Hari Kamis diawal bulan ini terasa berat bagi Matthea. Bagaimana tidak, materi-materi mata kuliah menjelang ujian akhir semester nya sangatlah padat. Padahal, baru semester 1. Matthea mengusap wajahnya, tangan sebelahnya juga menopang dagunya. Ia berfikir, baru semester awal saja sudah selelah ini, bagaimana ia semester 2 nanti, begitu pula semester-semester berikutnya sampai thesis? Apalagi, sesaat ia teringat dengan beberapa rencana-rencana miliknya yang akan ia eksekusi pada semester esok. Matthea memanyunkan bibirnya, kemudian memasang earphone pada kedua telinga.
Matthea melangkahkan kaki-kaki kecilnya, berjalan pelan dari fakultas menuju ke halte bus Transjakarta. Kedua kakinya menaiki pinggiran trotoar, membuat dirinya harus merentangkan tangan guna menjaga keseimbangan diri. Kala sore hari menjelang pukul 5 sore seperti inilah waktu-waktu yang sebenarnya dibenci Matthea. Selain kawasan jalanan kampus yang penuh dengan mahasiswa/i pembawa mobil dan pengendara sepeda motor dengan mayoritas knalpot nya yang berisik, sesampainya di stasiun KRL, ia juga harus mengalah, dan merelakan beberapa KRL atau commuterline berlalu melewati dirimya di peron, agar ia bisa masuk ke dalam kereta yang tepat atau tidak terlalu penuh, serta ia sendiri dapat memastikan bahwa ia berdiri dengan kakinya menyentuh lantai KRL.
Gadis mungil berambut sebahu itu terus melihat kearah kaca KRL. Tangan kanannya berpaku pada pegangan KRL putih berbentuk segitiga yang ada diatas kepala. Sementara, tangan kirinya memegang totebag yang dibawanya. Ada suatu benda yang bergetar ketika tangannya menyentuh tas kanvas dibahunya. Matthea ingin memasukkan tangannya kedalam, namun secara tiba-tiba KRL medadak terhenti, dan membuat para penumpang hampir berjatuhan, bak domino-domino yang disentuh sedikit, ambyar. Dengan sigap, Matthea mengalihkan arah totebag nya yang semula dibahu menjadi kearah depan. Pun tangan kirinya ikut memegang pegangan KRL yang awalnya ia pegang dengan 1 tangan.
Ketika KRL berhenti, buru-buru Matthea melepas earphone biru langit nya untuk dimasukkan kedalam tas. Ia menoleh keatas pintu KRL, menghembuskan nafas dalam-dalam, karena sebentar lagi akan sampai di stasiun tujuannya. Sesampainya disana, ia mengambil HP ditas, untuk memesan ojek online atau ojol sebelum langit gelap. Ia menduga, jika 15 menit lagi hujan akan turun. Matthea tak suka hujan, karena ia selalu merasa kalau tubuhnya terasa sakit jika hujannya turun begitu deras. Situasi tersebut berpeluang membuat dirinya boros, karena harus berteduh di suatu tempat yang kemungkinan harus membeli sesuatu di dalamnya, agar tidak terlalu terlihat bahwa dia hanya ingin menumpang berteduh.1065Please respect copyright.PENANAUY9oJHChaa
***
“Opa… Oma… Matthea pulang nih!”, seru Matthea ketika memasuki rumah.
“Eh, cucu Oma sudah pulang, kehujanan, Nak?”, tanya Oma pada cucu pertamanya tersebut.
“Ngga kok, Oma tenang aja ya. Oh iya, Opa sama Jardine mana, Oma? Aku kok ga lihat ya?”, Matthea mulai mengedarkan pandangan matanya ke segala arah.
“Ada kok, Thea. Itu mereka di halaman belakang. Opa lagi nemenin adikmu buat tugas prakarya pengenalan diri, untuk dibawa ke lokasi homeschooling nya Jardine”, ucap Oma sembari mengelus-elus rambut Matthea.
“Pengenalan diri? Aduh! Aku baru inget Oma, Jardine kan bulan depan udah masuk SMP ya?”, Matthea menepuk dahinya sendiri.
“Iya dong, sudah besar adikmu itu, Thea. Ngga kerasa ya, dia sudah beranjak remaja, eh… Oma makin tua deh”, Oma tertawa disamping Matthea.
Matthea memeluk perempuan berusia 60-an itu, Oma Narres. Oma Narres menunggu sembari menonton televisi di ruang tamu. Suaminya, Opa Shannon, serta cucunya yang lain, Jardine, belum kunjung masuk ke dalam rumah. Mungkin, seseru itu mengerjakan kembali tugas-tugas semasa sekolah, begitu fikiran Oma Narres. Makanya, Opa Shannon masih betah berada di halaman belakang. Tak lama berselang, Matthea mohon izin kepada beliau untuk pergi ke kamarnya, sekaligus untuk lanjut salat maghrib.
Design ruang tidur milik Matthea memang berbeda daripada umumnya, bahkan sangat berbeda sekali dengan milik Jardine. Langit kamar Matthea cukup tinggi, oleh karena itu di design seperti terbagi 2 lantai, ada lantai 1 dan lantai 2.
Lantai 1 nya diisi dengan sofa berwarna khaki dan TV flat hitam. Tak lupa, Matthea mengisi sisa lantai di depan sofa panjang miliknya dengan karpet berbulu. Namun, tak sepenuhnya sisa lantai marble tersebut dialasi oleh karpet. Matthea menyisakan lagi space kosong sekitar 3 langkah tepat dari depan TV untuk nantinya bisa didirikan meja lipat. Tak jauh dari TV, disamping kanannya, diletakkan sebuah rak besar dengan 1 pembatas ditengahnya, agar bisa menampung banyak benda atau novel milik Matthea, tanpa terkotak-kotakkan yang menciptakan kesan sempit. Begitu pun dengan kamar mandi dan rak sepatu yang berada di lantai 1, namun tak bersebelahan. Rak sepatu Matthea terletak disamping kanan pintu kamarnya, sementara kamar mandi berada dibelakang sofa atau berseberangan dengan TV.
Beralih ke lantai 2 kamar Matthea, terdapat tangga kayu berbentuk sederhana dengan tambahan isian cahaya tersembunyi dalam setiap anak tangganya. Tak lupa dengan handrail tangga yang berbentuk lurus berada disisi kanan tangga, serta terbuat dari besi. Sebanyak 14 anak tangga harus dilewati oleh Matthea jika ingin tidur di lantai 2. Sisi kiri tangga langsung menempel pada dinding kamar, oleh karena itu dinding berwarna cream tersebut diisi dengan 14 bingkai foto berbentuk persegi, agar terkesan classic. Gadis berusia 22 tahun itu memang menyukai konsep classic room dengan sentuhan modifikasi kesan aesthetic. Tak banyak furnitures yang berada di lantai 2, hanya ada meja panjang berwarna khaki untuk menaruh laptop dengan 6 laci-laci, lemari pakaian besar, rak gantung tas, dan springbed tempat tidur nya. Juga terdapat meja putih kecil disampingnya untuk menaruh desk lamp dibagian atas.
Pemilik tinggi badan 160cm itu naik ke lantai 2. Ia berfikir sebentar, merasa bahwa ada yang tidak beres di lantai tersebut. Lalu, Matthea membawa turun rak gantung tas miliknya. Ia menaruh totebag nya di salah satu gantungan, kemudian mengambil meja lipat di bawah tangga. Matthea mendirikan meja tersebut sesuai tempatnya dan mulai mengeluarkan seluruh isi totebag nya diatas meja. Ia meletakkan buku paket dan buku tulisnya di rak buku. Matthea mantap meletakkan rak gantung tasnya dibawah tangga, tepat disamping spenser air dan galon-galonnya.
Baru seteguk meminum air dari gelas kecil, HP Matthea berbunyi. Ia menaruh gelasnya dan mengambil HP diatas meja depan TV. Ternyata, merupakan notification bahwa battery HP nya habis atau lowbat. Matthea bergegas men-charge HP nya diantara 1 dari 3 stop kontak dibawah TV, tepat berada diatas laci panjang berwarna hitam. Ia juga kembali naik ke lantai 2 untuk mencari charger powerbank yang ia simpan dalam salah 1 laci meja laptop. Kemudian, Matthea turun dan turut men-charge powerbank miliknya. Ia melirik jam dinding yang berada diatas TV, dipasang oleh Opa Shannon pada dinding bermotif kayu. Matthea bergegas untuk membersihkan dirinya, usai itu melaksanakan salat magrib.
“Oma, maaf ya aku lama banget tadi di kamarnya.”
“Gapapa Thea, kan kamarmu itu memang zona nyaman kamu. Apalagi kamu yang design, masih ingat ngga? Sehari pun kamu ngga keluar dari sana, kamu bisa-bisa aja tuh.”
“Oma nih… ngeledek aku ya?”
“Ngga kok, kamu ini… kan kenyataannya memang begitu toh?”
“Iya juga sih, Oma… Hmm, Jardine sama Opa masih ngerjain prakarya nya?”
“Udah ngga, cuma Jardine itu tadi langsung ke kamarnya. Matanya sudah kelihatan ngantuk. Kalo Opa, lagi pergi ke masjid sebentar, sampai abis Isya, katanya. Soalnya, di grup warga perumahan, diajakkin buat salat berjamaah.”
Matthea hanya menganggukkan kepala. Ia lanjut menemani Oma Narres untuk menonton TV, sembari menunggu adzan salat isya. Sesekali, ia menoleh kearah kamar Jardine yang letaknya di lantai 2 rumah ini. Namun, adiknya tak kunjung keluar. Sungguh, ia ingin menggedor-gedor pintu kamar Jardine, seperti keisengan yang lalu-lalu. Tetapi, sepertinya hari ini Jardine sangat lelah, Matthea pun mengurungkan niatnya.
Oma Narres dan Matthea sangat terhibur dengan tayangan sitkom sebuah pantry di TV. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Opa Shannon belum juga kunjung pulang, sementara keduanya belum salat Isya, dan Jardine kemungkinan sudah tidur di kamarnya. Matthea berinisiatif untuk salat terlebih dulu, bergantian dengan Oma Narres, dengan tujuan agar dirinya saja yang menunggu Opa Shannon pulang. Matthea tahu, Oma Narres tidak boleh terlalu lelah, berdasarkan anjuran dokter. Oleh karena itu, ia meminta kepada Oma Narres agar seusai salat, beliau langsung tidur. Matthea menghembuskan nafas lega nya, karena Oma Narres menyetujui permintaannya. Oma Narres mengerti sekali akan kekhawatiran sang cucu terkait kesehatan dirinya. Cucu pertamanya tersebut menuggu sang Opa disofa, sembari membaca salah satu novel dari penulis favorite nya, Winna Efendi, yang berjudul Happily Ever After.
30 menit kemudian, Opa Shannon tiba di rumah. Matthea mencium tangan beliau dan memberinya segelas kopi hangat. Berbincang tentang apa yang terjadi hari ini selama 30 menit, dan kembali tidur ke kamar masing-masing.
Sekembalinnya Matthea ke kamar, notifikasi dari HP nya berbunyi lagi. Ia baru ingat, bahwa sejak sore dirinya belum mengecek notifikasi-notifikasi yang masuk di HP. Matthea membukanya satu per satu, pada semua aplikasi yang ia download. Ketika ia membuka suatu aplikasi chat, matanya terpaku pada sebuah pesan didalamnya. Ternyata, Jardine berhasil memenangkan salah 1 undian merchandise berupa tshirt dari grup musik atau musisiyang akan melaksanakan konser di Indonesia. Saat mengikuti kuis undian tersebut, Jardine memang belum memiliki HP. Oleh karena itu, ia meminta bantuan sang kakak, Matthea, untuk mendaftarkan nomor HP nya untuk bisa mengikuti undian tersebut. Rasanya, Matthea ingin sekali memberitahu sang adik. Namun, lagi-lagi ia batalkan, mengingat hari sudah malam.