Suasana riuh langsung tercipta di lapangan basket, puluhan penonton yang kebanyakan adalah siswa dari SMA Taruna 1 bersorak kegirangan saat tim basket sekolah mereka mencetak skor dan terus unggul dalam perolehan angka. Bintang lapangan kali ini adalah Raka, seperti biasa remaja tampan ini berhasil menjadi top score, Raka sangat lincah membuat pemain lawan kesulitan untuk menjaga pergerakannya. Berkali-kali Raka sukses membuat pertahanan tim lawan kocar-kacir, tak jarang remaja ini menunjukkan skill-skill menawan layaknya seorang pebasket pro, terakhir dia berhasil membuat penonton terkesima lewat lemparan tiga angkanya.
Diantara kerumunan penonton terlihat sosok Karin ikut terhanyut oleh pesona Raka. Hampir satu tahun lamanya Karin memendam rasa pada Raka, sahabat baiknya, tapi selama itu pula dia tidak berani mengungkapkannya. Fakta bahwa Raka menjadi idola banyak cewek-cewek lain di sekolahnya membuat nyali Karin semakin menciut untuk sekedar memgungkapkan sayang pada Raka. Pertandingan akhirnya selesai, gemuruh penonton kembali menggema menyambut kemenangan tim basket mereka. Raka terlihat begitu sumringah, peluhnya bercucuran tapi tak menyurutkan kebahagiaannya karena berhasil mengantarkan tim basket sekolahnya melaju ke partai final bulan depan.
Puas merayakan kemenangan bersama official team Raka beranjak menuju tribun penonton, ucapan selamat dari para suporter masih dia terima saat berjalan menuju tribun. Remaja tampan itu mencoba menemukan sosok Karin, teman sekelasnya, wanita yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini.
"Selamat ya." Ucap Karin sambil menunjukkan senyumnya saat Raka sudah berdiri di hadapannya sambil terengah.
"Hehehe, kalo nggak ada Kamu nggak mungkin tim kita bisa menang." Kata Raka.
"Loh kok gara-gara Aku? Kan Aku nggak ikut main, cuma nonton aja."
"Ya iyalah semua gara-gara Kamu, kalo nggak ada Kamu akunya nggak semangat main, tau sendiri siapa tadi yang cetak skor paling banyak, hehehehehe." Ucap Raka sambil tertawa jenaka.
"Uuuhhh dasar sombong ! Inget ya, orang sombong itu kalo mati mayatnya gosong !"
"Aiihh! Jadi Kamu liat Aku nanti jadi gosong?"
"Makanya jangan sombong jadi orang!" Karin mengucek-ngucek rambut Raka yang masih basah oleh keringat, keduanya tertawa lepas bersama-sama.
"Aku ganti baju dulu ya, tapi tungguin dulu, nanti kita pulang bareng." Ucap Raka kemudian.
"Iya jelek ! Udah sono buruan, mandi dulu jangan lupa ! Bau banget !" Goda Karin sambil mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan muka Raka.
"Biarin bau, tuh liat di bawah banyak cewek-cewek yang nungguin Aku meskipun bau, hehehehehe." Jawab Raka sambil menunjuk kerumunan cewek-cewek yang sedari tadi begitu iri melihat kebersamaan Raka dengan Karin di atas tribun.
"Dasar ganjen! " Protes Karin sambil mencubit pinggang Raka .
"Auuuww!! Auuww! Sakit tau !" Protes Raka kesakitan.
"Udah sana mandi gih, buruan! "
"Siap tuan puteri!" Raka kemudian berlari menuju ruang ganti pemain, dia tidak mau membuat Karin menunggu terlalu lama.
***
"Bengong aja sih ! Mikirin apa?" Protes Karin pada Raka.
"Kamu.." Jawab Raka singkat sambil tersenyum, tanpa disadari senyum itu selalu berhasil membuat jantung Karin berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Jangan mulai gombal deh!" Sungut Karin mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Karin..." Raka tiba-tiba meremas jemari Karin, sontak hal itu membuat Karin terkejut, terdiam tanpa kata, jantungnya berdetak lebih kencang lagi.
"Aku mau Kamu jadi pacarku." Ucap Raka kemudian, hening, Karin terdiam, tak ada kata yang terucap dari bibir gadis cantik itu.
"Kok diem...?" Tanya Raka beberapa saat kemudian, menanti jawaban dari Karin.
"Aku nggak tau harus ngomong apa." Kali ini Karin tertunduk, tak ada kekuatan dalam dirinya untuk sekedar menatap wajah Raka.
"Aku siap menerima apapun keputusanmu, Aku cuma ingin Kamu tau kalo selama ini Aku sayang sama Kamu, bukan hanya sebatas teman, tapi lebih dari itu." Raka masih menggenggam tangan Karin, dada remaja itu bergemuruh, cemas atas penolakan yang mungkin saja akan terucap dari bibir Karin sesaat lagi.
"Maafin Aku Raka...Aku nggak bisa..." Ucap Karin lemah, kali ini gadis cantik itu berani menatap wajah Raka yang sendu. Raka hanya terdiam, genggaman tangannya melemah, mungkin hatinya hancur saat itu juga.
"Aku nggak bisa nolak Kamu..." Lanjut Karin sambil menunjukkan senyumnya. Raka sontak bangkit dari duduknya kemudian berteriak kencang, membuat seluruh pengunjung cafe kaget.
"IYES!!! IYES!!!" Teriak Raka kegirangan, mengacuhkan semua pandangan mata yang mengarah pada dirinya. Karin tertawa lebar melihat tingkah polah pria yang baru saja resmi menjadi pacarnya itu.
***
Sebuah sedan mewah Eropa keluaran terbaru memasuki sebuah halaman rumah, tak berselang lama keluar Raka dari dalam mobil tersebut dengan senyum mengembang, langkahnya ringan menuju pintu rumah.
"Nah ini dia yang ditunggu-tunggu udah dateng !" Ucap Roby yang muncul dari balik pintu.
"Hehehe, gimana? Udah ngumpul semua? " Balas Raka antusias.
"Tuh liat sendiri." Roby membuka pintu lebih lebar, terlihat di ruang tamu sudah menunggu Dimas dan Angger sedang asyik bermain xbox.
"Yuk masuk!" Ajak Roby.
"Wah si bos udah nongol aja nih, tumben-tumbenan on time !" Cerocos Angger saat menyadari kehadiran Raka.
"Hahaha, waktunya mengklaim kemenangan guys! " Raka menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
"Brengsek bener Lu, bisa banget dapetin Karin." Sungut Dimas sambil terus menatap layar smart tv di hadapannya.
"Kalian tau sendiri lah gimana track record monyet ini dalam urusan cewek." Balas Roby sambil menepuk-nepuk pundak Raka.
"Hehehe, udah kalian jangan mengalihkan pembicaraan, mana nih bayaran Gue." Seloroh Raka yang ditanggapi tak semangat oleh Roby, Angger dan Dimas. Ketiganya menyerahkan uang kepada Raka, mereka bertiga kalah taruhan. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menguji kemampuan masing-masing dalam menggaet wanita. Kali ini giliran Raka dan dia berhasil.
"Ok, sekarang tinggal tantangan terakhir. Gimana? Lu masih tetep mau lanjut?" Tanya Dimas pada Raka.
"Apa kata dunia kalo seorang Raka mundur dari tantangan? Ya tetep lanjut dong bos ! Hahahaha !" Raka tergelak, tangannya mengibas-ibaskan tumpukan uang yang diberikan oleh ketiga temannya tadi.
"Ok, sama seperti dulu, Lu bisa dianggap menang kalo udah nunjukin rekaman video ML Lu sama Karin dan yang paling penting deadline sampai awal bulan depan. Deal ?" Kata Roby.
"Deal ! " Raka menyambut uluran tangan Roby tanda persetujuannya.
Keempat remaja itu kemudian saling tergelak bersama, sudah menjadi "rutinitas" bagi keempat remaja ini melakukan taruhan, dimana masing-masing orang harus bisa menaklukan hati cewek-cewek tercantik di sekolah mereka. Bayarannya tak main-main, jutaan rupiah, bahkan jika berhasil meniduri cewek-cewek tersebut hadiah akan berlipat ganda menjadi puluhan juta rupiah. Sejauh ini Raka dan Roby menjadi orang yang paling banyak mengoleksi gelar juara.
"Ok, sekarang waktunya party Guys ! Ladies !! Ayo keluar kalian !" Teriak Roby, beberapa saat kemudian dari lantai dua turun empat wanita cantik berusia 20-24 tahun berpenampilan sexy. Keempat wanita tersebut berjalan mendekati Raka, Angger, Dimas dan Roby dengan tatapan binal.
"Wah, orgy party lagi nih kita !" Teriak Angger kegirangan.
"Kali ini Gue yang traktir !" Kata Raka sambil menghamburkan seluruh uang yang dia dapat dari taruhan ke atas langit rumah.
***
"Hah Lu jadian sama si Raka?" Mata Luna terbelalak tak percaya.
"He embh." Karin mengangguk, mengiyakan pertanyaan dari Luna barusan.
"Hati-hati loh, Raka itu terkenal agak gimana gitu kalo urusan sama cewek." Karin mengubah posisi duduknya, apa yang diucapkan oleh Luna barusan menggelitik rasa penasarannya.
"Gimana apanya nih?" Selidik Karin.
"Hmmm... Lu tau anak kelas 11 IPA yang dua bulan lalu meninggal bunuh diri?"
"Santi ?"
"Iya, Santi, cewek cantik yang sepanjang semester jadi rebutan banyak cowok karena cantiknya overdosis."
"Trus apa hubungannya dengan Raka?" Karin semakin penasaran dengan arah pembicaraan Luna.
"Denger-denger, Santi itu bunuh diri karena malu."
"Malu kenapa?"
"Hamil di luar nikah, dan diduga yang menghamilinya adalah Raka." Ucap Luna datar, ia tak mau membuat Karin menjadi shock akibat cerita ini.
"Ah itu mah cuma gosip aja kali. Lagipula kalo memang bener Santi bunuh diri karena hamil dan itu yang melakukan adalah Raka kenapa nggak ada Polisi yang menyelidiki hal ini ? Adem ayem aja tuh." Komentar Karin tak percaya.
"Yaelah Rinnn, Lu tau sendiri siapa bokapnya Raka. Bupati cuy! Mana ada Polisi yang berani nyentuh anak Bupati ?"
"Terserah Lu deh, Gue nggak percaya sama cerita Lu tadi !"
"Nah kan ngambek, Gue nggak minta Lu buat percaya dengan cerita Gue barusan Rin, Gue cuma minta Lu buat lebih hati-hati sama Raka."
"Iya makasih. " Karin mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamarnya, ada keraguan yang menyeruak di dalam dadanya.
"Kamu kenapa ?" Tanya Herman saat melihat istrinya Marcella melamun melihat lalu lalang kendaraan bermotor yang berjalan beriringan dengan mobil yang mereka kendarai.
"Karin Mas, Aku kok makin sulit ngertiin kemauan anak itu." Jawab Marcella tak bersemangat.
"Sabar, semua butuh waktu, Karin butuh waktu untuk bisa menerimaku." Ucap Herman tenang.
"Aku tau, tapi Aku merasa sekarang Karin sudah berubah, Aku nyaris tidak bisa mengenalnya lagi."
"Apa maksudmu ?"
"Dia tak hanya membencimu Mas, tapi juga membenciku."
"Kita berdua harus bisa lebih sabar menghadapi Karin Mah, Aku yakin setelah nanti usianya bertambah, setelah dia menginjak bangku kuliah, berangsur dia akan bisa menerima kenyataan ini. Menerimaku sebagai Ayahnya, Aku yakin kita bisa Mah." Herman menggenggam jemari Marcella, memberi dukungan atas kegundahan yang tengah dirasakan oleh istrinya yang cantik itu.
"Trus rencananya Karin akan kuliah di mana? Jadi ke Australia?" Tanya Herman.
"Entahlah Mas, dulu sih iya, sekarang Aku belum tau lagi kemauannya."
"Kita harus support dia untuk meraih cita-citanya Mah, kalau dia berhasil dan sukses jadi orang kita berdua juga yang akan bangga."
"Hmmm, andaikan saja dia tau kalo Kamu sebaik ini Mas..."
"Suatu saat dia akan mengerti Mah, tenang saja." Kata Herman sambil tersenyum ringan.
***
3 HARI KEMUDIAN
TOK..TOK..TOK..
Raka mengetuk pintu rumah Karin setelah sebelumnya dia memastikan kerapian penampilannya. Raka tidak mau meninggalkan kesan buruk saat kencan pertamanya dengan Karin.
"Iya ? Mau cari siapa?"
"Karinnya ada Om?"
"Ada, temannya ?"
"Oh iya Om, kenalin, Saya Raka, teman dekatnya Karin." Raka mengulurkan tangannya, disambut hangat oleh Herman. Papa tiri Karin itu tersenyum sambil terus mengamati penampilan Raka, insting sebagai seorang Ayah berlaku saat ini.
"Ok, silahkan duduk dulu, Saya panggilkan Karin."
"Baik Om, terima kasih."
Raka beranjak duduk di atas sofa ruang tamu, sementara Herman menuju kamar Karin di lantai dua. Baru menginjak lima anak tangga, Herman dikejutkan oleh kehadiran Karin yang baru keluar dari dalam kamarnya. Penampilan putri tirinya sore itu sangat berbeda, meskipun hanya memakai kaos putih dan celana jeans warna cokelat, Karin terlihat sangat cantik. Terlihat sangat dewasa, darah Herman berdesir kencang detik itu.
"Temanmu sudah datang."
"Sudah tau." Jawab Karin singkat, sebisa mungkin dia ingin mempercepat interaksinya bersama Papa tirinya.
"Kau mau pergi kemana ?"
"Bukan urusanmu !" Sikap ketus Karin semakin menjadi.
"Karin, tunggu dulu. Aku harus tau Kau mau pergi kemana karena Ibumu sedang tidak ada, Aku bertugas untuk mengawasimu." Herman menahan pundak Karin dengan tangannya agar tidak berlalu begitu saja.
"Aku sudah bilang, ini bukan urusanmu ! " Karin semakin memberontak.
"Dengar ! Aku tidak akan mengijinkanmu pergi kalau Aku tidak tau kemana tujuanmu."
"Brengsek !" Umpat Karin kehilangan kesabaran.
"Silahkan Kau mengumpatku, tapi itu tidak akan mengubah keputusanku." Kata Herman tegas, seperti tak ada pilihan lain dan tak ingin terlihat oleh Raka karena terlibat keributan dengan Papa tirinya, akhirnya Karin menyerah.
"Mau nonton bioskop." Kata Karin singkat.
"Ok, Kau boleh pergi tapi ingat, jam malammu masih berlaku."
"Hssshhhh ! Iya ! Bawel banget !" Karin melepaskan tangan Herman dari pundaknya dan melangkah turun menuju ruang tamu, kali ini Herman tidak menghalangi putri tirinya itu, dia hanya mengikuti langkah Karin dari belakang.
"Yuk !" Karin mengajak Raka untuk segera pergi, sikap Karin tersebut sedikit membuat Raka kikuk apalagi Herman juga sudah berada di ruang tamu.
"Om, kami pamit, mau pergi nonton." Ucap Raka, berpamitan pada Herman.
"Iya silahkan, ingat jam sembilan malam Kau harus sudah mengantarkan Karin pulang." Kata Herman tegas.
"Tapi Om, filmnya baru mulai jam delapan."
"Tidak ada tapi-tapian, jam 9 pas Kau harus sudah berada di sini." Karin langsung melotot, menunjukkan rasa tidak senangnya pada sosok Herman.
"Ba..Baik Om...Siap."
Karin buru-buru menggandeng tangan Raka untuk segera keluar dari rumah, berada di situ terlalu lama membuatnya semakin jengah. Tak berselang lama sebuah city car berhenti tepat di depan rumah, Marcella muncul dari dalam mobil dengan membawa beberapa tas hasil belanjanya dari mall siang tadi.
"Sore Tante." Sapa Raka.
"Sore, mau kemana kalian?"
"Mau pergi nonton bioskop Tante."
"Oh, ya udah, hati-hati di jalan ya, dan inget, jangan pulang malam-malam. Karin, hp jangan dimatikan ya." Ucap Marcella memberi wejangan pada dua remaja yang tengah dimabuk cinta itu.
"Iya Tante, kami pamit dulu Tante." Raka mencium punggung tangan Marcella sebelum mengajak Karin masuk ke dalam mobilnya.
"Kok tegang gitu Mas wajahnya?" Tanya Marcella pada Herman sesaat setelah mobil Raka beranjak pergi.
"Nggak apa-apa Mah, Aku cuma khawatir aja."
"Khawatir kenapa?" Tanya Marcella heran.
"Anak itu."
"Tenang Mas, dia keliatan seperti anak baik-baik kok, sopan lagi."
"Hmmm, semoga aja gitu Mah. Tapi Kamu tadi udah ngingetin mereka untuk pulang jam 9 malam kan?"
"Iya Mas, Kamu ini kalo kayak gini jadi mirip satpam deh, heheehehe." Goda Marcella saat menyaksikan keseriusan Herman.
"Satpam? Punya tongkat pemukul dong?" Sahut Herman.
"Iya, tongkatnya suka nakal." Marcella meremas manja pangkal paha suaminya itu.
"Yuk, mumpung Karin keluar rumah." Tak mau menunggu lama, Herman segera membopong tubuh Marcella ke dalam rumah. Suara tawa keduanya terdengar penuh kebahagiaan.
***
"Kok berhenti di sini?" Tanya Karin saat Raka menghentikan mobilnya di utara stadion kota, jauh dari mall, tempat dimana mereka akan menonton bioskop. Raka tersenyum, pemuda tampan itu menatap lekat mata Karin yang duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa?" Karin tampak kebingungan dengan sikap Raka.
"Kamu cantik sekali Karin hari ini, jauh lebih cantik dari hari-hari biasanya." Ucap Raka sambil mengusap bahu Karin, tindakan yang membuat Karin semakin bingung dan risih.
"Kamu kenapa sih?" Tanya sekali lagi, sikap Raka membuatnya merasa tidak nyaman.
Raka masih saja tersenyum, kali ini sambil kedua matanya mengamati lekuk tubuh Karin, bukan seperti tatapan seorang pria pada kekasihnya,tapi menyerupai tatapan seekor serigala yang siap menerkam mangsanya mentah-mentah.
"Karin..." Raka semakin merapatkan tubuhnya pada Karin, bibirnya mendekati wajah Karin.
PLAK !!!
"Apa-apaan ini ! Jangan kurang ajar ya Kamu !" Sebuah tamparan keras mendarat telak pada pipi Raka. Karin buru-buru melepas sabuk pengaman dari tubuhnya, gadis cantik itu ingin segera pergi dari dalam mobil.
"Brengsek !" Tanpa diduga, Raka mencengkram bagian belakang leher Karin, kasar dan keras, Karin mencoba memberontak tapi usahanya kalah besar dengan tenaga Raka.
"Lepasin! Tolong!! Tolong! Hemmmmpphhhff!!" Teriakan Karin tertahan, kali ini telapak tangan Raka sudah menutup rapat mulut gadis cantik itu.
"Diam ! Atau Aku bertindak lebih kasar lagi !" Ancam Raka serius.
"Raka, Kamu kenapa? Apa salahku?" Ucap Karin setelah tangan Raka menyingkir dari mulutnya, gadis cantik itu terisak, bukan hanya karena tindakan kasar Raka pada tubuhnya,tapi juga karena perubahan sikap pria yang dia cintai begitu menyakiti perasaannya.
"Salahmu karena Kamu begitu cantik." Jawab Raka sambil tersenyum tipis, telunjuknya menyusuri leher jenjang Karin, tatapan matanya berubah menjadi binal.
"Raka, please, biarin Aku pergi." Isak Karin, airmatanya mulai menetes. Perasaan takut menyeruak. Suasana sepi di sekitar stadion semakin membuat Karin ketakutan, dia yakin jikapun dia berteriak sekencang mungkin meminta tolong seperti tadi pasti tidak ada yang akan mendengarnya.
"Kamu jangan takut sayang, Aku tidak akan menyakitimu kalo Kamu mau menuruti kemauanku." Raka melepas sabuk pengamannya, tubuhnya kini bisa leluasa bergerak.
"Raka, please jangan seperti ini. Aku mohon Raka, biarkan Aku pergi." Karin terus memohon agar dibiarkan pergi dan kembali pulang, tapi Raka bergeming, kini tangannya justru mulai menggeranyangi tubuh Karin, menyentuh daerah sensitif gadis cantik itu.
"Mmmmpphhff!!!" Karin berusaha sekuat tenaga menutup rapat bibirnya saat bibir Raka berusaha menciuminya.
"Raka ! Please stop! Mmmmppffhhh!!!" Karin kembali berontak, kedua tangannya berusaha menjauhkan tubuh Raka yang semakin mendekat. Raka tak tinggal diam usahanya semakin keras untuk terus mendekap tubuh Karin.
PRAAAKK!!!! BYAAARRRR!!!
Kaca samping mobil Raka pecah berserakan karena pukulan benda keras dari luar. Belum sempat Raka melihat apa yang terjadi, pintu mobilnya sudah terbuka paksa dari luar, tubuhnya kemudian diseret kasar keluar dari mobil. Karin semakin shock, dia buru-buru melepas sabuk pengamannya dan langsung keluar dari dalam mobil.
BUUUGGHHHTT !!! BUUUGGHHTT!!!
"Bajingan !"
Herman melayangkan pukulan bertubi-tubi ke arah wajah dan tubuh Raka, pemuda itu mencoba untuk melawan atau sekedar menangkis pukulan itu tapi usahanya sia-sia. Tubuh dan tenaga Ayah tiri Karin tersebut jauh lebih besar, pukulannya terus menghantam tubuh dan wajah Raka tanpa bisa dielakkan.
"Tolong ! Tolong ! "
Karin berteriak histeris saat menyaksikan Ayah tirinya bergumul, beradu pukul dengan Raka. Beberapa orang yang kebetulan melintas di sekitar stadion mulai mendekati sumber kegaduhan.
"Bangsat ! Arrgghhttt !"
Herman seperti kesetanan, pria itu terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke arah tubuh Raka. Sementara Raka sebisa mungkin terus mengelak sambil sesekali melakukan perlawanan kecil. Suasana kacau langsung tercipta, beberapa orang yang melihat kejadian tersebut berusaha melerai dan memisahkan Herman dengan Raka. Butuh waktu dan tenaga untuk meredam amarah Ayah tiri Karin tersebut.
"Woi ! Sudah ! Berhenti ! Berhenti !" Teriak salah satu orang yang memisahkan perkelahian antara Herman dan Raka.
"Lepasin ! Lepasin ! Bangsat !!!" Teriak Herman sambil terus berusaha kembali meraih tubuh Raka dari hadangan orang-orang tersebut.
"Sudah Pak ! Sudah ! Sabar! "
Kata salah satu orang tersebut, mencoba meredam emosi Herman. Di sudut lain, tak jauh dari tempat kejadian Karin hanya bisa menangis, gadis cantik itu masih sangat shock dengan kejadian saat ini. Beberapa orang lain tampak menenangkannya. Tak lama berselang mobil patroli polisi mendekat, raungan sirinennya memekakkan telinga, makin banyak orang yang berkerumun di tempat kejadian, mencoba mencari tau keributan yang tengah terjadi.
"Ada apa ini ?"
Kata salah satu polisi setelah orang-orang berhasil memisahkan perkelahian antara herman dengan Raka. Tampak wajah Raka babak belur, darah mengalir deras dari bibir dan hidungnya sementara Herman tak mendapat luka yang berarti, hanya goresan kecil di pipi kanannya.
"Bajingan ini mencoba memperkosa anakku !" Kata Herman masih dalam keadaan emosi, beberapa orang tampak terkejut mendengar penuturan Herman, tatapan menghakimi langsung mengarah pada sosok Raka yang sudah babak belur.
"Anak Bapak mana ?" Tanya polisi itu lagi, Herman langsung menunjuk sosok Karin yang masih menangis sesegukan di sudut lain. Polisi yang lain langsung mendekati Raka, mencoba mengamankannya agar tidak terjadi amuk massa yang lebih hebat.
"Bapak sekarang sabar dulu, Kita bisa selesaikan masalah ini di kantor. Mohon buat yang lain bubar ya, masalah ini akan kami tangani sebaik mungkin." Kata Polisi tersebut.
Kerumunan semakin menyemut, beberapa orang membantu Polisi mengamankan Raka dan membawanya masuk ke dalam mobil patroli. Sementara Herman mendekati Karin.
"Kamu tidak apa-apa Karin?" Tanya Herman, melihat Karin menangis tersedu sedu seperti itu membuat hatinya hancur berantakan. Karin menatap wajah Herman, airmatanya masih menetes, beberapa detik kemudian gadis cantik itu menghamburkan pelukan pada tubuh Herman. Tangisnya semakin pecah, beberapa orang yang menyaksikannya juga ikut terharu.
"Sudah, sudah. Kau aman sekarang, Papa ada di sini sekarang." Ucap Herman.
17010Please respect copyright.PENANA5vHR0J6vkR
BERSAMBUNG
Cerita "CINTA TERLARANG" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DI SINI
ns 15.158.61.20da2