Hari itu Hamid baru pertama kalinya memasuki kompleks perumahan baru di Citra Kencana, dia adalah guru sekolah menengah yang honornya sama sekali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi ditambah setelah berkeluarga dan mempunyai anak bayi. Meskipun istrinya ikut membantu dengan membuat pelbagai makanan snack serta kue-kue kering, namun kebutuhan yang meningkat hanya dapat tertutup kalau di luar jam mengajarnya Hamid memberikan ekstra les.
Untunglah di dalam masyarakat Indonesia yang sangat unik peranan ilmu exakta serta bahasa asing mendapatkan tempat tersendiri. Anehnya adalah kemahiran bahasa asing, terutama bahasa Inggris, jauh lebih dihargai daripada bahasa Indonesia sendiri. Bukan hanya orang dewasa merasa sangat bangga jika mampu berbahasa Inggris sehingga bisa mengobrol dengan orang bule di mall atau plaza, anak sekolah dasar pun dipacu oleh orang tuanya untuk ngeles ekstra bahasa Inggris.
548Please respect copyright.PENANAmVPLovQQAx
Oleh karena itu Hamid hari ini memperoleh kesempatan untuk memberikan les ekstra di perumahan Citra Kencana di kawasan luar Jakarta. Dengan motor Honda-nya yang sudah berusia cukup tua itu Hamid melewati gardu penjagaan, dan sebagaimana umumnya ia harus membuktikan diri dengan KTP yang selalu dibawanya, setelah itu ditanya maksudnya memasuki kompleks cukup besar itu.
"Saya mau memberikan les pelajaran kepada murid kelas saya," demikian Hamid ketika ditanya oleh satpam penjaga gardu.
"Siapa nama orang tuanya dan dimana alamatnya?" lanjut satpam berkumis baplang itu bertanya sambil mengawasi Hamid dengan tajam.
"Murid saya namanya Andy, nama keluarganya Kurniawan. Tapi saya dipesan oleh ibunya ditelpon tadi bahwa kalau ditanyakan oleh satpam bilang saja mau ke rumahnya ibu Farida," sahut Hamid.
"Ooh, kalau begitu mau ke ibu Farida. Ya silahkan, mas," suara satpam yang semula dingin galak mendadak berubah menjadi lunak, "tapi KTP-nya ditahan dulu, nanti pulangnya boleh diambil."
"Oh gitu. Iya, pak, terima kasih. Sampai nanti," Hamid menyalakan lagi motornya dan sebelum meluncur maju masih sempat dilihat nama yang tertera di dada sang satpam : Tohir.
Agak bingung juga Hamid mencari alamat yang telah dicatatnya di sepotong kertas dan setelah ia dua kali berhenti serta menanyakan jalan di sebuah toko roti dan kepada petugas kebersihan di situ, barulah akhirnya ditemukan rumah muridnya, Andy.
Ternyata rumah itu cukup besar, berdiri sendiri, tak berdempetan langsung dengan rumah sebelah kiri kanannya. Letaknya pun agak tinggi dibandingkan dengan jalanan, bagian depannya tertutup dengan pagar besi tinggi sebagaimana lazimnya rumah dari orang yang cukup berada.
Setelah beberapa kali mengetok kunci gembok di pintu besi itu barulah terlihat pintu rumah warna coklat tua terbuka dan seorang wanita muda cantik melangkah keluar yang langsung dikenali oleh Hamid sebagai ibunya Andy, karena memang sudah pernah beberapa kali menjemput ke sekolah.
"Silahkan masuk, pak Hamid, macet di jalan ya, emang daerah sini juga sekarang sering macet. Tapi pinter juga pak Hamid langsung bisa ketemu alamat saya. Masukkan aja motornya ke atas," demikian sapa ramah tamah wanita cantik yang Hamid duga bernama Farida itu, sambil menutup dan mengunci kembali pintu besi pekarangan, kemudian berjalan balik menuju pintu masuk.
Srrrrr! Denyut pembuluh darah Hamid menggejolak ketika melihat bentuk tubuh wanita yang berjalan di depannya itu : tinggi, langsing, namun amat montok menggiurkan dengan goyangan pantat asooy !
Farida melanjutkan langkah lenggang-lenggoknya seolah-olah tak menyadari atau bahkan sengaja memancing mata lelaki yang berjalan di belakangnya. Hamid berulang-ulang meneguk liurnya dan jakunnya turun naik melihat goyangan pinggul Farida. Apalagi sinar matahari masih agak terik dan gaun rumah yang dipakai Farida cukup tipis, menyebabkan mata Hamid yang melotot sanggup menembusnya. Terlihat bongkah pantat Farida sedemikian bulat bahenol bagaikan mengundang tangan lelaki untuk menjamah dan mengusap serta meremasnya. Pinggang Farida juga langsing ramping dilanjutkan dengan lebar belakang dadanya dimana Hamid hanya melihat tali pemegang BH yang kecil tipis, tak kalah dengan secarik kain string celana dalam di lekukan bongkah pantat Farida.
"Busyeeet tuh pantat, gue jadi horny banget. Nih nyonya Farida pasti tiap malam dikerjain lakinya, hhmh... brengsek juga gue harus ngajarin anaknya, mendingan si nyonya yang ngeles ekstra," gerutu Hamid dalam hati ketika ia telah masuk di ruangan tamu dan dipersilahkan untuk duduk.
Sebagaimana biasanya kalau akan memberikan les ekstra, maka si murid sudah duduk menunggu di ruangan lain, namun kali ini sang murid yaitu Andy tak ada di ruangan situ. Di luar dugaan Hamid, Farida duduk juga di hadapannya di ruang tamu, dan kaki si nyonya rumah itu disilangkan begitu rupa sehingga gaun rumah yang memang tak terlalu panjang itu tersingkap. Terpampanglah kedua betis dan paha Farida yang begitu langsing mulus dengan kulit halus kuning langsat licin, menandakan bahwa si pemilik sangat merawatnya.
"Maaf ya, pak Hamid, si Andy rupanya kena flu sehingga sejak pulang sekolah tadi hanya makan sedikit sekali dan sampai saat ini masih tidur. Tadi saya pegang kepalanya terasa panas, selain itu ia merasa pusing dan mual. Pembantu saya sedang ke dokter langganan untuk meminta resep ulang lalu ia akan langsung ke apotik untuk mengambil obat," Farida memulai percakapan, sambil agak menunduk ke depan sehingga bukit kembar muncul di balik celah gaunnya.
"Pantesan Andy saya belum lihat, enggak biasanya memang murid yang mau ngeles di rumah tidak langsung menyambut. Tapi enggak apalah, bu, saya datang lain kali, sakit kan enggak bisa ditolak, bu." Hamid menjawab sopan, sementara matanya menatap gundukan di dada Farida yang mengintip nakal.
"Gimana ya, pak Hamid kan udah jauh-jauh datang, buang waktu dan bensin, biarlah saya ganti semua, nanti saya beritahukan Andy." lanjut Farida, "kemungkinan besar besok Andy juga tak bisa masuk sekolah, takut kepanjangan sakitnya, mana suami saya juga sedang tugas keluar,"
"Enggak usah, bu, kan saya cuma naik motor, pakai bensinnya ya irit. Semoga Andy lekas sembuh," jawab Hamid sambil berdiri untuk pamitan. "Salam deh untuk suami ibu,"
"Tunggu sebentar lah, pak Hamid, paling tidak ya minum sebelum pulang. Nanti saya buatkan, mau minum juice segar atau mau kopi?" Farida menjawab sambil seolah-olah tak sengaja memalingkan matanya ke arah celana Hamid yang terlihat agak menggelembung karena si 'otong'-nya gelisah ingin keluar akibat tatapan nanar mata Hamid ke betis dan paha Farida.
"Tak usah repot, bu. Memang kalau jam segini saya suka minum kopi di rumah, tapi jangan merepotkan ibu. Lagian nanti Andy jadi bangun," Hamid pura-pura bertanya memancing.
"Oooh... enggak ngerepotin kok, pak. Saya juga biasanya jam segini minum kopi kalau suami saya sedang di rumah, tapi dia sedang tugas keluar kota, dan Andy tidurnya pasti amat lelap di kamar loteng yang letaknya cukup jauh di belakang. Bapak pernah nyoba kopi Senseo?" tanya Farida sambil bangkit dan berjalan menuju ke dapur sambil sebelumnya mengerling genit ke arah Hamid.
"Apa saja sesuka ibu lah," sahut Hamid yang faham kerlingan itu dan perlahan-lahan ikut jalan ke arah dapur.
Di salah satu sudut dapur yang sangat lengkap itu terlihat alat Senseo Philip warna biru. Farida menghubungkan kabel alat itu ke stopkontak di dinding, kemudian ia mencari "pads" yang disimpan di dalam salah satu lemari, namun karena terlalu tinggi maka ia berniat naik ke sebuah kursi.
Sebelum sempat Farida menaiki kursi itu, dirasakannya tubuhnya disergap dan pinggangnya telah dipeluk kencang oleh lingkaran tangan kiri Hamid, sementara tangan kanan laki-laki itu meremas-remas susunya.
"Ehh... apa-apaan ini! Pak Hamid jangan kurang ajar ya, saya kan mau membuatkan kopi susu untuk bapak. Ayo kembali duduk di ruang tamu! Jangan gitu, pak! Ooooohhh.. aauuuuuw.. eeemmmpppffh.."
Farida berusaha melepaskan pelukan di pinggangnya, sementara Hamid justru membalikkan tubuh Farida dan langsung menciumi bibirnya dengan ganas. Dirasakannya bahwa rontaan Farida adalah sekedar basa-basi saja, karena tenaga yang dipakai si nyonya cantik itu tidak keluar sepenuhnya.
"Udah lah, bu, engga usah pura-pura. Tadi kan kelihatan ibu duduknya di ruang tamu mancing saya supaya ngeliat teteknya ibu. Nah sekarang saya mau cobain barangkali keluar susunya, kan lumayan bisa dipakai ngopi, hehehe." Hamid kembali menciumi bibir Farida sambil meremas-remas gundukan daging kembarnya.
"Emmmppppffh.. udah, pak! J-jangan.. sssshhhh.. oooh.." Farida meronta melepaskan dirinya sambil berlari keluar dapur dikejar oleh Hamid.
Benar sekali dugaan Hamid bahwa Farida hanya berpura-pura menolak karena ia tak berlari keluar sambil menjerit sekuatnya, melainkan justru ia masuk ke dalam sebuah kamar khusus yang biasa dipakai kerja suaminya. Kamar yang tak terlalu besar itu namun cukup lengkap dengan meja computer, juga terlihat pelbagai lemari buku, lemari berisikan map-map, selain itu ada pula sofa yang dipakai istirahat jika suaminya telah penat bekerja.
Farida berdiri di depan sofa itu dan berusaha menepiskan beberapa kali tangan Hamid yang ingin menjangkau dan menjamahnya, wajahnya yang cantik dengan rambutnya kini agak kusut tergerai setinggi bahu. Pipi Farida tampak merona merah, matanya yang agak sipit terlihat agak genit tanpa ada tanda rasa ketakutan seorang wanita yang akan dilecehkan. Hidungnya mancung bangir terlihat kembang kempis, sedangkan bibirnya yang telah beberapa kali dicium Hamid bergetar dan merekah basah setengah terbuka.
Beberapa kali usaha Hamid digagalkan oleh tepisan tangan sehingga akhirnya ia kehilangan kesabaran dan langsung menerkam Farida bagaikan singa menerkam rusa. Akibatnya Farida jatuh terjerembab ke belakang dan terlentang di sofa dengan ditindih oleh Hamid, dalam keadaan dimana Farida semakin mudah untuk dikuasai dan ditaklukkan oleh Hamid.
Farida berusaha secepatnya bangun dari posisi tak menguntungkan itu, namun Hamid lebih sigap dengan segera menyergap dan menindihnya. Kedua tangan Farida yang ingin menolak mendorong dada Hamid telah dicekal direntangkan di samping kepalanya, lalu ditekan ke sofa sehingga ketiaknya yang licin terbuka lebar. Si guru bahasa Inggris ini kembali menciumi bibir Farida bertubi-tubi sehingga si nyonya cantik ini kewalahan, setelah itu ciumannya menjalar ke arah leher jenjang dan putih.
"Aaaaah.. oooohh.. pak, jangan ciumin disitu, ntar ada bekasnya diliat suami saya. Jangan, pak!!" mohon Farida karena merasa khawatir juga lehernya akan penuh dengan cupangan gigitan merah.
"Hmmmmh.. iya deh, bu, saya enggak cupangin disitu. Tapi tempat lain boleh ya?"
Hamid mendesak terus dan kini wajahnya menyelusup ke dalam ketiak kiri Farida, mendengus-dengus dan menciumi kulit licin dengan bau khas keringat wanita itu. Kemudian digigit-gigit dengan gemas menyebabkan Farida menggeliat kegelian, apalagi ciuman dan gigitan itu tak hentinya bertukar ke kiri dan ke kanan. Hal ini tak pernah dialami oleh Farida dengan suaminya yang amat boring jika ML, bicara merayu tak pernah, tak ada foreplay ataupun pre-load, apalagi aftermath juga tak kenal.
Sangat menggairahkan adegan di sofa itu : seorang nyonya keturunan cantik berkulit kuning langsat ditindih direjang oleh pria berkulit coklat gelap, rontaan dan geliatan sia-sia si nyonya menyebabkan gaun mini rumahan tersingkap hingga ke pinggulnya. Wajah si nyonya mencerminkan kecemasan sekaligus mulai terangsang, terbukti dari sinar mata agak sayu, hidung mancung bangirnya kembang kempis menandakan emosi, dan yang paling nyata adalah bibir bawah yang membasah karena digigit lembut oleh Farida, menandakan seorang wanita telah terangsang.
Kini Hamid semakin berani karena merasakan bahwa perlawanan si nyonya cantik ini hanyalah setengah hati. Ditatapnya mata yang agak kuyu tertutup itu, dinikmatinya dengusan nafas halus dari kedua lubang hidung mungil, dilepaskannya cekalan tangan kirinya terhadap pergelangan kanan Farida dan dituntunnya ke bawah untuk meraba celana jeansnya dengan tonjolan gelembung si otong, dan dugaannya tak meleset karena Farida sama sekali tak menolak dituntun kesitu.
Tangan kiri Hamid yang telah melepaskan nadi Farida kemudian mengembara ke arah dada busung mangsanya, menemukan kancing penutup gaun disitu lalu dilepasnya satu persatu sehingga muncul kutang model push-up berenda merk yang pasti mahal. Sebagaimana biasanya model push-up yang sering dipakai para selebritis, maka kutang semacam itu hanya menutup sebagian bawah buah dada sehingga lingkaran areola tampak sebagian serta puting telah mengintip sedikit keluar.
Tanpa paksaan kini tangan kanan Farida turun ke bawah, mulai meraba dan mengelus tonjolan keras di celana jeans Hamid, bahkan dirasakannya 'senjata' yang menjadi kebanggaan Hamid itu berdenyut-denyut seolah berontak ingin keluar. Jari-jari lentik Farida malahan kini mencari ritsluiting Hamid, sementara tubuhnya tetap berusaha menggeliat-geliat kesana-sini menahan rasa geli karena kedua ketiaknya diciumi, digewel, selain itu buah dada kirinya diremas-remas oleh tangan kiri Hamid, remasan yang mana menyebabkan tak lama kemudian si buah dada keluar dari kungkungan BH.
"Udah dong, pak. Geliii.. ooohh.. auuuuw! Aaahh.. gigitnya jangan keras-keras dong, ngilu kan," Farida semakin liar meronta karena Hamid semakin berani dan menjepit puting susunya diantara giginya yang agak tonggos, namun protes setengah hati itu justru semakin meningkat kenakalan Hamid.
"Hmmmmhhh.. geli tapi ngilu enak ya, bu? Ngaku aja lah, sering diginiin juga kan sama suami.. nih ditambah lagi pijitan di susu kanan, duuuuhh.. padat tapi kenyal, jadi geregetan,"
Hamid telah melepaskan cekalan tangan kanannya di nadi Farida dan digunakannya untuk meremas-remas buah dada kiri Farida dan kedua puting berwarna coklat kemerahan itu telah keluar dari BH push-up. Mulutnya dengan rakus bergantian menyusu di puting kanan dan kiri, dihisap dan dikenyot-kenyotnya puncak gunung yang makin mencuat dan peka itu, sementara si empunya semakin mendesah-desah geli.
Setelah kedua tangannya bebas dari cekalan, maka Farida kini dengan lebih mudah dan cepat dapat menarik ritz celana jeans Hamid yang kemudian dengan agak tak sabar ditariknya ke bawah. Hamid tersenyum merasakan jari-jari halus Farida kini telah mengusap-usap tonjolan di balik celana dalamnya, dilihatnya wajah Farida semakin merona merah dan bibirnya semakin merekah.
"Hehehe, udah enggak sabaran ya, bu? Iya, keluarin aja pentungan saya, pasti dia juga mau kenalan sama ibu, hehehe... tuh nongol keluar, udah pengen ngisep ya, bu? Sepongin ya, bu, hehehe.."
Hamid semakin mantap merangsang Farida karena melihat nyonya cantik itu juga telah merespon dan bahkan mengeluarkan penisnya yang telah ereksi. Kini ditariknya tubuh Farida dari terlentang di sofa dan dalam posisi setengah duduk dengan mudah gaun rumah yang pendek itu dapat ditarik ke atas, setelah itu BH push-up yang telah kehilangan fungsinya dilepaskan, demikian pula celana string Farida berwarna jingga muda dilorotkannya ke bawah.
Mata Hamid langsung saja melotot!
Telah beberapa kali Hamid melihat Farida menjemput anaknya dengan memakai rok mini ketat di atas lutut, namun kini body yang bohay itu terpampang mulus telanjang di hadapan matanya.
"Ck, ck, ck, bagus amat badannya, bu! Enggak heran lah, orang keturunan sih. Sekarang ibu manjakan nih si otong, udah pernah ngeliat yang kaya begini belum, bu?" demikian celoteh Hamid yang sementara itu pun telah meloloskan diri dari semua pakaiannya. Kini kedua insan yang berbeda warna kulit itu saling berhadapan bagaikan Adam Hawa bugil di taman Firdaus.
Bagaikan seorang seniman ahli pahat, Hamid menikmati tubuh Farida yang ramping namun cukup montok menggairahkan itu. Tinggi badan perempuan itu sedikit melebihi bahu Hamid, wajahnya oriental ayu manis dengan rambut hitam sedikit bergelombang setinggi bahu. Buah dadanya cukup besar untuk orang Asia, namun sekal kencang tanpa tanda turun ke bawah karena terlalu berat. Putingnya amat menantang : mencuat merah tua kecoklatan, kontras dengan kulitnya yang putih kuning langsat. Pinggangnya ramping dilanjutkan dengan pinggul bagai gitar Spanyol, tak kalah dengan bintang ngebor di panggung, dan ... apakah yang dilihat Hamid di bawah pusar Farida? Ternyata bukit kemaluan Farida dihiasi dengan segunduk rambut berbentuk segitiga yang pasti setiap hari dirawat secara sangat seksama. Rambut kemaluan segitiga kecil itu pasti pas-pas-an ngintip keluar jika ia memakai celana bikini, demikian pikir Hamid yang pandangannya semakin binal menatap celah kewanitaan yang tersembunyi di balik sepasang bibir kemaluan bagaikan milik seorang gadis ABG.
Meskipun dengan wajah merah padam dan menunduk malu, namun Farida mengarahkan pandangannya ke kemaluan Hamid. Berbeda dengan suaminya, kejantanan Hamid telah disunat sehingga langsung terlihat kepala penis berbentuk jamur dengan celah kencing di tengah agak terbuka bagai mulut ikan, dan dari celah itu terlihat tetesan kecil air mazi yang mulai keluar mempersiapkan sanggama.
"Ayo, bu, jangan malu-malu. Sini saya ajarin, supaya gampang saya duduk dipinggiran sofa. Nah ibu berlutut di tengah selangkangan saya. Iya betul gitu, sekarang buka mulut ibu yang manis, ciumin dulu nih jamur merang. Iyaaahh gitu, jilatin tengahnya tuh lobang kencing saya, ooooooh.. aaaahhhh.. jarang saya nemuin murid sepinter ibu, langsung ngerti diajarin sekali aja, iyaaaaaah!!"
Hamid merem melek keenakan ketika mulai dimanjakan si otongnya, sementara Farida bagaikan kerbau dicocok hidungnya hanya menurut semua perintah. Rasa malunya bagaikan hilang entah kemana saat ia berlutut bagaikan seorang budak di hadapan guru anaknya yang duduk di pinggiran sofa itu.
Jari-jari tangannya merengkuh penis Hamid yang panjang dan besar berurat-urat, dikocoknya serta sekali-kali diremas pula dengan lembut biji pelir yang menggantung di bawah penis itu. Semua yang selama ini dilakukannya di kamar tidur dengan suaminya sendiri kini dilaksanakannya dengan lelaki asing. Apakah itu naluri seorang wanita dewasa yang memang kehausan seks, selalu tidak cukup hanya dipuasi setiap malam oleh suami sendiri sehingga mencari petualangan?
Entahlah, namun yang pasti saat ini Farida melakukan sesuatu bagaikan terkena sihir, dinikmatinya dengusan kenikmatan Hamid ketika mulutnya mencakup kepala penis dan dicobanya perlahan-lehan memasukkan pentungan daging itu ke rongga mulutnya sambil lidahnya menyapu mengusap-usap lembut.
"Duuuuhhh.. ibu pinter amat, ooooh... iyaaaaah, bu, sepongin yang lama! Mulut ibu halus kaya sutra. Pelan-pelan, bu, jangan kecepeten ntar kebablasan. Saya juga mau ngebales nyoba memek ibu, pasti udah gatel. Iya, ntar saya jilatin, oooooh.. aaaaah.. gusttiiiii.. enaaaknya!!" lenguh Hamid sementara Farida semakin asyik menghisap penis yang hanya masuk setengahnya namun telah menyentuh langit-langit rongga mulutnya sehingga harus mengatur nafas agar tak tersedak.
Hamid tak sanggup menahan lagi hawa nafsunya sehingga kini kedua tangannya merantau kembali ke buah dada Farida yang montok sekal; diremas-remasnya, dipilin serta dicubitnya puting dengan terkadang memakai kukunya sehingga terlihat wajah Farida meringis agak kesakitan.
"Jangan kasar dong, pak, mainnya, auuuuuuww!! Aku ngilu, sssshhhh.. slrrrppp.."
Farida berusaha mengimbangi permainan Hamid dengan mempercepat gerakan tangannya mengocok serta menjilat dan menusuk-nusuk lubang kencing Hamid dengan ujung lidahnya. Kemudian dimasukkannya lagi daging bagai topi baja itu ke mulutnya yang sebenarnya terlalu kecil untuk mengulum semuanya.
"Uuuuuuh.. diapain tuh lubang kencing saya, bu? Ooooooohh.. duh nikmatnya! Sssssshhhh.. saya nggak tahan lagi, bu, mau nyembur nih! Aaaaaaaah.."
Hamid tak sanggup lagi diperlakukan seperti itu, kedua tangannya melepaskan buah dada dan dipakainya menahan kepala Farida serta ditekan kemaluannya sejauh mungkin ke dalam kerongkongan Farida pada saat laharnya muncrat.
"Uuuueeeggkk.. uuueeewwk.. gleeggg.. uuuueewwwwkkk.. ssssh.." Farida tak mampu melepaskan genggaman Hamid di kepalanya sehingga walaupun agak gelagapan dan mual terpaksa ditelannya sperma yang agak sepat dan asin-asin itu. Farida berusaha mengatur nafasnya agar tak tersedak dan terlihat lubang hidungnya yang mungil kembang kempis mencium aroma air mani Hamid.
Beberapa menit kemudian Hamid melepaskan cekalannya di kepala Farida sehingga penisnya yang meskipun masih tegang namun agak mengecil itu keluar dari mulut Farida. Penuh kepuasan Hamid meletakkan kembali Farida di sofa, diciumnya bibir manis yang berbau spermanya sendiri itu.
"Sebentar lagi dicoblos mau ya, bu? Sekarang gantian saya ngelicinin dulu memek ibu supaya siip," ujar Hamid sambil menempatkan dirinya di antara paha putih mulus yang dikuakkan selebar-lebarnya.
Rasa malu ternyata masih bersisa di benak Farida karena Hamid merasakan adanya ketegangan di kedua paha mulus yang sedang dikuakkannya itu, ketegangan yang menandakan bahwa Farida masih mencoba merapatkan pahanya. Hamid hanya tersenyum kecil dan mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mendesak perlahan ke samping - dengan tekanan itu akhirnya selangkangan Farida semakin melebar. Hanya dalam waktu tak ada satu menit muncullah panorama kewanitaan Farida di hadapan mata Hamid : belahan paha si nyonya cantik itu telah melebar sedemikian rupa sehingga celah surgawi diantara bibir tembam vagina Farida telah merekah mengundang matanya.
Tak sanggup menahan lagi nafsu birahinya, Hamid menundukkan kepala dan melekatkan wajah serta bibirnya yang tebal itu ke celah senggama Farida; diendus, dicium dan mulai dijilat-jilatnya.
"Sluurrrrpp.. mhhhmmmmhh.. wuihh, asyiknya nyiumin memek nyonya gedongan. Diapain sih memeknya bu, kok bisa wangi begini? Dipakein minyak wangi ya? Mmmmmhhhh... kecampur harumnya keringat perempuan gatel, cuppp.. cupppp.. ssshhhh.. sluurrrrp.." Hamid mendengus sambil menciumi dan mulai menjilat celah surgawi Farida, menyebabkan perempuan itu meronta-ronta dan mendesah manja.
"Aaaaaiiih.. oooooohhh.. ssshhhhh.. udah dong, pak, geli. Ntar Andy bangun.. udahan, pak!!" lenguh Farida sambil berusaha kembali menutup pahanya.
Tangan kirinya membuat kepalan mungil yang dimasukkan ke mulutnya untuk menahan agar jeritannya tidak terlalu terdengar, sementara tangan tangannya tanpa disadari menekan kepala Hamid bagaikan menginginkan agar lidah kasap itu tak hanya menjilat bibir kemaluannya, namun juga mencari jalan masuk ke lembah yang mulai basah.
“Geli tapi enak kan, bu? Iya, saya ngerti bagian dalem memeknya udah gatel, tuh keluar santen campur madunya. Saya mau nyobain nih, sluuurrrp.. slurrrp.. cuppp.. sluurrrp.. gurih manis, saya tambahin ludah ya biar licin, mhhhhhmhh.. udah siap di-jos belum ya, ibu bahenol?"
Hamid semakin meningkatkan rangsangan lidah nakalnya hingga menyebabkan Farida menggelepar bagai cacing kepanasan, karena lidah Hamid telah menerobos masuk ke liang vaginanya. Selain itu janggut Hamid yang berhias bulu jenggot pendek kasar menyapu bibir kemaluannya. Lidah Hamid semakin liar membelah bibir kemaluan Farida, menyelusup di lipatan atas dan menemukan tonjolan daging kecil berwarna merah muda yang dilengkapi dengan jutaan ujung syaraf peka di tubuh tiap wanita.
Sapuan lidah serta jilatan dan gigitan gemas di daging kecil itu menyebabkan hentakan ketegangan tubuh bahenol Farida seolah terkena aliran listrik - semuanya disertai pula lenguh histeris manja :
"Udaah.. jangan, pak! Aku enggak tahan! Geli, pak! Ooooohh.. jangan digigit dong, ngilu!!" Farida menggelinjang, meronta dan menghentakkan kakinya di sofa, namun tetap dicekal oleh Hamid.
"Hehehe, geli enak ngilu dikit ya, bu? Tapi pengen diterusin kan? Ayo ngaku deh! Pengen dientot kan? Iya, saya mau ngejos nih, tapi mesti ngaku dulu ibu yang minta dikerjain sama saya. Ayo bilang, 'abang sayang', saya nyerah ama abang, saya pasrah mau diapain aja, terusin 'abang saying,"
Hamid merasa bahwa nyonya cantik ini sudah sepenuhnya berada dalam kekuasaannya sehingga bahkan mengajukan permohonan yang membuat Farida sangat malu sehingga wajahnya merah padam hingga ke kedua telinganya. Tapi memang apa yang dikatakan Hamid itu benar dan Farida sangat mengharapkan agar permainan terlarang itu dilanjutkan, dia ingin disetubuhi!
Karena Farida tak langsung memenuhi permintaannya maka Hamid meningkatkan rangsangan oral di kelentit Farida, benda mungil itu ia jepit diantara bibir dowernya, disapu-dijilat-jilatnya, dan berkali-kali digigitnya gemas. Betapa pun pertahanan Farida namun rangsangan itu membuat hormon kewanitaannya 'mendidih' dan jutaan bintang bagaikan kunang-kunang 'meledak' di hadapan mata Farida disertai jeritannya :
“Oooooohh... iyah, abang Hamid saying.. auuuuuwww!! Saya minta... oooooh! Abang nakal, terusin... iyah, saya mau pipis! Oooooh.. abang! Iya, geli-geli nikmat.." Farida mengejang dan tubuhnya melengkung ke atas bagai busur panah sebelum ambruk ke sofa.
Disertai senyum kepuasan Hamid meletakkan dirinya di selangkangan Farida, dipeluknya wanita cantik yang telah mandi keringat itu penuh kemesraan, ditindihnya sehingga tak dapat berontak lagi.
Dengan sengaja digeser-geserkannya penisnya yang telah menegang kaku bagaikan kayu pentungan itu di celah vagina Farida, menyebabkannya semakin gelisah. Dengan tak sabar jari-jari lentik perempuan itu merengkuh menangkap kemaluan besar itu, dibuka dan dikuakkannya pahanya selebar mungkin...
“Bleeesszz.. bleeeesssz..” Kemaluan Hamid yang dituntun oleh jari-jari Farida telah menemukan dan kini membelah vagina yang telah basah kuyup oleh lendir orgasmenya tercampur liur Hamid.
"Ooooooohh.. pelan-pelan, bang! Oooooooh.. ngilu, bang! Pelan-pelan.."
Farida merasakan vaginanya dibelah oleh kejantanan Hamid yang memang rupanya lebih besar daripa milik suaminya. Hamid mengerti keinginan si nyonya cantik yang berada di kekuasaannya itu, ia menekan, mendorong tahap demi tahap, dipakainya gerakan tarik dorong, tarik dorong, hingga akhirnya ujung penisnya menyentuh mulut rahim Farida, saat mana dirasakan Farida sangat ngilu.
"Oooohhh.. abang sayang, udah enggak muat lagi! Aaauuuuuww... pelan-pelan, bang! Aaaiiiih... iyah, terus.. pelan-pelan! Ngilu sakiit, ooooh... tapi juga nikmat!!"
Farida menggeleng-gelengkan kepala menyebabkan rambutnya semakin kusut acak-acakan, namun tidak dipedulikannya lagi. Sementara Hamid makin bernafsu dan kini bahkan mempercepat gerakannya. Wajah Farida yang mencerminkan wanita muda sedang dilanda nafsu birahi menyebabkan Hamid semakin ganas dengan menghunjamkan kejantanannya sedalam mungkin ke vagina mangsanya.
Setelah sekitar sepuluh menit menggenjot Farida, maka si pejantan Hamid meletakkan kedua lutut mulus yang semula terletak di sofa kini ke atas bahunya, dimajukannya tubuhnya sendiri ke depan sejauh mungkin, dengan demikian tubuh Farida bagaikan terlipat dua dengan kedua pahanya kini hampir menempel di buah dadanya. Dalam posisi sedemikian maka Farida merasakan hunjaman penis Hamid semakin masuk ke dalam celah kewanitaannya, mulut rahimnya semakin ngilu karena dijedug-jedug oleh kepala penis yang tak kenal kasihan itu.
Rasa ngilu kini menyebabkan Farida mulai mencakar dada dan bahu pemerkosanya, bahkan tak lama kemudian giginya terbenam pula di bahu dan terkadang di lengan Hamid. Dorongan dan hentakan kepala penis itu seolah semakin lama semakin mendesak ke atas menekan ulu hatinya, sementara tubuhnya makin tertindih sehingga agak susah bernafas, apalagi saat itu Hamid kembali menciuminya dengan sangat ganas.
"Ooouuummmppffh.. aaaaaahhh.. bang, udah dong! Aaaaahhh.. ngilu! Pelan dong.. sakit!! Aaaah.. ooooh.. abang mainnya sadis! Aaaaah.. eeempppffh.." Farida merasakan semua syarafnya dipaksakan untuk berpusat di otaknya mencapai orgame kembali!
"Ouuuuuuhhh.. enaknya ngentot nyonya amoy. Abang juga hampir keluar. Abang cepetin nih maennya. Sempit amat memeknya, licin tapi mijit-mijit. Ooooohh... abang enggak tahan lagi nih. Abang keluaaaaar!!" Hamid menggeram penuh kegemasan dan dihunjamkannya rudal kebanggaannya sedalam mungkin dan dirasakannya lahar panas meluap keluar dari biji pelirnya.
"Oooooooohhh.. abang sayang! Sakit tapi enak, bang! Iya, terus... auuuuuuuuuww.. nikmat, bang! Ampuun.. aaaauuuw.. aaummpmpffh.."
Bersamaan dengan semprotan sperma Hamid di mulut rahimnya, maka otot-otot vagina Farida pun mengejang berkontraksi memijit-mijit batang kemaluan yang sedang menyiksanya, seolah-olah tak ingin melepaskannya kembali, seolah-olah ingin dihilangkan rasa gatal yang mengganggunya.
548Please respect copyright.PENANAb7FFbtkXYw
***
548Please respect copyright.PENANAp0Su4TRn93
15.00 WIB
548Please respect copyright.PENANAIOnZR4h2tE
Hampir satu jam lamanya kedua insan berbeda warna kulit itu bergulat mengucurkan keringat di sofa, dan akhirnya dengan penuh kepuasan mereka perlahan-lahan bangun dan memakai pakaian masing-masing. Setelah berciuman penuh kemesraan, mereka berpisah sementara karena setelah peristiwa itu keduanya telah menemukan jalan by-pass untuk memuaskan nafsu birahi mereka. Tak perduli apakah mereka masing-masing telah berkeluarga atau bahkan mempunyai anak : di saat hormon wanita dan pria sedang mendidih maka keduanya selalu akan berjumpa di masa depan.
ns 15.158.61.20da2