Suasana riuh dengan sorak sorai dari puluhan orang yang bergerombol memutar di atas sebuah tanah lapang. Teriknya matahari tak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap berada di sana sambil terus berteriak lantang. Di tengah kerumunan , terlihat dua pria terjatuh lemas, bahkan salah satunya tampak sudah tak mampu lagi berdiri, tubuhnya yang tinggi besar hanya tertelungkup di atas tanah, darah mengucur dari keningnya akibat sabetan benda tajam. Sementara satu lagi sudah bangkit, tubuhnya jauh lebih kecil dibanding si pria besar. Sambil menghunus sebilah pedang dia berjalan gontai mendekati lawannya.
"Bunuh..!!Bunuh...!! Bunuh!!" Teriak orang-orang yang mengelilingi mereka.
"Ayo cepat segera akhiri ini..." Ucap si pria besar lirih, seolah tau jika malaikat maut sudah bersiap mencabut nyawanya.
"Maafkan Aku.." Kata si pria kurus sambil bersiap menebaskan pedangnya ke arah leher si pria besar.
"AAAARRGGHTTT..!!!!!"
Ujung pedang menghujam keras dari atas menuju ke bawah, mengarah ke leher si pria besar. Tapi ternyata mata pedang itu tak mengarah tepat ke lehernya, sang pria kurus dengan sengaja menghunus ujung pedangnya tepat di samping kepala si pria besar. Beberapa penonton yang sedari tadi menunggu momen lepasnya kepala si pria besar terlihat kecewa, ekspektasi tinggi mereka pada si pria kurus ternyata dibalas dengan rasa welas asih. Si pria kurus tak menghabisi nyawa lawannya, membiarkan si pria besar tersungkur dengan masih menghembuskan nafas. Tak lama kemudian si pria kurus berjalan santai meninggalkan arena pertarungan.
"Bajingan!!!" Teriak Juragan Seno melihat si pria kurus berjalam santai meninggalkan arena pertarungan.
Juragan Seno adalah seorang adipati karisidenan, orang yang diberi mandat langsung oleh pemimpin tertinggi di Kerajaan Jenggolo untuk memimpin daerah di wilayah utara. Pria bertubuh kecil dengan kumis lebat itu tak hanya semata sebagai adipati saja, dia juga menjadi penanggung jawab tarung jagad yang menjadi tradisi turun menurun di Desa Sumber. Dalam tradisi tarung jagad setiap petarung yang telah memenangkan pertandingan wajib hukumnya untuk membunuh lawannya. Sesuatu yang sekarang tidak dilakukan oleh pendekar bertubuh kurus tadi.
"Hei! Berhenti Kau bajingan tengik!" Umpat Juragan Seno sekali lagi untuk menghentikan langkah sang pendekar yang ngeloyor pergi begitu saja tak mengindahkannya. Kali ini ada empat pria dengan tubuh besar mengikuti Juragan Seno, keempat orang itu adalah para centeng bayaran sang adipati.
"Berhenti Aku bilang!"
Juragan Seno menarik kasar pundak sang pendekar dari belakang, menghardiknya dengan keras. Namun hanya dengan satu gerakan memutar, sang pendekar justru bisa membalik keadaan, sekarang tangan Juragan Seno lah yang berada dalam pitingannya. Empat centeng di belakang Juragan Seno langsung bersiaga dengan menghunus pedang. Suasana tegang langsung tercipta, semua mata memandang ke arah sang pendekar.
"Bajingan! Kau mau mati hari ini hah?!" Ancam Juragan Seno sambil meringis kesakitan karena pergelangan tangannya dicengkram kuat oleh sang pendekar.
"Aku ingin pergi!" Balas sang pendekar sebelum melepas cengkraman tangannya pada adipati itu.
"Kau sudah melanggar peraturan pertarungan! Kau harus bunuh lawanmu atau Kau sendiri yang akan menggantikan nyawanya!" Pekik Juragan Seno dengan wajah mearah padam penuh kemarahan.
"Baik, coba saja kalau kalian bisa membunuhku." Sang pendekar mengambil posisi siap untuk bertarung, ancaman Juragan Seno sama sekali tak mengendurkan nyalinya sedikitpun.
"Oooo! Jadi Kau menantangku? Heh kalian! Habisi dia!" Perintah Juragan Seno pada keempat centengnya yang sudah menghunus pedang mereka.
"Tunggu!! Tunggu!!" Sebelum pertarungan sengit terjadi, tiba-tiba dari arah belakang berlari seorang pria tua dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Maafkan Sakti, Juragan Seno. Saya mohon maafkan anak muda ini, dia memang bodoh telah melanggar aturan, tapi Saya janji untuk pertarungan berikutnya Sakti pasti akan membunuh lawannya. Saya janji!" Ujar si pria tua mencegah terjadinya pertarungan antara sang pendekar yang bernama Sakti dengan para centeng bayaran Juragan Seno.
"Bajingan itu sudah berkali-kali melanggar aturan tarung jagad, Aku sudah muak!" Ujar Juragan Seno masih dengan emosi tinggi.
"Tidak perlu terjadi pertumpahan darah yang sia-sia Juragan, Sakti adalah aset penting dalam tarung jagad. Lihat saja semua orang datang ke sini pasti ingin melihat kehebatan Sakti, dan ingat Juragan, selama ini belum ada yang bisa mengalahkan Sakti. Membunuhnya sama saja mematikan acara tarung jagad." Lanjut si pria tua mencoba kembali meyakinkan Juragan Seno.
"Agghtt! Banyak omong Kau Bejo! Baik, kali ini Aku ampuni dia. Tapi ingat, jika di pertarungan berikutnya bocah itu masih melanggar aturan maka Aku tidak segan lagi untuk membunuhnya!"
"Tidak perlu! Aku tidak akan mengikuti tarung jagad lagi! Hari ini adalah terakhir kalinya Aku menginjakkan kaki di tempat ini!" Balas Sakti lantang.
"Ta..Tapi.." Bejo, si pria tua, yang sudah susah payah mengusahakan ampunan pada Sakti nampak tekejut dengan ucapan Sakti.
"Ayo Bejo kita pergi dari sini!" Lanjut Sakti sebelum kembali melangkah pergi.
"Saya akan mencoba membujuknay dulu Juragan. Minggu depan pasti Sakti akan mengikuti tarung jagad. Permisi." Bejo buru-buru mengambil langkah seribu sebelum kena dampratan lagi dari Juragan Seno yang maikn marah.
"Apa Kau sudah gila? Berhenti mengikuti tarung jagad katamu?" Kata Bejo setelah keduanya berjalan cukup jauh dari arena tarung jagad.
"Tenang Bejo, kita akan dapat pekerjaan yang lebih baik dibanding harus mendapat uang dengan cara membunuh." Jawab Sakti santai tanpa beban.
"Mau cari kerja dimana lagi kita? Dari tarung jagad kita sudah bisa menghasilkan banyak uang." Bejo masih berusaha untuk melobi keputusan pendekar itu.
"Uang bisa dicari dimana saja Bejo, sudah tenang saja, serahkan semuanya padaku. Ambil ini!" Sakti melemparkan kantong kain kecil berisi beberapa keping perak.
"Loh, apa ini?" Pekik Bejo.
"Ambil saja itu untuk anak istrimu, setidaknya untuk mencukupi kebutuhan hidup selama kita tidak mengikuti tarung jagad."
"Waah, terima kasih banyak Sakti!" Mata Bejo langsung berbinar menatap kepingan perak dalam genggaman tangannya.
***
Aliran air di sungai tak begitu deras, sore yang teduh menambah suasana nyaman bagi para gadis desa yang tengah asyik membersihkan badan di pinggir sungai. Hanya dengan mengenakan jarik yang menutupi bagian tubuh atas, mereka menikmati sore dengan canda tawa di tengah aliran air sungai yang sangat jernih. Diantara jejeran tubuh-tubuh molek itu terdapat seorang gadis yang sangat menonjol penampilan fisiknya. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tapi juga tak terlalu pendek, rambutnya panjang sepinggang, pantatnya yang semok berbanding lurus dengan kedua buah dadanya yang bulat membusung. Kain jarik bercorak batik cokelat terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang kuning langsat, wajahnya cantik rupawan, belum lagi saat tersenyum, pipinya menunjukkan lesung kecil, sempurna.
Adalah Laras, putri semata wayang juragan Seno. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya sudah termasyur ke penjuru negeri, bahkan tersiar kabar jika Pangeran Ontowijoyo, putra mahkota Raja Ontoseno juga tertarik untuk bisa meminang Laras sebagai permaisurinya. Karena hal itulah Nyai Daimah, Ibu dari Laras, mewanti-wanti putrinya itu agar menjaga pergaulan.
Sebenarnya sejak beberapa bulan lalu Laras dilarang oleh Juragan Seno untuk pergi ke sungai bersama teman-teman sebayanya, karena bukan rahasia umum lagi jika kegiatan mandi di sungai oleh para gadis desa seringkali dimanfaatkan oleh pemuda-pemuda kampung untuk mengintip kemolekan tubuh para gadis itu. Juragan Seno tentu tak ingin tubuh anak gadisnya menjadi objek tatapan jalang para pemuda kampung. Tapi gejolak jiwa muda Laras tak bisa dibendung, usianya yang baru menginjak 18 tahun masih ingin merasakan kebebasan, setiap sore gadis cantik itu selalu berhasil menyelinap keluar dari pendopo untuk menemui teman-temannya.
Saat sedang mahsyuk bersenda gurau sambil membersihkan badan di tengah aliran sungai, para gadis itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemercik lain di bagian ujung sungai, tiga batang pohon mahoni yang roboh tepat di atas sungai menjadi pembatas serta penghalang pandangan antara para gadis dan seseorang di bagian lain sungai itu.
"Ssssttt ! Jangan berisik, ayo kita lihat." Tukas Laksmi, sambil memberi tanda pada teman-temannya untuk mengikuti langkahnya mendekati reruntuhan pohon mahoni.
Seperti kerbau yang dicokok hidungnya, kelima teman Laksmi menuruti perintah putri seorang pamong desa itu, keenam gadis itu perlahan mendekati reruntuhan pohon. Para gadis desa itu, tak terkecuali Laras terhenyak saat mendapati Sakti tengah bertelanjang bulat di tengah sungai sedang membersihkan badan. Mereka tidak terkesima dengan tubuh Sakti yang memang sama sekali tidak berotot, tapi mereka dibuat tidak percaya saat melihat penis Sakti yang panjang dan besar, sangat besar bahkan jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang kurus kecil. Secara bergantian keenam gadis itu menelan ludahnya sendiri-sendiri, apalagi saat tangan Sakti mengurut penisnya dengan gerakan mengocok, dada para gadis itu dibuat berdesir kencang saat ekspresi wajah Sakti menunjukkan rasa kenikmatan.
BRRRAAAKKKKK!!!!
"Awww!!!"
Tanpa disangka salah satu batang pohon yang digunakan para gadis itu untuk mengintip tiba-tiba ambruk karena tak kuat menahan beban tubuh para gadis pengintip, Sakti yang sedari tadi asyik membersihkan tubuhnya seketika dibuat kaget saat melihat para gadis desa yang sebelumnya bersembunyi di balik reruntuhan batang pohon kini justru kabur berhamburan melarikan diri.
"Wooii!! Jangan kabur!!" Teriak Sakti sambil bergegas memakai celana dan bajunya, kelima orang gadis desa berhasil lari menjauh, tapi tidak dengan Laras, kakinya tersangkut diantara reruntuhan pohon, kini gadis cantik itu terjebak menahan sakit terjepit di atas sungai.
Sakti bergegas mendekati tubuh Laras, dia tau jika gadis itu sedang menahan sakit yang teramat sangat pada pergelangan kakinya. Laras mengutuki dirinya sendiri, terlebih pada teman-temannya yang meninggalkan dirinya seorang diri saat kepergok sedang mengintip Sakti mandi. Kini pria yang dia intip justru berada tepat di atas tubuhnya, dada Laras kembali berdesir saat melihat gundukan selangkangan Sakti masih menyembul mekipun sudah tertutup oleh celana.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Sakti khawatir.
"Kakiku terjepit, sakit banget!" Ucap Laras sambil menahan sakit dan tentu saja rasa malu di hadapan Sakti.
"Tahan sebentar, Aku akan membantumu." Kedua tangan Sakti mendorong batang pohon besar yang melintang di tengah sungai.
"Arrrrghhtt!"
BRAAAAAKKKKKK...!!!!
Dengan sekali gerakan mendorong, Sakti berhasil mengarahkan batang pohon itu ke sisi yang lain, membebaskan kaki Laras.
"Awww...!!!" Teriak Laras kesakitan sambil memegangi pergelangan kakinya.
"Boleh Aku membantumu?" Tawar Sakti sambil mengulurkan tangannya pada Laras.
Seperti tidak ada pilihan lain karena memang dirinya sulit untuk berdiri, Laras menerima uluran tangan Sakti. Gadis cantik itu meringis kesakitan saat bisa menopang berat tubuhnya pada kaki, rasa perih dan ngilu seketika menjalar ke sekujur tubuhnya.
"Awwwwww..!" Laras nyaris kembali terjatuh ke atas air, beruntung Sakti sigap menahan tubuh gadis cantik itu.
"Lebih baik Aku gendong tubuhmu sampai ke tepi sungai." Ucap sakti, tanpa menunggu persetujuan dari Laras, Sakti kemudian langsung membopong tubuh Laras. Perlahan Sakti berjalan mendekati bibir sungai sambil menggendong tubuh Laras.
"Bukankah Kau puteri juragan Seno?" Tanya Sakti setelah menurunkan tubuh Laras dan menyandarkannya pada sebuah pohon besar di tepi sungai.
"Iya benar." Jawab Laras singkat sambil memegangi pergelangan kakinya yang masih terasa sakit.
"Kemana perginya teman-temanmu? Mungkin Aku bisa memanggil mereka agar bisa mengantarmu pulang, Aku yakin jika Kau tidak akan mungkin bisa berjalan dalam keadaan seperti ini." Kata Sakti.
"Entahlah, Aku tidak tau kemana mereka pergi." Ucap Laras kesal.
"Hmmm... Jadi...?"
"Apa maksudmu dengan jadi?" Tanya Laras.
"Jadi, kini tinggal Aku harapanmu, orang yang bisa mengantarmu pulang sebelum para harimau di hutan ini menerkammu sebagai makan malam?" Kata Sakti dengan intonasi suara yang dibuat seram.
"Hah? Harimau??!" Pekik Laras ketakutan, kedua mata gadis cantik itu memandang ke segala arah seperti bersiap menghadapi bahaya yang tengah mengancamnya.
"Hahahahaha ! Kau mudah sekali dibohongi, pantas saja teman-temanmu meninggalkanmu begitu saja seorang diri. Hahahahaha" Gelak tawa Sakti membuat Laras marah dan kesal, gadis cantik itu sampai mengambil kerikil kecil dan melemparkannya ke wajah Sakti yang masih terpingkal-pingkal di hadapannya.
"Kau menyebalkan sekali !" Ketus Laras dengan memasang wajah sebal di hadapan Sakti.
"Hehehehehehe, maaf, kadang memang harus ada yang ditertawakan saat ada musibah seperti ini kan?" Jawab Sakti santai.
"Ayo Aku antar Kau pulang." Sakti kini sudah berjongkok di depan tubuh Laras, punggung pria itu mengarah tepat di hadapan mata Laras.
"Kau akan menggendongku sampai ke pendopo?" Tanya Laras ragu.
"Iya, kecuali kalau Kau ingin bermalam di sini menemani harimau hutan. Hahahahahaha!" Jawab Sakti kembali dengan gelakan tawa yang disambut dengan cubitan gemas di pinggangnya.
4731Please respect copyright.PENANArjf82uVd1B
BERSAMBUNG
Cerita "SANG PENDEKAR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2