HERMAN POV
Beberapa proyek sudah menunggu di depan mata, Aku harus lebih banyak memfokuskan pikiranku pada pekerjaan setelah beberapa waktu lalu pikiranku tercurah sepenuhnya pada apa yang menimpa Karin. Beruntung putri tiriku itu tidak mengalami hal yang mengerikan, hanya butuh waktu beberapa saat lagi agar mentalnya kembali pulih dan bisa kembali seperti dulu lagi, ceria.
"Selamat siang Pak Herman."
"Iya selamat siang, ada yang bisa Saya bantu?" Tanyaku pada seorang pria yang kini telah berdiri di depan meja kerjaku, perawakannya kurus tinggi dengan penampilan necis. Senyumnya mengembang ramah padaku.
"Boleh Saya duduk?"
"Oh iya, silahkan." Kataku mempersilahkan pria itu untuk duduk.
"Perkenalkan, Saya Anton, Saya datang ke sini atas perintah Bupati Rauf." Kata pria tersebut memperkenalkan diri padaku. Sekitaku Aku merubah posisi dudukku menjadi lebih defensif karena Aku tau maksud kedatangannya ke sini.
"Oh, orang suruhan Bupati." Ucapku dengan nada sinis.
"Benar Pak, mohon maaf sebelumnya jika kedatangan Saya ke sini mengganggu kesibukan Pak Herman." masih dengan senyum mengembang, Anton berusaha bersikap ramah kepadaku.
"Ok, ada yang bisa Saya bantu Mas Anton?" Tanyaku.
"Begini Pak, Bupati Rauf ingin membicarakan permasalahan antara anak beliau dengan anak Pak Herman secara kekeluargaan."
"Kekeluargaan? Maksudnya gimana nih?"
"Begini Pak, Bupati Rauf ingin agar permasalahan ini tidak berlanjut sampai ke meja hijau. Bagaimanapun beliau juga ikut prihatin atas apa yang telah menimpa puteri Pak Herman dan beliau akan mendidik sangat keras Raka agar di kemudian hari tidak terulang kejadian seperti ini lagi."
"Jadi maksudmu, Bupati Rauf memintaku untuk mencabut laporan di kantor Polisi dan membebaskan Raka dari tuntutan hukum?" Aku menatap tajam wajah Anton, pria di hadapanku ini masih dengan mimik muka sama, tersenyum.
"Kurang lebihnya begitu Pak, tentu apa yang Bapak lakukan tersebut akan mendapat kompensasi dari Bupati Rauf." Anton kemudian mengambil sebuah amplop cokelat yang di dalamnya sudah berisi tumpukan kertas agak tebal, aku menduga itu adalah uang.
"Mohon Bapak menerima ini sebagai ungkapan permintaan maaf kami." Ucap Anton kemudian sambil meletakkan amplop tersebut tepat di hadapanku.
"Anda sudah berkeluarga?" Tanyaku.
"Belum Pak." Jawab Anton.
"Pantas saja Anda begitu mudah mengungkapkan solusi atas masalah ini."
"Saya dan khususnya Bupati Rauf sangat mengerti apa yang Bapak dan keluarga alami, tapi mohon kebijaksanaanya agar masalah ini tidak menimbulkan masalah baru."
"Apa maksudmu? Anda mengancam Saya?!" Hardikku.
"Bukan begitu Pak, Saya sama sekali tidak mengancam Bapak. Saya hanya ingin Bapak berbaik hati untuk memaafkan Raka atas perbuatannya, bagaimanapun dia masih muda, masa depannya masih panjang, kasihan kalau masa mudanya dihabiskan di balik penjara."
"Justru dengan memenjarakannya itu akan mendidik dia dengan benar ! Jika saja Kau punya anak perempuan, mungkin Kau tidak akan mendatangiku dan membicarakan omong kosong seperti ini !" Aku benar-benar emosi, basa-basiku terhadap orang suruhan Bupati Rauf ini sudah hilang.
"Baik jika itu yang Bapak inginkan, sekali lagi Saya datang ke sini dengan niat baik, sama sekali tidak ada maksud untuk membuat Bapak marah. Saya berharap Bapak mau memikirkan tawaran yang disampaikan oleh Bupati Rauf ini."
"Sampaikan salamku pada Bupati Rauf dan bawa ini kembali." Aku menyerahkan kembali amplop yang berada di atas meja kerjaku.
"Saya pamit jika begitu, akan Saya sampaikan pesan Bapak kepada Bupati Rauf. Selamat siang." Anton kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari ruang kerjaku.
***
BRAAAKK!!!
"Bodoh! Untuk membujuk seorang kontraktor kelas teri saja Kau tidak mampu!" Hardik Bupati Rauf sambil menggebrak meja kantornya. Anton, pria yang dimarahinya itu hanya berdiri tenang nyaris tanpa menunjukkan raut khawatir atau ketakutan sama sekali.
"Aku tidak mau tau, pokoknya dalam satu minggu masalah ini harus segera beres ! Apapun resikonya Kau harus bisa membereskannya !"
"Baik Pak." Jawab Anton singkat.
"Apa rencanamu untuk bisa merubah keputusan Herman?"
"Setau Saya ada beberapa proyek Pemda yang dikerjakan oleh Herman, Kita bisa menggunakan itu untuk menekan Herman."
"Hmmm, bagus, Kau hubungi Surapto untuk membantumu, dia pasti tau banyak tentang detail-detail kontrak pekerjaan proyek itu."
"Baik Pak."
"Bagaimana keadaan Raka?"
"Sudah ada orang dalam yang menjaganya Pak, Kapolsek juga telah menjamin keselamatan Raka selama berada di tahanan, tidak akan ada yang berani macam-macam."
"Bagus kalau begitu, sekarang Kau segera hubungi Surapto. Bilang ke dia jika Aku yang menyuruhmu, pastikan masalah ini segera terselesaikan, Aku tidak mau masa kampanyeku terganggu." Perintah Bupati Rauf kemudian.
"Baik Pak, Saya pamit kalau begitu."
Anton keluar dari ruang kerja Bupati Rauf, pria gagah itu masih tanpa ekspresi, langkahnya tenang seperti tanpa tekanan. Sudah hampir 5 tahun Anton mengabdikan dirinya kepada Bupati Rauf, pria yang sebelumnya bekerja sebagai debt collector ini begitu patuh terhadap semua perintah Bupati Rauf. Anton merasa bahwa Bupati Rauf sangat berjasa terhadap jalan hidupnya selama ini, bagaimana tidak, 5 tahun lalu saat Anton berada dalam titik terendah sosok Bupati Rauf tiba-tiba datang untuk memberikannya sebuah pekerjaan prestisius. Orang kepercayaan Bupati. Maka tak heran jika sampai sekarang meskipun perangai Bupati Rauf yang emosional, Anton sama sekali tak mengurangi rasa hormatnya terhadap pejabat publik tersebut.
***
HERMAN POV
Mobilku berhenti tepat di depan gerbang sekolah Karin, setelah beberapa saat beristirahat di rumah akhirnya mulai hari ini putri tiriku itu kembali ke bangku sekolah. Aku dan Marcella bersepakat untuk lebih protektif kepada Karin, bagaimanapun kejadian tempo hari cukup menyadarkan Kami jika keselamatan keluarga adalah yang paling utama. Meskipun hari ini jadwalku cukup padat, tapi Aku tidak mau kecolongan lagi, sebisa mungkin Aku sisihkan waktu hanya untuk menjemput Karin dan mengantarkannya kembali ke rumah dengan selamat.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Karin keluar dari dalam sekolah, langkahnya ringan berjalan menuju mobil, beberapa kawan-kawannya tampak melambai ke arah Karin, Aku pikir Karin sudah bisa melupakan kejadian tempo hari dan kembali bisa bergaul seperti semula dengan lingkungannya. Aku cukup mensyukuri hal itu.
" Sudah lama Pah?" Tanya Karin setelah masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi.
"Baru juga nyampek, langsung pulang ?"
"Iya Pah."
Aku langsung meyalakan mobil kembali, dan melaju perlahan menembus lalu lintas kota. Disepanjang perjalanan Kami berdua terlibat obrolan asyik dan ringan, Karin sudah berubah, sikap jutek dan judesnya terhadapku nyaris tak berbekas. Sekarang dia lebih terbuka, lebih tepatnya dia mulai bisa menerima kehadiranku sebagai Ayahnya. Karin begitu lepas menceritakan harinya di sekolah, beberapa kali dia tertawa riang saat Aku menimpali semua celotehnya dengan candaan, saking asyiknya bercerita perjalanan terasa cukup singkat, hingga akhirnya mobilku sudah berada di garasi rumah.
"Mamamu masih belum pulang sepertinya." Kataku saat melihat keadaan rumah sepi melompong.
"Ya udah nggak apa-apa Pah, Aku di rumah sendirian aja, Papa balik ke kantor lagi." Ucap Karin, Aku masih belum tega meninggalkan Karin sendirian di rumah.
"Aku tunggu Mamamu pulang aja, nanti baru balik ke kantor lagi."
"Aku udah nggak apa-apa kok Pa, beneran." Karin mencoba meyakinkanku.
"Iya, Papa tau, tapi Papa nggak mau kecolongan lagi. Sekarang Kamu naik ke atas, ganti baju, Papa tunggu di meja makan, Kita makan siang bareng." Ujarku, Karin menuruti perintahku, putri tiriku itupun beranjak ke kamar tidurnya di lantai dua, Aku amati gerak tubuhnya dari belakang, langsing dan cukup menggoda.
Segera Aku kuasai pikiranku, secepat mungkin Aku hilangkan hasratku terhadap Karin. Aku lalu menuju meja makan, biasanya Marcella sudah meninggalkan makanan di sana, benar dugaanku, beberapa potong ayam goreng sudah tersaji di atas meja bersama semangkuk tumis kangkung kesukaanku. Aku menyiapkan piring untukku dan Karin, tak lupa juga menyiapkan air minum, tak berselang lama Karin turun dari kamarnya. Pandanganku langsung tersita, bagaimana tidak, Karin mengenakan celana pendek dan tang top, lekuk tubuhnya kini jelas terlihat.
"Udah siap Pah?"
"Heh ? Apanya?" Jawabku gelagapan.
"Makanannya lah."
"Oh, iya, sudah siap kok. Yuk makan." Kataku, entah ada apa dengan otakku kali ini, Karin benar-benar membuatku salah tingkah, entahlah apakah dia menyadari hal itu atau tidak.
***
KARIN POV
Aku duduk tepat di hadapan Papa, entah kenapa Aku merasa jika tingkah Papa berbeda setelah Aku turun dari kamar. Sesaat Aku melihat penampilanku, apa ada yang salah ? Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Kami menyantap masakan Mama dengan lahap, sesekali Kami kembali ngobrol, jujur Aku sudah mulai sangat nyaman bercerita dengan Papa. Tapi, kembali lagi pandangan Papa terhadapku menjadi berbeda, sesekali dia menatapku dengan pandangan nakal.
Aku sama sekali tak merasa risih, entahlah, apa yang sedang terjadi padaku juga kali ini. Ingatanku kembali pada saat aku melihat Papa menyetubuhi Mamaku tempo hari, Aku masih ingat betul bagaimana perkasanya tubuh Papa saat meniduri Mamaku. Badannya yang kekar, dan tentu saja batang penisnya yang panjang berurat. Semuanya tergambar jelas di otakku saat ini. Meskipun kali ini Papa mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain hitam, tapi Aku merasa saat ini Papa sedang telanjang di hadapanku. Gila.
"Karin."
"Eh iya Pa?" Papa membuyarkan lamunanku.
"Sini biar Papa beresin piringmu." Papa menghampiriku sambil menenteng piring kotor miliknya, saat mendekatiku senyum Papa merekah, aroma parfumnya seperti membiusku.
"Kamu cantik hari ini Karin." Bisik Papa tiba-tiba tepat di belakang telingaku, sesuatu yang membuatku merinding, bukan karena ketakutan, tapi entah karena apa. Papa hanya mengatakan itu kemudian beranjak meninggalkanku menuju dapur tempat cuci piring, Aku menatapi punggungnya menjauh, dadaku berdegup kencang saat Papa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku sambil tersenyum.
DEG !
Dunia seperti berhenti berputar sesaat untukku, senyum Papa memiliki makna lain yang sulit Aku gambarkan. Perasaanku saat ini campur aduk, hingga sulit untuk bisa menjelaskannya. Papa berjalan kembali menuju dapur, sesaat kemudian gemercik air dari wastafel terdengar dari sana. Entah apa yang sedang merasukiku, Aku melangkahkan kaki menuju dapur, Aku melihat Papa sedang mencuci piring, dia menggulung lengan bajunya, Aku menatapnya dari jarak tak sampai 10 meter.
"Kamu kenapa di situ Karin?" Tanya Papa yang menyadari kehadiranku, Aku hanya terdiam tapi langkah kakiku kembali mendekat. Dadaku berdebar kencang saat Aku sudah berada tepat di belakang tubuh Papa. Kemudian sesuatu yang sulit Aku bayangkan terjadi, Aku memeluk tubuh Papa dari belakang, hangat dan nyaman, hanya itu yang bisa Aku rasakan saat ini.
"Kamu kenapa?" Tanya Papa kembali, sebelum dia mematikan air dari wastafel. aku merasakan punggung tanganku basah karena Papa menggenggamnya. Kami terdiam untuk beberapa saat, Aku masih memeluk Papa dari belakang.
"Karin sayang Papa." Begitu saja kalimat itu meluncur dari bibirku, Papa kemudian membalikkan badannya, tubuhnya tinggi besar membuat kepalaku mendongak hanya untuk melihat wajahnya.
"Papa juga sayang Karin." Ucap Papa sebelum kembali memelukku dari depan, Aku merasa begitu bahagia mendengar hal itu, Aku semakin mendekapkan tubuhku, Kami berpelukan seperti orang yang sama-sama sudah lama tak berjumpa.
Beberepa saat kemudian Papa melepaskan pelukannya, perlahan wajahnya mendekati wajahku, aroma nafasnya sampai tercium olehku. Dadaku berdegup semakin kencang, Aku sama sekali tak menghindarinya, semakin lama semakin dekat, lalu kemudian bibirnya sudah menempel pada bibirku. Tangan Papa mengelus pipiku, bibirnya terbuka, lidahnya terasa hangat menempel tepat di atas bibirku. Aku memejamkan mata, kemudian ikut membuka bibir. Lidah kami saling bertemu, Papa seperti mengajariku untuk berciuman dengan baik dan benar. Kami saling memagut,nafasku menderu kencang mengimbangi permainan lidah Papa.
"Eeemmcchhh !" Lenguhku manja saat Papa menyedot lidahku.
"Sakit?" Tanya Papa, Aku hanya menggelengkan kepala.
Papa tersenyum, tanpa aku duga Papa mengangkat tubuhku dari depan, kedua tanganku mencengkram lehernya, sementara kedua kakiku melingkari pinggulnya. Papa mendorong tubuhku ke belakang sampai menempel dinding dapur. Beberapa saat Kami hanya saling berpandangan, tidak ada satu katapun yang keluar.
"Papa sayang Karin." Ucap Papa sebelum kembali membenamkan bibirnya pada bibirku, Aku melayaninya, mengimbangi permainan lidah dan bibir Papa.
Tubuhku terasa sedang melayang begitu tinggi, Aku benar-benar lupa jika pria yang sedang menciumiku saat ini adalah suami dari Mamaku. Kami saling memagut, semakin lama semakin panas, air liur kami sudah saling bertukar. Desahan kemudian terdengar, apalagi saat bibir Papa berpindah ke leherku, geli sekali, membuatku tak tahan untuk mendesah menahan nikmat. Papa begitu pandai memainkan lidahnya.
"Mas ! " Seketika Papa menurunkan tubuhku, Kami saling berpandangan, tak bersuara, tapi seperti mengerti apa yang harus dilakukan saat ini.
"Oh kalian di sini, kirain kemana." Ucap Mama yang kini sudah berada di dapur, Papa membilas piring sementara Aku berpura-pura menata pirin di atas rak.
"Sudah pulang Ma? Tumben lama banget ?" Kata Papa tenang, nyaris seperti tidak terjadi apa-apa, sementara dadaku masih berdegup cukup kencang, sampai-sampai tak berani menatap wajah Mama.
"Iya nih, maaf ya Pah. Tadi ada diskon besar-besaran, Karin ayo bantu Mama ngluarin belanjaan dari mobil."
"Iya Mah." Aku bergegas melangkah menuju ruang depan dengan perasaan was-was, Aku takut jika Mama mengetahui apa yang baru saja terjadi antara aku dengan Papa. Aku menoleh ke belakang, aku lihat Mama sedang ngobrol dengan Papa, semoga Mama tidak mencurigai kami.
10204Please respect copyright.PENANA8OYM85l7HK
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.8da2