HERMAN POV
"Karin kenapa Pa?" Tanya Marcella sesaat setelah Karin beranjak pergi menuju ruang depan.
"Nggak apa-apa Ma, mungkin lagi bete aja." Jawabku dengan santai, berharap agar Marcella tidak mencurigai tentang sesuatu yang baru saja terjadi antara Aku dengan Karin.
"Bete? Bete kenapa Pah?"
"Ya nggak tau Mah, coba nanti Mama tanya sendiri deh ke Karin."
"Kok nggak kayak biasanya, jangan-jangan kalian habis berantem lagi ya? Iya Pah?" Desak Marcella, Aku mencoba untuk tetap tenang.
"Nggak Ma, Kami baik-baik saja kok, orang tadi cuma makan siang bareng sambil ngobrol-ngobrol aja kok."
"Atau jangan-jangan dia habis dibully temen-temennya di sekolah gara-gara masalah dengan Raka ya Pah? Kamu tadi nggak nanya apa gitu ke dia Pah?" Marcella mulai terlihat panik, terlebih saat mengingat peristiwa tempo hari yang menimpa Karin. Aku memakluminya karena bagaimanapun Karin adalah puteri semata wayangnya.
"Mah, tenang. Karin nggak apa-apa, Kamu tuh yang keliatannya lagi kenapa-kenapa." Kataku sambil mengusap pundak Marcella, berusaha agar istriku ini tidak panik dengan alasan yang tidak jelas.
"Aku masih mengkhawatirkan Karin Pah." Aku menghampiri tubuh Marcella kemudian memeluknya dengan hangat.
"It's okay Mah, Kamu jangan terlalu terbebani seperti ini, ada Aku di sini. Karin aman sekarang."
Marcella hanya menghela nafas panjang dan memelukku lebih erat, tak berselang lama Karin muncul dari ruang depan sambil menenteng beberapa bungkus tas plastik besar, raut wajahnya berbeda saat melihatku sedang memeluk Karin, tatapan yang mengingatkanku saat pertama kali Karin melihatku berada di rumah ini, tatapan kebencian. Karin sejenak berhenti, menatapku tajam untuk sesaat sebelum akhirnya meletakkan bungkusan tas plastik belanjaan di ruang tengah kemudian beranjak menuju kamarnya.9990Please respect copyright.PENANAJDhlbPpiXv
***
"Loh, ya nggak bisa to Mas Anton kalo tiba-tiba dibatalin seperti ini, nanti apa kata Pak Herman? Dia udah ikut proses tender loh Mas." Ucap Surapto dengan mimik muka serius, Anton yang duduk di depannya bersikap tenang.
"Tolong dibikin bisa Pak, ini tugas langsung dari Bupati." Kata Anton.
"Duh, Saya jadi serba salah, dituruti nanti Saya kena amuk Pak Herman, nggak dituruti nanti Bupati Rauf yang ngamuk. Pusing Saya Mas." Surapto menyenderkan badan kurusnya pada punggung kursi, pria 48 tahun yang berprofesi sebagai kepala PU kabupaten ini menghela nafas panjang seperti ingin melepaskan beban berat.
"Pak Surapto tidak perlu khawatir, ini hanya permintaan kecil dari Bupati, lagipula tidak semua proyek yang dibatalkan, hanya beberapa saja." Anton mencoba kembali meyakinkan Surapto agar mau menuruti perintahnya.
"Bukan begitu Mas, tapi ini nanti urusannya dengan hukum, Saya takut kalo gara-gara ini Saya bisa masuk penjara. Membatalkan kontrak secara sepihak tentu bukan opsi terbaik saat ini." Dahi Surapto terlihat mengkerut, seperti sedang memikirkan jalan keluar tanpa harus menyusahkan dirinya sendiri.
"Bapak tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu, tenang saja, semua sudah diurus oleh Bupati, lagipula ini hanya untuk menekan Pak Herman saja. Jadi, nanti kalau Pak Herman setuju atas permintaan Bupati, semua proyeknya akan kembali berjalan normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Surapto kembali menghela nafas panjang, tampaknya dia tidak menemukan opsi lain selain menuruti perintah Anton.
"Baiklah jika begitu Mas, ini beberapa berkas kontrak yang Mas Anton minta." Surapto kemudian menyerahkan beberapa map berkas kepada Anton.
"Terima kasih Pak, Bupati Rauf tidak akan melupakan jasa Bapak, tenang saja. Ini sedikit ucapan terima kasih dari Bupati." Anton menyerahkan segepok uang ratusan ribu rupiah kepada Surapto, pria tua itu segera memasukkan uang tersebut ke dalam laci meja kerjanya.
"Mas, tapi ingat, Saya tidak mau karena ini karier Saya jadi terancam apalagi sampai berurusan dengan Polisi." Kata Surapto kembali, meskipun sudah menerima imbalan yang tidak sedikit, pria tua itu terlihat masih belum tenang.
"Beres Pak, tenang saja." Anton menepuk-nepuk pundak Surapto sebelum berpamitan pada kepala PU Kabupaten tersebut.
***
KARIN POV
Sumpah Aku benar-benar sebel setelah melihat Papa memeluk Mama barusan, bagaimana mungkin setelah sebelumnya Papa mencumbu bibirku tapi sekarang malah memeluk tubuh Mama dengan sangat mesra, seperti tanpa beban.
"Brengsek!" Umpatku sambil melempar boneka doraemon kesayanganku ke arah tembok kamar.
TOK...TOK..TOK..
"Siapa ?" Tanyaku sedikit berteriak.
"Papa, Karin, buka pintunya sebentar ya." Jantungku seperti berhenti berdetak untuk sesaat saat mendengar suara Papa dari balik pintu kamarku. Aku menunggu beberapa saat, meyakinkan kembali diriku untuk mau membuka pintu kamar dan menemui Papa.
"Karin, buka sebentar, Papa ingin bicara." Suara Papa kembali terdengar, meskipun Aku masih begitu sebal dengannya tapi entah kenapa tubuhku berangsur beranjak dari ranjang dan membuka pintu kamar.
"Papa mau bicara sebentar, boleh?" Kata Papa saat pintu kamarku terbuka, wajahnya yang tegas namun kalem seperti meluluhkan rasa benciku terhadapnya, padahal baru beberapa saat lalu Aku mengutukinya.
Aku membuka pintu kamar lebih lebar, memberi ruang pada Papa untuk masuk ke dalam kamarku, setelah Papa duduk di kursi meja belajarku Aku menutup pintu kamar dan duduk di atas ranjang.
"Papa minta maaf, tidak seharusnya Papa tadi seperti itu kepadamu. Papa tau, ini bukan kali pertama Papa melakukan ini kepadamu, tapi kali ini Papa benar-benar menyesal." Ucap Papa, suaranya yang berat cukup menandakan rasa penyesalan terdalamnya, tapi entah kenapa Aku tidak mengharapkan itu keluar dari mulut Papa. Bukan permintaan maaf karena telah menciumku dengan saat mesra tadi, tapi Aku mengharapkan Papa meminta maaf karena telah memeluk tubuh Mama di hadapanku.
"Karin mau kan memaafkan Papa?" Kata Papaku kembali, matanya menatap wajahku begitu dalam, Aku tak berani menatapnya terlalu lama, sunggu wajahnya membuat tubuhku seperti tak bertulang, lemas secara mendadak.
"Iya Pa, nggak apa-apa." Jawabku singkat, tiba-tiba Papa beranjak dari duduknya, dia mendekati tubuhku kemudian bersimpuh di bawah ranjang. Diremasnya jariku dengan lembut, sungguh apa yang dia lakukan saat ini membuat tubuhku semakin lemas.
"Papa janji nggak akan mengulangi hal itu lagi. Papa sayang Karin." Ya Tuhan, kenapa Papa selalu bisa membuat jantungku berdebar-debar seperti ini ? Apa yang sedang Aku alami saat ini? Belum sempat aku berpikir lebih jernih lagi tiba-tiba sebuah kecupan lembut sudah mendarat di keningku.
"Ya sudah, Kamu istirahat saja." Papa kemudian mendekati pintu kamar untuk pergi, tiba-tiba tubuhku seperti tak rela, secepat kilat aku gapai lengan Papa sebelum membuka pintu kamar, Papa terkejut dan kembali menatapku. Aku seperti ingin kembali merasakan kehangatan Papa, seperti apa yang aku alami di dapur tadi. Aku menghampiri tubuh Papa, wajah Kami semakin dekat, dengan menjinjitkan kaki Aku mencium lembut bibir Papa.
"Karin sayang Papa, jangan tinggalin Karin." Kataku lirih, Papa hanya menatapku tanpa mengucapkan sepatah katapun, jantungku berdegup semakin kencang, Aku tidak tau reaksi yang akan diberikan oleh Papa setelah dengan lancang Aku mencium bibirnya.
"Iya, Papa juga sayang Karin. " Tiba-tiba Papa kembali melumat bibirku, kami kembali berciuman seperti halnya di dapur beberapa saat lalu, tapi kali ini jauh lebih panas. Kami saling memagut dan memainkan lidah, meskipun Aku masih belum selihai Papa dalam hal berciuman tapi sebisa mungkin Aku mengimbangi permainan bibir Papa.
"Eeeemmmcchhh"
Aku melenguh manja saat merasakan tangan Papa meremas pelan payudaraku, sedikit ngilu tapi rasanya cukup nikmat. Aku terus meladeni lidah Papa yang berputar-putar pada rongga mulutku, air liur kami sudah saling bertukar. Papa kemudian mendorongku ke atas ranjang, Aku jatuh terlentang, sesaat Papa menatapku, kemudian menindih tubuhku dan kembali melumat bibirku.
"Eeeemmcchhh, Pah..."
Aku mendesis saat merasakan leher jenjangku sedang dijilati oleh Papa, geli, tapi rasanya membuat Aku melayang, seperti ada gejolak dalam diriku yang meminta lebih. Papa terus menjilati leher jenjangku, sambil terus meremasi payudaraku yang terasa semakin keras.
"Papa buka boleh?" Tanya Papa beberapa saat kemudian sambil menatap tang top hitam yang masih Aku kenakan, Aku ragu sambil mengigit bibirku sendiri.
Tapi Papa seperti tak mau menunggu lama, perlahan dia mengangkat tang topku, tak ada kesan kasar sama sekali yang aku rsakan hanyalah kelembutan dari Papa, hingga aku menurutinya. Kini yang tersisa di atas tubuhku hanyalah bra putih dan celana pendek hitam, Papa kembali menatapku, Aku malu, seketika Aku menutupi tubuh bagian atasku dengan kedua tanganku sendiri.
"Malu Pah." Rengekku, Papa hanya tersenyum kemudian kembali mengecup lembut bibirku.
"Dibuka semuanya ya ?" Bisik Papa kemudian, Aku mengangguk lemah tanda persetujuan.
Papa lalu mulai melepas BH ku, kemudian turun sampai ke celana pendek yang Aku kenakan. Tak sampai 5 menit, tubuhku sudah telanjang bulat di hadapan Papa. Perasaan malu berkecamuk di dalam dadaku, tapi rasa itu seolah berperang dengan rasa yang lain, rasa yang sampai detik ini sulit untuk Aku jelaskan, gilanya lagi rasa asing itu lah yang menutupi semua perasaan maluku di hadapan Papa.
"Kamu cantik sekali Karin."
Wajah Papa mendadak menjadi sedikit memerah, entahlah karena apa, tapi tatapan matanya terhadap tubuhku berubah, tak lagi hangat tapi berubah menjadi seperti tatapan lapar. Ya, Papa seolah telah bersiap akan menerkamku. Sejenak Aku amati gerak tubuhnya, tak ada keberanian untuk menghentikan tindakan Papa selanjutnya, lagipula Aku juga merasa ingin menuntaskan segalanya hari ini.
Perlahan Papa menciumi payudaraku, lidahnya bermain-main di sana. Ciuman lembut dipadu dengan hisapan ringan pada kedua putingku secara bergantian cukup membuatku untuk menahan jeritan kecil. Tubuhku terasa semakin panas, ada gelora yang membuncah di dalam dadaku saat tiap sentuhan bibir Papa menjelajahi gundukan kenyal payudaraku.
"Eeemmcchhhh...!"
Aku menahan desahanku agar tak terlalu kencang, Aku tidak mungkin hal itu terjadi karena pasti akan mengundang Mama, bisa buyar semuanya jika itu sampai terjadi. Papa semakin intens menciumiku, sesekali Aku menjambak rambutnya, gemas sekali rasanya. perlahan Papa bergerak turun, bibirnya kini menjelajahi perutku, paha, kemudian dengan mulus telah berada tepat di atas vaginaku. Aku nyaris menjerit kencang saat tiba-tiba lidah Papa menyapu permukaan vaginaku.
"Aaaacchhh!!" Seketika Papa menutup mulutku dengan telapak tangannya.
"Tahan sebentar ya." Bisiknya lirih, Aku hanya mengangguk, Aku sudah memasrahkan segalanya kepada Papa.
Pria gagah ini lalu melanjutkan jilatannya pada vaginaku, awalnya perlahan tapi semakin lama jilatan itu semakin cepat hingga membuat tubuhku bergoncang-goncang hebat. Tubuhku kembali seperti melayang, baru kali ini aku merasakannya. Aku merasakan liang kewanitaanku semakin basah, ujung lidah Papa bahkan beberapa kali memaksa untuk masuk lebih dalam lagi, reflek tubuhku menolaknya karena memang terasa sakit. Seolah tau, Papa kembali hanya memainkan lidah dan bibirnya pada area permukaan vagina dan ujung klitorisku.
"Occhhhhh...Papa...Eeemmcchhh!!"
Lidah Papa benar-benar membuat vaginaku semakin basah, tubuhku terus menggelinjang hebat apalagi saat dengan sengaja Papa memainkan ujung lidahnya pada klitorisku, sungguh rasanya seperti ingin terbang, sensasi geli, basah, ngilu, dan nikmat bercampur menjadi satu.
"Enak ?" Tanya Papa, Aku menatap wajahnya kemudian mengangguk pelan.
Papa kembali beraksi, kali ini jilatan lidahnya dipadukan dengan permainan jarinya yang menggesek-gesek perlahan ujung klitorisku yang sudah sangat keras, akibatnya punggungku melenting ke atas karena tak bisa menahan rasa nikmat yang diberikan oleh Papa. Semakin lama Papa memainkannya dengan cepat, nafasku menderu kencang, desahanku sampai tercekat karena aku menggigit bibirku sendiri, sungguh Aku sudah tak kuasa untuk menahannya. Dari dalam vaginaku seperti ada yang ingin dimuntahkan, tapi aku tidak tau itu apa.
"Ooocchhh ! Papa! Karin pengen pipis! " Rengekku, tapi Papa terus menjilati klitorisku bahkan sesekali menghisapnya, tubuhku menggelinjang, Papa bergeming, dia terus mencumbu liang senggamaku dengan sangat buas.
"Keluarin Karin...Keluarin." Bisik Papa lirih, jarinya masik menggesek-gesek permukaan vaginaku, benar saja beberapa detik kemudian sesuatu itu membuncah keluar, Aku mendesah hebat, punggungku sampai melenting ke atas.
"Aaaaacchhh!!!! Papa!!!" Seperti pipis tapi rasanya seribu kali lebih nikmat daripada itu, nafasku terengah-engah, Papa mendekati wajahku kemudian mengecup lembut bibirku kembali, aroma vagina tercium dari bibirnya.
"Enak?" Tanyanya kembali.
"Aku kenapa Pa?" Tanyaku lugu.
"Kamu baru saja orgasme."
"Hah? Apa Aku sudah tidak perawan lagi Pa?" Tiba-tiba saja pertanyaan bodoh itu terlontar dari bibirku, Papa hanya tersenyum menatap wajahku.
"Nggak sayang, Kamu masih perawan kok."
"Bener Pah?"
"Iya, bener sayang." Papa lalu memeluk tubuhku yang masih telanjang, aroma tubuhnya terasa sangat menenangkanku, Aku sudah lupa jika pria yang baru saja memberikan orgasme pertamaku ini adalah suami dari Mamaku.
9990Please respect copyright.PENANAcUhcEpIY2W
BERSAMBUNG
Cerita "CINTA TERLARANG" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2