. Biar lebih nikmat...., ehhhh" erangku ketika nikmat semakin tinggi kurasakan dengan tekanan licin batang penis itu di clitorisku, sementara Pak Soleh terus begoyang.
Kubuka ikatan gaun tidurku hingga membelah, memamerkan bagian depan tubuhku sepenuhnya di bawah tindihan Pak Soleh. Cup BH kuangkat untuk kupilin-pilin putingnya, meresapi nikmat yang semakin intens di alat kelaminku.
Tanpa sadar terkadang tanganku menekan tak tepat saat penis itu menggesek clitorisku, namun ketika ujungnya sedang tepat berada di liang vaginaku, sehinggga terkadang kepala penis itu sedikit tenggelam namun segera terpeleset keluar karena pemiliknya tak bisa diam. Kondisi itu terkadang membuat tubuhku tak bisa kukontrol mengejar-ngejar batang penis itu, memposisikan dirinya agar penis itu tak lagi terpeleset dan amblas ke liang vaginaku. Sekuat tenaga kutahan agar hal itu tak terjadi, namun entah bagaimana caranya pada satu saat posisinya begitu tepat, kepala penis itu kutekan bukannya ke arah clitorisku namun justru amblas tenggelam ke dalam lorong vaginaku.
"Ahh!!!" Terkaget nikmat aku melilit pinggang Pak Soleh yang hendak menarik keluar batang penisnya. Aku ingin meresapi sejenak rasa yang tadinya geli kosong kini telah tersesaki tak kalah nikmatnya.
"Bu... Wien....,mmas....masuk..." panik Pak Soleh.
Kulingkarkan kedua tanganku di leher Pak Soleh dan menarik tubuhnya hingga menindih tubuhku sepenuhnya. Penis itu terasa semakin melesak di kemaluanku.
"Pak Solehhh...," bisikku di sela deru nafas dalam tindihannya. "Suka-tidak suka ini sudah terjadi...hhhh, aku hanya ingin ini berlanjut sebentaarrrr saja..., plisss. Antarkan aku beberapa goyangan saja, setelah itu jika Pak Soleh tak berkenan bisa Pak Soleh keluarkan. Tolonglah, Pak. Oke?"
Kulonggarkan belitan kakiku dan pelukan tanganku hingga Pak Soleh bisa sedikit mengangkat tindihan tubuhnya dari tubuhku. Bertumpu pada kedua tangannnya di kedua sisi tubuhku, ia menatap bingung ke mataku.
"Plisss....," bisikku tak bersuara. Dan selanjutnya kembali kurasakan vaginaku menari dalam kocokan nikmat penis yang kini sudah menerobos batas kesucian perkawinanku. Dadaku menjadi sasaran lumatan dan kuluman bibir Pak Soleh. Aku tak tahu ia melakukannya karena suka atau ingin mempercepat aku mencapai puncak, namun apapun alasannya, nikmat yang kurasakan tetap mengantarku pada ambang orgasme yang semakin dekat. Kocokan intens Pak Soleh terus menyeruak membelah liang senggamaku hingga pada akhirnya mulut vaginaku menegang dan berkedut.
"Akhh..." Aku memekik pelan, tak ingin membangunkan suamiku, memeluk erat Pak Soleh menindihku dalam kuluman putingku yang membuatku terbang ke awang-awang. Setelah gelombang orgasme mereda, tak kuasa kuterima geli di putingku hingga kudorong tubuh Pak Soleh menjauhi dadaku.
Kupejamkan mata meresapi kelegaan setelah orgasme. Saat semua mereda, kurasakan Pak Soleh masih di atasku, dengan penis masih menancap di vaginaku. Aku yakin Pak Soleh bisa merasakan orgasmeku tadi, seharusnya ia sudah menghentikannya karena hal ini memang tak ia inginkan, namun yang kurasakan saat itu justru penis itu seperti makin sesak di vaginaku.
Kubuka mata dan melihat tatapan bingung laki-laki itu, ada rasa bersalah, namun ada pengharapan di sana, ada kegelisahan, namun ada tuntutan pula. Kurengkuh kedua pipi laki-laki itu menenangkannya.
"Pak Soleh," panggilku menyejukkan. "Tambahan beberapa goyangan bagiku tak memberikan perbedaan. Ayo..., Pak Soleh selesaikan juga." Kuraih pinggangnya dan menggoyang-goyangkannya menghilangkan keraguannya.
Memejamkan mata seperti orang yang menghalau rasa bersalahnya, Pak Soleh mulai menggoyangkan pinggangnya, makin lama-makin cepat, khas lelaki yang mengejar puncak birahinya. Kutahan ngilu yang kurasakan demi rasa tenang lelaki yang telah memuaskan birahiku semenit yang lalu.
"Uhhh..., Bu Wien..." keluh Pak Soleh pelan ketika kurasakan penis itu membengkak dan menyemprotkan benih-benih spermanya ke dalam rahimku. Aku sampai terpejam merasakan hangatnya semprotan itu.
Saat klimaksnya Reda, Pak Soleh bangkit dari posisinya menindihi aku, menyebabkan penisnya terlepas dari cengkraman vaginaku.
"Ohh.... apa yang barusan kita lakukan, Bu Wien?" Menelentang di sampingku, Pak Soleh menerawang memandang langit-langit remang.
Aku bangkit dan menoleh, memberikan senyuman padanya.
"Tak ada. Kita tak pernah melakukan apapun," jelasku.
"Maksud, Bu Wien?" Wajah Pak Soleh tampak bingung.
"Semua yang terjadi barusan tidak ada. Kita lupakan. Jangan pikirkan lagi. Kita tidak pernah melakukan apapun." Sambil berbicara aku merapikan pakaianku, menurunkan cup BHku dan mengikatkan kembali tali gaunku. Pak Soleh juga menaikkan celananya, tak peduli pada leleran cinta kami yang belum kering di batang penisnya yang sudah mengendor. Ia duduk di sampingku menarik nafas.
"Saya merasa bersalah pada Pak Daniel, pada istriku, pada perkawinan kita," katanya pelan.
"Itulah sebabnya kita harus menganggap hal barusan tidak pernah terjadi, Pak. Kita lupakan. Oke?"
Pak Soleh tersenyum pahit kemudian perlahan bangkit.
"Sepertinya saya harus segera pulang, Bu Wien."
"Ya," kataku singkat menyetujui dan ikut bangkit. Kami berjalan dalam kebisuan menuju pintu depan. Kubukakan kunci pintu saat Pak Soleh melangkah keluar.
"Pak Soleh...," panggilku saat Pak Soleh baru beberapa langkah. Ia menoleh.
"Bagiku... Pak Soleh adalah seorang suami setia. Pak Soleh bukan seorang tukang serong. Pak Soleh adalah seorang pria sejati yang sangat tabah mempertahankan kesucian perkawiannya. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam rasa bersalah yang tak ada gunanya. Oke?"
Senyum yang mengembang di bibir Pak Soleh melegakanku, kuberikan ciuman singkat di pipinya sebelum ia melangkah meninggalkan rumah kami. Saat itulah kurasakan sperma yang tadi menyambangi rahimku mengalir keluar dari mulut vaginaku, mengalir geli di paha dalamku. Bergegas kukunci pintu dan melangkah cepat ke kamar mandi, meninggalkan layar TV yang masih menyala saat kulihat sekilas. Kubersihkan sisa-sisa persetubuhan kami di kamar mandi hingga rasa kantuk menyerangku karena lega setelah orgasme. Tak ada yang kuingat selain aku harus ke tempat tidur. Aku terlelap tanpa mimpi hingga pagi.
"Ma..., Ma...., bangun. Udah kesiangan nih." Lamat-lamat aku tersadar ketika Selly membangunkanku tak seperti biasanya, karena biasanya aku yang membangunkan dia. Aku terperanjat ketika melirik ke jam dinding.
"Aduh, kita kesiangan. Kamu sudah mandi?" panikku.
"Sudah, Ma. Malah sudah sarapan, tadi Papa yang siapin. Papa suruh bangunin Mama, kita sudah mau berangkat."
Selly beranjak meninggalkanku ke kamarnya saat aku perlahan bangkit. Di ruang tengah kutemukan Daniel sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Hallo, Ma. Sudah bangun, Mmmh." Sebuah ciuman hangat mendarat di dahiku.
"Kok gak bangunin?" kataku merapikan dasinya.
"Gak apa-apa kok. Sekali-sekali siapin sendiri gak masalah lah."
"Ayo, Pa. Kita jalan." Selly sudah siap dengan tas sekolahnya.
"Oke, Ma. Kami jalan dulu ya."
Kedua orang itu berlalu. Aku masih termangu di ruang tengah, tempat aku semalam bergumul dengan Pak Soleh saat kudengar mobil mereka menjauh. Perlahan aku beranjak ke kamar mandi, duduk di toilet melepaskan kemihku. Saat itulah lamat-lamat kulihat di keranjang cuci, celana dalam yang kukenakan semalam, terongkok dengan bercak-bercak sperma kering di kainnya. Aku tak ingat memindahkannya semalam, berarti Daniel yang membawanya kemari. Dan mustahil ia tak menyadari bekas sperma di sana.
ns 18.68.41.139da2