Georgette absen hari ini, oleh karena itu hanya Thomas dan Matthea lah yang akan pergi ke sekolah SMA mereka dulu. Walaupun begitu, Thomas tetap berhalangan untuk menjemput Matthea di rumahnya. Semenjak kembali ke Depok, ia memang lebih sering mengantar-jemput sang Bunda. Tetapi, tugasnya hari ini hanya mengantar saja, sehingga ia dan Matthea bisa meet up tanpa Thomas harus terburu-buru pulang.
Sebelum sampai di sekolah, Matthea dan Thomas mampir ke sebuah toko buah dipinggir jalan, dekat dengan lokasi tempat makan bakso kesukaan Matthea. Diam-diam, ternyata Thomas jago juga dalam hal tawar-menawar.437Please respect copyright.PENANA5KP4opSVxL
“Sejak kapan kamu jago soal gini?”
“Hah? Ginian? Maksudnya?”
“Iya, soal nawar kayak gini.”
“Oh… diajarin Bunda kok. Aku juga bingung sih, kenapa jadi bisa gini. Padahal, aku kan belum lama balik kesini.”437Please respect copyright.PENANAyVE5Nq08VM
Matthea yang sedang memilih-milih jeruk dihadapannya itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sembari menopang dagunya dengan sebelah tangan kanannya, ia mulai mengambil satu per satu buah tersebut dari keranjang kayu besar yang disekat dan beralaskan terpal biru.
10 menit berlalu, waktu yang dibutuhkan oleh Matthea dan Thomas untuk sampai di tempat penuh kenangan tersebut. Matthea turun terlebih dulu dari motor. Sembari menjinjing sebuah parsel berisikan macam-macam buah, ia berjalan kedepan beberapa langkah, meninggalkan parkiran dan Thomas yang masih mengunci motornya. Dengan raut wajah yang terlihat gugup, ia mengintip kearah lapangan sekolah. Sesaat, dirinya terlonjak kaget ketika seseorang menepuk pundaknya.437Please respect copyright.PENANALSYj1CQeHP
“TELAT… TELAT!!!”
“AAAAAAAAAA!!!”
“Ih, masih kagetan ya, Neng Thea…”437Please respect copyright.PENANAmfdKnZQ90m
Matthea menoleh kearah belakang. Masih terlihat eskpresi wajah paniknya dengan mata kecil yang sedikit agak melotot. Lalu, ia mengelus dadanya berkali-kali, awalnya dengan satu tangan, kemudian berganti dengan kedua tangannya. Ia mendecakkan kedua kakinya.437Please respect copyright.PENANA4osU6xS2Wh
“Astaga, Bang Tino! Saya kaget banget nih, sumpah…”
“Hehehe… ya maaf Neng, abis Abang kaget juga, Neng Thea tiba-tiba ada disini.”
“Tapi, kan…”
“Oh iya, bawa apaan tuh? Tumben banget nih baru kesini lagi, temen-temen yang lain pada suka main lho, Neng.”
“Emang iya, Bang? Siapa aja?”
“Yah, dia ngga tahu… banyak nih, terutama anak-anak yang dulunya pernah jadi panitia pensi tuh. Angkatannya Neng Thea gitu, masih suka datang pas ekskul pada latihan. Duh, namanya siapa ya… ada tuh yang sering banget datang…”437Please respect copyright.PENANA0bDpm3GlOW
Sembari menunggu ingatan Bang Tino akan nama-nama teman seangkatannya kembali, Matthea menoleh ke kanan dan kiri. Ia melihat sekelilingnya.437Please respect copyright.PENANAy7wvNQeLbU
“Bang, ini kok sekolah tumben sepi? Emang jam pulangnya lebih cepet ya sekarang?”
“Ah… ngga kok, cuma hari ini kan ada penilaian akreditasi gitu Neng, jadinya ya anak-anak dipulanginnya lebih cepet, sekitar 2 jam lalu. Tapi, sebenernya mah ada kok yang masih disini, anak ekskul yang pake kelas-kelas.”
“Hmm, gitu… pantesan saya bingung, kok jam 1 siang gini udah sepi. Biasanya, jam segini kan udah mulai masuk kelas lagi. Ngomong-ngomong, Kepsek masih Pak Tajuddin, Bang?”
“Masih dong, tapi… ya… emang ga berkepanjangan gitu jadi Kepala Sekolahnya. Sempet guru dari sekolah lain gitu jadi Kepsek, sama Kepsek dari sekolah lain juga pernah jadi kepsek disini, persis tuh sebelum Pak Tajuddin ngejabat lagi.”
“Oalah… okay deh kalo gitu. Nah, Pak Tajuddin nya ada ngga nih sekarang, Bang? Ya, siapa tahu sibuk kan, namanya kepsek…”
“Ada kok, tuh lagi di ruangannya kali mah. Habis ngelatih anak Pramuka sih kayaknya.”
“Wah?! Masih megang Pramuka gitu maksudnya, jadi Pembina?”
“Ya masih, Neng. Dari dulu sampe sekarang, kan masih Pak Tajuddin yang megang ekskul itu.”437Please respect copyright.PENANAbM20S5wJxt
Sekembalinya Thomas dari toilet dekat parkiran, Matthea permisi sebentar kepada Bang Tino untuk menyambangi ruangan Pak Tajuddin, Kepala Sekolah SMA mereka. Keduanya memasuki lobby yang berada disamping lapangan sekolah. Matthea mengamati segala benda-benda yang ada disana. “Ngga berubah ternyata, masih sama...”, gumamnya sembari menyentuh sebuah sofa kayu di samping kanannya. Ia masih terpaku disana, sementara Thomas pergi berjalan ke arah UKS. Matthea membiarkan Thomas untuk bernostalgia menyusuri lorong menuju ruangan itu, ruangan yang menjadi pelariannya dulu kala membenci mata pelajaran akuntansi. Mata gadis itu terarah ke kolam ikan dengan air mancur mini dibelakangnya. Suara gemerciknya masih sama teduhnya seperti ia dengar dulu. Fokusnya terganggu ketika Thomas menghampirinya lagi, “Aku tunggu di kantin aja ya, The?”
Matthea menganggukkan kepalanya. Tak lama, Thomas meninggalkannya di lobby seorang diri. Ia berjalan menuju ruangan para guru, barangkali seseorang yang dicarinya berada disana, walaupun sekarang sudah pindah ruangan karena jabatan yang diampunya. “Ngga ada siapa-siapa ternyata”, ucapnya pelan. Matthea membelokkan langkah kakinya ke arah kanan. Sampai di depan pintu ruangan Kepsek, ia mengetuk pintunya dengan hati-hati. Cukup lama ia menunggu di depan sana, sampai ia dengar langkah kaki seseorang, ia pun menoleh ke samping kanannya.437Please respect copyright.PENANAAZ6eNaN5S6
“Iya, The… ini Bapak… kamu ngapain di depan sini? Pucat gitu lagi mukanya.”
“Tadi sa…”
“Udah sini... duduk dulu di sofa, udah lama kan ngga ngerasain?”
“Hehehe iya, Pak…”
“Tapi, bentar dulu ya Matthea, Bapak masuk dulu ke dalam.”437Please respect copyright.PENANAaZqNhdJE3V
Sesaat ditinggal beliau, mata Matthea teralihkan oleh beberapa suara anak futsal yang mulai berdatangan ke lapangan dan mempersiapkan diri untuk latihan.437Please respect copyright.PENANAjg76f8m0em
“Kenapa? Banyak kenangannya ya?”
“Iya, Pak… banyak banget.”
“Eh, Bapak baru inget…, kamu udah makan belum?”
“Udah Pak, tadi sebelum kesini.”
“Udah kok tapi lesu gitu… belum makan deh pasti? Bentar ya, bakso cuankinya lagi dimasak dulu di kantin. Nanti dianter kesini.”
“Aduh, Pak…, gausah repot-repot… jadi ngga enak gini saya.”
“Alah, udah ngga apa-apa, sama anak sendiri, masa Bapak repot. Gimana kamu kabarnya, The?”
“Baik, Pak. Sehat juga. Ini saking sehatnya, saya kesini, Pak.”
“Bapak jadi inget, dulu itu… kamu pasti suka diem-diem mandangin anak-anak latihan futsal. Udah ketemu?”
“Ketemu?”
“Iya, ketemu. Sama yang dulu itu… yang dulu Bapak pernah dititipin salam sama kamu.”
“Hmm, itu… Dia ngga pernah tahu kan kalo saya yang titip salam?”
“Ngga kayaknya, The. Dia juga udah jarang kesini. Terakhir Bapak denger dari anak-anak futsal, dia lanjut kuliahnya jauh ya?”
“Jauh? Saya kurang tahu kalo itu, Pak…”
“Iya, Bapak kan dapat info dari guru BK, katanya dia keterima di beberapa universitas gitu. Nah, karena dia berprestasi sekali di kampusnya, adik-adik kelas kamu yang mau masuk kampus dia itu, ya keterima semua. Ya… sangat ngebantu sekolah kita lah, apalagi ke akreditasi, berpengaruh, The.”437Please respect copyright.PENANAqn94Hu2uSJ
Usai mendengarkan uraian Pak Tajuddin, Matthea menunduk. Ia mengeluarkan HP dari saku celananya dan mengaktifkan mode silent. Ia menyilangkan kedua kakinya, melepas tas ransel mini dipundaknya untuk ditaruh di bagian pojok sofa yang ia duduki. Ia pun baru sadar, jika separsel buah yang dibelinya masih ia pegang. 437Please respect copyright.PENANATJkeANne1i
“Oh iya Pak, ini… saya bawa buah buat Bapak. Beda-beda buahnya Pak, hehehe…”
“Segar nih buahnya, The! Kamu beli dimana? Tadi kesini juga sama siapa?”
“Hmm, belinya di pedagang buah yang ngga jauh dari rumah saya, Pak. Saya dianter Thomas tadi.”
“Oalah, si Thomas. Dimana dia? Kok ngga kesini?”
“Makan di kantin Pak, dia kan ada maag. Jadi, ngga boleh telat makan sedikit.”
“Bapak udah jarang lihat dia ngelatih PMR lagi…”
“Kan kalo Thomas kuliahnya emang ngga di Jabodetabek, Pak. Dia juga sempet gap year.”
“Waduh, jauh juga ya? Pantesan, PMR ngga ada yang ngelatih lagi tuh. Biasanya kan, si Thomas yang ngelatih anak tandu.”
“Iya, Pak… dia kuliahnya di Malang, jauh.”437Please respect copyright.PENANAUBlRyMCkGa
Tiba-tiba, suasana mendadak hening. Baik Matthea dan Pak Tajuddin, keduanya sibuk dengan aktivitas saat ini. Pak Tajuddin yang sedang menerima telfon dan Matthea yang kembali memandangi lapangan futsal sekaligus upacara itu. Sepertinya, ada kenangan lama yang tertinggal disana. Ia menundukkan kepalanya, sesekali mengusap-usap tangannya, seiring dengan rintik hujan yang mulai turun semakin deras.437Please respect copyright.PENANAd2r2MqOsCL
“Ngomong-ngomong, dia kalo kesini selalu nanyain kamu lho The, walaupun Bapak bilang tadi… jarang-jarang kesininya.”
“Nanyain saya? Ke Bapak?”
“Iya. Dia juga pernah, buru-buru banget kesininya, masih pake seragam baristanya gitu, nemuin Bapak.”
“Barista? Kerja di coffeeshop maksudnya?”
“Iya, disana. Waktu SMA kan dia udah sering minum kopi, udah “ketebak” lah The sama Bapak, dia bakal kerja dimana buat sampingannya.”
“Terus Pak, lanjut-lanjut…”
“Nah, Bapak tanya kan pas ketemu, “Lho, kamu ngapain kesini? Cari siapa? Udah sore begini, anginnya kencang lagi. Motor kamu gimana?”, Bapak tanya gitu…”
“Hahahaha… iya sih Pak, motornya emang kayak tinggal onderdil nya lepas semua, apalagi kalo ngomonginnya pas di jalan yang rada ancur gitu.”
“Ngga langsung jawab kan dia, Bapak suruh duduk dulu disini. Terus minta tolong Bang Tino tuh, beliin kopi hangat di kantin. Habis minum kopi, dia jawab gini, “Matthea kesini ya, Pak?”, lah… bingung dong Bapak, “Kesini darimana? Orang kamu aja baru kesini lagi kan sekarang, dulu-dulu belum pernah sempet kesini lagi”, Bapak jawab aja begitu.”
“Terus Pak, terus… lanjutannya gimana?”
“Gini, “Ngigo ya kamu? Dapet berita dari siapa sih? Mabuk kopi ya kamu ini?”, Bapak gituin aja. Lagian, aneh... katanya denger dari siapa lah, gitu…”437Please respect copyright.PENANASRitBiTm1o
Matthea kali ini tertawa, baru kali ini, ada orang yang mencarinya sebegitu usahanya. Tetap datang, sekalipun hanya kabar burung yang diterimanya. Kali ini, entah bertahan dalam waktu lama ataupun sementara, ia merasa karena dicari, bukan lagi ia yang mencari. “Padahal, aku udah ngga ada di sosmed, ternyata…”, gumamnya dalam hati, sembari tersenyum kecil.
Hujan mulai reda, fikirnya ia harus pulang, karena rumah Thomas pun tak bisa dibilang dekat dari sekolah. Matthea berpamitan dengan Pak Tajuddin, diikuti oleh Thomas, yang sudah bergabung dalam obrolan dengan mereka sejak 20 menit yang lalu. Sepanjang perjalanan pulang, gadis berambut ikal sepunggung itu memutar sebuah lagu. Alunannya mampu membuat senyum miliknya menghilang, ikut terbawa dengan menyingkirnya awan hitam yang menurunkan rintikan tangisan langit sore ini.
ns 15.158.61.54da2